" Mbak, buketnya seratus lima puluh ribu saya bayar sekarang nih."
" Duh, nggak bisa, Mas."
" Yasudah. Saya cari yang lain aja kalau begitu. Mahal baget sih!"
Bella melirik sekilas sosok lelaki gondrong di sebelahnya yang tampak sangat muda melakukan tawar-menawar alot dengan si penjaga toko. Kemejanya kotak-kotak hitam putih, berbahan kanvas. Celana jeans-nya robek-robek sampai paha, serta sepatunya Converse hitam-putih yang warna hitamnya tak lagi tampak hitam.
Si laki-laki berbalik pergi. Mulutnya mengucapkan sumpah serapah sangat pelan, tapi Bella dapat mendengarnya. Dari ekor mata, Bella melihat si laki-laki berjalan pelan. Barangkali percaya diri akan dipanggil lagi oleh si penjual. Nyatanya, hingga ia keluar dari toko bunga ini, si penjual tetap cuek dan lebih memilih melayani pembeli lainnya.
" Cari bunga untuk apa, Kak?"
" Untuk hadiah wisuda teman. Bunga asli mix artificial boleh," mata Bella meandangi seluruh ruangan dimana bunga-bunga dipajang, " Mbak, tolong kasih artificial dandelion bisa?"
Si penjual mengangguk, " bisa..."
" Mbak, masih nggak bisa seratus lima puluh ribu?"
Bella dan si penjual bunga menoleh berbarengan. Laki-laki yang tadi keluar entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahnya. Tubuhnya bau asap rokok. Matanya seperti orang kurang tidur. Bella melangkah tiga kali kesamping. Meski ia tak pernah peduli pada bau badan orang lain, tetapi aroma asap rokok tak akan berubah menjadi aroma vanilla.
" Maaf, Mas. Harga banderolnya sudah tidak bisa ditawar lagi."
" Gimana kalau kita barter sama lukisan saya?" lelaki itu masih berusaha mendapatkan bunga sesuai dengan harga yang ia mau.
Si penjaga toko menggeleng, " maaf, tidak bisa."
Bella menunggu pesanan buketnya, ia berjalan ke arah penjaga yang beradu harga dengan si lelaki, " Mbak, biar pembayarannya disatukan sama punya saya saja."
Si lelaki menoleh, kemudian tersenyum yang tak dapat terlihat jelas oleh Bella. yang jelas, lelaki itu tampak sangat muda. Seperti berusia dua puluh dua?
" Terimakasih," ucapnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar kertas kecil dari sana, " ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya kalau mau minta ganti."
Bella menerimanya kemudian membaca sederet nama yang terketik di sana.
ASKA ALDRIK
Pelukis
dan sederet nomor ponsel yang dapat dihubungi.
***
" Mas Adit mau melamar Citra, Bu," wanita itu duduk di sisi ranjang bersama Ibunya. Wajahnya tampak cerah dan senyum menghiasi bibirnya yang kecil.
" Ibu mengerti. Tapi Bapakmu bilang, kamu tidak boleh melangkahi kakakmu," ucapnya hati-hati. Meski begitu, dalam dua detik kemudian raut wajah Citra telah berubah.
Sebagai seorang Ibu, Tari ingin dua anak perempuannya cepat menikah. Anak pertamanya, Bella, diusianya yang sudah mendekati kepala tiga belum juga ada tanda-tanda ingin menikah. Paling tidak memperkenalkan calon mantu pada orengtuanya. Sedangkan Citra, anak keduanya, sebentar lagi berusia dua puluh lima, yang artinya telah matang untuk menikah. Kemauan suaminya untuk menikahkan Bella sebagai anak pertama tentu membuat Citra yang sudah siap kemudian kecewa.
" Apa nggak bisa Citra duluan, Bu? Kak Bella kan nggak suka cowok."
