NovelToon NovelToon

My Beloved One (Elio & Luna)

Berkenalan dengan Luna dan Elio

Pagi itu, apartemen milik Elio dan Luna dihebohkan dengan teriakan sang Mama yang menggema sampai langit ketujuh. Bukan tanpa alasan, lagi - lagi ada saja ulah Luna yang membuat orang tuanya meradang sampai nyaris jantungan.

Jika minggu sebelumnya mereka mendapat laporan Luna kabur karena bermain band mengisi suara di sebuah cafe malam hari, hari ini Luna menyusup ke kamar Elio dan tidur berpelukan bagai sepasang suami istri.

Oh ya… sebelum lupa. Perkenalkan si gadis tomboi itu bernama Athanya Luna Gemilang. Nama yang cantik untuk seorang gadis tomboi dengan hobi futsal, bermain band dan juga tour dengan club skuternya.

Luna, yang berarti bulan dalam bahasa romawi, adalah anak kandung satu-satunya Renata dan Gilang. Umurnya baru 19 tahun saat ini. Semester tiga salah satu universitas di Jakarta .

Meskipun kelakuan bar-barnya membuat Sang Mama mengelus dada, tapi ada hal yang bisa mereka banggakan. Pertama adalah kecerdasan yang menurun dari sang Papa, Gilang. Kedua yaitu wajah cantik dan suara merdu dari Renata, dan terakhir entah kelebihan atau kekurangan namanya, Luna menderita obsessive compulsive disorder (OCD). Sejenis gangguan mental yang membuatnya gila bersih-bersih dan super rapi. Kotor atau berantakan sedikit saja pekiknya bisa membuat gendang telinga pecah.

Luna juga pandai bergaul. Terbukti saat persta ulang tahunnya ke tujuh belas, dua tahun yang lalu, Gilang dan Renata dibuat kewalahan karena pesta ulang tahun itu harus menghadirkan seribu tamu undangan. Saking banyaknya teman-teman Luna yang harus diundang, mereka harus menyewa ballroom hotel ternama di Ibu Kota.

Jika semua itu dikatakan kelebihan, Luna punya satu kekurangan lain. Gadis itu menderita Astrafobia, alias takut petir, kilat dan sejenisnya. Hujan lebat sedikit saja bisa membuat nafasnya sesak. Jadi menurut cerita sang mama, Luna kecil suka bermain bola di lapangan komplek rumahnya. Tiba-tiba hujan badai datang, dan ia melihat petir menyambar pohon kelapa yang tidak jauh dari sana. Sejak saat itu Luna tidak mentolerir petir dan kilatan cahaya dalam hidupnya.

Jika sudah berkenalan dengan Luna, mari berkenalan dengan Elio. Nama lengkapnya Elio Ukasyah Akandra. Statusnya adalah kakak Luna jika berada di keluarga Gilang, tapi sebenarnya ia adalah anak sahabat Renata, yaitu almarhum Riyana.

Nama Elio hingga saat ini tidak masuk dalam kartu keluarga Gilang dan Renata, tapi sudah dua belas tahun hidup bersama Renata. Begini kisahnya.

Empat belas tahun yang lalu, kedua orang tua Elio meninggal dunia tanpa ia tahu penyebabnya. Elio yang kala itu baru berusia dua belas tahun akhirnya pindah dari satu rumah ke rumah lain milik tante dan omnya, baik dari keluarga ayah atau pun bundanya. Elio seperti piala bergilir bagi mereka. Apa lagi alasannya jika bukan harta. Bisnis hotel milik Akandra sangat menggiurkan. Satu-satunya cara agar mereka dapat menguasainya adalah dengan memperebutkan hak asuh Elio.

Hampir 7x24 jam dalam seminggu Elio harus mendengar perdebatan orang dewasa. Kakek dan Neneknya baik dari bunda atau ayahnya hanya pasrah melihat kelakuan para tante dan omnya yang berebut harta. Teriakan, cekcok dan kekerasan fisik yang diperlihatkan orang dewasa terus saja ia saksikan selama dua tahun lamanya. Hingga tanpa ia sadari Elio yang sudah berusia empat belas tahun mengalami depresi. Ia takut dengan semua orang dewasa, hingga akhirnya menutup diri.

