Sepasang kaki kecil berlenggak-lenggok riang gembira setelah memakai satu set sepatu pantofel merah muda dengan pita keemasan membuat kepercayaan dirinya meninggi.
Dres selutut berwarna senada sepatunya membuat gadis kecil itu semakin menawan.
Ia mematut-matut dirinya dicermin besar sebuah kamar. Terpesona dengan dirinya sendiri.
"Aiiiih.... cantiknya putri bunda Anna!" puji seorang ibu muda yang tiba-tiba datang membuat gadis kecil itu tersipu malu. Lalu mencium ibu itu dan berbisik,"Emma, tunggu diluar ya, Bunda Anna!"
Kakinya berjinjit perlahan berjalan menuju pintu lalu segera berlari keluar.
Namanya Emma. Usianya baru 8 tahun saja. Ia adalah salah satu penghuni Rumah Cinta, Rumah Panti Asuhan di Bandung Barat.
Emma sejak masih bayi sudah tinggal disana dirawat seorang ibu berhati bidadari bernama Ibu Saleha. Bunda Anna adalah putri pertama Ibu Saleha yang juga ikut terjun berkecimpung didunia sosial mengurus panti asuhan bersama ibunya.
Hari ini ada sepasang suami istri yang akan datang mengadopsi Emma. Proses adopsinya sudah diurus dan hari ini mereka berencana menjemput Emma untuk diangkat anak serta dibawa kekediaman mereka di Jakarta.
Mereka berniat mengangkat Emma anak karena tidak memiliki anak perempuan. Keempat anaknya semua laki-laki membuat mereka rindu ingin mengurus dan merawat anak perempuan.
Emma sangat senang sekali. Angan-angannya memiliki orangtua lengkap yang mengasihinya akan menjadi kenyataan. Ditambah lagi hanya dialah seorang, anak perempuan dirumah orangtua angkatnya nanti membuatnya berfikir kalau ia akan mendapatkan banyak cinta dan kasih sayang.
Membuat Emma tak henti tersenyum dan tertawa bahagia. Bibir mungilnya selalu bersenandung riang sejak kemarin sore Bunda Anna mengabarkannya padanya.
Emma bahagia. Karena semua anak dipanti ini satu persatu telah pergi menjemput kebahagiaannya sendiri bersama orangtua asuh mereka. Hanya dia seorang saja yang masih tinggal diusianya yang sudah 8 tahun. Sementara saudara-saudara sepantinya telah lebih dulu diadopsi. Hanya tinggal Emma dan bayi-bayi mungil dan beberapa batita serta balita.
Emma duduk manis dikursi tamu. Menepuk-nepuk rok dresnya yang sebenarnya tidak kotor. Emma sangat gugup saking antusiasnya. Ia mengingat setiap kata dan nasehat yang ibu Saleha dan Bunda Anna berikan padanya sepanjang malam.
"Emma.... Kamu harus bisa membawa diri ya, nak! Jadi anak baik. Menuruti apa kata orangtuamu nanti!
Juga menyayangi saudara-saudaramu. Meskipun bukan saudara kandung, tapi merekalah kini saudara seayah dan seibumu. Jangan nakal ya, Emma! Jangan pergi keluar tanpa seizin kedua orangtuamu. Ingat ya, sayang!"
Emma menengok keluar jendela. Mereka belum datang juga, gumam hati kecilnya mulai risau. Matanya mencari-cari diujung jalan sana mengharap ada kendaraan yang datang membawa kedua orangtua angkatnya.
Sebenarnya sedari kecil sudah banyak keluarga yang ingin mengadopsi Emma karena terpesona oleh paras cantiknya.
Sayangnya ibu Saleha selalu mempertahankannya karena Emma dititipkan pada mereka ketika usianya baru 2 hari oleh seorang pria setengah baya, yang berjanji akan membawanya kembali diusia 7 tahun.
