NovelToon NovelToon

Silence

Prolog

*Mohon maaf kepada para Authors yang ingin saling dukung, jangan boomlike tanpa baca ya. Mari kita saling menghargai ****🤗****Happy reading**📖📖*

“Kalian mau ikut Papa atau mama? Kalau kalian pilih mama, kita tidak akan bertemu lagi selamanya.”

Pertanyaan dari Papa membuat kami berdua, aku dan adikku, yang sedang berdiri di depan pintu, terdiam dalam kebimbangan. Tubuh kami bergetar karena berusaha menahan air mata yang sudah siap meleleh.

Kami tidak mau memilih salah satu. Kami hanya ingin kondisi kembali seperti dahulu. Namun, bibir kami kaku untuk mengucapkannya.

Lama Papa menatap kami berdua. Hingga kemudian dia memutuskan atau lebih tepatnya mengambil kesimpulan sendiri. “Ok, tidak masalah. Kalian bisa tinggal bersama mama. Jaga diri kalian baik-baik.”

Tanpa menunggu respons dari kami, Papa melangkahkan kakinya dengan cepat. Melewati kami begitu saja, lalu membuka pintu dan menghilang dari pandangan kami.

Saat itu aku berumur dua belas tahun dan adikku, Maylin, berumur sepuluh tahun. Diusia yang dini itu, aku dipaksa untuk mengerti bahwa tidak semua keluarga dapat berakhir bahagia.

Aku tidak terlalu ingat, sejak kapan hubungan papa dan mama memburuk. Yang ku ingat, berawal dari cekcok. Lalu perbedaan argumen hingga mulai berdebat. Kemudian pertengkaran selalu terjadi setiap mereka membicarakan sesuatu.

Aku dan Maylin pada saat itu hanyalah anak kecil yang tidak berdaya. Yang hanya bisa melihat dan mendengar mereka bertengkar tanpa bisa berbuat apa-apa.

Setiap  mereka usai bertengkar, papa meninggalkan rumah berhari-hari. Sedangkan mama menangis seharian di dalam kamar. Namun, papa kali ini pergi dari rumah ini untuk selamanya.

Aku dan Maylin membuka pintu kamar mama. Seperti biasa, terlihat Mama sedang menangis pilu di atas ranjang. Hatiku tersayat mendengar tangisannya.

Sambil menangis dengan keras, Maylin menghambur ke pelukan Mama sementara aku berjalan pelan mendekati mereka.

Aku berusaha keras tidak ikut menangis, tapi kandung air mataku tidak mau berkompromi. Hingga beberapa bulir air mata, akhirnya menetes membasahi pipiku.

Aku sangat sakit hati. Padahal, selama ini papa sangat menyayangiku dan memanjakanku. Aku selalu membanggakannya di depan teman-teman.

Apakah perasaan kasih sayangnya kepadaku, tidak cukup kuat membuatnya mempertahankan keluarga ini? Teganya papa meninggalkan kami.

Aku menyimpan kenangan buruk itu di lubuk hati paling dalam. Kenangan yang selamanya tidak akan pernah aku lupakan.

Saat itu, di suatu hari Minggu, pukul tiga sore. Hari di mana seharusnya sebuah keluarga menghabiskan waktu bersama. Namun, tidak berlaku untuk keluargaku.

*****

2 Tahun kemudian

Seperti biasa, Tante Fifi, kakak dari mama, datang ke sekolahku mengambil rapor. Tante Fifi memasang senyum bangga, pada saat Guru Wali kelasku menjelaskan nilai yang ada di dalam rapor.

“Rayla anak yang penurut dan prestasinya juga bagus. Saya rasa Rayla cocok melanjutkan bidang Manajemen atau Akuntansi,” tutur Guru Waliku mengemukakan pendapatnya.

Sepanjang jalan, aku dan Tante Fifi tidak berhenti tersenyum. Aku berhasil lulus SMP dengan nilai yang bagus. Aku tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan menunjukkannya kepada mama.

