Dubai, 12 Oktober...
Angin berembus kencang di kawasan sekitar bandara megah nan mewah, di negeri pemilik gedung pencakar langit tertinggi ini. Lalu lintas penerbangan juga terlihat tidak sepadat biasanya, hanya ada beberapa jadwal penerbangan yang akan segera take off. Tampaknya sesuatu hal telah membuat pihak bandara membatasi jadwal penerbangannya.
Di sana, di balik pintu masuk kedatangan penumpang, terlihat banyak petugas bandara berbaris dengan rapi. Hiruk-pikuk suasana menyelimuti jam makan siang di bandara internasional ini. Mereka sengaja berbaris untuk menyambut kedatangan beberapa pria yang disebut-sebut sebagai penguasa perekonomian dunia. Tak ayal jalur tiba kelas satu itu pun terhampar karpet merah untuk menyambut kedatangannya. Dan tak lama sebuah jet pribadi landing di jalur pendaratan Dubai Internasional Airport.
Tiga pria berkaca mata hitam, berompi jas hitam panjang, turun dari jet pribadi berlogo sebuah organisasi. Beberapa bodyguard berbadan tegap juga ikut turun, menemani setiap langkah kaki mereka. Bodyguard itu melihat ke sekeliling arah untuk melindungi ketiga pria dari bahaya tak terduga. Terlihat di telinga mereka terpasang earpiece atau sejenis alat komunikasi rahasia yang digunakan saat pengawalan. Kedatangan mereka juga turut dijaga ketat oleh petugas bandara Dubai Internasional Airport ini.
"Selamat datang Tuan Byrne, Tuan Owdie dan Tuan Rain."
Seorang pria paruh baya berjas putih menyambut kedatangan ketiganya. Pria paruh baya itu tersenyum hormat kepada mereka.
"Terima kasih." Salah seorang dari mereka membalas sapaan si pria paruh baya.
Pria paruh baya itu menyalami ketiganya secara bergantian. Tak lama prosesi penyambutan pun dilakukan. Si pria paruh baya mengalungkan rangkaian bunga sebagai penyambutan, sedang petugas bandara lainnya menemani dengan penuh hormat. Prosesi penyambutan ini berjalan baik. Hingga akhirnya, para pramugari cantik mempersilakan ketiganya menuju ruang tamu bandara Dubai Internasional Airport.
"Silakan, Tuan."
Dengan senyum semringah ketiganya dipersilakan mengikuti ke mana langkah kaki sang pramugari menuju. Mereka kemudian berjalan menuju ruang tamu khusus milik bandara dengan tetap ditemani beberapa bodyguard yang masih berjaga. Tampak suasana meriah mengiringi langkah kaki mereka.
"Tampaknya semua sudah dipersiapkan, Tuan Khair." Salah satu dari mereka menegur si pria paruh baya.
"Suatu kehormatan bagi kami bisa menerima kedatangan Anda sekalian. Semoga penyambutan ini tidak mengecewakan," tutur si pria paruh baya yang ternyata bernama Khair.
"Ya, baiklah. Aku rasa semuanya berjalan dengan lancar." Salah satu dari ketiganya menanggapi.
Ketiga pria tersebut adalah anak penguasa di bawah organisasi elite kelas dunia. Mereka memiliki kemampuan khusus dalam bidangnya. Dan hari ini mereka akan mulai menginvasi Kota Dubai sebelum memasuki kawasan timur tengah lainnya. Namun, siapa sangka kedatangan mereka menjadi pemicu hal tak terduga nantinya. Sebuah kejadian di luar nalar manusia yang tidak bisa dijabarkan dengan algoritme.
Gaharu Wood mempersembahkan...
Kontrak Cinta Sang Penguasa, novel ke dua setelah Dua Pangeran Satu Cinta. Terinspirasi dari lagu As Long As You Love Me by Backstreet Boys.
...
Meskipun kesepian sudah menjadi teman dalam hidupku.
Kugantungkan hidupku di tanganmu.
Orang bilang aku ini gila dan aku buta.
Karena mengambil risiko tanpa berpikir panjang.
Dan bagaimana caramu membutakan aku, masih menjadi misteri.
Aku tak bisa mengusirmu dari kepalaku.
Tidak peduli apa yang tertulis di masa lalumu.
Selama kau masih di sini bersamaku.
Aku tak peduli siapa dirimu.
Darimana asalmu.
Apa yang sudah kau lakukan.
Selama kau mencintaiku.
Siapa dirimu?
Darimana asalmu?