Begitulah yang dipercayai Citra sebagai adik Bella. Bagaimana pun, ia tak pernah melihat Bella berpacaran dengan lelaki manapun. Sejak sekolah hingga dicap sebagai perawan tua oleh tetangga.
" Husst... jangan ngomong begitu. Nggak sopan."
Sebagai balasan, Citra meraih guling dan mulai berbaring menjadikan kaki Ibunya sebagai bantal dan memeluk guling.
" Bu, kenapa Kak Bella nggak dijodohin aja sih?" Celetuk Citra. Meski ia hanya bercanda, raut wajah Ibunya seperti mempertimbangkan hal itu.
Tari menarik napas, menengok kanan-kiri dan berbisik, " Bapakmu juga bilang begitu. Semalam Ibu ditelepon, katanya anak temannya juga begitu. Jadi Bapak mau mengenalkan Bella sama anak temannya. Pokoknya harus jodoh, soalnya dia manager. Tapi tunggu Bapakmu pulang dari Kalimantan besok. Begitu."
" Bapak besok pulang?" Mata Citra membelalak tak percaya, selain pengakuan Ibunya soal rencana perjodohan untuk kakaknya, ia juga tak mendengar kabar apa-apa jika Bapaknya yang seorang TNI AD akan pulang besok.
Dari balik dinding dekat pintu kamar Citra, rupanya Bella mencuri dengar. Ia pulang dari kantor cukup sore, kemudian mencari buket untuk temannya, lalu membelikan martabak manis untuk Citra. Jadi ia pulang kemalaman.
Sekarang sudah menunjukkan jam sembilan. Bella berusaha mencari Citra untuk memberitahukan martabaknya di meja makan, tetapi justru ia mendengar percakapan perjodohan itu.
Bella bergegas menuju kamarnya dan duduk din depan cermin. Wajahnya memang tidak cantik, tetapi ia juga tidak jelek-jelek amat. Buktinya banyak klien-nya yang sering menghubunginya untuk keperluan diluar pekerjaan. Namun, Bella tak terlalu mempedulikan soal itu. Karena ia pernah berpikir jika hidupnya akan baik-baik saja meski tanpa harus menikah. Tetapi, sebagai seorang anak perempuan baik-baik haruskah Bella menuruti kemauan orang tuanya untuk menikah dengan seseorang yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya?
Rasanya lelah sekali. Bella bergegas membersihkan diri dan berharap jika apa yang ia dengar tak akan pernah terjadi. Bella telah memantapkan standar untuk lelaki yang akan menjadi suaminya sejak lama. Sosok tampan versinya, berwibawa, cerdas, bersih, berjiwa pemimpin dan suka traveling menjadi standar yang selama ini ia tunggu. Namun, Bella hanya menunggu. Tak peduli ucapan orang jika jodoh harus dicari. Atau bahkan jika tak ada sosok seperti itu pun tak masalah. Bella akan bisa memperjuangkan hidupnya sendiri dengan penghasilan sendiri.
Baru keluar dari kamar mandi, ponsel Bella bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ia lihat layarnya menampilkan nama 'BAPAK'. Tanpa menunggu lama, ia segera mengangkat pamggilan itu.
" Selamat malam anak pertama Bapak."
Meski Bapaknya selalu seperti itu, tapi kali ini perasaannya benar-banar tidak enak.
" Halo?"
Bella tersadar. Ia duduk di depan cermin sambil mengelap rambutnya yang basah, " ya, Pak. Ya ampun Bapak pasti mau pulang."
" Yah... kok kamu tahu?"
" Tahu dong. Kan kita bisa telepati."
Terdengar suara tawa dari telepon, " jadi seperti biasa, kamu mau Bapak bawain apa?"
" Terserah Bapak aja deh," jawaban yang sudah bisa ditebak. Bella bukan tipikal orang yang suka meminta apapun kepada siapapun. Jika masih bisa berusaha, ia akan berusaha semampunya. Tetapi jika diberi sesuatu oleh orang lain, Bella tidak segan untuk menerima. Karena itulah etika bermasyarakat yang ia pegang sejak kecil.