Tidak lama kemudian, sebuah bangunan rumah yang sudah kutinggali sejak kecil itu mulai terlihat. Aku langsung berlari masuk. Tante Fifi tertawa melihat kelakuanku.

“Mama! Mama!” teriakku ketika sudah masuk ke dalam rumah.

Aku melihat Mama yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku tidak begitu memperhatikan raut wajah mama. Yang ada di dalam pikiranku saat itu hanya ingin segera menunjukkan raporku kepada beliau.

“Lihat deh, Ma! Aku berhasil lulus dengan nilai terbaik.”

Aku berharap Mama ikut merasa bangga kepadaku, tapi ternyata respons yang ku dapatkan tidak pernah terlintas dalam benakku.

“Mama sibuk, Rayla. Sudah lulus, lanjutkan pendidikanmu ke SMA yang kamu inginkan. Kamu dan Agatha sudah pergi daftar? Berapa uang pangkalnya, kamu beritahu Mama lagi. Nanti Mama akan siapkan uangnya. Mama pergi dulu, ya.”

Kemudian Mama pergi dengan langkah terburu-buru. Aku mendengar suara Tante Fifi yang memanggil Mama. Mama menjawab, dia harus cepat-cepat ke Restoran karena banyak pekerjaan.

Aku memutar balik tubuhku. Punggung belakang mama terlihat semakin mengecil hingga akhirnya menghilang dari pandanganku.

Tanganku tiba-tiba tidak bertenaga. Buku tipis yang tadinya sedang kugenggam, seketika terasa berat hingga akhirnya jatuh ke lantai.

Saat itu, aku merasa sia-sia semua jerih payah yang kulakukan agar mama mau memberikan waktunya sebentar untukku. Mama selalu sibuk. Jarak di antara kami terbentang semakin jauh .

Usiaku yang baru empat belas tahun, ketika itu pun baru mengerti, janganlah terlalu berharap pada seseorang. Karena ketika dia tidak mampu memenuhi harapanmu, kekecewaan akan menghiasi harimu.

Hai Readers, semoga cerita ini kalian suka. Tolong kasih ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ 5stars sebagai dukungan semangat buat aku ya. Jangan lupa tambahkan ke Favorite lalu tinggalkan Komentar, Vote, Like dan Hadiahnya ya guys. Terima kasih 🙏

Bab 1

Happy reading 📖📖 guys

Aku meregangkan otot tangan dan kaki setelah menjalani kesibukan seharian. Kemudian aku mengambil gelas yang berisi kopi, lalu meneguknya hingga habis.

Maylin akan mengoceh kepadaku jika dia tahu kalau aku hari ini sudah menghabiskan tiga gelas kopi.

“Lo akan cepat mengidap penyakit osteoporosis sebelum waktunya, La. Apakah lo tidak bisa berhenti konsumi kafein itu? Atau setidaknya kurangi porsinya sedikit demi sedikit.”

Aku tahu itu. Hanya saja aku sudah kecanduan kopi. Sulit untuk berhenti. Aku pernah mencoba tidak mengopi disuatu pagi. Hasilnya, aku merasa pusing dan lemas seharian sehingga mengganggu pekerjaanku.

"Semua itu hanya alasan yang ada di otak lo," Maylin mendengus sambil menggeleng kepala karena mendengar jawabanku itu suatu kali.

Aku kembali menguap untuk kesekian kalinya. Efek kafein sudah tidak berguna banyak lagi bagi tubuhku.

Aku menatap jam di meja yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku bergegas merapikan barang-barang yang ada di meja. Tiba-tiba suara pesan masuk berbunyi ketika aku meraih ponselku.

Erik: Hari ini banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, jadi aku tidak bisa mengantarmu pulang. Maaf ya, Beb.

