Suara tenggerek terdengar keras sekali. Wajar, karena saat ini musim panas. Dan aku sedang menikmati musim panas yang membosankan ini. Niatku hari ini aku akan pergi ke toko buku. Tapi aku benar-benar malas untuk keluar dari kamarku yang nyaman ini. Dan kalau aku tidak pergi kesana aku akan bosan akibat tidak adanya hiburan pada saat ini. Setelah kupikir pikir kembali, mungkin aku lebih baik pergi untuk melepaskan kebosananku ini. Lagian jarak antara rumahku dan toko buku itu tidaklah jauh. Aku pun bersiap siap siap dan keluar menuju toko buku.
Suara tenggerek semakin keras terdengar, jalanan yang kulalui ini biasanya ramai disaat sebelum musim panas datang, tapi hari ini benar benar kosong, hanya ada beberapa orang yang sepertinya tidak mendapat libur kerja dan anak-anak yang asik bermain tanpa mempedulikan cuaca panas ini. Padahal hari ini benar benar panas, panas sekali. Matahari benar-benar seperti berada di atas kepalaku. Lama-lama aku bisa mati cuma gara-gara kepanasan. Rumahku dan toko buku yang akan kutuju hanya berjarak 300 m. Tapi karena panas membara ini aku merasa seperti menempuh jarak 1 km dengan berjalan kaki. Nafasku mulai berat, padahal baru setengah perjalanan yang kutempuh.
“Seharusnya aku tidak keluar dari kamarku.” aku menyesal atas keputusanku sendiri.
Tapi penyesalanku hilang begitu tiba di toko buku. Pintu otomatis pun terbuka begitu aku berada dihadapan pintu. Udara sejuk keluar dari toko itu. Aku pun masuk dan merasakan kenyamanan seperti berada di kamarku.
“Ahh, sejuk sekali.” aku merentangkan tanganku tanpa mempedulikan sekitar. Toh gak ada orang disekitar sini. Tapi ada seseorang yang memperhatikanku. Tertawa dan menyapaku.
“Alan, apa yang sedang kau lakukan? Berperilaku seperti orang bodoh.” ejek seorang lelaki besar dengan seragam penjual toko.
“Ah, Pak Manager. Aku hanya merasa hidupku kembali begitu memasuki toko bobrok ini.” aku tersenyum tak mau kalah dengan ejekan sang manager itu.
“Hey, sebut toko ini bobrok lagi kau akan kehilangan ‘anu’mu itu.” Jarinya menunjuk ke arah bagian bawahku.
“Apapun selain itu” jawabku sambil melindungi bagian bawahku. “Oh iya, minggu lalu kau bilang ada buku baru yang akan datang hari ini. Dimana buku-bukunya sekarang?”
“Oh itu, buku-bukunya sudah kuletakkan di rak buku baru.” manager menunjuk ke salah satu rak didepannya. “Padahal baru datang tadi pagi, kamu benar benar tidak sabar melihatnya?”
“Ya begitulah, ada buku yang ingin aku baca dan harganya waktu itu masih mahal. Jadi mungkin saja ada disini.” Aku berkata seraya berjalan kearah rak buku yang ditunjuk tadi.
Berada di hadapan banyak buku terkadang membuatku bingung untuk memilih buku mana yang akan aku beli. Tapi karena aku sudah berencana membeli salah satu buku itu menjadi cukup mudah. Tetapi tetap saja ada yang sulit disitu. Mencari bukunya.
Jari jemariku kesana kemari mencari buku yang kuinginkan. Banyak buku juga yang membuat penasaran di rak buku baru. Tetapi aku lebih fokus untuk mencari buku targetanku. Setelah 15 menit aku mencari buku itu, akhirnya aku menyerah. Tidak ada buku yang aku cari. Akhirnya aku pun bertanya kepada manager.
“Ooi Manager! Ada gak buku yang judulnya ‘kematianku’?” aku berteriak sedikit karena jarak antara aku dan Managernya cukup jauh.
“Kematianku??? Gak ada buku berjudul seperti itu disini!” jawabnya kesal karena merasa terganggu ketika sedang membaca komik kesukaannya.
“Manager gak guna. Inget umur kek.” pikirku ketika melihatnya membaca komik Doraemon dengan asik.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencari buku dari rak-rak yang lain. Siapa tau aku menemukan buku yang menarik. Jari jemariku kembali menari-nari menjelajahi rak-rak buku. Hingga jariku berhenti ketika mendengar suara buku terjatuh didekatku. Aku pun melihat ke arah buku itu. Karena penasaran, aku pun mencoba mengambilnya. Ketika aku mengambilnya, tiba-tiba tanganku seperti tersentak sesuatu.