Disinilah sosok Renata hadir. Latar belakangnya sebagai psikiater anak tentu mudah baginya memahami tekanan yang dialami Elio. Miris sekali rasanya anak sekecil itu harus mengalami hal pedih dalam hidupnya. Apalagi Elio adalah putra Riyana. Sahabat satu kost-nya saat menempuh pendidikan dokter di UGM Jogjakarta dulu.

“Tenang saja, kami tidak akan mengangkat Elio sebagai anak. Elio bisa masuk dalam daftar keluarga nenek dan kakeknya. Kalian silakan mengelola hotel itu sampai Elio besar.”

“Kami hanya mau merawat Elio. Kami hanya ingin menyembuhkannya. Beri kami waktu enam bulan sampai satu tahun kedepan. Elio akan kembali kesini dalam kondisi sehat.”

Akhirnya Elio pun ikut dengan Renata. Kenapa bisa bersedia ikut dengan Renata? nanti akan diceritakan selanjutnya.

Satu tahun berlalu, Elio sudah bisa sembuh. Tapi tetap saja ia lebih banyak diam dan hanya ramah pada orang-orang tertentu yang membuatnya nyaman. Saat Renata ingin mengembalikan Elio pada keluarga aslinya, untuk pertama kalinya Elio meraung, ia tidak mau pulang. Elio hanya mau tinggal dengan Renata. Akhirnya setelah memberikan pemahaman pada keluarga besar Elio, Elio bisa tinggal dengan Renata dan Gilang sampai saat ini. Tentu saja tanpa merubah statusnya di catatan sipil.

Elio, dalam bahasa spanyol berarti matahari.

Tapi Luna bilang, kakaknya seperti gundukan batu es bernafas. Terlalu dingin, perlu dididihkan baru bisa cair. Siapa kompornya? Pasti Luna. Hanya dengan Luna ia bisa tertawa terbahak-bahak. Entah urusan remot televisi, entah urusan tangan jahil mengacaukan dapur membuat jiwa OCD Luna memberontak dan banyak urusan receh lainnya. Pokonya mereka akan kompak jika urusan perut dan bersih-bersih.

Bicara kelebihan, cukup banyak yang bisa dibanggakan dari Elio, pintar sudah pasti, tampan jangan ditanya, bentuk tubuh nya cukup atletis terlebih Elio adalah atlet taekwondo sabuk hitam. Ada lagi, yang membuat kaum hawa meleleh, pria itu ahli memasak. Jika membuat fettuccine dan spaghetti saja ia akan melakukan plating dengan memutar pasta dengan garpu agar telihat cantik. Masyaallah. Kurang apa coba?

Di antara semua kelebihan itu, hanya Luna dan keluaragnya yang tahu Elio mempunyai kekurangan, pria itu cukup jorok alias malas bersih-bersih. Jika kamarnya bersih sudah pasti mahakarya tangan Luna yang gatal melihat kamar yang seperti kandang kuda. Selain itu, Elio tidak pintar begaul. Semua temannya adalah pria, jika ada wanita pun paling satu-satu dan belum tentu ia ingat namanya.

Ya begitulah, bagai bulan dan matahari Elio dan Luna seperti siang dan malam. Jika matahari identik dengan kehangatan, maka Elio yang ini adalah gundukan batu es yang dingin. Jika bulan identik dengan kesunyian, maka Luna adalah kebisingan yang memusingkan.

Lalu bagaimana Luna dan Elio bisa hidup berdampingan? Entah bagaimana, mungkin mereka saling membutuhkan. Lalu hidup seperti keluarga sunguhan. Adik dan Kakak maksudnya. Saling melengkapi. Luna lapar, elio masak. Elio malas bersih-bersih, Luna bertransformasi menjadi cleaning service di kamarnya. Simbiosis mutualisme tepatnya.