Erik: Oh ya, masih ingat perihal tentangaku akan berangkat ke Aussie minggu depan? Besok malam kita harus pergi dinner, ya. Aku jemput jam lima sore. Bye, love you, Beb.

Me: Ok. No prob.

Setelah selesai mengetik balasan untuk Erik, aku pun berjalan dengan cepat meninggalkan ruangan.

Jarak dari kantor-rumah membutuhkan perjalanan kurang lebih sekitar satu jam dengan busway. Aku lebih suka menggunakan kendaraan umum karena kemacetan di Jakarta tidak pernah mengenal waktu.

Ok. Itu hanya alasan saja. Sebenarnya aku malas terlalu awal sampai di rumah. Aku tidak mau mendengar rentetan omelan mama yang tidak pernah ada habisnya.

Aku mulai membangkang saat usiaku mulai menginjak umur dua puluh tahun. Setiap ucapan yang dilontarkan mama, aku selalu membantahnya sehingga wajah mama memerah karena emosi.

Sikapku ini memang terkesan anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya, tapi, ini bukan atas dasar kemauanku. Juga bukan kesalahanku. Aku sudah terlalu letih menjadi anak yang baik, penurut, dan rajin.

Setelah ditinggal papa, sikap mama terhadap kami semakin otoriter. Terutama terhadapku. Mama seola-olah menjadikan kami sebagai tempat pelampiasan dari rasa kekecewaan dan sakit hatinya.

Mama tidak pernah berpikir, bukan hanya dirinya yang tersakiti, aku dan maylin juga sama-sama terluka. Kami berdua adalah korban dari keegoisan mereka.

Saat mama sibuk dengan dunianya sendiri, tante Fifi lah yang lebih banyak berperan dalam hidup kami.

Beliau selalu memperhatikan kami, mengutamakan kami dan mengerti apa yang sedang kami pikirkan tanpa mengutarakannya terlebih dahulu. Tante Fifi menggantikan peran seorang ibu yang seharusnya dilakukan mama untuk kami.

Kakiku berhenti melangkah begitu sudah sampai di gerbang pintu rumah. Aku tidak langsung membukanya. Kutatap bangunan itu dengan pandangan kosong dan sebuah perasaan nyeri di dalam hatiku menyergap masuk.

Bagiku, bangunan di depan mataku ini tidak lebih hanya sebagai tempat untuk menghindari dari hujan dan kelaparan.

Aku membuang napas dengan keras. Perlahan aku membuka pintu dan melangkah masuk. Begitu pintu rumah telah terbuka, tidak ada siapa-siapa di dalam. Tidak terdengar suara apa pun selain suara napasku. Kosong. Sama seperti kondisi dalam hatiku.

Perbedaan antara aku dengan anak yatim piatu yaitu, aku tidak akan di bully teman-teman, karena aku masih memiliki orang tua. Ya, orang tua yang hanya berperan di atas kartu keluarga.

*****

Setelah mandi, aku memutuskan untuk merebus mie instan. Karena terlalu sibuk bekerja, aku sampai-sampai tidak memiliki waktu untuk makan malam.

Aku tidak melihat mama sedari tadi. Entah apakah dia sedang tidur di dalam kamar atau sedang berkumpul besama teman-temannya di luar.

Aku baru saja selesai merebus mie dan siap untuk melahapnya, ketika Maylin tiba-tiba datang menghampiriku. “Sudah jam berapa ini? Tumben lo masih belum makan malam. Memangnya Erik tidak mengajak lo makan?”

“Erik sibuk. Gue juga lembur,” jawabku pendek, tidak memedulikan sindirannya.

Aku segera menyantap mie dengan lahap. Perutku sudah berteriak minta di isi sedari tadi. “Lo tidak pergi kencan?” tanyaku.