Pria itu setiap bulan mengirim uang kepada bunda Anna untuk biaya hidup Emma hingga usia Emma 5 tahun. Bahkan nama Emma pun, pria itu yang memberikannya.
Tapi setelah itu, sayangnya pria itu tidak pernah kembali dan juga tidak lagi mengirimkan uang untuk kelangsungan hidup Emma.
Hingga Emma berumur 7 tahun, ibu Saleha dan Bunda Anna selalu menunggu kedatangan pria misterius itu.
Nyatanya hingga kini Emma berumur 8 tahun, tak nampak batang hidungnya. Akhirnya ibu Saleha memberi kesempatan pada orangtua lain yang ingin mengadopsi Emma.
Ibu Farida dan bapak Karim-lah orangtua beruntung yang berhasil mengadopsi Emma setelah mengikuti proses pengurusan surat-surat yang memakan waktu lama.
Emma mengerjapkan matanya. Sebuah mobil bagus berwarna merah metalik memasuki gerbang yayasan panti asuhan tempatnya tinggal. Ia berdebar menunggu seseorang yang keluar dari mobil itu. Matanya tak berkedip ingin melihat bagaimana rupa orangtua angkatnya.
Pintu mobil belakang terbuka. Satu, dua, tiga, empat.... Empat orang anak laki-laki tampan sekali keluar dari balik pintu mobil. Mereka berdiri menunggu penumpang yang duduk didepan turun dari mobil. Ibu dan Bapaknya, bisik hati kecil Emma.
Seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan keluar dari pintu depan mobil. Tubuhnya sintal. Tapi tidak gemuk juga. Memakai kacamata hitam. Terlihat sangat anggun.
Lalu keluar seorang bapak separuh baya dengan topi lebar dikepalanya. Juga berkaca mata hitam membuat mereka nampak berkilau dimata Emma.
"Emmaaa... Mereka sudah datang!" bisik bunda Anna membuat Emma berdiri dari duduknya dan berjalan mengekor bunda Anna.
"Selamat datang, ibu Farida dan bapak Karim! Mari...silahkan masuk! Kalian pasti capek setelah perjalanan panjang dari Jakarta." Ibu Saleha menyambut mereka dengan ramah.
Mereka membuka kacamata hitamnya dan menyambut uluran tangan ibu Saleha dan bunda Anna. Emma masih sembunyi dibelakang bunda Anna. Takut, gugup dan malu-malu.
"Terima kasih atas sambutan ibu Saleha!
Ini anak-anak kami, Ini Diego, sisulung. Umurnya sudah 15 tahun. Ini Roman, 13 tahun. Ini Excel, 11 tahun. Dan itu Rimba 9 tahun. Hehehe... Umur mereka hanya selisih 2 tahun saja!" pak Karim memperkenalkan putra-putranya satu persatu.
Mereka menyalami ibu Saleha dan bunda Anna. Terlihat sangat sopan dan manis membuat Emma tersenyum lega. Sepertinya kakak-kakaknya akan menyayanginya juga nanti, fikirnya tenang.
Terlebih mereka semua sangat tampan. Mereka mewarisi kecantikan ibu Farida dan ketampanan pak Karim. Sepertinya darah Eropa dari keturunan pak Karim lebih mendominasi visual bule mereka. Emma berdebar senang mendapatkan saudara-saudara yang tampan luar biasa.
"Siapa gadis cantik ini, yaaa?" tiba-tiba ibu Farida menarik tangan Emma dengan senyum menggoda. Emma terkejut dan menunduk ketakutan.
"Inilah Emma. Ibu Farida pasti sudah lihat fotonya khan?!?"
"Cantiknyaaaa.... Lebih cantik dari fotonya."
"Salam, nak pada kedua orangtuamu!" perintah ibu Saleha dengan suara lemah lembut membuat Emma segera menyodorkan jemarinya mencium tangan ibu Farida dan pak Karim.
"Aiiiih...manisnya, pih..! Anak perempuan kita!" ujar bu Farida pada suaminya.
"Siapa namamu, nak?" pak Karim menanyain Emma.