Mereka tumbuh bersama hingga saat ini Elio sudah berusia 26 tahun. Meskipun sempat terpisah enam tahun, karena Elio dibawa Gilang kuliah S1 dan S2nya di Aussie. Tapi hampir setiap bulan mereka bisa bertemu. Entah Elio pulang ke Indonesia, atau Luna yang mengunjungi Sang Papa di sana.

Selanjutnya mari berkenalan dengan Renata dan Gilang. Renata dan Gilang bukan keluarga kaya raya. Biasa-biasa saja sebenarnya. Renata adalah dokter psikiater praktik ditiga rumah sakit di Jakarta, dan sang suami, Gilang adalah seorang diplomat yang di tugaskan di Australia dari beberapa tahun silam. Sejak awal menikah, mereka menjalani hubungan jarak jauh dan bertemu sebulan sekali atau bisa lebih jika sangat rindu.

Tapi akhir akhir ini, tepatnya setelah Elio lulus S2 dua tahun yang lalu, Renata merasa lelah dengan pernikahan jarak jauh. Jika boleh jujur karena ia sudah pusing mengurus Luna sendirian. Anak gadisnya akhir-akhir ini sangat menguji kesabaran. Luna berubah jadi sangat bandel setelah Elio dibawa Gilang ke Aussie. Entah apa sebabnya. yang pasti dia punya banyak teman-teman yang belum tentu semuanya memiliki pengaruh yang baik untuknya.

Alhasil Renata berencana pindah ke Aussie dan memboyong Luna kesana. Tapi anaknya itu memang berkepala batu alias keras kepala. Luna tidak mau. Alasannya cukup mengelus dada. Coba dengar ini.

“Luna nggak mau Mam. Luna nggak mau pisah sama temen-temen Luna. Kalau Mama, Papa dan Kak El disana, ya udah Luna sendiri di Indonesia.” Menyebalkan bukan?

Tapi Elio memang malaikat untuk Luna. Disaat suasana tegang seperti ini. Si gundukan batu es itubersuara.

“Udah Ma.. Biar El yang jaga Luna disini. Lagi pula El sekarang harus fokus mengurus hotel dan bisnis restoran disni.”

Ya… Semenjak Elio lulus S2, entah keberanian dari mana ia langsung mengambil alih jabatan tertinggi di hotel milik almarhum ayahnya. Melawan keserakahan om dan tantenya satu per satu. Selain itu, karena hobinya memasak, dia membuka resto kecil-kecilan di dekat kampus Luna.

“Kamu yakin nggak mau lanjut S3, El?” Tanya Gilang

“S2 sudah cukup Pa. Sekarang tinggal aktualisasi ilmu saja.” Ucapnya tenang.

Luna begitu girang mendengarkan penawaran Elio. Seketika ia membayangkan sang kakak berubah wujud menjadi ironman lengkap dengan topengnya. Iya begitulah Elio akan selalu menjadi malaikat pelindung untuk Luna.

Cup…!

Satu kecupan mendarat di pipi kanan Elio. Siapa lagi tersangkanya jika bukan adik laknat yang cantik nan juga juga bar-bar itu.

“Kakak baik deh sama aku. I Love you.”

“Lunaaaaa…!” Pekik Renata. Jangan tanya Luna dimana sekarang. Dia sudah kabur masuk ke dalam kamar sebelum Renata kembali menjewer telinganya.

Akhirnya sejak keputusan itu di ambil, Luna dan Elio pindah ke apartemen dengan dua kamar. Rumah sebelumnya mereka jual, karena untuk apa punya rumah besar jika hanya ditempati Elio dan Luna saja. Sedangkan Renata pindah ke Aussie ikut Gilang sang suami.

Baru tujuh hari Renata di Aussie tapi ia sudah merengek minta pulang pada Gilang. Semua tidak seindah dalam bayangannya. Tidak ada suara bising Luna membuat dunianya hampa. Ya layaknya ibu pada umumnya, Renata benar-benar rindu pada cicitan marmut kecilnya. Apa boleh buat, akhirnya Gilang menuruti kemauan istrinya. Mereka berencana pulang besok pagi.