Maylin mengambil air dingin dari dalam kulkas dan menuangnya ke dalam gelas, lalu duduk di depanku. “Tidak. Tadi gue pergi menghadiri acara Bridel Shower-nya Aril. Sabtu ini dia nikah.“

Setelah menghabiskan makan malam dan mencuci mangkuk kotor, aku membuka kulkas untuk mengambil air minum. Kemudian aku hendak berjalan menuju kamar, tetapi Maylin masih duduk di sana dengan mata memandangku.

“Ada apa?” Dahiku mengernyit. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.

Aku kembali duduk di hadapannya. Sesaat Maylin terlihat ragu. Tidak lama kemudian tubuhku menegang setelah mendengar ucapan yang dia lontarkan.

“Apakah Erik tidak pernah membahas pernikahan dengan lo, La? Sekadar mengingatkan, usianya sudah tiga puluh tujuh tahun. Umur segitu umumnya orang-orang sudah memiliki keluarga. Kalau dia tidak pernah membahas pernikahan, berarti dia hanya main-main. Kalau begitu lebih baik di akhiri saja, La. Hubungan yang tidak memiliki masa depan, hanya buang-buang waktu saja.”

Aku tersenyum sambil berusaha menutupi keteganganku saat ini. “Kami baru pacaran tiga bulan, Lin. Mana ada pacaran dalam waktu sesingkat itu langsung menikah? Kami belum saling memahami kekurangan masing-masing. Lagi pula, Selasa depan Erik akan pergi studi ke Aussie selama enam bulan.”

“Perusahaannya memberikan bea siswa untuk melanjutkan studinya di sana. Setelah lulus, dia akan naik jabatan sebagai General Manager,” imbuhku.

Maylin terkejut mendengar ucapanku. “Jadi kalian akan menjalin hubungan jarak jauh selama enam bulan? Aussie?”

Aku memberinya jawaban dengan anggukan kepala.

Maylin mengedik ngeri. “Lo gila, La! Aussie, loh! Di sana banyak cewek bule yang suka berkeliaran dengan tank top tanpa braa. Mereka bahkan menganggap braa sebagai salah satu jenis pakaian yang layak dipakai untuk bepergian keluar tanpa perlu ditutupi t-shirt. Lo tidak takut Erik selingkuh?”

Aku tertawa mendengar ucapan Maylin. Sepertinya dia terlalu banyak menonton drama.

“Cukup lama Erik pernah tinggal di Belanda, tempat neneknya. Apa bedanya dengan Aussie? Dia sudah terbiasa melihat hal-hal seperti itu. Kalau memang dia selingkuh, gue tidak akan tahu karena gue tidak ada di sana. Cewek bule itu juga tidak mungkin ikut dia pulang ke Indonesia, kan?” jawabku dengan santai.

“Yang ada di otak lo itu apa, sih, La? Hubungan lo dengan para pria sepertinya dari dulu tidak ada yang berjalan mulus, deh! Lo, tuh, cenderung cuek kepada mereka. Lo bahkan lebih suka menghabiskan waktu dengan pekerjaan daripada menghabiskan waktu untuk mereka.” Maylin berdecak-decak.

“Hubungan itu butuh dari kedua belah pihak. Saling memberi dan menerima. Kalau lo hanya fokus pada pekerjaan, lo akan jadi perawan tua!” Dengan amarah yang meluap-luap, Maylin bangun dari kursinya, lalu melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba dia berhenti.

“Daripada lo menghabiskan waktu dengan memacari pria-pria itu, tapi ujungnya malah putus, kenapa lo tidak menghubungi Jason saja? Mungkin sebenarnya Jason sedang menunggu lo insiatif menghubunginya terlebih dahulu,” tuturnya. Kemudian dia berbalik, lalu pergi ke kamarnya.

Aku menatap lurus di depanku dengan tatapan kosong. Kenangan masa lalu kembali berputar dalam benakku.

Jason adalah sahabat pria pertama yang hadir saat aku masuk SMA. Perhatian dan kebaikan darinya, membuatku ketergantungan akan kehadirannya dalam hidupku.