"Emma, pak!" jawab Emma malu-malu.
"Jangan panggil bapak. Panggil papi, ya?!? Seperti kakak-kakakmu yang lain. Ini mami! Jangan panggil ibu!" kata pak Karim membuat bola mata Emma yang coklat mengerjap senang.
"Iya papi!" tutur Emma membuat pak Karim dan bu Farida tersenyum.
"Anak pintar!.. Kenalan dulu sama kakak-kakakmu, ya?!"
"Hai Emma!... Kami kakak-kakakmu. Senang rasanya kini kami punya adik perempuan!" kata Diego membuat Emma tersenyum semakin bahagia.
Mereka semua bersalaman. Hanya Rimba yang berwajah datar tanpa senyuman kepada Emma. Emma dapat mengerti kalau Rimba sepertinya cemburu dan takut kehilangan kasih sayang papi mami dan ketiga kakaknya setelah Emma datang ditengah-tengah mereka.
"Sepertinya perkenalan sudah selesai. Kami rasa, kami mohon pamit sekarang. Emma akan kami bawa serta, bu Saleha! Kami mohon doanya, semoga Emma kerasan dan betah tinggal bersama kami di Jakarta nanti."
"Kenapa terburu-buru, pak, bu? Santailah dahulu. Kita makan siang dulu!" kata bu Saleha ramah.
"Maaf, bu! Kami khawatir pulang kemalaman karena Diego dan adik-adiknya sekolah pagi esok hari. Kami nanti bisa makan siang di rest area. Terima kasih, atas tawarannya!" ujar ibu Farida sembari merangkul bahu bu Saleha.
Emma mencium tangan ibu Saleha dan bunda Anna dengan mata berkaca-kaca. Merekalah orangtua Emma selama ini. Selama 8 tahun mengurus dan mengasuhnya. Mendidik serta membimbingnya hingga sebesar kini.
Emma menangis memandangi ibu Saleha dan bunda Anna yang semakin jauh dari pandangannya yang duduk dikursi belakang mobil mewah keluarga barunya. Berharap ibu dan bundanya selalu sehat meski kini ia tak lagi bersamanya.
Apakah kebahagiaan Emma akan terus berlanjut diepisode berikutnya? Tunggu terus lanjutan ceritanya yaaaaa...
💞BERSAMBUNG💞
"Cengeng banget, sih!?! Kayak orang yang ga bakalan ketemu lagi aja!" gerutu Rimba ketus melihat Emma yang menangis sesegukan.
Yang lain diam tak bersuara. Bahkan papi dan mami mereka terlihat cuek mendengar Rimba yang memarahi Emma. Emma hanya diam. Berusaha menahan tangisnya.
Mereka lalu berhenti disebuah restaurant yang megah dan mewah dipinggir jalan. Emma terpukau melihat dekorasi dan tatanan interiornya yang begitu indah. Mata polosnya tidak bisa menutupi kekagumannya melihat isi resto itu. Kagum.
"Norak!" lagi-lagi Rimba membulinya.
"Stop it, Rimba! Ini masih diperjalanan! Jaga sikapmu!" gertak Diego membuat Emma merasa senang, karena kakak tertuanya membelanya.
Rimba mendelik kesal. Menendang sepatu Emma membuat gadis kecil itu meringis.
Mereka duduk didepan satu meja besar yang memang diperuntukkan keluarga besar. Masih diam tak bersuara kecuali papi Karim yang memanggil waitres dan memesan makanan.
Emma canggung dengan situasi ini. Meski ia hanya tinggal di panti asuhan dan diurus oleh ibu Saleha dan bunda Anna, tetapi suasananya tidak sedingin ini. Mereka seringkali tertawa bercanda ketika duduk bersama dimeja makan. Banyak kata dan cerita membuat mereka akrab satu sama lainnya.