Dan ini lah yang terjadi pagi itu. Baru saja Renata masuk ke dalam unit apartemen yang sudah ia hafal password-nya, tiba-tiba Renata langsung dibuat shock saat melihat pemandangan Luna dan Elio tidur sangat nyenyak sambil berpelukan. Astagfirullah….

Ibu mana tidak shock melihat pemandangan itu. Jika boleh membunuh mungkin ia sudah membunuh salah satu atau bahkan keduanya. Ah tapi tidak, Renata terlalu sayang pada kedua anak itu. Sebagai gantinya ia berteriak sekencang-kencangnya. Menumpahkan kekesalannya sampai menangis tersedu-sedu. Entah siapa yang salah sekarang.

“Ya Allah…. Ya Robbi… Dosa apa aku sampai kedua anakku berbuat zinaaaah seperti ini…”

Pekik Renata melengking hingga langit ketujuh. Gilang yang baru saja menyeret koper mereka masuk ke dalam unit apartement, langsung berlari ke kamar Elio. Tangannya sudah mengepal ingin marah. Tapi tunggu, jangan buru-buru…

“Ada apa sih Ma? Masih pagi sudah teriak-teriak.” Luna menggeliat keluar dari selimut. Baju mereka utuh. Iya mereka hanya saling berpelukan saja.

Jika Luna bisa bersikap santai, maka tidak dengan Elio. Dia merasa bersalah. Bahkan saking bersalahnya, pria itu sampai berlutut di kaki Renata dan Gilang.

“Mama Papa… Maafin El. Semalam hujan lebat dan petir-petir. Luna takut tidur sendiri. bla… bla..” Sampai disini Renata dan Gilang sudah paham dan tidak ingin menyalahkan kedua anaknya lagi. Luna memang seperti itu. Kalau dulu saat Renata ada di Indonesia, pasti Luna langsung memeluk Renata, tapi sekarang siapa lagi kalau bukan Elio. Tapi, lagi-lagi ini tidak bisa dibiarkan terus menerus seperti ini.

“Luna…” Panggil Renata. dengan suara tegas.

“Ya Mam…” Jawabnya santai sambil asik menonton televisi besiaran kartun kuning berbentuk sponge itu. Bahkan dia masih sempat-sempatnya cekikikan.

“Sekarang pilih. Ikut Mama dan Papa ke Aussie atau Menikah dengan El.”

“WHAAAT…?”

...😂-[Bersambung]-😂...

Selamat datang di karya baruku ya.

Semoga bisa dapat kekuatan novel ini sampai selesai. Yeah jangan lupa selipkan like dan commentnya votenya. Semoga novel ini bisa member warna baru di NT/MT.

Pilihan yang Sulit

Sekarang pilih. Ikut Mama dan Papa ke Aussie atau Menikah dengan El.”

“WHAAAT…?”

Pekik Luna nyaring sampai merusak gendang telinga. Sebenarnya Renata tidak serius dengan kalimatnya tadi. Iya… Bisa dibilang ini sekedar ancaman saja agar Luna bisa ikut ke Aussie. Lagi pula Renata tipe mama muda masa kini yang memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup masing-masing. Bahkan saking bebasnya sampai kebablasan. Inilah Luna contoh nyatanya.

“Nggak mau. Kak El itu Kakak aku. Nggak mungkin aku nikah sama dia.” Luna menghentak-hentakkan kakinya seperti batita tantrum.

“Ya sudah kalau tidak mau. Berarti kamu ikut Mama ke Aussie.” Renata sudah habis kesabaran. Entah berapa gelas air putih ia teguk dari tadi untuk menetralisir hatinya yang gosong.

“Enggak mau Mama. Jangan paksa Luna.” Luna masih saja merajuk dengan manjanya.

“Mama nggak terima bantahan. Sekarang kemasi barang kamu besok kita berangkat.”

“Mama nggak bisa gitu dong. Luna kuliah disini. Teman-teman Luna juga disini. Pindah kok kaya nyeplok telor. Mama lupa kalau masuk Aussie perlu visa…?” Luna masih saja mengomel. Bahkan bibirnya sudah monyong lima centi.

Renata akhirnya menghela nafasnya beberapa saat. Benar kata Luna, pindah itu tidak semudah menggoreng telur ceplok.