Setiap ada masalah, aku selalu mencarinya, melampiaskan semua emosi dan keputusasaanku. Dia selalu menjadi pendengar yang baik, juga menghiburku. Namun, sejak kami lulus kuliah dan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hubungan kami mulai renggang.

Rutinitas komunikasi kami yang awalnya setiap hari, perlahan menjadi dua hari sekali, lalu empat hari sekali, kemudian seminggu sekali, dan akhirnya putus kontak. Terakhir kali, dia mengirim pesan berisi perpisahan kepadaku.

Jason: Kalau gue ingin egois, gue pasti menyuruh lo untuk memilih, tetapi, gue tahu seburuk apa pun orang tua, mereka tetaplah orang tua lo yang sudah bersusah payah mengandung lo dalam sembilan bulan, yang sudah berusaha bekerja keras untuk membiayai kalian agar tetap dapat melanjutkan pendidikan.

Jason: Gue sadar, gue bukanlah pilihan yang terbaik. Karena itu, lebih baik untuk sementara waktu kita konsentrasi mengejar impian masing-masing. Walaupun gue tidak ada lagi di samping lo, tetaplah semangat, La. Masih ada maylin yang membutuhkan lo.”

Setelah mendapat pesan terakhir darinya, aku baru sadar bahwa aku sudah lama jatuh cinta kepadanya. Perasaan yang terlalu nyaman selama bersamanya, membuatku tidak menyadari kalau kehadiran Jason bukan lagi sekadar sahabat.

Dia sudah menempati salah satu ruang di hatiku dan terus tinggal di sana tanpa dapat diusir dengan berbagai macam cara sekali pun.

Orang bilang penyesalan selalu datang terlambat. Itu lah yang aku rasakan saat itu. Perasaan kecewa yang kurasakan kepadanya, membuatku memutuskan untuk tidak membalas pesannya dan tidak pernah coba menghubunginya.

Jika itu yang diinginkan Jason, aku merelakannya. Sama halnya seperti papa, mereka berdua tidak menginginkan diriku, lantas untuk apa aku memaksa mereka tetap bersamaku?

Aku segera menyeka air mata yang ternyata telah membasahi pipiku. Kupejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Berharap dapat memberiku kekuatan untuk menutup kembali luka di hati yang masih belum kering.

Beberapa menit kemudian, setelah aku merasa sudah lebih tenang, kubuka kedua mataku, lalu beranjak dari tempatku, kemudian mematikan semua lampu di ruangan dan berjalan masuk ke dalam kamar.

Jangan lupa tinggalkan Komentar, berikan Vote, like dan Dukungannya supaya aku makin semangat ya guys. Terima kasih🙏Tambahkan juga ke Favorite ya🤗Loph you all😘

Bab 2

Happy reading 📖📖 guys

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku bergegas merapihkan barang-barangku. Deon, rekan kerjaku, yang melihat gerakanku, sambil tersenyum mengejek, berkata, “Dijemput sama yayang lo, La? Enaknya yang punya Doi. Lo kalau punya teman cewek yang lagi single, kenalin ke gue, dong.”

“Sorry. Gue tidak punya banyak waktu dengerin teman gue nangis karena sakit hati sama lo. Lebih baik gue gunakan waktu untuk lembur bikin laporan atau audit sampai tengah malam. Dapat uang lemburan. Lebih bermanfaat,” jawabku.

Deon tertawa. “Nakal sebelum nikah itu kan wajar, La. Gue lihat, lo juga tidak beda jauh sama gue. Sejak lo kerja disini, sudah berapa kali lo ganti pacar?”

Aku menjinjing tas ke bahu lalu berjalan mendekati meja Deon. Kuletakkan kedua tangan di mejanya.

“Seenggaknya gue sedang dalam status single, saat gue melanjutkan hubungan yang baru. Sedangkan lo? Yang satu saja belum lo kelarin, sudah ada yang kedua, ketiga … bisa gue tebak, lo pasti keseringan salah manggil nama mereka,” ucapku sambil memasang senyum termanis padanya.

