Seorang pria berumur dua puluh tujuh tahun tengah duduk di kursi kebesarannya. Jemarinya bergerak mengetuk meja berlapis kaca. Rasa gusar memenuhi hatinya. Teringat kejadian dua bulan yang lalu.
"Kenapa dia tidak meminta pertanggungjawabanku, ya?" gumamnya terus. Pikiran selalu tertuju pada wanita yang telah dia nodai malam itu. Malam saat dirinya mabuk.
Arthur Wiliam Leonardo. CEO perusahaan Alison. Terkenal di perusahaan lainnya. Selalu unggul dalam bersaing dengan siapapun. Sehingga ayahnya, yang juga CEO perusahaan Alison, memilih dirinya untuk menjadi CEO, menggantikannya.
Arthur, panggilan untuk pria yang sebentar lagi akan masuk kepala tiga. Duduk menunggu seseorang memberikan kabar baik untuknya. Sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelengan tangan kiri. Ternyata dua jam dia sudah menunggu. Hingga tumpukan pekerjaannya semakin bertambah.
"Apa kau menungguku?" pertanyaan itu sontak dibalas tatapan jengah oleh Arthur.
Pria berkemeja biru kotak itu menghampirinya. Dia melepas kacamata yang bertengger. Memasukkan ke saku kemeja. Lalu, menyerahkan berkas kepada Arthur.
"Dua hari seperti yang kamu minta. Aku sudah mengetahui identitas wanita yang kamu pakai untuk pelampiasan. Lihatlah diberkas." pria itu duduk. Mengangkat satu kakinya dan meletakkannya di kaki satunya. Jemarinya meraih rokok yang terselip diantara belahan telinga. "Pinjem pemantik." ucapnya pada Arthur yang sedang fokus melihat ke foto wanita cantik berhijab diberkas.
Arthur tak menjawab, tapi tangannya melempar pemantik setelah mengambilnya dari saku. "Bagus. Detail."
Berkas ditutup. Diletakkan di meja. Arthur membuka laci meja kerjanya. Mengambil segepok uang yang sudah dia siapkan. "Satu lagi. Cek kondisinya. Aku akan kesana. Kamu pun akan mendapat bonus setelah ini." ucapnya sembari menyerahkan uang pada pria didepannya yang sedang menikmati kepulan asap rokok.
"Oke. Asal bonus jangan lupa." pria itu mengangguk diantara kepulan asap yang dia keluarkan. Meraih segepok uang dan memasukkan ke tas kecil yang dia bawa. Pas.
"Mr. Xan." panggilan yang Arthur berikan pada pria berkemeja didepannya. Karena, pria itu tak mau identitas aslinya terbongkar sebagai agen rahasia, maka dia diberi nama oleh Arthur sebagai nama samaran.
"Oh ya, kalau boleh tahu, kenapa kau begitu ingin tahu wanita itu? Bukannya kau sebentar lagi akan menikah dengan pacar mu?" tanya Mr. Xan pada Arthur yang sedang membaca kembali berkas yang dia beri tadi.
Arthur menurunkan berkas yang sedang dia baca ulang. Lebih tepatnya, memahami wajah cantik berhijab yang ada diberkas, Ais Atsila. "Aku teringat dengan kejadian malam kelam itu. Dimana aku mabuk dan aku melampiaskan semuanya pada wanita itu. Dan satu hal yang membuaku yakin untuk mengetahui siapa wanita itu, karena pada saat itu aku lupa memakai pengaman saat melakukannya. Sudah ku pastikan jika sekarang dia hamil anakku. Aku yakin itu." ketegasan yang keluar dari bibir Arthur membuat Mr. Xan yakin.
"Insting keayahan mu sudah muncul. Aku yakin, instingmu tidak salah." sebagai agen rahasia, Mr. Xan begitu yakin. Insting lebih sering benar daripada salah. Seperti halnya, insting seorang ibu yang tak pernah salah.
"Tapi, apa kau akan menikahinya ketika benar dia sedang hamil? Lalu, bagaimana dengan rencana pernikahanmu bersama Kirei?" tanyanya lagi, semakin penasaran.