" Kalau bapak bawakan calon suami mau?"
Bella terkejut. Ia bahkan memnghentikan usapan tangannya pada rambutnya untuk beberapa saat, " Bella belum siap, Pak."
Terdengar suara tawa lagi, " Bapak punya anak perempuan dua yang sudah besar-besar. Bapak harap kamu segera siap ya."
Meski ada tawa, tapi Bella dapat menangkap kejujuran dalam nada bicara Bapaknya. Barangkali memang mereka menginginkan Bella menikah agar Citra juga dapat menikah.
" Pak,"
" Ya?"
" Apa Bapak berencana buat jodohin Bella?"
***
Bella dikejutkan dengan keberadaan Bapaknya di ruang keluarga ketika ia baru saja pulang dari kantor. Seperti biasa ia pulang terlambat dan membawa tentengan makanan ringan untuk menemani menonton televisi setelah magrib. Kali ini ia membawa satu boks cokelat dengan toping kacang mede yang sangat terkenal. Karena itu camilan kesukaan Citra.
Di ruang keluarga rupanya sudah lengkap jika ia duduk di antara mereka. Citra yang biasa akan mengambil lembur setiap hari Rabu, sepertinya tak berlaku hari ini. di sofa, mereka tertawa terbahak setelah membicarakan humor baru yang Bapak dapatkan dari teman-temannya di Kalimantan.
" Bel, baru pulang? Sini!"
Itu suara serak Bapak. Bella benar-benar tak percaya jika Bapaknya benar-benar pulang sehari setalah menghubunginya. Memang tidak tampak seperti biasanya, tapi bagaimanapun Bella senang Bapaknya sudah pulang dengan selamat. Meskipun garis-garis di wajahnya tampak jelas terlihat. kulitnya pun tambah hitam, sangat kontras dengan rambutnya yang semakin banyak warna putihnya.
Bella bergegas duduk di antara mereka. Citra langsung merebut tentengan Bella dan senyum kegirangan. Anak itu, sudah berusia dua puluh lima tahun tetap saja kelakuannya seperti anak kecil. Apakah memang sifat anak terakhir selalu seperti itu?
" Kamu lupa ya kalau Bapak pulang hari ini? Kok pulang telat?"
" Bukan lupa, Bella ada pekerjaan tambahan yang harus dikerjain hari ini, Pak." Bella jujur. tadi ketika ia sudah bersiap akan pulang on time, atasannya mengadakan meeting dadakan yang harus ia hadiri. Dan meeting itu rupanya memakan waktu cukup lama hingga Bella menyesal tidak kabur saja tadi.
" Bapak paham pekerjaan kamu. Memegang salah satu bagian penting dalam suatu perusahaan memang dipaksa untuk selalu loyal, tapi kamu juga harus peduli sama diri kamu juga loh," Bapak mulai berpidato. Seperti Bapak pada umumnya, ia sering sekali memberi wejangan yang lebih sering masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri di telinga anak-anaknya.
" Bella cukup peduli sama diri sendiri..."
" Peduli nggak kalo diomongin tetangga?" Citra selalu tak bisa jaga ucapan. " Sebagai adik, Citra sakit hati Kak Bella dibilang perawan tua sama Bu Seto dan geng sosialitanya..."
" Cit..." Ibu berusaha membungkam Citra namun anak itu terus berbicara.
" ... mau menikah diumur berapa kan hak setiap orang. Ibu-ibu itu ya bisanya mengkritik orang aja. Heran!"
Bella memegang dadanya. Meskipun Citra hanya menyampaikan apa kata orang, mendengar omongan orang yang seperti itu tentang dirinya membuat dadanya nyeri. Ia speechless, tak tahu harus menjawab apa. Ia tidak bisa menyalahkan perkataan orang-orang tentang dirinya karena di Indonesia perempuan manapun akan dianggap perawan tua jika tak menikah pada usia awal dua puluhan. sedangkan dua tahun lagi Bella akan memasuki usia tiga puluh, yang artinya jika ia tidak segera menikah, pandangan tetangga akan lebih liar lagi dari ini.