“Udah ah. Luna mau beresin kamar.” Gadis itu akhirnya berlalu masuk ke dalam kamarnya yang nyaris seperti kapal pecah.

Iya ini pemandangan langka memang. Akibat petir semalam ia ketakutan bahkan melempar semua barang ke arah jendela. Jangan ditanya berapa kerugiannya. Tidak banyak sih, tapi cukup membuat jiwa OCD nya meronta-ronta. Itu lah mengapa Elio membawanya tidur ke kamarnya. Sampai akhirnya adegan tidak senonoh itu mereka lakukan. Eh maksudnya hanya berpelukan dari malam sampai pagi.

Berbeda dengan ibu dan anak yang sedang bersitegang, Gilang dan Elio justru sibuk menyantap nasi goreng buatan Elio. Koki kelas rumahan itu memang paling jago masak. Mengalahkan Renata yang hanya bisa masak goreng-goreng saja, itu pun sering gosong. Nasi goreng buatan Elio saja saja rasanya bisa sangat nikmat di lidah.

“Ini teh hangatnya Ma.” Elio meletakkan secangkir teh hangat di depan Renata.

“Makasih Sayang.”

“Maaf ya Ma.” Ucap Elio yang melihat kerutan di kening Renata.

“Bukan salahmu. Ini memang salah Mama meninggalkan adikmu di Indonesia. Harusnya Mama nggak egois minta pindah ke Aussie.”

“Tapi mau sampai kapan mama jauh dari Papa. Sudah dua puluh tahun El mama sama papa jauhan. Tapi ninggalin kalian berdua mama nggak tenang, buktinya.”

Renata menghela nafasnya sesaat, kemudian menyesap teh miliknya. Lumayan menengkan hatinya.

“Sudahlah Ma… Lagi pula mama tau Luna takut petir. Ya wajarlah dia peluk-peluk Elio.” Giliran Gilang yang membela.

“Pap.. Stop it..! Jangan mentolerir sebuah kesalahan. Kamu ayahnya, masa anak gadis kelakuannya seperti itu.”

Renata menatap tajam suaminya yang makin asik menyantap nasi goreng rempah buatan Elio.

“Mama khawatir Pap. Anak-anak kita sudah besar Hari ini pelukan. Besok ngapain?” Renata memijit pangkal hidungnya. Kepalanya benar-benar pusing.

“Mama maafkan El….” Lagi-lagi si anak manis Elio meminta maaf. Andai saja Luna yang bicara seperti itu. Mungkin sedikit meredakan sakit hatinya.

“Sudah-sudah…” Gilang bangkit dan memijit lebut pundak istrinya.

“Pap… Mama nggak tenang kalau masalah nggak selesai hari ini.”

“Mama mau diselesaikan dengan cara apa? Lagi pula kasian Elio sudah minta maaf begitu.” Ucap Gilang berusaha menenagkan istrinya. Sudah ditebak dari siapa sifat bar-bar Luna. Bukan dari Gilang, pasti dari Renata.

“Luna harus ikut kita ke Aussie. Tinggal sama kita. TITIK.” Ucapnya penuh penekanan.

“Mam… Kan mama sendiri yang bilang kita harus kasih kebebasan sama anak.”

“Tapi Luna sepenuhnya masih di bawah kontrol kita Pap. Dia masih belum bisa berfikir jernih. Lihat minggu lalu. Dia sampai tertangkap satpol PP gara-gara ngamen dijalanan. Ya Allah Gustiiii…. Bikin malu keluarga saja.” Renata mulai frustasi. Sepertinya ia psikiater yang butuh psikolog akhir-akhir ini.

“Coba El yang bujuk nanti Ma.”

“Sekarang aja bujuknya. Kelamaan kalau nanti-nanti.” Ketus Renata.

Elio langsung bergegas menuju kamar Luna. Berharap dia bisa menebus kesalahannya hari ini pada Renata.

Kondisi kamar Luna memang sudah super berantakan. bahkan di dekat jendela terdapat pecahan jar tempat ikan milik Luna. Entah kemana ikannya, yang pasti sudah mati karena dibiarkan begitu saja tanpa air dari semalam.