Deon tertawa terbahak-bahak. “Lo memang paling mengerti gue, deh, La. Kenapa bukan lo sih, yang jadi kekasih terakhir gue?”

“Masih banyak pria lain di luar sana. Gue tidak se-hopeless itu sampai milih lo, Deon. Kalo pun tinggal lo satu satunya pria di dunia ini, gue lebih memilih jadi perawan tua, deh!” Aku tertawa mengejek lalu melambai tangan padanya dan berjalan keluar meninggalkan ruangan.

“Kita mau dinner ke mana?” tanyaku begitu sudah masuk kedalam mobil Erik.

“Bogor. Ada tempat dinner romantis di sana. Dijamin, Say pasti suka, deh!” Erik tersenyum lebar. Dia menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Sedangkan satu tangannya yang lain memegang setir.

Aku menatapnya sejenak lalu menoleh ke arah jalanan. Aku kembali teringat ketika aku bertemu dengannya pertama kali.

Saat itu, aku mengantar mama ke tempat acara kumpul-kumpul dengan temannya. Kebetulan salah satu teman mama adalah tantenya Erik.

Biasanya mama tidak pernah memintaku untuk mengantarnya. Tapi, entah mengapa hari itu mama memaksaku. Bahkan kami hampir bertengkar kalau bukan tante Fifi yang segera menjadi penengah kami.

Akhirnya, dengan berat hati aku mengantar mama. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan apa pun di antara kami.

Ternyata, saat itu mama sengaja meminta salah satu dari temannya untuk mengenalkan keponakannya padaku. Di situlah aku bertemu dengan Erik. Kami bertukar nomor dan mulai berhubungan.

Hampir setiap hari, Erik terlebih dahulu menghubungiku dan mengajakku kencan. Setelah beberapa kali berkencan, Erik pun menyatakan keinginannya untuk melanjutkan hubungan kami lebih dari sekadar teman.

Dia tidak bertanya apakah aku bersedia atau tidak. Dia hanya mengungkapkan keinginannya lalu statusku telah berubah menjadi kekasihnya.

Itulah Erik. Segala sesuatu dia yang memutuskan. Dari tempat berkencan, jam kencan, bahkan barang-barang yang dia belikan untukku. Dia tidak pernah bertanya padaku, apakah aku menyukainya atau tidak? Apakah aku setuju atau tidak?

Sebenarnya, menjalani hubungan dengan pria yang bersifat lebih dominan seperti Erik ini adalah hal yang pertama bagiku. Namun, anehnya aku tidak ambil pusing dengan sikapnya itu. Aku malah cenderung menuruti semua kemauannya.

Pernah disuatu Sabtu, pukul dua belas siang, dia masih nekat menyetir ke Bandung untuk sekadar jalan-jalan ke Paskal Shopping Centre, lalu berakhir dinner di The Valley Bistro. Akhirnya, jam dua belas tengah malam kami baru sampai rumah.

Tante Fifi menungguku di ruang tamu saat itu. Untuk pertama kalinya tante menegurku dan aku merasa sangat bersalah padanya. “Lain kali kalau pulang selarut ini kabari dulu, La. Tidak baik seorang gadis pulang terlalu larut malam.”

Hal itu tidak terjadi hanya sekali, tetapi beberapa kali. Tidak peduli apakah esok hari masih harus bekerja atau tidak, apakah aku letih atau tidak, jika Erik ingin pergi kesuatu tempat, sejauh apapun tempat tersebut dia tetap meluncurkan mobilnya ke tempat tujuan. Karena itu, kami keseringan sampai tengah malam dirumah.

Tante Fifi dan Maylin terlihat tidak menyukai Erik, tetapi mereka tidak mengucapkannya karena mereka menghargai keputusanku.