“Aw!” Aku merintih kecil karena itu sedikit sakit. Tapi itu tidak menghentikanku untuk mengambil buku yang terjatuh itu.
“Buku apa ini?” Aku membolak-balikkan buku itu dan membuatku keheranan. “Tak ada nama penulisnya?” dan yang paling aneh adalah judulnya. Aku bahkan tidak tau bahasa apa yang tertulis dibuku itu. Aku tidak bisa membacanya.
Aku membuka halaman-halaman yang ada di buku itu. Tidak ada, tidak ada tulisan apa pun. Aku buka dari halaman paling awal sampai paling akhir, tidak ada. Tidak ada sama sekali tulisan di buku itu. Aku pun menutup dan meletakkan kembali buku aneh itu. Tapi saat aku hendak meletakkan bukunya, disitu sama sekali tidak ada sela atau ruang untuk buku itu. Dan akhirnya aku bawa saja ke tempat Manager.
“Oi Manager, ini buku apa? Sama sekali gak ada tulisannya. Bahkan judulnya entah bahasa planet mana.” aku meletakkannya di kasir depan Manager. Tapi Manager itu malah asik dengan komiknya dan tidak mempedulikanku. Sekedar berkata “hmm.” dan “hmmm hmmm.” itu benar benar membuatku jengkel.
“OOI!!” kali ini aku memanggilnya dengan keras sampai-sampai dia berteriak dan komik yang dia pegang terlempar keatas.
“Apaan sih ngagetin aja!” dia berteriak kesal padaku. “Buku apaan tuh? Belum pernah aku melihatnya” dan dia baru menyadarinya sekarang.
“Coba aja cek sendiri.” aku menyodorkan buku itu padanya. Dia melakukan hal yang sama sepertiku dan dari raut wajahnya, dia terlihat kebingungan.
“Aku gak ingat menyimpan buku kayak gini.” dia menyodorkannya kepadaku. “Lagian gak ada tulisannya. Ambil aja bukunya. Dan jangan ganggu aku lagi.” aku pun menerima buku itu. Toh bisa buat buku catatan. Udah lumayan.
“Ya udah, aku bawa buku ini. Dan kayaknya aku gak jadi beli buku. Aku gak tau mau beli buku apa.”
Manager mengkode dengan tangannya seperti berkata “iya sudah sana jangan ganggu aku lagi” aku pun tersenyum melihatnya sudah asik dengan komiknya lagi saat menyuruhku pergi. Aku pun keluar toko dan beranjak dari sana.
Beruntungnya aku kali ini, awan menutupi jalanan dari sinar matahari yang ganas. Dengan santai aku berjalan menyusuri trotoar menuju rumahku. Tetapi, disitulah akhirnya.
Di trotoar seberangku, seorang anak mengejar bola yang terlempar ke arah jalan raya. Tanpa menyadari adanya mobil yang melaju sangat kencang ke arahnya. Dan seketika itu, aku mendorong anak itu kembali ke trotoar. Anak itu selamat, selamat dengan bayaran nyawaku. Aku merasa terlempar dengan jarak yang cukup jauh. “Ahh, aku mati ya? Masih banyak yang belum aku lakukan di dunia ini” pikiran-pikiran seperti itu terngiang-ngiang dalam kepalaku. Hanya sesaat, sesaat yang benar-benar menyakitkan.
Beginikah sakitnya kematian? Aku samar-samar melihat mobil itu pergi dengan cepat. Anak kecil yang mematung melihatku. Buku itu. buku itu memancarkan sinar gelap. Gelap sekali. Penglihatanku hilang. Hilang. Gelap.
Aku mendengar sesuatu. Suara detak jantung. Apa ini jantungku? Perlahan aku membuka mata. Masih gelap. Tapi aku merasa bahwa aku masih hidup. Aku melihat sekelilingku dan terhenti, ketika aku melihat setitik cahaya di depanku. Aku berlari mendekatinya. Berlari secepatnya. Berharap ada keajaiban disana. Tapi setelah mendekati cahaya itu, aku menyadari itu bukanlah cahaya. Melainkan buku aneh yang aku terima dari toko buku. Dan aku melihat sesuatu lagi. Buku itu di pegang oleh seseorang. Seorang wanita, tapi dia terlihat sangat gelap. Seperti hanya bayangan. Dia bertanya kepadaku. “Apa kamu ingin hidup?” aku mengangguk cepat. “Meski di dunia yang berbeda?” kembali aku mengangguk walau aku bingung apa itu ‘dunia yang berbeda’. Seketika pandanganku kembali gelap. Apa itu hanya mimpi? Kalau iya, itu benar-benar mimpi yang aneh.