Tak peduli apa yang sudah kau lakukan.
Selama kau mencintaiku...
*) Sudut Pandang Pertama
...
Sejuk angin pagi membelai lembut pipiku. Menyadarkan agar segera terbangun dari alam mimpi. Pelan-pelan sang mentari pun ikut mengintip dari balik ventilasi jendela. Menandakan jika hari telah berganti bagaimanapun sakitnya hati.
Hari ini aku akan melamar kerja lagi. Entah sudah ke yang berapa kali. Aku terus saja melamar kerja ke sana dan ke sini, berharap ada suatu perusahaan yang bisa menerimaku. Dengan bekal lima puluh ribu, aku kembali bersemangat untuk melanjutkan hidup. Hidup yang katanya sebentar tapi rasanya bikin gemetar kalau tidak mempunyai uang.
Aku hanya lulusan SMA. Tidak pernah mengeyam pendidikan universitas tinggi. Tapi katanya sih otakku ini di atas rata-rata. Ya, walau tidak pernah mendapat peringkat pertama di kelas, setidaknya menjadi bahan contekan teman-teman dulu. Aku juga sempat berhasil masuk lima besar. Lumayanlah daripada lumanyun.
Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku perempuan yang sudah bersuami. Usia kami berbeda sekitar tiga tahun. Tidak jauh sih, hanya jarak kami saja yang jauh. Dia sama sekali tidak bisa diandalkan, apalagi untuk membantu ibu. Semua pekerjaan rumah harus aku yang mengerjakannya. Katanya tidak mau kukunya sampai rusak terkena cairan cuci piring. Ya, whatever lah.
"Selesai."
Selepas mandi kukenakan kemeja putih dan rok hitam setinggi lutut. Tak lupa kupakai sepatu pantofel hitam untuk menunjang penampilanku. Tapi jangan berpikir jika semua ini milikku. Baik baju, rok atau sepatunya, aku meminjamnya dengan tetangga sebelah. Ini juga malu-malu kudatangi rumahnya karena memang tidak punya.
Kehidupan keluargaku tidaklah seindah di sinetron. Rumah berkeramik dengan kitchen set yang bagus. Rumahku hanya berdinding bata tanpa pelapis. Alasnya juga masih semen biasa. Terlebih jendelanya kayu bukan kaca. Jadi kalau malam sudah tiba, dinginnya luar biasa.
Aku masih bersyukur karena bisa makan sehari sekali. Ya, walaupun hanya dengan satu iris tempe dan cabe rawit yang digerus pakai garam. Aku merasa masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan teman-teman di jalanan sana. Setidaknya jika bersyukur bisa menentramkan hati ini. Tidak dapat kupungkiri jika aku juga ingin seperti gadis-gadis masa kini. Hang out ke sana kemari dan berselfie ria tiada henti.
"Bu, Ara berangkat dulu. Doain Ara biar keterima kerja," kataku pada ibu yang sudah beranjak lima puluh tahun.
"Ya, ibu doain. Semoga kali ini lulus tesnya." Ibu memberi restu.
Tak lupa kucium tangannya sebelum berangkat menuju tempat interview. Setelahnya segera kulangkahkan kaki menuju gang rumahku, berniat mencari ojek agar bisa cepat sampai ke sana. Kebetulan hari ini tempat interview tidak dapat dilalui angkot, jadi ya terpaksa menggunakan ojek. Dan setelah tawar-menawar, akhirnya harga pun ditetapkan. Sepuluh ribu rupiah karena kebetulan masih ada hubungan saudara.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya aku berdoa, berharap Tuhan menurunkan keajaiban agar aku lekas bekerja. Aku kasihan sama ibu yang harus mendapat upah cuci-gosok untuk menghidupiku. Sekolah saja mendapat bea siswa karena tidak mampu. Ya, aku akui jika berasal dari keluarga tak mampu. Tapi, aku tidak mau selalu seperti ini. Aku ingin menjadi orang kaya yang katanya mau apa saja ada. Impianku hanya satu, membuat ibu pensiun dari pekerjaannya agar ibu bisa menikmati masa senjanya. Itu sajalah, belum ada yang lain.
"Kantornya yang ini bukan, Ra?" tanya tukang ojek padaku setelah sampai di depan gerbang kantor.
"Oh, iya. Sampai di sini saja kalau gitu, Kak." Aku lekas-lekas turun dari motor lalu memberikan ongkosnya.
"Semoga berhasil." Tukang ojek itu memberi semangat padaku.
"Makasih, Kak." Aku pun tersenyum lalu lekas-lekas masuk ke halaman kantor.