Arthur menghembuskan napas berat, mengacak rambutnya. Ini yang sedang dia pikirkan. Kirei. Gadis cantik yang sebentar lagi akan menyandang nyonya Wiliam.
"Aku akan menikahinya. Dan tentang rencana pernikahanku dan Kirei, akan aku batalkan." pada akhirnya, Arthur memilih jalan itu. Menikahi wanita yang dia yakini sedang hamil anaknya dan membatalkan pernikahannya dengan Kirei, pacarnya.
Alis Mr. Xan terangkat. Seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa kau yakin?"
Arthur mengangguk. "Iya. Aku yakin." tegasnya dalam ucapan dan hati.
***
Di dalam rumah sederhana, wanita cantik bermukena putih bersih tengah berdzikir dengan tasbih berwarna coklat muda. Duduk menghadap kiblat dengan sajadah masih digelar sempurna. Matanya terpejam, tangannya bergerak, bibir dan hati sama-sama mengucapkan dzikir.
Pukul delapan malam, barulah wanita itu beranjak dari duduknya. Melepas mukena yang dia pakai dan dilipat. Dia duduk ditepi ranjang. Mengambil benda pipih yang tadi siang dibeli di apotek terdekat menggunakan uang tabungan.
"Ya Allah, aku wanita kotor. Tapi, engkau menghadiahkan aku karunia yang tak pernah aku bayangkan sama sekali. Ini seperti kejutan. Aku bingung harus bagaimana. Apakah aku harus sedih atau senang?" tanyanya ketika melihat dua garis merah. Yang berarti, didalam rahimnya tumbuh calon buah hati yang merupakan amanah dari Allah.
Dia teringat malam kelam waktu dirinya pulang mendaftar kerja. Malam itu sangat menyakitkan, tapi membawa kenangan yang tak terlupakan. Bahkan, ketika ingin rasanya lupa, justru semakin teringat jelas.
"Aku bahkan tidak tahu siapa pria itu. Bagaimana aku mau mencarinya? Mungkin jika aku dan dia jodoh, pasti kami akan dipertemukan. Amin Ya Allah. Aku yakin, setelah hujan pasti ada pelangi. Aku harus kuat. Seperti Siti Maryam. Bismillah." ucapnya, memeluk benda pipih bergaris dua itu. Lalu, bangkit dan menyembunyikannya di lemari.
*
*
*
Bersambung...
Yuk dukung terus. Like, koment dan favorite. Semoga kalian suka sama ceritanya mas Arthur dan mba Ais. Jangan lupa tinggal kenangan yaa.
Baca cerita baru Author yang lain :
Suara Hati Suami
Skenario Cinta
Tinggal kenangan juga, biar dikenang oleh Author. Makasih banyak...
Pintu mobil dibuka oleh para pelayan. Mereka menyambut tuan muda yang baru saja sampai. Jas dan tas kerja diberikan pada pelayan yang ditugaskan. Sedangkan si empunya, melangkah dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
Kemejanya digulung sampai ke siku. Menjadi sorotan mata seluruh keluarga yang akan makan malam bersama. Langkah berhenti tepat di depan meja makan, duduk setelah dipersilakan.
"Ayo dimakan." sang papa, memberi kode pada semua orang untuk menikmati hidangan yang tersaji. Tak usah mempedulikan pria tampan yang baru saja bergabung bersama mereka.
"Hai semuanya." suara sapaan dari seseorang sontak membuat seluruh keluarga menoleh bersamaan. Senyum langsung terukir dari wajah semua orang.
Kirei, gadis cantik itu tersenyum sembari melambai. Menampakkan gigi ginsul pada semua orang. Berjalan layaknya seorang model menuju meja makan.
Cup!
Sudah menjadi kebiasaan Kirei, mencium pipi sang kekasih yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Dia langsung duduk disamping kekasihnya, Arthur. Bergelanyut manja dilengan kekar pria itu seperti biasa.