" Bapak mau mengurus pernikahan kamu secepatnya kalau kamu sudah punya calon."
Tidak ada yang bisa Bella perkenalkan hingga saat ini. Bahkan orang dekat saja ia tidak punya. Rasanya ia terlalu sibuk mengejar gelar S2 pada awalnya, lalu sibuk mengejar Jabatan di tempat kerjanya hingga ia lupa kodrat wanita yang sebenarnya untuk menjadi apa.
" Kak, Mas Adit mau melamar Citra."
Bella sudah dengar soal itu.
" Bapak nggak mau kamu ngelangkahi kakak kamu, Cit."
Bella juga sudah dengar soal itu.
" Kak, umur Citra udah dua puluh lima tahun. Apa Kakak nggak kasian sama Citra?"
Bella tahu itu. Bahkan setelah percakapan keluarga itu berakhir dan Bella bergegas ingin mengistirahatkan diri, ucapan terakhir Citra memenuhi isi kepalanya. Ia tidak bisa adiknya menerima cemoohan yang sama.
***
Bella pulang cepat hari ini karena Bapaknya mengajak makan keluarga di luar. Bella senang, karena setelah enam bulan Bapaknya bertugas, setiap mendapat giliran libur selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga, salah satunya adalah makan malam di Restoran Saung Rasa kesukaan Bapak dan jalan-jalan diakhir pekan nanti.
Sesampainya di rumah, Citra sudah rapi memakai tanktop hitam dan outer krem serta celana bahan hitam. Aromanya semerbak memenuhi ruangan.
" Kok baru pulang sih. Buruan sih." Citra melepaskan ponselnya dari kabel charge.
" Kamu nggak kerja?" Bella jelas heran. Setelah izin tidak ikut lembur kemarin, Citra hari ini malah tampak lebih santai.
" Cuti lah. Emangnya kakak, work is my life."
Bella mengembuskan napasnya kasar. anak ini benar-benar menyebalkan. Bella mendengar tawa Citra di belakangnya. Tapi Bella tak peduli soal itu. Mau bagaimanapun manusia butuh makan dengan kerja. Sok-sokan sekali Citra itu. Seperti orang tak butuh makan saja!
Mandi dan berdandan sudah menjadi hal wajib jika akan keluar bersama keluarga. Bella bahkan bisa memakai beberapa perhiasan emas untuk mempercantik penampilannya.
Di depan cermin, ia mencatok rambutnya yang ikal sebahu menjadi lurus lembut sepunggung. Ia merasa penampilan seperti ini sangat jarang terjadi pada dirinya. Bella berdiri, memperhatikan jumpsuit hitam tanpa lengan yang ia pakai. Ia tersenyum. Jumpsuit ini adalah pemberian Bapaknya setahun lalu, ketika seperti anak kecil Bella minta dibelikan ini di Bali.
" Kak Bell, udahan belum?"
Itu suara Citra. Bella meraih tas Charles & Keith kesukaannya, kemudian turun ke lantai bawah di mana Citra sudah gusar menunggunya selesai berdandan.
" Lama bangat sih!"
Bella berjalan anggun melewati Citra begitu saja tanpa menggubris perkataannya. Sengaja, supaya Citra tahu jika kakaknya sangat elegan dan lux.
" Yeh, ditungguin malah ninggalin."
***
Bella pikir mereka akan berhehti di Restoran Saung Rasa kesukaan Bapaknya. Tetapi, chevrolet hitam Bapaknya justru parkir di Restoran Jepang bintang lima dekat hotel ternama.
" Loh, Restoran Jepang?" Citra juga tidak tahu jika Bapaknya yang suka masakan nusantara tiba-tiba memilih Restoran Jepang untuk makan malam bersama keluarga.