Mataku terbuka, aku melihat ibu-ibu berumur 40 tahun berpakaian seperti jaman pertengahan. Aku merasa aneh. Tubuhku serasa tak bisa bergerak bebas. Aku merasa ingin menangis. Aku diangkat dan diberikan ke wanita berumur 20 tahun. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia tersenyum hangat melihatku. Entah kenapa, aku tidak dapat menahan tangisanku lagi. Aku menangis dengan keras. Sangat keras. Tetapi suara yang keluar bukanlah suaraku, tetapi suara seorang bayi. Aku terlahir kembali menjadi seorang bayi.
Pada hari ini, umurku satu tahun. Aku sudah bisa bicara dan berjalan. Ingatanku di dunia yang lama sepertinya terbawa ke dunia ini. Tapi keterampilan tangan seperti menulis dan melukis, masih tidak bisa kulakukan. Mungkin fisikku belum seimbang untuk melakukannya. Dan entah kenapa aku masih tidak bisa mengendalikan tangisanku saat merasakan sakit. Tetapi, walau tubuhku seperti ini, aku cukup bahagia bisa disini.
Ibuku benar-benar sangat cantik. Rambutnya yang panjang itu sangat halus. Kepribadiannya pun sangat lembut. Dia berperan sangat baik sebagai ibu. Dan ayahku juga cukup baik. Pernah dulu aku mendengarkan cerita dari ibuku. Katanya ayahku ini adalah seorang ahli pedang terbaik di kerajaan. Tapi dia berhenti menjadi kesatria untuk menghabiskan waktu bersamaku dan ibuku. Sekarang ayahku menjadi guru pedang dan mengajar di halaman dekat rumahku. Tapi terkadang kepribadiannya agak cabul kepada ibuku. Entah apa yang membuat ibuku menerimanya sebagai suaminya. Ayah, kau lelaki yang beruntung.
Aku berjalan menyusuri rumah sederhanaku. Rumahku tersusun dari kayu-kayu. Dengan perabotan yang sederhana dan seadanya. Tiba-tiba aku tersandung sesuatu. Ketika aku hendak jatuh aku ditahan oleh ibuku. Ibuku tersenyum kepadaku ketika aku mengadah melihatnya.
“Hati-hati ketika berjalan Alvin.” katanya sambil mengelus-elus kepalaku. Aku mengangguk pelan dan berjalan dituntun oleh ibuku.
“Kamu mau kemana Alvin?” tanyanya sambil terus berjalan.
“Aku ingin melihat ayah.”
Melihat ayahku benar-benar menarik. Keahlian berpedangnya kukira hanya sekedar bela diri mengayunkan pedang. Tetapi itu benar-benar berbeda. Banyak perbedaan di dunia ini. Bukan sekedar kembali ke masa lampau. Tetapi di dunia ini terdapat yang namanya magic, sword skill, dan juga monster. Itu yang membuat dunia ini menarik. Seperti berada di dunia game atau berada di komik-komik. Maka dari itu aku suka melihat ayahku ketika dia menggunakan sword skillnya dalam latihan.
Sesampai dilapangan, aku duduk di pangkuan ibuku diatas kotak kayu. Kami berdua melihat ayahku yang sedang berlatih sendiri. Sekitar 10 m di depan ayahku terdapat orang-orangan yang terbuat dari jerami. Ayah mengambil ancang-ancang. Mulutnya mengucapkan sesuatu. Seketika, dengan cepat dia melangkah mendekati orang-orangan itu. Mataku bahkan tak dapat mengikuti kecepatan pergerakan ayah. Lalu mulutnya mengucapkan sesuatu lagi. Kali ini suaranya terdengar olehku. “Triple Slash.” tanpa berkedip aku mengamatinya. Akan tetapi gerakan itu benar-benar sangat cepat. Dalam sekejap, ayahku sudah berada di belakang orang-orangan jerami itu. beberapa detik kemudian, orang-orangan itu terbelah menjadi 6 bagian. Aku dan ibu bertepuk tangan setelah menyaksikan keahliannya. Ayah mendekati kami seraya tersenyum. Senang dipuji oleh orang paling dia cintai. Saat ayah berada didepan kami, dia bertanya kepadaku.