"Bagus sekali kamu datang. Ayo makan. Kami baru akan mulai makan." sang mama, dia tersenyum dan menyambut kehadiran gadis cantik yang sebentar lagi akan menjadi menantunya.
Kirei mengangguk, melepas tangannya dan mulai menyantap makan malam yang dihidangkan. Sesekali melirik ke arah Arthur yang sedikit berbeda hari itu, lebih banyak diam dari biasanya.
"Tunggulah disitu." ucap Arthur, menyuruh Kirei agar tak masuk ke kamar.
"Kenapa aku harus menunggu disini? Biasanya jugakan aku masuk, sayang?" tanyanya meminta penjelasan.
Arthur berpikir sejenak, merangkai kata agar gadis cantik didepannya tak marah. "Sebelum kita menikah, jangan lagi masuk ke kamar. Aku takut tidak bisa menahan. Jadi, sabar dan tunggu disini sampai aku selesai." setelahnya Arthur masuk. Mengunci pintu kamarnya dan bergegas mandi. Meninggalkan Kirei dengan wajah cemberut.
Sepuluh menit terlewati, Arthur membuka pintu kamar. Menampakkan wajah segarnya sehabis mandi dan mempersembahkan bau wangi dari sabun yang dia pakai. Arthur menghampiri Kirei, pacarnya yang sedang sibuk bermain ponsel. Duduk disebelah gadis itu.
"Kenapa cemberut? Kamu marah sama aku gara-gara yang tadi?" mencoba tahu sebab kenapa bibir tipis merah itu manyun. Ingin rasanya dia menggigit bibir itu. Merasakan seberapa manisnya. Apakah seperti madu?
Kirei meletakkan ponselnya diatas meja sofa. Lalu, beralih fokus ke sang pacar. "Sedikit." jawabnya.
Arthur tersenyum geli. Gemas melihat Kirei yang merajuk. "Maaf, sayang. Aku cuma takut tidak bisa menahan. Aku tidak mau membuat kamu menyesal dimasa depan jika itu sampai terjadi."
Akankah dia tega membuat senyum gadis cantik disampingnya hilang, jika dia memutuskan untuk menikahi wanita yang kini dia yakini sedang mengandung buah cintanya?
"Aku tidak akan pernah menyesal jika melakukan itu dengan kamu. Karena yang pasti, aku akan jadi istri kamu. Selamanya. Untuk apa aku menyesal?" Kirei melingkarkan tangannya ke pinggang Arthur. Membenamkan wajah cantiknya ke dada bidang sang pacar.
Arthur menghela napas berat. Pikirannya semakin kalut saja saat ini. Banyak yang harus dia hadapi jika dia memilih menikah dengan Ais. Wanita cantik berhijab yang membuatnya terus kepikiran.
"Pokoknya jangan."
Kirei mengangguk dengan patuh seperti biasa. Tak bisa membantah perkataan Arthur sedikitpun. Entah itu takut atau karena cinta yang sudah buta.
Tiba-tiba ponsel berdering. Tangan yang tadinya melingkar perlahan terlepas paksa, karena Arthur bangkit untuk mengangkat telepon dari seseorang. Kembali meninggalkan Kirei di sofa seorang diri.
Arthur menuju jendela kamar. Sesekali melirik ke arah pintu yang menghubungkan sofa kamarnya. Takut jika Kirei akan masuk secara tiba-tiba.
"Kenapa malam-malam menghubungiku, Mr. Xan? Adakah kendala?" to the point. Seorang Arthur sangat tidak menyukai yang namanya bertele-tele. Karena itu membuang waktu yang berharga.
"Iya. Kamu benar. Aku baru saja sampai di desa dimana wanita itu tinggal bersama ayahnya. Kendalanya adalah banyak sekali warga desa yang sedang berkumpul di depan rumahnya. Kata salah satu warga desa, mereka menginginkan agar wanita itu dan ayahnya pergi dari desa ini karena sudah membuat nama desa ini rusak."
