Ia suamiku namun bukan suamiku..
"Aku mencintainya" katanya datar, tapi mampu membuat duniaku runtuh seketika.
Delapan tahun aku berumah tangga dengannya, ada dua gadis mungil di tengah-tengah kami, buah cinta kami. bukan, bukan buah cinta hanya aku yang mencintai suamiku, dia tidak. Aku pikir setelah ada dua gadis mungil dia akan mencintaiku, ternyata aku salah akan hal itu.
Kami menikah atas sebuah perjodohan, dari awal dia memang menolak perjodohan ini dia sempat pergi keluar kota dengan alasan kuliah. Untuk menunda pernikahan kami, dari kota itu dia menyurati aku agar bersedia memohon kepada kedua orang tuaku untuk membatalkan perjodohan ini. Tapi mana mungkin aku lakukan, karena aku benar benar mencintainya. Dia adalah cintaku, cinta pertamaku. Namanya selalu ada dalam doa-doaku aku tak melakukan permintaannya, justru aku meminta kepada orang tua ku untuk segera di nikahkan dengannya. Karena aku tau dia tidak akan menolak permintaan ayahnya, itu menjadi senjata andalan bagiku.
Ternyata tuhan mengabulkan permohonanku, kini aku sudah menjadi istrinya selama delapan tahun. Tetapi aku hanya memiliki raganya tidak dengan hatinya. kini dia meminta izinku untuk menikah lagi, dengan wanita yang ia cintai. Tuhan kuatkan hatiku ini.
--------------------
Aku tak curiga saat suamiku beli handphone baru, malah aku sangat gembira. Itu berarti aku dapat handphone baru juga bekas suamiku. Menggantikan handphone tulalitku yang keyboard nya sudah banyak yang jebol.
Seharian suamiku berkutat dengan handphone barunya. Wajar, pikirku. Tapi belakangan dia semakin sibuk, sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai Bank. Semalaman berkutat dengan laptop dan handphone nya sibuk sangat samgat sibuk.
Pulang ke rumah dia mandi, sholat, makan kemudian berkutat lagi dengan laptop dan handphonenya hingga larut malam. dan ada lagi kebiasaan barunya yaitu memakai headset dan mengunci hp dengan sandi.
"Gledia... Yaya ayo dong jangan ganggu papa!" kulihat suamiku mendengus kesal dengan ulah Gledia, anak sulungku. Segera aku turun tangan aku jewer telinganya.
"Aduh ma.. sakit maaa" Yaya mengerang kesakitan.
"Ingat, mama bilang apa? jangan ganggu papa saat bekerja! " aku memperingatkan Yaya agar menjauhi papanya .
"Tapi ma papa itu ga kerja, cuman main-main aja." aku mengernyitkan dahiku., mana mungkin suamiku sebegitu marahnya pada anak kesayangannya jika Yaya tidak mengganggunya.
"Yaya cuman mau pinjem headset papa. papa malah marah sampai begitu" sambil keluar menuju halaman rumah, untuk bergabung dengan anak tetangga yang sedang asyik bermain lompat tali. Sedangkan suamiku, dia hanya menoleh dan melanjutkan mengotak atik laptopnya sambil sesekali memandang ke arah hp barunya itu. Aku kembali ke dapur melanjutkan aktivitasku membuat mp-asi untuk anak keduaku yang baru berusia sembilan bulan.
Tak berselang lama aku pun mendengar ocehan Mas Arga.
"Iya, Yaya nanti kita kepasar malam. Sekarang Yaya jangan ganggu papa dulu" Aku dengar suamiku berdebat kembali dengan Yaya.
"Papa ayo dong Yaya cuman pinjam headsetnya, sebentaaaaaar aja" Yaya masih terus saja merengek manja.
"Pokoknya ngga ya ngga" katanya sekali lagi dia berkata kepada Yaya dengan nada tinggi, hal yang sangat jarang dia lakukan bahkan tidak pernah.