“Alvin, kamu tau kenapa orang-orangan itu bisa terpotong hingga 6 bagian?.” dia bertanya seraya mengacungkan pedangnya ke arah orang-orangan yang telah terpotong-potong.
Dengan percaya diri aku menjawabnya. “Itu karena ayah memotong secara lurus ke atas ditebasan pertama dan lurus ke samping dikedua tebasan terakhir.”
Ayah dan ibuku saling bertatapan. Merasa tak percaya apa yang mereka saksikan. Anaknya yang masih berumur satu tahun itu bisa berpikir secerdas orang dewasa. Mereka pun tersenyum satu sama lain. Bahagia akan kecerdasan anaknya.
“Kamu memang anak yang cerdas Alvin.” Ini pertama kali aku dipuji bahkan semenjak aku berada di duniaku yang dulu. Aku bahagia berada disini. Dan aku akan memanfaatkan kehidupan keduaku dengan sebaik baiknya.
Umurku sekarang telah berumur lima tahun. Aku sedang berada di lantai 2. Tempat penyimpanan barang-barang lama. Disana aku menemukan buku tentang sihir. Di buku itu terdapat penjelasan-penjelasan tentang sihir seperti mana. Mana adalah energi dalam tubuh untuk mengeluarkan sihir. Disitu tertulis jika ingin mengecek adanya mana atau tidak, cobalah membaca kata-kata sihir yang tertulis dibuku. Karna aku penasaran, aku mencoba membaca kata sihir tersebut.
Aku menutup mataku. Mengangkat tangan kananku kedepan setinggi bahuku. Mulutku mengucapkan kata sihir itu dengan seksama. Setelah selesai, aku membuka mataku. Dan betapa terkejut dan senangnya aku. Diatas tanganku terdapat kristal biru yang bercahaya. Aku kembali membaca instruksinya. Tertulis bahwa, semakin terang kristal itu bersinar, semakin banyak mana yang kau miliki. Aku melihat kristal di tanganku. Sinarnya seperti cahaya handphone. Dan ketika kubaca kembali bukunya, manaku masuk kategori 3 level 1. Kategori yang kebanyakan dimiliki petualang. Mana terbagi atas 5 kategori. Pertama, untuk balita dan para pekerja yang bukan petualang seperti pedagang dan petani. Kedua, untuk para perawat di rumah sakit dan para petualang type melee. Ketiga, untuk para petualang type magic dan range. Keempat, untuk tingkat lanjutan dari type magic yaitu wizard. dan terakhir, untuk kategori akhir dari magic yaitu sage. Dan setiap kategori terdapat 5 level yang menentukan sebesar apa mana yang dimiliki.
Aku menghelakan nafas. Kristal ditanganku menghilang saat itu juga. Setelah kupikir-pikir ternyata gen tubuh yang kumiliki ini penuh dengan potensi. Dan terbukti kapasitas manaku sama besarnya dengan petualang type magic. Aku pun membuka kembali buku sihir itu. Tertulis bahwa level mana bisa ditingkatkan dengan menghabiskan seluruh mana hingga tak bisa mengeluarkan sihir lagi. Dan juga mana bisa ditingkatkan dengan latihan fisik. Tapi keduanya membutuhkan waktu yang lama dan dilakukan berkali-kali. Setidaknya menaikkan level masih mudah untuk dilakukan. Dan cara untuk mengembalikan mana yang habis adalah dengan beristirahat dan memperbanyak makan. Aku menutup buku itu dan mencoba memahami apa yang aku baca tadi.
Aku membuka kembali buku itu dan memasuki bab tentang mantra-mantra sihir. Tertulis banyak mantra sihir dibuku itu. Aku pun mencoba sihir yang berguna untuk nanti. Aku mencoba sihir [Water Ball], sihir sederhana yang menciptakan bola air dan menembakkannya kearah yang kita inginkan. Aku mengangkat tangan kananku kedepan, mataku kembali kututup, dan mulutku mengucapkan kalimat sihirnya. Setelah selesai, aku membuka mataku seraya berkata.
“Water ball!” seketika muncul gumpalan bola air berukuran sekepal tangan orang dewasa. Aku pun mencoba mengarahkannya kearah dinding. Air itu melesat dengan cepat dan membuat dinding kayu itu rusak. Tapi tidak sampai menembus dinding itu. Aku pun girang dan cukup kaget ketika melihat apa yang terjadi. Tapi karena itu hanya dinding ruang penyimpanan dan rusaknya tidak cukup parah, aku tidak begitu khawatir. Saatku baca lagi buku sihir itu, ternyata beberapa sihir dapat diimajinasikan sesuai keinginan. Aku pun ingin mencoba mengimprovisasi [Water Ball] lewat imajinasiku.