Hari ini aku melamar kerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Semoga saja aku bisa keterima di sini.
Dua jam kemudian...
Psikotes cepat telah berhasil kuselesaikan. Ternyata bukan hanya aku saja yang melamar kerja di tempat ini. Banyak sekali pelamar, mungkin ada dua puluh orang lebih. Tapi aku yakin jika nilai psikotesku tinggi. Aku sudah terbiasa berhitung cepat, jadi tidak terlalu sulit melewatinya.
Kini aku mendapat giliran sesi wawancara dengan pihak personalia, sedang para pelamar lainnya menunggu di luar. Waktuku tak banyak, setiap orang hanya akan mendapat jatah interview lima menit saja. Aku pun berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan simpatik dari penginterviewku.
"Saudari Ara?" Dia menyebut namaku.
Aku duduk manis di hadapan seorang pria dewasa, yang menurut pandanganku tidak terlalu malu-maluin amat jika diajak kondangan. Tapi sayangnya, pria ini sulit sekali untuk tersenyum.
Mungkin giginya ompong kali, ya?
Dalam posisi seperti ini aku masih saja sempat menggibah orang. Dan orang yang kughibah itu adalah orang yang menentukan lamaran pekerjaanku diterima atau tidak.
"Iya, Pak." Aku memanggilnya dengan sebutan pak.
"Hasil psikotes Saudari cukup baik. Tapi sayangnya, penampilan Saudari terlalu polos. Apa Saudari tidak bisa menggunakan make-up?" tanyanya yang sontak membuatku kaget.
"Bisa, Pak. Saya bisa memakai make-up. Tapi masalahnya saya tidak punya make-up, Pak." Aku jujur saja padanya.
"Astaga. Hari gini ada ya perempuan yang tidak punya peralatan make-up?"
Kulihat pria di depanku ini menepuk jidatnya. Aku jadi heran mengapa dia seperti itu. Padahal aku hanya mengatakan hal yang sejujurnya saja, jika memang tidak mempunyai alat make-up.
"Saudari Ara, kami adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Jika dengan penampilan seperti ini, maka sayang sekali kami tidak bisa menerima lamaran pekerjaan Saudari." Dia terus terang padaku tanpa ba-bi-bu.
"Tapi, Pak. Nilai psikotes saya tinggi." Aku mencoba mengajukan banding padanya.
"Ya, ya, saya tahu. Tapi tetap saja, untuk menunjang kehidupan di masa sekarang, tidak hanya butuh kecerdasan, tapi juga penampilan yang menarik. Dan sayangnya hal itu tidak ada pada diri Saudari," katanya lagi.
Astaga ... ini seperti body shaming untukku.
"Saudari Ara bisa kembali melamar jika penampilan Saudari sudah lebih baik. Terima kasih atas kedatangannya. Ini berkas lamaran kerjanya saya kembalikan."
Betapa hancur hatiku melihat hal ini terjadi. Lagi dan lagi aku ditolak kerja. Entah mengapa rasanya sakit tapi tidak berdarah.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Kupegang map lamaranku, kudekap di dada seraya keluar dari ruangan interview. Aku berusaha tegar dan kuat menghadapinya. Pelamar yang lain pun bergantian masuk satu per satu. Sedang aku ... aku terus berjalan ke luar ruangan dan melangkahkan kaki menuju gerbang kantor ini.
Ya Tuhan, apakah wajahku amat tidak menarik sampai harus ditolak lagi?
Kupegang pipiku, kurasakan jika masih berbentuk manusia. Tidak terlalu buruk-buruk amat. Tapi nyatanya, aku harus kembali menerima kegagalan ini. Rasanya mulai lelah. Berulang kali melamar pekerjaan, berulang kali juga ditolak.
Ya, sudahlah. Yang penting aku sudah usaha.
Dengan lemas kulangkahkan kaki menuju gerbang kantor. Berjalan sebentar hingga ke ujung jalan untuk mencari angkot yang lewat. Ya, walaupun ada sekitar satu kilo, tapi tak apalah, irit ongkos. Sekalian berolahraga di siang hari.
Sesampainya di rumah...
Aku tiba di rumah. Rumah peninggalan nenekku. Kulihat rumah tampak sepi hari ini. Mungkin ibu sedang nyuci-gosok di rumah tetangga, jadi tidak ada orang di rumah. Ya walaupun ada, anggap saja tidak ada.
"Heh, gimana tes lo?"