Arthur terdiam beberapa saat. Berpikir kenapa wanita itu harus pergi dari desanya? Apa kesalahan yang ia lakukan sehingga membuat dia diusir dari desa?
"Kenapa itu bisa terjadi? Apa yang dia lalukan?" tanyanya sedikit panik.
"Karena dia hamil diluar nikah." Mr. Xan menjawab setelah dia tahu dari salah satu warga yang dia tanyai tadi.
"Desa ini adalah penganut agama yang kuat. Jika ada seorang pezina, maka harus diusir dari desa." lanjut Mr. Xan yang membuat Arthur melongo. Tidak menyangka jika ibu dari anaknya tinggal di desa seperti itu.
"Mr. Xan, bawa mereka pergi dari desa itu terlebih dahulu. Besok aku akan kesana menemui kalian. Jaga mereka dengan baik. Jangan sampai terjadi apapun dengan ibu maupun bayinya." titah Arthur. Hatinya berdegup kencang memikirkan bagaimana keadaan yang terjadi disana. Takut terjadi apa-apa.
"Kamu mau menemui siapa, sayang?" suara Kirei tiba-tiba terdengar, membuat Arthur berbalik karena terkejut.
Dia langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Memasukkan ponsel ke saku dan menghampiri Kirei yang sedang menatapnya dengan menyelidik.
"Aku akan menemui klien besok." jawab Arthur, berbohong.
Kirei mengangguk percaya. Duduk di ranjang dengan menyilangkan kakinya. "Kamu tidak berbohongkan?" Tanya Kirei, memastikan.
Arthur ikut duduk, lalu menggeleng. "Tidak."
*
*
*
Bersambung...
Yuk bantu dukung terus karya ini. Makasih buat kalian semua... Love sejagad...
"Ternyata kamu hamil diluar nikah??? Dasar pezina!!!"
Ais terkejut bukan main. Karena tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat dengan jelas bibinya yang bernama Romlah itu berkacak pinggang diambang pintu. Matanya menatap tajam ke arahnya.
Nyali Ais menciut seketika. Kakinya bergetar menahan takut. Bibinya ini terkenal galak. Apalagi ketika sudah marah. Maka tamatlah riwayat mereka yang menjadi sasaran.
"Jawab Ais!!!" bentaknya lagi.
Bapak Ais yang bernama Anto itu masuk dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa ini, Romlah?" tanyanya sembari memegang dada. Ikut terkejut mendengar suara keras yang berasal dari kamar anaknya.
Bi Romlah mendengus, "Anakmu ternyata seorang pezina. Dan sekarang dia sedang hamil."
Pak Anto menatap anaknya yang bersandar di lemari kayu yang dia buat dengan susah payah. Menggeleng tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh adik iparnya. "Apa itu benar, nak?" tanyanya pada Ais yang diam ditempat.
Ais tidak menjawab. Air matanya mengalir deras membasahi wajahnya. Menetes ke krudung yang dipakai.
"Dasar pezina! Masih saja berani bohong, ya?!" bi Romlah berjalan menghampiri Ais. Mencengkram pundak anak kakaknya itu dengan kuat. Mendorongnya untuk minggir. Membuka lemari dan mengacak baju milik Ais yang tersusun rapi.
"Astaghfirullah!" Ais terduduk ditanah. Dorongan dari bibinya sangat kuat, hingga dia terjatuh ke lantai yang dingin.
Pak Anto langsung menghampiri Ais, membantu anaknya berdiri. "Kamu ngga papa, nak?" tanya pak Anto yang merasa khawatir.
"Ngga papa, pak." Ais bangkit, lalu menggeleng pelan. Terpaksa dia ukir senyum untuk bapaknya agar tidak perlu khawatir.
"Ini dia buktinya! Mau bohong lagi kamu?!" bi Romlah menunjukkan benda pipih yang tadi Ais sembunyikan di lemari pada pak Anto.
Pak Anto menerimanya dengan tangan bergetar. Melihat dengan kacamata minusnya dengan seksama dan teliti. Garis dua! Pertanda bahwa putrinya hamil.