Bapaknya tertawa, " aneh ya? seminggu lalu Bapak makan makanan Jepang dan sekarang ketagihan."
Kali ini Bella tertawa, " Enak ya?"
" Biar nggak monoton aja. Masa setiap hari makan tumis kangkung sama tempe goreng melulu."
Sebelum semuanya keluar dari mobil, semuanya tertawa, kecuali Bella yang curiga ketidakberesan ini.
Bagi Bella ini aneh. Meskipun Bapaknya bilang mulai menyukai makanan Jepang. Bahkan ketika mereka memasuki area makan yang telah dipesan. Meski makan di restoran mahal, Bapak tak pernah memesan tempat terlebih dahulu. Bahkan jika tempat penuh, mereka bisa keluar untuk mencari tempat makan lainnya.
Semuanya terjawab ketika Bella melangkah menuruni anak tangga terakhir menuju kolam renang. Di sisi kolam telah tertata sebuah meja persegi panjang yang di atasnya sudah tersedia berbagai jenis makanan. Yang membuat Bella dan Citra kaget adalah keberadaan orang lain di sana. Tiga orang yang tidak familiar bagi Bella.
" Bos Niko!" Bapak bersalaman dengan seorang yang tampak tua sekali. kulit wajahnya keriput, memakai setelan jas hitam dan topi. Dari balik topi, Bella melihat beberapa rambut putihnya keluar.
" Feri, makin gemuk saja kamu. Ini pasti Bella?"
Bella tersenyum, kemudian menjabat tangan Niko. Dulu waktu kecil Bella pernah beberapa kali bertemu dengan lelaki tua itu. Bapaknya sering mengunjungi rumahnya yang seperti istana. Bapaknya pernah bilang jika Niko adalah teman dekatnya semasa SMA dulu.
" Om Niko. Lama nggak ketemu. Bella pangling."
" Pangling lah. Om sudah tua sekali. Tapi bontotnya Om belum nikah juga," Niko mencubit lengan lelaki di sebelahnya.
" Aduh!"
Keluarga Bella dan Istri Niko tertawa tertahan. Bella melirik lelaki yang mengaduh tadi. Matanya menyipit dan si laki-laki meringis. Rambutnya gondrong dan wajahnya seperti anak berusia awal dua puluhan. Anehnya lagi, Bella seperti pernah bertemu dengannya.
" Fer, inget sama Aska nggak?" Niko membuka pembicaraan.
" Itu Aska?" Bapak menceletuk dan menunjuk lelaki yang duduk di sebelah Niko.
" Kamu kan lahir dua tahun sebelum Bella. Berapa umurmu?"
" Tiga puluh Om."
Bella tersedak. Tiga puluh tahun. Ia kemudian melirik wajah itu sekali lagi. Astaga dia adalah lelaki yang kemarin menawar harga buket di toko bunga itu.
Yang membuat Bella heran, dia adalah anak Niko yang kaya raya, tapi kenapa harus menawar buket sampai segitunya?
" Sudah menikah?"
Kemudian percakapan itu menjadi percakapan yang tidak ingin Bella dengar seumur hidup.
***
Pagi ini Aska punya mata panda. Ia tidak bisa tidur semalaman karena telah dipermalukan berkali-kali oleh Ayahnya sendiri ketika bertemu dengan keluarga sahabat Ayahnya.
" Sarapan sudah siap!"
Aska menutup kembali wajahnya dengan selimut setelah mendengar suara Diana, kekasihnya. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan berusaha menurunkan selimut yang menutupi wajah Aska.
" Good morning, dear," Diana mengulas sebuah senyum. Rambut lurus sebahunya dikuncir separo dan kulit sawo matangnya mengkilap, tampak eksotis dan menggoda. " Sarapannya udah ready, sayang. Bangun dong," Diana berucap manja. Karena ia tahu, dengan begitu Aksa akan gemas dan segera bangun.