Segera aku menyelesaikan aktivitasku didapur, Sampai di tengah rumah aku sambar lagi telinga Yaya.
"Aduh.. aduuh sakit maa"
Yaya mengaduh sambil memegangi telinganya.
"Sudah berapa kali mama bilang jangan ganggu papa"
"Harusnya mama berterima kasih pada Yaya, karna Yaya itu sayang sama mama" Yaya tak mau kalah.
"Apa maksud kamu Yaya?" aku terkejut mendengar jawaban yang tidak ku duga.
"Tidak ada, pokonya kalau nanti tidak jadi ke pasar malam aku bongkar rahasia papa" Yaya berlalu sambil mengerling penuh arti kepada papanya.
"Beres..." Jawab suamiku sambil mengacungkan dua jempolnya.
Hatiku mencelos, rahasia apa? Apa rahasianya? Mengapa wajah suamiku langsung berubah saat Yaya mengancamnya. Aku memandang wajah suamiku, meminta penjelasan seperti biasa dia acuh kepadaku. kami memang jarang bicara jarang mengobrol bersama. Walaupun kami sama-sama dirumah, suamiku lebih suka bercanda bermain dengan anak-anak daripada mengobrol dengan ku. Begitu pun denganku, tapi kali ini berbeda ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Ada ketakutan yang tiba tiba menyelusup kedalam hatiku.
Malam harinya kami sekeluarga suamiku, aku, Yaya dan anaku yang kecil pergi ke pasar malam. Kulihat Yaya sangat bahagia disana suamiku dan Yaya bermai-main dengan bergembira. Tak lupa berfoto-foto dengan hp baru dan akulah yang jadi juru foto mereka. Melihat kebahagiaan mereka aku tak rela merusaknya kuredam sendiri semua rasa gundah gulana dalam hatiku, aku berharap semuanya akan kembali normal seperti biasanya.
Tapi sejak kejadian sore itu Mas Arga suamiku semakin menjaga jarak denganku dan Yaya. Hari-hari kami lewati seperti biasa walaupun ada yang berbeda. Mas Arga semakin sibuk dan semakin jarang bersama kami, tiap hari ia selalu pulang ke rumah dengan tepat waktu namun dia bagai orang lain, bukan Mas Arga yang biasanya. Dia lebih senang menghabiskan waktu sendiri bersama dengan laptop dan hp barunya. Seperti malam ini selepas isya, Ia sudah mengemasi laptop dan segala perangkatnya.
"Aku mau ke toko ibuku" pamitnya datar, aku hanya mengangguk mengiyakan. Baru pukul lima sore dia tiba di rumah. Sekarang sudah pergi lagi, dan begitu pun pada hari-hari berikutnya. Dia lebih senang berada di toko ibu mertua, dari pada bermain dengan anak anak. Dia baru pulang setelah hampir tengah malam.
Aku ingin protes padanya, namun apa dayaku tak mampu untuk bicara padanya. Takut dia marah padaku lalu meninggalkanku dan anak-anak. Namun naluriku sebagai wanita mendorongku untuk mengikutinya malam ini, setelah Alya anak bungsuku tidur, tanpa sepengetahuan nya aku datang ke toko. Sesampainya disana aku memberi isyarat pada penjaga toko agar tidak memberi tahu kedatanganku kepada Mas Arga.