“Sini aku bantu?”

“Hemmm…” Luna mengangguk.

Akhirnya Elio ikut bejongkok meminguti pecahan kaca itu satu per satu.

“Kakak mau bujuk aku biar ikut mama ke Aussie?”

“Enggak.” Jawab Elio. Padahal iya.

“Terus mau ngapain? Mau ceramah agama tentang anak durhaka?”

Elio tersenyum. Siaylnya memang itu rencananya. Tapi sudah bisa di tebak sama sang adik yang punya IQ Superior itu.

“Kenapa diam? Iya kan?”

Elio mengangguk.

“BIG NO Kak. Aku nggak mau.”

“Kenapa? Futsal? Band? Club skuter?” Pertanyaan itu terdengar mengintimidasi tapi entah kenapa kalau Elio yang bertanya jadi terasa berbeda. Tidak seperti saat sang Mama. Luna langsung saja tersulut emosi.

“Semua. Aku enggak mau kesana. AKU CINTA INDONESIAAAA.” Ucap Luna dengan suara menggelegar. Pasti terdengar sampai ke ruang tengah. Sudah pasti terdengar oleh Renata dan Gilang.

“Cih gaya lo…” Elio mengacak-acak rambut Luna sampai kusut tidak berbentuk.

“Kakaaaaak…” Pekik Luna sekali lagi. Gadis bar-bar itu mengambil buku-buku yang tadi sudah ia susun rapi dan melemparkannya satu-satu ke arah Elio.

Apalah daya, niat hati ingin membujuk adiknya, malah membuat mereka kembali berperang. Elio lari ke ruang tengah menyelamatkan diri, disusul oleh Luna yang yang malah membawa sapu lidi kasur. Akhirnya adegan kejar mengejar pun terjadi. Mereka seperti menjelma menjadi tom and jerry versi manusia dalam sekejap.

“Sumpah… Aku benci banget kalau rambut aku kakak acak-acak ya.”

“Bukannya bantuin rapiin kamar, malah gangguin aku. Keseeel sana balik ke Aussie.” Teriak Luna. Bukannya takut, Elio malah tertawa terbahak-bahak.

Tidak sampai hitungan menit, Luna berhasil menangkap Elio. Dijepitnya kepala sang kakak pada ketiaknya kemudian menyeretnya sekuat tenaga kembali ke dalam kamar.

“Minta maaf nggak sama aku?”

“Enggak…”

“Lihat aja ya. Nanti aku ngadu ke Mama kalau Kakak udah ngusilin aku.” Ucap Luna kemudian.

Dan seketika mereka berdua sadar bahwa orang yang dimaksud tengah ada bersama mereka saat ini. Renata dan Gilang saling berpandangan. Jangan ditanya apa yang ada di fikiran mereka. Suram sudah...

“Mama tadi serius mau nikahin mereka?” Tanya Gilang berbisik tapi masih bisa terdengar jelas di telinga Luna dan Elio.

“Coba Papa kasih tahu sama mama, apa yang harus kita lakukan sekarang kalau tidak menikahkan mereka?”

“Ya sudah Papa setuju.”

“PAPAAA…” Teriak Luna dengan suara melengking. Bisa-bisanya sang papa ikut-ikutan seperti mamanya

“Sini kalian…!” Bentak Renata.

Elio yang tidak pernah kena marah pun sekarang ikut dimarahi oleh Renata.

“Kamu… Baru tadi minta maaf sama Mama, El. Sekarang sudah melakukan kesalahan lagi.”

“Ooo…udah ikut-ikutan kaya adik kamu melawan sama mama, hah?” Renata menatap Elio sinis lalu beralih menatap Luna yang masih saja tidak merasa bersalah.

“Dan kamu Luna. Kamu itu perempuan Luna. Jaga harga diri kamu. Bisa-bisanya kamu mepet-mepet sama El. Harus berapa kali sih mama jelasin ke kamu, El itu bukan kakak kandung kamu. Main nyosor, main peluk. main mepet-mepet seeprti iyu. El itu normal. Dia punya nafsuu.”