Aska tak pernah dapat menolak apapun yang dilakukan dan disediakan Diana untuknya. Apalagi jika nada suaranya sudah manja, Aska selalu ingin mendekapnya dan tidur sepanjang hari dengan Diana.
Hubungan mereka sudah hampir lima tahun. Bahkan sejak empat tahun yang lalu, Aska mengajak Diana untuk tinggal bersama di apartemen sederhananya. Mereka bahkan telah melewati terlalu banyak waktu bersama. Tetapi, Ayahnya tak pernah setuju dengan hubungan mereka.
" Ayah nggak peduli mau senakal apa kamu waktu muda. Ayah cuma mau kamu cari perempuan baik-baik buat jadi istri kamu!" perintah itu keras dan Aska selalu mengingatnya meski Aska tidak pernah setuju dengan pendapat ayahnya tersebut.
Memangnya menurut Ayahnya perempuan seperti apa yang baik-baik? Bagi Aska, Diana lebih dari baik untuk menjadi seorang istri. Ia bahkan mati-matian belajar masak selama dua tahun terakhir hanya untuk memuaskan Aska sebagai kekasihnya.
" Beib..."
Aska tersadar. Ia kemudian bergegas merubah posisinya menjadi duduk. Ia tatap wajah Diana lamat-lamat. Dalam kondisi apapun, Diana sangat cantik di matanya. Mata, hidung, bibir, bahkan tubuhnya selalu membuatnya bergairah.
" Kamu masak?"
Diana menggeleng, " pesan online. Rasanya capek semalaman nemenin kamu."
Aksa mendekatkan duduknya dengan Diana. ia pegang bahu Diana yang berbalut outer rajut abu-abu lengan panjang. Kemudian melepas outer tersebut. Menampakkan tubuh berbalut crop tanktop warna putih.
" Sayang, ayo kita sarapan," Diana menjauhkan kepala Aska yang mulai menciumi lengannya.
" Selesai sarapan kita ngapain?"
Diana tersenyum, kemudian bangun dan menarik Aska ke ruang makan.
***
" Kamu ingat kan sama Aska?" Bapak membuka pembicaraan yang tak ingin Bella bahas.
Bagaimanapun, ingatan itu sudah terlalu lama. Ia hanya pernah bertemu Aska lima kali seumur hidup. Tiga kali ketika ia baru masuk SD dan dua kali belakangan ini. Semua kesan yang ditinggalkan Aksa pun tak ada yang keren.
Aska kecil sangat nakal. Pada pertemuan pertama mereka, Aska delapan tahun merebut boneka barbie yang baru dibelikan Bapaknya. Pertemuan keduanya, Aska memakai sandal Bella dan menghilangkannya. Pertemuan ketiganya Aska memberi permen yang bahkan sudah menempel dengan bungkusnya. Bahkan dua pertemuan terakhir mereka meninggalkan kesan yang buruk bagi Bella.
Bapak tertawa, " dia jahil ya? tapi sekarang dia ganteng kan?"
Bella tak begitu tertarik dengan wajah laki-laki yang sangat putih dan bermata sipit sepertinya.
" Bell, Bapak berniat menjodohkan kamu sama Aska."
Kali ini mata Bella melotot. Ia tak percaya jika kalimat itu baru saja diucapkan Bapaknya dengan tenang.
" Tapi..." Bella ingin menolak. Namun, ketika ingat apa yang dikatakan Citra dua hari yang lalu membuatnya harus mencari cara cerdik agar ia tak dijodohkan dengan siapapun dan Citra dapat menikah dengan kekasihnya.
" Bapak ada libur dua minggu. Bapak mau sebelum Bapak balik ke Kalimantan, kamu sudah menikah dengan Aska. Supaya Bapak tenang ninggalin kamu, ninggalin Citra juga."
Rasanya Bella ingin menangis. Tetapi, sebagai anak pertama, ia harus kuat dan harus bisa menghadapi ini. Bella ingin membantah, tetapi melihat guratan di ujung mata Bapaknya dan rambut yang sebagian besar telah memutih, membuatnya sadar jika Bapaknya pasti menginginkan sosok penghibur lain di hidupnya.