Penjaga toko memberi tahu kalau Mas Arga ada di ruang belakang toko ini di dekat gudang ada sebuah kamar dengan ukuran 3x3m. Terdapat sebuah dipan single bed dengan sprei warna coklat. serta satu buah meja kerja lengkap dengan sebuah komputer dan dekstop. Aku berjalan mengendap endap secara berhati-hati agar aku tidak diketahui suamiku, ku dengar mas Arga tertawa renyah, dengan siapa dia bicara? Entahlah, aku hanya berdiri di balik pintu tanpa berani membukanya.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku tata hati ini yang sedari tadi remuk redam mendengar pembicaraan mereka berdua. Bukan masalah isi pembicaraan nya yang membuatku cemburu, tapi dengan bagaimana Mas Arga bisa senyaman itu bicara panjang lebar. berbicara ini itu, dengan teman bicaranya itu. Namun, aku tak mau berburuk sangka, mungkin itu teman lamanya. Atau saudara jauhnya yang sudah lama tak jumpa. Aku mencoba berfikir positif, aku tarik nafas dalam-dalam kemudian aku langsung pulang kerumah takut anak bungsuku bangun dari tidurnya.
"Mama dari mana aja si? lama amat, Yaya kan takut adek nangis ma" baru saja aku sampai di rumah Yaya sudah menanyaiku.
"Mama dari toko eyang" aku hempas kan tubuhku ke sofa.
"Ko ga bawa apa apa? " ya ampun aku lupa harusnya aku membeli sesuatu untuk Yaya. Entah itu susu atau biskuit kesukaan nya untuk reward karna mau menjaga adiknya.
"Mama lupa bawa uang besok deh ya mama bikinin puding kesukaan Yaya" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Beneran loh ma, janji ya?" Yaya tampak senang.
"Tapi dengan satu syarat"
"Apa?"
"Yaya jawab dulu pertanyaan mama"
"Oke, janji" jawab Yaya penuh semangat sambil menautkan jari kelingking nya dengan kelingkingku.
"Ada rahasia apa Yaya dengan papa?"
Seketika wajah Yaya berubah murung dia menunduk, aku dekati Yaya dan aku belai rambutnya.
"Yaya... Yaya sayang kan sama mama?" aku masih coba membujuknya, Yaya hanya mengangguk pelan.
"Lihat wajah mama,sayang" Dia mendongakkan kepala.
"Tapi Yaya usah janji sama papa dan pa ustad bilang kita ga boleh ingkar janji"
"Kalau begitu mama ubah pertanyaan nya,kenapa Yaya pengen banget pinjam headset papa?"
"Ehmmm... soalnya Yaya pengen dengerin musik kaya papa" bukan, bukan itu jawaban yang ingin ku dengar.
"Selain dengerin musik biasanya papa ngapain lagi dengan headsetnya?"
"Bicara sama orang"
"Yaya dengar?"
"Iya dengar kadang-kadang"
"suaranya laki laki atau perempuan?"
"perempuan"
Ya allah benar dugaanku, aku tak kuasa menahan air mataku. Segera aku masuk ke kamar melihat anak bungsuku, aku tak mau Yaya melihatku menangis. Aku benar-benar cemburu. Tak ku sangka Mas Arga bisa selepas itu mengobrol dengan wanita lain. sedangkan aku yang sudah menjadi istrinya selama delapan tahun, dia jarang sekali bicara denganku. kecuali kalau ada masalah keluarga, selebihnya tak ada.
Mas Arga benarkah tak ada cinta dihatimu untukku???...
Hari ini hari sabtu Mas Arga tidak masuk kantor, biasanya sehabis subuh dia jalan-jalan bersama Yaya atau hanya sekedar jogging keliling kampung. Tapi tidak hari ini, dia hanya bermalas-malasan di kamar. Alya pun luput dari perhatian nya. Dia datang pada Alya jika Alya menangis saja. Dia benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak ku kenal. Biarpun Mas Arga cuek padaku namun dia sosok ayah yang perhatian bagi Gledia dan Alya.
Sampai detik ini pun, aku tak berani menegurnya. Aku tak punya cukup bukti, lagi pula untuk apa aku menegurnya. Toh, kewajiban nya sebagai suami dan ayah dia penuhi walaupun ada yang berbeda. Tapi dia masih pulang dan tepat waktu ke rumah, itu sudah cukup bagiku. Ini caraku mencintainya, tak menuntut apapun segala keperluannya aku siapkan tanpa perlu dia mengatakannya. Rumah selalu bersih barangcbarang selalu rapih. Itu merupakan bentuk baktiku padanya, Tapi tampaknya semua itu tak cukup.