Uhuk… Uhuk…

Elio tersedak air ludahnya sendiri. Bagaimana mungkin mamanya bisa berfikir demikian. Ya… Meskipun kadang memang tubuhnya bereaksi jika bersentuhan dengan Luna. Tapi Elio hanya menganggap Luna sebagai adiknya. Tidak lebih.

“Aku nggak ngapa-ngapin kok. Kenapa sih Mama sensitif banget. PMS ya…?” Luna masih saja membela diri.

“Sekarang pilih. Mau ikut Mama dan Papa ke Aussie atau menikah dengan El…?” Sekali lagi pertanyaan itu terlontar sari mulut Renata

“LUNA NGGAK MAU IKUT KE AUSSIE, TITIK.” Ujarnya lantang.

“Ya sudah berarti kamu menikah dengan El.”

Luna tidak kuasa menjawab. Ini pertengkaran terhebat sepanjang sejarah dengan Sang Mama. Sungguh Luna merasa Renata egois, demi berdekatan dengan papanya, ia merasa menjadi korban dari keegoisan itu.

“El. Kapan kamu mau menikahi Luna?” Renata melihat ke arah El.

“Secepatnya Ma.”

“APAAA?”

Luna dan Gilang menatap ke arah Elio dengan tatapan tidak percaya. Bagaiamna bisa Elio bisa berkata demikian.

...😅[Bersambung]😅...

Eh yang nyasar kemari. Salam kenal ya. Jangan lupa tinggalkan jejakmu. Jejakmu semangatku menulis setiap harinya.

Mendengarkan Curahan Hati Luna

Siapa sangka meja yang biasanya digunakan untuk makan bersama keluarga itu, beralih fungsi jadi meja sidang. Entah siapa yang disidang pokonya pembicaraan itu akan jadi sangat serius.

Jangan disangka setelah Elio menjawab akan segera menikahi luna, kemudian masalah selesai. Tidak semudah itu furgoso.

Gilang tidak terima sikap berlebihan Renata yang tiba-tiba mau menikahi anak gadisnya hari itu juga. Apa lagi Luna, dia malah tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut setelah mendengar jawaban Elio. Lucu sekali keluarga ini menurutnya.

“Sekarang kasih tahu Mama apa yang bikin kamu lebih milih teman-teman kamu itu dari pada keluarga ini…?” Tanya Renata mencoba mengontrol emosinya. Cangkir tehnya sudah kosong karena dari tadi tidak berhenti ia sesapi.

“Mereka kasih aku apa yang nggak aku dapat di keluaraga ini.”

Gilang dan Renata menyeringit bingung.

“Apa?” Lanjut Renata.

“Waktu. Mereka kasih Luna waktu. Apa Mama dan Papa bisa kasih Luna waktu seperti mereka…?”

Deg…!

Hampir dua puluh tahun umur Luna, tidak terfikir oleh Renata dan Gilang, Luna akan berkata demikian.

“Kemana Papa dan Mama sewaktu aku butuh kalian? Mama sibuk sama pasien Mama.” Luna menatap Sang Mama dengan tatapan sendu.

“Papa? Jangan ditanya. Aku nggak butuh gantingan kunci dan mainan kulkas dari semua negara yang Papa kunjungi. Tapi… Tapi lihat Anna, Rangga, Tio, Pras, Lucy, Abel, dan banyak lagi aku nggak bisa sebut semua. Mereka bisa kasih aku waktu mereka.” Luna mendongakkan wajahnya agar air matanya tidak menetes. Malu sekali kalau sampai itu terjadi. Gadis itu telah mendeklarasikan dirinya menjadi ketua member anti mewek-mewek club.

“Dari umur aku tujuh tahun, aku cuma punya Kak El. Satu-satunya keluarga yang peduli sama aku. Hanya Kakak yang rela lari menerabas hujan badai dari sekolah sampai rumah cuma buat nemanin aku yang takut sama petir.”

“Cuma Kakak. Bukan Mama. Apalagi Papa.” Luna menatap ketiganya bergantian.