Emma terkesima ketika menerima seporsi steik. Hanya sepotong daging yang diguyur saus mirip kecap ditambah beberapa potong kentang goreng, rebusan wortel dipotong dadu panjang dan buncis serta brokoli saja. Ia melihat piring sekelilingnya. Sama. Kecuali Rimba yang mendapat setangkup burger jumbo.
Mana nasinya? tanya hati kecil Emma bingung. Belum lagi matanya mencari sendok disekitar piringnya.
Tidak ada.
Hanya garpu dan pisau saja.
Mana sendoknya? lagi-lagi hatinya membathin.
Rimba memperhatikan Emma dengan seksama. Bibirnya menyunggingkan senyuman mengejek. Emma menunduk takut menatap mata Rimba langsung. Meski Rimba setahun lebih tua usianya dari Emma, tapi Emma jadi kurang respek karena sikapnya yang jahat menurut Emma.
Suasana makan begitu dingin cenderung menyeramkan. Emma curi-curi pandang pada papi Karim. Ternyata papinya itu terlihat begitu garang, berbeda dari sikapnya yang tadi begitu manis didepan ibu dan bunda. Emma merasa detak jantungnya lebih cepat karena rasa takut mendominasinya.
Mereka makan dengan cepat tanpa suara tanpa kata-kata. Bahkan suara garpu dan pisaupun nyaris tak terdengar kecuali pisau dan garpu Emma yang sesekali berdecit beradu dengan piring keramik steiknya.
Emma menahan nafas sebentar, berusaha kembali meniru gaya mereka. Tapi lagi-lagi tak ada suara kecuali sepasang mata milik mereka sekeluarga mengawasi gerak-gerik Emma membuat merinding bulu kuduknya.
Sependiam inikah keluarga ini? gumam hati kecil Emma.
Emma hanyalah bocah perempuan berumur 8 tahun. Hanya bisa diam tak berani berkata apalagi bertanya. Fikirannya masih terlalu polos untuk mencerna semua yang terlihat ganjal dimatanya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Diam dan hening. Bahkan mami Farida pun seolah malas bersuara. Biasanya ibu-ibu cenderung bawel dan lebih berisik dibanding bapak-bapak kaum pria. Tapi mami Farida berbeda.
Sebuah gerbang besar berlapis sekat warna hitam gelap bahkan tak tembus pandang terbuka setelah papi Karim menelpon. Lagi-lagi Emma terpukau.
Canggih sekali! pikirnya takjub.
Mobil yang mereka tumpangi masuk kedalam. Terhampar kebun bunga yang sangat indah mempesona membuat Emma kembali menganga. Waaaah, indahnya! seru hati kecilnya.
Tak lama kemudian sebuah bangunan besar tinggi menjulang berdiri tegak seiring berhentinya mobil Mitsubishi Xpander merah metalik yang membawa Emma dan keluarga barunya.
Semua turun. Demikian juga Emma. Matanya terbelalak dengan semua keindahan yang ada. Alangkah senangnya Emma mengetahui betapa kaya rayanya papi maminya itu. Hatinya begitu gembira, terlihat dari raut wajahnya yang cerah ceria.
"Emma! Kamarmu diatas, arah kanan paling pojok. Bawa barangmu sendiri! Dirumah ini semua mandiri, kerjakan sendiri. Karena kami tidak punya pembantu! Faham?" kata papi Karim tegas. Emma mengangguk pelan.
"Awas, kalau kau salah masuk kamarku!" ancam Rimba membuat Emma menelan ludah gugup.
"Ayo, semua balik ke kamar masing-masing! Istirahat, jangan lupa PR kalian! Besok harus bangun pagi-pagi, mengerti semua?" mami Farida memberi perintah. Dan tak seorangpun membantah sekalipun langkah mereka terlihat gontai malas-malasan.
"Termasuk kau, Emma!" tunjuk mami Farida membuat Emma degdegan dan mengikuti langkah kakak-kakaknya yang menaiki anak tangga.
Emma celingak-celinguk kebingungan. Arah kanan paling pojok? Dimana kamarku? hati kecilnya bersuara samar.