--------------------
Sore yang indah matahari masih memancarkan sinarnya yang hangat, angin bertiup sepoi sepoi. Namun, tanpa kehadiran Gledia dan Alya rumahku terasa sepi Gledia pergi ke madrasah sedangkan Alya di bawa neneknya ke rumah sepupuku. Aku lihat suamiku duduk di teras masih khusyuk dengan handphonennya, tapi aneh nya dia hanya terpaku pada layar handphonennya. Penasaran aku mengintip dari bilik kaca jendela, Ya allah ternyata dia sedang memperhatikan foto seorang wanita.
Kali ini aku tak dapat menahan diri segera aku temui dan duduk di sampingnya, menyadari akan kehadiranku segera ia tutup layar hpnya dengan tenang.
"Siapa dia?" aku bertanya dengan ketus.
"Maksudmu?" dia pura pura tidak mengerti.
"Lily, teman kantorku" jawabnua ketus.
"Teman?" Nada suaraku semakin tinggi.
"Ya" dia masi bisa menjawab dengan santai.
"Sejak kapan kamu berteman? sejak kapan kamu menyimpan fotonya?"
"Dia hanya teman" masih dengan gaya yang sama, santai dan tak berdosa.
"Oiya? teman? Ada berapa teman perempuan yang kamu simpan fotonya? Kau pikir aku tidak tahu selama dua minggu kebelakang tiap malam kau pergi kemana?" emosiku semakin tak terkendali
"Mas, lihat aku. jelaskan semuanya kau ini anggap aku apa.aku.."
"Aku mencintainya" dia menyela saat aku meluapkan emosiku seketika aku terdiam, pengakuan nya membuat rasa sesak di dadaku semakin sakit dia mengatakannya tanpa ada rasa ragu sedikit pun dalam nada bicaranya. Tanpa ada rasa berdosa yang terpancar di rona wajahnya, tanpa ada rasa iba sedikit pun, tanpa memikirkan hancurnya perasaanku. Dia mengatakan nya dengan yakin, tanpa sedikit pun menoleh kepadaku. Walaupun air mataku telah menganak sungai dia tetap tidak memperdulikanku. Dia justru kembali asyik dengan handphonenya. Cinta, cinta macam apa yang hadir dengan cara menyakiti orang orang di sekelilingnya.
"Bagaimana denganku? Apakah kau tak pernah mencintaiku?" di tengah pemikiran yang kalut, kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya menoleh ke arah ku menarik nafas dalam dalam dan membuangnya begitu saja, tanpa ada sepatah kata pun.
"Aku sudah tau jawaban nya" aku hapus air mataku dan hendak beranjak dari kursi.
"Maafkan aku, rasa ini keluar begitu saja. Ini di luar kendaliku"
Mendengar kata-katanya aku tak kuasa lagi menahan emosiku, aku berlari menuju kamar aku hempaskan tubuhku ke ranjang. Menangis sejadi jadinya menumpahkan semua rasa sesak dalam dadaku delapan tahun aku hidup bersamanya, belum pernah dia mengatakan cinta kepadaku dan kini dia menyatakan cintanya untuk orang lain, bukan untukku . Ya Allah jika memang dia tercipta bukan untukku mengapa kau satukan kami dalam ikatan suci yang bernama pernikahan? Jika aku bukan tercipta dari tulang rusuknya mengapa aku yang kau jadikan ibu dari anak anaknya? Apakah ini teguran atau ujian bagi rumah tanggaku? Apakah aku harus bertahan atau menyerah? Jika aku bertahan apa yang harus aku perjuangkan? Jika aku menyerah bagaimana dengan nasib anak-anaku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!