Aku menata barang-barang yang terlihat tidak terpakai seperti patung kayu, hiasan dinding yang sudah rusak, dan vas bunga yang sudah berlubang. Aku mengangkat tangan kananku kearah kiri tanpa menutup mata. Aku membayangkan apa yang ingin kubuat. Lalu mengucapkan mantra sihirnya. Dan setelah selesai aku mengibaskan tangan kananku kearah kanan. Membentuk tiga bola air sebesar kelereng dan melesat ke arah barang yang sudah kutata. Ketiga bola itu tepat sasaran. Dan membuat barang-barang itu berlubang. Aku tersenyum sendiri melihat itu. Aku pun membawa buku sihir itu ke lantai bawah. Ke kamar pribadiku. Aku ingin belajar sihir dengan nyaman disana.
Sesampai dikamar, aku mencoba sihir [Heal]. Sihir sederhana untuk penyembuhan. Mungkin akan berguna disaat dibutuhkan. Setelah membaca mantranya muncul cahaya hijau ditanganku dan ketika aku memikirkan untuk berhenti, cahaya itu memudar dan menghilang. Walau aku belum yakin kalau sihir tadi berkerja, aku sudah senang melihat tanganku bersinar. Lalu aku mencoba mengeluarkan sihir dengan hanya memikirkannya. Tanpa harus mengucapkan mantranya. Aku pun mengangkat tangan kananku dan memikirkan sihir [Heal]. Tapi hasilnya nihil. Sihirnya tidak bekerja. Aku pun mencoba cara yang sama dengan memikirkan sihir [Water Ball] . Tapi hasilnya sama saja. Tapi aku belum menyerah. Aku pun memikirkannya lebih serius, memaksa otak kecilku untuk berimajinasi, meneriakkan nama sihir itu.
“Water ball!” setelah aku mengucapkan nama sihirnya, baru muncul bola air tapi tidak sebesar yang sebelumnya. Sepertinya itu butuh latihan yang lebih untuk melakukannya. aku pun beristirahat sejenak untuk memulihkan energiku. Itu cukup melelahkan. Mengeluarkan sihir berkali-kali membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi. Untungnya itu menyenangkan. Sehingga aku tidak malas untuk melakukannya.
“Aw!” terdengar suara rintihan dari arah dapur. Aku pun segera menuju dapur. Takut ibuku kenapa-napa. Sesampai disana ibuku sedang menempelkan mulutnya ke jari telunjuknya. Jarinya terlihat teriris pisau. Darah sedikit keluar dari luka di jarinya. Ibuku menyadari kehadiranku dan tersenyum padaku sambil berkata. “Tak apa apa Alvin. Ini hanya luka gores. Tak perlu sekhawatir itu.” Aku menatap terus jarinya. Tiba-tiba muncul ide di benakku untuk menggunakan sihir itu untuk menyembuhkan jarinya.
“Kemarikan jarimu bu.” Aku mengangkat tanganku kearah ibuku. Ibuku melihatku seperti itu lalu berjongkok untuk meperlihatkan lukanya padaku.
“Apa yang ingin kamu lakukan Alvin?” ibu menyodorkan tangannya kepadaku. Aku memegang tangannya dengan tangan kiriku lalu meletakkan tangan kananku diatas jari yang terluka. Aku pun merapalkan sihir [Heal] dan mengucapkan nama sihirnya.
“Heal.” Seketika tanganku memancarkan cahaya hijau. Terlihat luka di jari ibuku mulai menutup. Hingga akhirnya luka itu seperti tidak pernah ada sebelumnya. Kembali ke semula. Aku menghentikan sihirku dan melepas tangan ibuku. Aku tersenyum padanya. Tapi ibuku terlihat kaget melihat anaknya baru saja mengeluarkan sihir di umur 5 tahun. Tapi keterkejutan ibuku tidak terlalu lama. Dia mengelus kepalaku dan tersenyum bahagia.
“Ibu benar-benar bahagia mendapat anak berbakat sepertimu” senyuman hangatnya membuatku tidak tahan untuk memeluknya. Aku memeluk ibuku. Dan tentu ibuku membalas pelukanku. Aku senang bisa mendapat ibu sepertinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!