"Nak, ini benar? Kamu hamil? Hamil anak siapa? Ayo katakan sama bapak supaya dia tanggungjawab." pak Anto mengguncang tubuh Ais agar anaknya itu memberi jawaban atas pertanyannya.
"Sekarang lihatkan, anak yang kamu bangga-banggakan ini seorang pezina! Dasar sampah masyarakat!" bi Romlah merebut benda pipih itu dengan kasar. Lalu pergi dari rumah kakaknya itu ke rumah pak RW.
Ais menangis, bersimpuh didepan bapaknya. "Pak, maafin Ais. Ais ngga tahu kalau Ais hamil. Ais juga ngga tahu pak, Ais hamil anak siapa. Karena, waktu itu Ais diperkosa waktu dikota." tangannya memegang kaki bapaknya. Memeluknya sebagai permintamaafan. Ini semua benar-benar diluar dugaannya. Ingin hati berniat melamar kerja dikota justru diperkosa.
Pak Anto ikut terduduk. Ditatapnya wajah anaknya itu dengan iba. "Sudah, nak. Semua sudah terjadi. Kita harus ikhlas sekarang. Bapak juga minta maaf ya belum bisa jagain kamu dengan baik. Sekarang, bapak cuma bisa minta pertolongan sama Allah, semoga kita ngga diusir dari desa ini. Pasti bibi kamu udah lapor ke pak RW. Kita harus sabar ya, nak." direngkuhnya sang anak ke dalam pelukan. Doa terlangitkan kala itu.
Tak berapa lama, suara warga terdengar. Mereka berteriak menyebut nama Ais seorang pezina. Mereka juga berteriak agar anak dan bapak itu diusir dari desa ini karena sudah membuat nama desa ini buruk.
"Kamu disini saja. Biar bapak yang keluar." pak Anto segera bangkit. Meninggalkan Ais di dalam kamar untuk menghadapi para warga.
"Tenang semuanya. Saya bisa menjelaskan apa yang terjadi." pak Anto mulai menenangkan puluhan warga yang berteriak.
"Mau menjelaskan apa lagi, pak Anto? Semua sudah jelas. Anak bapak si Ais itu seorang pezina dan sekarang dia hamil. Ini buktinya kan? Jangan memutar fakta. Karena, kami tidak akan percaya. Sekarang, bapak angkat kaki dari desa ini bersama Ais. Tidak ada penolakan. Harus malam ini!" seruan dari pak RW dibalas oleh para warga yang berada di belakangnya. "Betul pak! Ayo angkat kaki sebelum kami bertindak!"
Ais yang tidak tahan berada di dalam kamar akhirnya memilih keluar. "Cukup semuanya! Saya memang hamil, tapi itu karena saya diperkosa! Saya bukan seorang pezina!"
"Bohong kamu! Jangan pernah menutupi kesalahan yang kamu buat! Katanya seorang ustadzah, kenapa berani berbuat seperti itu? Bukannya dilarang agama?" suara warga kembali terdengar berteriak setelah mendengar pembelaan dari Ais.
"Baik kalau kalian semua tidak percaya. Saya dan bapak akan pergi dari desa ini. Ingat semuanya, bohong ataupun jujur hanya Allah yang tahu! Kalian semua hanya tidak melihat kejadian tersebut kan? Hanya melihat dari benda pipih itu. Suatu saat nanti fakta sebenarnya pasti akan terungkap. " setelahnya Ais menuntun pak Anton ke dalam rumah untuk segera berkemas. Karena malam itu mereka harus segera dari desa ini.
Setelah sepuluh menit berlalu, Ais dan pak Anto keluar dari rumah dengan membawa tiga tas besar berwarna hitam. "Cepat pergi dari sini!" bi Romlah menepis tangan Ais yang hendak menyalaminya. Memalingkan wajah karena jijik melihat wajah Ais.
Ais berusaha tersenyum menerima semua penghinaan yang ditujukan untuknya. Dalam hati dia menguatkan, ini ujian dan cobaan dari Allah. Dia harus bisa melewatinya dengan ikhlas dan sabar.