Yang paling bersemangat hanyalah mama. Setiap mama menemukanku ada di rumah, maka yang ditanyakan adalah bagaimana hubunganku dengan Erik? Dan aku hanya menjawab dengan singkat “Baik”.

Erik adalah seorang anak tunggal dari pengusaha kaya raya. Hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Tempat Erik bekerja pun adalah salah satu dari anak perusahaan papanya yang kelak akan diwariskan padanya.

So, orang tua mana yang tidak akan menolak anaknya dijodohkan dengan pria tajir? Toh, orang tua itu juga akan terciprat keuntungan dari calon menantunya yang kaya raya. Bahkan, tidak peduli apakah anaknya pantas bersanding atau tidak dengan pria yang terpaut tiga belas tahun itu.

Happiness is about collecting material things - Kebahagiaan diukur dari materi yang terkumpul. Hal Itulah yang ada di dalam otak mama.

Aku menoleh ke arah Erik. Alisnya berkerut. Memandangku dengan tatapan bertanya. “What?”

Aku kembali menatap ke jalanan. “Nothing!”

Baru kusadari mengapa aku masih terus menjalani hubungan ini. Ternyata alasan dibaliknya karena aku ingin mengecewakan mama. Ya, Tuhan, jiwa pembangkangku benar-benar tidak terselamatkan.

I’m sorry, mom. But you forced me to be like this. (Maafkan aku, Ma. Kamulah yang membuatku menjadi seperti ini.)

*****

Akhirnya kami sudah sampai di restoran dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Perutku sudah sangat lapar. Jadi, saat aku melihat buku menu, aku sudah akan menyebutkan pesananku, tetapi Erik terlebih dulu menyuarakan.

“Satu tenderloin steak, Satu sirloin steak, Satu caesar salad, dan Dua avocado coffee latte.” Kemudian dia menutup buku menunya dan mengembalikan kepada waitress.

“Tolong siapkan air mineral satu gelas. Dengan es batu yang banyak. Thank’s!” Aku memaksakan senyum kepada waitress dan mengembalikan buku menu padanya. Ya, semoga air dingin dapat mendinginkan otakku yang sedang mulai mendidih.

Butuh waktu menunggu dua puluh menit ketika akhirnya pesanan kami datang. Perutku sudah berjoget ria sejak tadi. Kalau saja Erik tidak memesan steak, aku tidak perlu menunggu selama ini.

“Enak, kan, makanannya?“ tanya Erik, ketika melihatku segera mengiris daging dengan cepat dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku. Aku hanya balas mengangguk.

“Besok malam ada acara dinner karena aku mau ke Aussie. Mama memintamu ikut hadir ke acara itu.”

Mataku mendelik ke arahnya saking terkejutnya. “Acara itu tidak hanya orang tua kamu saja, kan? Masih ada anggota keluarga kamu yang turut hadir? Itu adalah acara keluarga, aku merasa tidak enak. Lebih baik aku tidak perlu hadir.”

Erik tersenyum lebar lalu menjawab, “Kamu adalah calon keluarga kami. Setelah aku menyelesaikan studi di sana dan mendapatkan jabatan GM, kita akan menikah.”

Kalimat itu bagaikan petir yang tiba-tiba datang dengan suara menggelegar. Jantungku berdebar sangat cepat. Nafsu makanku hilang entah kemana. Padahal, tadinya aku merasa sepotong daging sapi ini tidak akan cukup mengenyangkan perutku.

Erik sepertinya tidak memperhatikan perubahan raut wajahku karena dia masih melanjutkan ucapannya. “Aku sudah searching penyedia jasa Wedding Organizer dan ketemu tiga WO yang rekomendasinya bagus. Kita akan foto prewed dan acara pernikahannya simple. Kita adakan acara makan-makan di sebuah restoran hanya dengan keluarga dan teman dekat saja.“

Aku memicingkan mata, tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Erik.