Kakakku keluar dari kamar begitu mendengar aku pulang. Dia langsung saja bertanya padaku sambil bertolak pinggang. Padahal masuk rumah saja belum, baru juga sampai di depan pintu.
"Ara belum berhasil, Kak," jawabku jujur lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Hah? Enggak berhasil lagi? Gimana sih lo ini?! Gagal terus ngelamar kerja! Lo itu sebenernya bisa apa?! Ke mana-mana ditolak." Dia malah memarahiku.
"Namanya juga belum rezeki, Kak. Mau dipaksa juga enggak akan bisa," jawabku seraya berjalan menuju kamar.
"Eh! Lo mau ke mana?" tanyanya menghalangi.
"Ke kamar, istirahat," jawabku singkat.
"Lo istirahat terus. Nyuci piring sana! Banyak cucian piring tuh di dapur. Nyapu, ngepel juga jangan lupa. Jangan males jadi perempuan!" Dia makin menjadi, gilanya.
Aku hanya diam saat dicaci. Kubiarkan saja dia terus berbicara enggak mutu. Aku juga tidak mau ambil pusing.
Hah ... andai saja ada pangeran yang menolongku dari semua penderitaan ini ....
Aku bergumam sambil masuk ke dalam kamar. Kukunci pintu lalu merebahkan diri di atas kasur. Angan-angan mulai mengambil alih pikiranku, berkhayal ada seorang pangeran yang menolongku. Tentunya hidupku tidak akan khawatir kekurangan.
Aku tidak mengerti mengapa selalu dimarahi olehnya. Padahal semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya. Dari mulai menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci pakaian, sampai menyapu halaman aku juga yang mengerjakan. Hidupnya enak sekali, makan tidur, makan tidur setiap hari.
Di mana dikau, pangeran tampanku ...?
Kuambil ponsel pintar dari dalam tas dan kulihat jadwal interview selanjutnya. Ternyata aku masih mempunyai dua tempat lagi untuk melamar. Semoga saja salah satunya bisa menerimaku.
Malam harinya...
Malam ini aku duduk sendiri di depan rumah. Menatap bintang yang berkilauan di angkasa. Rasanya ingin sekali berjalan-jalan ke sana. Tapi apa daya hanya sebatas impian semata.
Aku hidup tanpa seorang ayah. Ayahku menikah lagi dengan perempuan yang lebih seksi. Katanya sih mereka sudah hidup bahagia sekarang. Benar-tidaknya, aku juga tidak peduli.
Ibu membesarkanku seorang diri. Sedang ayah waktu itu tidak tahu ke mana. Saat beranjak remaja, barulah kutahu jika ayah menikah lagi. Ibu memang sengaja merahasiakannya dariku. Katanya sih agar tidak menggangu pelajaran di sekolah.
Bagiku, ibu tidak hanya sekedar orang tua, tapi juga pahlawan hidupku. Ibu amat sabar menghadapi tingkah anak-anaknya, terutama kakak yang sering melawan. Jika bukan karena ibu, mungkin sudah kutendang ke luar dia. Habisnya gimana, aku kesal sekali. Dia bergaya bak sosialita tapi tidak sadar dirinya siapa. Gayanya selangit padahal rumahnya masih napak tanah.
Astaga! Jangan ghibah Ara!
Kadang kesal membuatku menggerutu dalam hati. Tapi daripada membicarakan orang lain, lebih baik berkhayal saja. Berkhayal suatu hari nanti dijemput pangeran tampan dan dia mengajak ku berkeliling dunia. Berkhayal saja sudah bahagia seperti ini. Apalagi jika sampai benar-benar terjadi.
"Ara, kemarilah." Ibu memanggil agar aku menghampirinya.
"Ya, Bu." Aku pun segera masuk ke dalam rumah, memenuhi panggilan ibu.
Di kamar ibu...
"Ada apa, Bu?" tanyaku kepada pahlawan hidupku.
"Ara, beras sudah mau habis. Upahan nyuci-gosok juga tinggal dua puluh ribu. Ibu belum sempat beli gas untuk masak. Dan kini gas sudah mau habis." Ibu menceritakannya padaku.
Astaga ....
Aku mengerti maksud ibu. Tapi gimana, aku belum punya penghasilan untuk memberinya. Sisa uang juga tinggal tiga puluh lima ribu. Hari ini lima belas ribunya sudah dipakai untuk ongkos melamar kerja. Tapi nyatanya, aku belum juga diterima.