***
Aska memasuki apartemen dengan wajah lesu. Sebuah lukisan Diana di dinding dekat pintu yang menyambutnya seperti tak terlihat setelah ia mendengar soal perjodohannya dengan Bella.
Aska berjalan kesal menuju pantry, melewati dinding-dinding yang seperti galeri seni pribadi. Wajah Diana menghiasi setiap sudut ruangan, namun ia hanya fokus pada kulkas di depannya. Aska mengambil dua botol minuman beralkohol dari dalam kulkas dan meminumnya langsung dari botol.
" Brengsek!" umpatnya. Ia tidak terima hidupnya diatur-atur orang lain, meskipun itu Ayahnya.
Bagaimana Ayahnya bisa begitu percaya dengan perempuan yang bahkan sudah lama tidak pernah ia temui? Sedangkan, Aska mati-matian berusaha memperkenalkan Diana sebagai calon istrinya selama bertahun-tahun dan Ayahnya hanya bilang, " Ayah mau kamu menikah dengan perempuan baik-baik."
Memangnya seburuk apa Diana di mata Ayah? Apa karena masalah profesi?
" Brengsek!" umpatnya lagi. Ia lantas meminum lagi minumannya hingga kesadarannya hilang seperempat.
Di tengah kesadarannya yang kian menurun, Diana tiba-tiba memeluk Aska dari belakang, " Sayang, are you okay?"
Aska menoleh, memandang lamat-lamat wajah Diana yang selalu membuatnya ingin melakukan segala hal dalam kondisi apapun bersamanya. Ia tarik perempuan itu ke pelukannya. Ia ***** bibir Diana dan membiarkan perempuan itu duduk di pangkuannya.
Aska menginginkan bersama Diana seumur hidupnya, tetapi kesadarannya kembali ketika Diana nyaris melepas tanktop-nya.
" Tolong tinggalin aku sendiri."
Diana telah paham bagaimana sifat Aska. Ia menyipitkan mata, memandang Aska lamat-lamat. Ia tahu Aska sedang ada masalah jika menolak Diana. Barangkali Aska bertengkar lagi dengan Ayahnya. Bagi Diana itu sudah biasa. Ia akhirnya membenarkan pakaiannya, mengelus punggung Aska, mencium bibirnya dan berbalik pergi.
***
" Besok Bapak sudah atur jadwal sama Om Niko. Dia bilang, Aska mau melamar kamu."
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Bella.
Ia tak pernah berpikir jika masa lajangnya akan berakhir dengan tidak mengenakkan. Bapak rupanya telah merencanakan ini sejak lama. Bapak bahkan telah memesan sesuatu yang katanya sangat berharga untuk hadiah pernikahan Bella sebelum Bella mengatakan 'iya' sekalipun.
Di balik senyum bahagia Bapak dan Ibunya, Bella masih tak percaya jika pertemuan antara keluarganya dan keluarga Aska akan berlangsung besok sore. Pukul tiga. Di rumah Bella.
Rasanya terlalu dadakan dan tidak menyenangkan mendengar kabar buruk itu. Bella berdoa jika lelaki gondrong yang tampangnya seperti ABG itu kabur dari rumahnya dan tenggelam di sungai Amazon kalau bisa agar perjodohannya batal.
" Kak, Citra punya hadiah buat Kakak."
Bella memandang tangan Citra yang memegang kotak persegi empat yang cukup besar. Ogah, tapi tak baik menolak pemberian orang lain, apalagi adik sendiri.
" Besok dipake ya."
Setelah mengucapkan pesan terakhir, Citra pergi ke kamarnya. Dari cara berjalannya, Citra tampak bahagia, pun dengan raut orang tuanya. Bella jadi tak enak menolak perjodohan ini. Sepertinya mereka telah lama menuggu momen ini.
Bella tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin Aska tak datang dengan alasan apapun besok.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!