"Ayo pak, kita pergi." Ais mengangkat dua tas besar berisi baju miliknya dan bapaknya. Berjalan mendahului bapaknya keluar melewati warga yang berkerumun.
"Wassalamualaikum semuanya." beberapa langkah menjauh dari rumah, Ais menyempatkan untuk mengucapkan salam perpisahan.
"Waalaikumsalam." balas para warga.
Pak Anto mengangkat satu tas hitam yang berisi beberapa peralatan penting. Berjalan menyusul anaknya yang sudah lebih dulu melangkah pergi dengan berat hati. Sesekali melirik ke arah rumahnya yang sudah puluhan tahun dia tinggali. Rasanya sangat berat. Hingga kaki tuanya pun sulit untuk terus melangkah menjauh.
"Ayo pak." Ais mensejajarkan langkahnya dengan bapaknya. Untuk terakhir kali melihat ke arah rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan. Baik itu senang maupun sedih.
Setelahnya, mereka berjalan menuju gang yang menjadi batas desanya. Berhenti di jalan raya menunggu angkutan yang barangkali lewat. Walau mereka sudah tahu, jam malam jarang sekali ada angkutan yang lewat.
"Maafin Ais, pak. Gara-gara Ais, kita jadi diusir dari desa." Ais menggenggam tangan kasar bapaknya. Merasa sangat bersalah. Karena dirinya, bapaknya pun ikut terkena imbas.
"Kamu ngga salah, nak. Ini cobaan buat kita. Jangan terus menyalahkan diri kamu sendiri ya. Kita harus saling menguatkan. Kita sedang diuji sama Allah. Bismillah kita bisa melewatinya." pak Anto tersenyum menanggapi ucapan anaknya. Ini bukan salah anaknya. Ini ujian dari Allah yang harus mereka lewati dengan sabar dan ikhlas.
Tak berapa seorang pria berjaket hitam mendatangi Ais dan bapaknya yang sedang duduk di kursi yang terletak di bawah pohon mangga. Wajahnya tertutup masker yang berwarna sama dengan jaket. Menjadikan siapapun yang melihatnya tentu merasa penasaran.
"Permisi." sapanya sopan.
"Maaf, anda siapa?" Ais bertanya dengan rasa takut menyelimuti dada. Bayangan kejadian dua bulan yang lalu belum hilang, kini dia kembali didatangi pria asing. Dirinya takut terjadi hal yang tidak-tidak seperti yang sudah pernah dia alami.
"Maaf sebelumnya, saya tidak bisa menjawab pertanyaan anda. Tapi saya datang dengan tujuan tertentu." pria berkulit putih itu menjawab.
"Tujuan tertentu? Apa itu?" tanya Ais menyelidik.
"Saya ditugaskan untuk membawa anda dan ayah anda ke sebuah villa. Ini perintah dari atasan saya. Anda bisa mempercayai saya. Saya tidak akan berbuat yang tidak-tidak seperti yang anda pikirkan. Jika anda ingin bukti,, mari masuk ke dalam mobil saya. Saya akan membuktikannya." pria tersebut menunjuk ke arah sebuah mobil berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari mereka duduk.
Ais menatap bapaknya untuk meminta jawaban. Dirinya merasa ragu. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Tetapi, ketika mendengar ucapan pria yang berdiri didepannya berhasil menumbuhkan rasa percaya dalam dirinya walaupun itu sedikit. "Bagaimana ini, pak?"
"Bapak merasa orang ini bisa dipercaya. Kita serahkan semuanya sama Allah. Bismillah."
Akhirnya Ais dan bapaknya setuju. Pria berjaket itu membantu membawakan dua tas besar ke mobil. Menaruhnya di bagasi mobil dan segera melajukan mobil setelah semuanya sudah siap.
*
*
*
Bersambung...
Yuk dukung terus. Like, koment dan favorite. Kalau mau kasih hadiah dan vote juga boleh sebagai kenangan yang tak terlupakan. Maaciw semuanya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!