"Maaf, Bu. Sisa uang Ara tinggal tiga puluh lima ribu. Ara masih harus melamar di dua tempat lagi. Semoga besok Ara bisa keterima kerja ya, Bu. Jadi Ara bisa meminjam uang sama bank keliling." Aku sedih sekali saat harus mengatakan hal ini.
"Ya, sudah. Ibu hanya cerita, jangan dijadikan beban, ya." Ibu mengusap pipiku.
"Kakak memangnya enggak kasih pinjam uang, Bu?" tanyaku heran.
"Sudahlah, biarkan saja dia." Ibu seperti menolak membicarakan kakak.
"Nanti Ara pinjam sama dia saja ya, Bu. Ibu tunggu di sini." Aku bergegas pergi.
"Ara!"
Kutahu jika ibu ingin menahanku, tapi kuabaikan saja karena mau menemui kakak yang sedang di kamarnya.
"Kak Tia, buka pintunya!" Kuketuk berulang kali pintu kamarnya.
Di rumahku memang ada tiga kamar. Kamar ibu, kamar kakak dan kamarku. Kami tidur terpisah walaupun kamarnya tidak besar, tapi cukup untuk beristirahat.
"Apa sih lo? Ganggu aja!" Kakakku membukakan pintu.
"Kak, Ara mau pinjam uang. Seratus ribu saja buat beli beras," kataku terus terang padanya.
"Eh? Pinjam uang sama gue?" Wajahnya seperti merendahkan.
"Iya, Kak. Beras sudah mau habis. Uang ibu juga tinggal dua puluh ribu." Kucoba menjelaskan.
"Hih! Peduli amat. Lo kerja dong! Cari duit sana!" Dia malah mencerca.
"Kak, harusnya Kakak itu kasih uang ke ibu tanpa perlu diminta. Kakak kan masih tinggal di rumah ibu. Makan juga masih nebeng!" Aku mulai kesal.
"Hei, jaga mulut lo ya! Gue juga enggak mau tinggal di sini, rumah jelek kayak gini. Gue terpaksa tinggal di sini karena laki gue belum pulang!" Dia malah menunjuk-nunjuk hidungku.
Niatku sebenarnya hanya ingin meminjam uang. Tapi uang tak didapat, rasa kesal pun lewat.
"Astaga, Kakak. Kakak sudah keterlaluan. Kakak itu lahir dari perut ibu, kenapa Kakak malah berbicara seperti itu? Kualat baru tahu rasa!" Aku benar-benar kesal padanya.
"Eh! Asal lo tahu, ya. Gue juga enggak mau lahir dari perut ibu lo. Perut orang miskin! Lagipula kalau gue punya uang, itu uang gue bukan uang ibu. Sekalipun dikasih laki gue ya buat gue, bukan buat ibu. Ngerti lo?!" Dia kemudian menutup pintu kamarnya dengan kuat.
Astaga ....
Rasanya miris sekali. Tidak tahu kenapa dia banyak berubah sejak merantau ke kota orang. Pergi baik-baik, pulang bawa kabar sudah dipinang.
Ya Tuhan, bagaimana caranya untuk membeli beras?
Aku tidak punya apa-apa untuk dijadikan uang. Cuma punya ponsel butut dengan RAM 512MB.
Kira-kira kalau dijual laku berapa, ya?
Aku berbalik, berjalan menjauh dari kamar kakak, berniat masuk lagi ke kamar ibu. Tapi, kudengar isakan tangis dari sana. Segera saja aku bergegas masuk ke dalam kamar, dan kulihat ibu sedang menangis.
"Ibu ...."
Aku mendekat lalu duduk di sampingnya. Kulihat ibu menangis tersedu-sedu. Seketika hatiku terasa sakit sekali.
"Ibu, maaf."
"Ara, sudah. Jangan pinjam uang lagi sama kakak, ya. Nanti ibu cari pinjaman saja. Sekarang tidurlah, besok masih ada tes masuk kerja, kan?" tanya ibuku.
"He-em."
Aku hanya bisa mengangguk lalu memeluk ibu. Mungkin ibu mendengar percakapanku tadi hingga akhirnya menangis seperti ini.
Ya Tuhan, tunjukkanlah di mana jalan hidupku. Aku ingin membahagiakan ibu. Aku sudah melamar kerja ke sana-kemari, tapi tidak ada satupun yang menerimaku. Ke mana langkah kaki ini harus menuju? Sedang aku tidak tahu-menahu. Tolong aku, Tuhan. Beri aku petunjuk-MU.
Saat ini hanya doa yang bisa kupanjatkan. Semoga saja besok bisa keterima kerja dan membahagiakan ibu. Aamiin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!