"Kak Diego! Dimana kamar Emma?" Emma sedikit berteriak memanggil Diego. Karena Diego kakak paling besar dan terlihat lebih manis menerimanya.
Diego menoleh. Wajahnya terlihat angker. Tapi tangannya menunjuk kearah pintu paling pojok dikanan Emma. Emma mengangguk hormat, seraya mengucapkan terima kasih.
Diego kembali pada tujuannya. Kamarnya. Setelah Excel, Roman dan juga Rimba masuk ke kamarnya masing-masing.
Lantai dua rumah mewah itu begitu luas dan berkilau. Kamar-kamar berjejer bak pintu kamar hotel bintang lima.
Emma membuka pintu kamarnya perlahan. Nyaris kosong tak ada apapun. Bahkan selembar kasur dan lemari kecilpun tak ada. Hanya tumpukan selimut dan bantal guling teronggok dipojokan. Jendela kaca yang besar pun tak terpasang tirai. Emma mengelilinginya berputar. Besar memang, tapi kosong melompong.
Emma lagi-lagi bingung. Hanya duduk lesehan dilantai keramik putih yang terlihat berdebu setelah menaruh tas ransel dan plastik jinjingannya dilantai.
Apakah aku salah masuk kamar? gumam Emma penuh tanda tanya.
Tapi tadi kak Diego tepat menunjuk kearah sini. Dan ini benar kamar diposisi kanan paling pojok. Tapi,.... kenapa kamar ini lebih mirip kamar kosong? Bahkan lebih tapat jika dianggap gudang! Bahkan jendela besarnua pun tidak diberi gorden.?!?!?
Emma bergidik membayangkan kalau ada bayangan hitam menghantuinya dibalik kaca jendela yang sangat jelas melihat suasana malam diluar yang gelap dan mencekam.
Emma terpekik sendiri berlari mengambil selimut dan menarik bantal guling, bersembunyi meringkuk didalamnya. Hhh...
Emma takut sendirian. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tak berani bertindak apa-apa. Hanya diam dibalik selimut tebal yang berbau apek saking lamanya tidak pernah dicuci.
Airmata Emma berlinang, mengingat ibu Saleha dan bunda Anna. Dipanti asuhan meski sederhana, Emma selalu merasa hangat dan semua menyayanginya.
Tidak seperti disini. Emma merasakan kesepian. Padahal baru saja satu dua jam ia tinggalkan. Emma kangen ibu dan bunda! Hanya tangis kesedihan yang menemaninya didalam kamar besar ini.
💞Bersambung💞
Matahari bersinar malu-malu. Cahayanya masuk menerobos jendela kaca kamar Emma yang tiada bergorden itu.
Membuat gadis mungil itu menggeliat merasakan hangatnya mentari pagi yang menyentuh kulit halusnya.
"Ckckck..... Enak sekali nona muda ini tidurnya! Bangun!!! Bangun!!!!"
"Mami!" Emma bangun segera. Kaget sekali ketika penggaris kayu yang besar itu menempel dipaha kecilnya. Cukup pedas terasa akibat gebukan ibu Farida.
"Mami, mami!!! Tidak ada mami disini! Panggil aku NYONYA! Paham?"
"Ma ma baik Nyo..nya!"
"Bangun! Ikuti aku! Cepat!! Kalau tidak, kayu ini akan lebih keras memukulmu!"
Emma tergopoh-gopoh mengikuti Ibu Farida yang berjalan cepat didepannya.
"Tugasmu setiap pagi adalah membuatkan semua tuan muda segelas susu. Masak airnya dahulu! Direbus! Jangan pakai air panas yang di dispenser. Karena semua putraku pasti akan tahu, kalau susunya dibuat dari air dispenser! Mengerti?"
"Emma tidak bisa menyalakan kompor, Nyonya!"
"Apa???? Umur 8 tahun tidak bisa menyalakan kompor? Apa saja yang kau pelajari dirumah panti asuhan, hei nona manja?"