Kudengar dari teman yang akan menikah yaitu dia dilamar dengan romantis, lalu mencari penyedia jasa Wedding Organizer yang dapat diandalkan kemudian menggelar acara pernikahan dengan indah dan berkesan, yang tidak akan pernah dilupakan oleh sepasang pengantin.

Yah, jika pada akhirnya akan berujung dengan perceraian. Aku tidak bermaksud mendoakan mereka bercerai, loh! Aku hanya menyatakan apa yang ada di dalam pemikiranku.

Ada berapa persen suami istri yang tetap hidup bahagia hingga ajal mereka tiba? Ada berapa persen anak-anak yang menjadi korban perceraian dari orang tuanya? Ada berapa persen pria yang menepati janjinya sehidup semati saat mengucapkan janji suci pernikahan di altar?

Nyatanya, setelah berumah tangga, seiring berjalannya waktu mereka pun lupa janji mereka saat itu.

“Kamu pasti bingung ya, Beb? Mengapa pernikahan kita dilakukan secara sederhana? Sebenarnya ini karena umurku. Aku merasa malu di umur segini baru menikah.” Ungkapan Erik membuatku kembali sadar dari pikiranku yang sedang berkecamuk.

“Kita bicarakan lagi setelah kamu balik dari Aussie, ya,“ ucapku sambil mengambil minum dan meneguknya dengan cepat.

Aku berusaha keras mengontrol debaran jantungku dan perasaan tidak nyaman hingga membuat seluruh tubuhku gemetar. Sebisa mungkin aku tidak memperlihatkannya kepada Erik.

“Ok. No problem, tapi kamu harus janji, ya, Beb. Kamu akan setia menungguku sampai aku balik dari Aussie. Deal?” Pertanyaan erik ini terdengar seperti anak kecil yang sedang membuat janji bermain bersama di esok harinya.

“Apa aku terlihat seperti *P*laygirl?” tanyaku.

“Bukan begitu maksudku, Beb. Kamu tahu kalau usia kita terpaut jauh, kan? Aku khawatir saat aku tidak berada di sampingmu, ada pria lain yang umurnya tidak berbeda jauh denganmu, lalu berusaha merayumu dan kamu memilih dia.”

Erik menggenggam kedua tanganku dan kembali berkata, “Selama aku di Aussie, janji padaku, jaga dirimu untukku.”

Aku hanya mengangguk tanpa dapat mengucapkan sepatah kata.

Setelah makan malam berakhir, Erik menyetir mobilnya kembali ke Jakarta. Sepanjang perjalanan dia bercerita mengenai pekerjaannya. Namun, aku tidak menyimak.

Pikiranku melayang kembali percakapan tentang menikah. Menikah? Ya, ampun! Hal ini tidak ada dalam kamus hidupku. Aku harus mencari cara untuk membatalkan keinginan Erik ini.

“Besok aku jemput jam tiga sore. Ingat, make up yang cantik ya, Beb,” tiba-tiba terdengar suara Erik hingga aku tersadar dari pikiran.

Aku menoleh ke kiri. Ternyata sudah sampai di rumah. Segera kulepas seat belt dan memberi kecupan kilat di bibir Erik. “See you tomorrow.”

Kemudian aku turun dari mobil. Aku membalikkan tubuh, menatap Erik yang sedang menurunkan kaca mobil. “Tidak mau mampir sebentar?” tanyaku.

Erik menggeleng. “Sudah larut malam. Aku masih harus menyetir kerumah. Ingat, kan, kalau jarak dari rumahku ke rumahmu butuh empat puluh menit?“

Aku mengangguk lalu melambai tangan padanya dan berjalan masuk kedalam rumah. Erik selalu menggunakan alasan itu untuk menolak mampir.

Jangan lupa tambahkan ke Favorite lalu tinggalkan Komentar, berikan Vote, Like dan Dukungannya ya guys. Terima kasih 🙏🤗 Loph you all 😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!