Emma hanya menunduk dengan airmata berlinang. Perutnya keroncongan, tapi ibu angkatnya justru menatarnya dengan kejam. Jangankan sepiring nasi goreng untuk sarapan, segelas air putih pun belum masuk melewati kerongkongannya pagi ini.
"Jangan menangis! Ikuti aku!! Nih, nih.... nih perhatikan caranya menyalakan kompor gas!"
Cetek... Cetrek....
"Nih, nih lihat pakai matamu, Emma! Fokus!!!"
Berkali-kali nyonya Farida mencubit lengan Emma. Membuat gadis kecil itu meringis menahan sakit dan airmata.
Hingga akhirnya setelah setengah jam, Emma berhasil juga menyalakan kompor gas sendiri.
"Masak air! Ambil airnya dari sini! Hei bodoh! Jangan pakai gula!! Ya ampuuuun.... bodohnya kau ini! Haish, rugi aku mengadopsimu jika begini! Hhhh.....!"
"Oya! Tugasmu juga membangunkan Diego, Roman, Excel juga Rimba setiap pagi mulai besok! Ingat! Kamu harus bangun lebih pagi! Setelah kamu membuat susu dan menaruhnya dimeja makan, cepat bangunkan mereka!"
Emma meloncat ketakutan. Ketika nyonya Farida menggebrak meja kompor dengan penggaris kayu yang ada ditangannya.
Gadis kecil itu segera bergegas menaiki anak tangga yang megah bertilamkan permadani berwarna merah marun dengan pinggiran benang emas itu.
"Emmaaaaaaa!!!"
Emma kembali tersentak. Mendengar lagi teriakan nyonya Farida yang bagaikan auman singa.
"Ah, iya nyonyaaaaa!?"
Kaki kecilnya kembali turun, menapaki anak tangga yang tadi telah ia jangkau.
"Anak bodoh! Aku belum selesai menerangkan, kau sudah terbang melesat seperti busur panah!"
Cetak.
Dahi Emma memerah panas seketika. Nyonya Farida menyentilnya tanpa perasaan.
"Itu tugasmu mulai besok! Sekarang, bawa susu-susu ini ke meja makan! Tapi sebelum itu, pastikan dulu keadaan meja dalam keadaan bersih tak ada piring atau gelas kotor! Lalu lap dengan lap bersih setelah kau semprot cairan pembersih kaca yang ada disudut jendela. Mengerti?"
"I iya nyonya!"
Emma membawa beberapa gelas berisi susu yang tadi ia buat kemeja makan. Merapikan piring-piring dan gelas kotor lalu membawanya kembali ke wastafel.
"Ingat! Bangunkan Diego dengan hati-hati. Dia kalau tidur, posisinya selalu tengkurap. Tepuk saja punggungnya. Anak itu pasti akan segera bangun! Tapi awas, Diego bisa mengaum seperti macan! Lalu Excel, paling mudah membangunkannya. Cukup tarik kabel headset yang ada dikedua telinganya. Excel pasti bangun!
Untuk Roman,... elus-elus saja poni rambutnya. Tapi hati-hati, wajahmu bisa jadi samsaknya. Hahaha...! Dan terakhir, si bungsu Rimba."
"Sekarang, kau kembali ke kamar dan mandi dengan cepat! Kami tidak suka memelihara babu yang kotor dan bau! Faham?"
Deg.
Emma pergi meninggalkan nyonya Farida dengan hati hancur berkeping-keping.
Ternyata dirinya hanyalah dijadikan seorang pembantu. Bukan diadopsi untuk dijadikan anak angkat. Apalagi anak kesayangan.
Tangisan Emma pecah dikamar mandi kamarnya yang luas dan bergema. Teringat wajah-wajah bunda Anna dan ibu Saleha.
"Bunda Anna..... ibu Saleha....! Hik hik hiks... Emma kangen kalian!!!!"
💞BERSAMBUNG💞
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!