“Terus setelah semua ketergantungan aku sama Kakak, Mama dan Papa menjauhkan Kakak dari aku dengan menyuruhnya kuliah ke Aussie sampai enam tahun lamanya.”

“Jangan fikir aku nggak tahu rencana Mama. Tapi aku aku protes? Enggak.” Luna menghela nafasnya.

“Aku butuh temen Ma, Pa.” Luna melihat Renata dan Gilang bergantian.

“Luna, Papa—“

“Sssttt… Papa nggak usah merasa bersalah. Aku sudah paham orang tia menjalankan tugas negara.”

“Aku bangga sama kalian. Orang tua terbaik yang aku punya.”

“Tapi tolong sekarang tolong Papa yang hargai keputusan aku. Aku mau tetap di Indonesia.”

Renata dan Gilang terpaksa hanya diam. Lebih tepatnya bungkam seribu bahasa

“Oh ya… Satu lagi. Aku nggak mau egois sama Mama dan Papa. Aku tahu kalian pasti ingin hidup bersama. Aku tau Mama sering nangis tiap malam karena kangen sama Papa. Aku juga tau dari Kak El, Papa juga sering murung di sana mikirin Mama. Jadi sekarang silakan kalian tinggal bersama. Aku seneng kok orang tua aku bisa tinggal bersama.” Luna tersenyum tulus membayangkan itu.

“Tapi maaf, Luna hanya mau di Indonesia.” Sambungnya kemudian.

“Luna… please, Sayang.” Ucap Renata dengan nada memohon.

“Maaf Ma.”

“Mama nggak tenang kamu disini sendiri.”

“Luna nggak sendiri, Luna sama Kakak.”

“Tapi…,”

“Tapi apa? Kak El bukan Kakak kandung Luna. Begitu?”

Renata mengangguk. Itu lah yang jadi masalahnya dari beberapa tahun yang lalu. Kekhawatiran Renata akan hubungan Luna dan Elio yang begitu dekat, membuatnya meminta pada sang suami membawa Elio ke Aussie, dengan alasan sekolah.

“Aku nggak ada perasaan sama Kak El.” Luna menatap wajah El.

“El…?”

Renata beralih menatap wajah El yang hanya tertunduk.

Elio diam. Sebenarnya dia tidak begitu yakin dengan perasaanya. Elio nyaman berada di dekat Luna. Tapi sepertinya bukan cinta. Hanya sayang saja. Namanya juga adik satu-satunya.

“Kak jawab…!” Bentak Luna.

Barulah El mengangkat kepalanya.

“Sejauh ini El hanya menganggap Luna adik Ma. Tidak lebih. Tapi jujur El merasa nyaman saat bersama Luna. Hanya luna perempuan yang dekat dengan El sampai saat ini.”

Luna menyeringitkan keningnya. “Ah siyal, si cupu ini.” Batinnya.

“Mama kan tau kak El memang cupu. Jadi mana punya teman perempuan.” Ucap Luna menyindir.

Renata tersenyum.

“Nak… Cinta itu tumbuh karena rasa nyaman. Kamu nyaman dengan El. Sampai kamu mencari pelarian dengan teman-temanmu. Sedangkan El sudah mengakui dia nyaman sama kamu.”

“Terus mama mau apa? Kami nikah? Iya?” Selak Luna.

Renata terdiam. Tentu itu satu-satunya cara saat ini. Lagi pula Elio terbukti bisa mengendalikan sifat bar bar Luna.

“Sebelum menjadi dosa besar.” Jawab Renata.

“Dosa besar gimana? Aku nggak ngapa-ngapin sama kakak.”

“Semalam yakin nggak ngapa-ngapain?” Tanya Renata melihat Elio.

“Kamu yakin nggak merasakan sesuatu tidur dengan Luna El…?”

Hati El meloncos ngeri. Harus dia akui saat memeluk Luna semalaman, tubuhnya bereaksi. Tapi ya dia hanya menganggap wajar saja namanya juga laki-laki bersentuhan dengan perempuan. Tapi dia bisa mengendalikan itu semua.

Luna menatap ke arah El yang ternyata juga menatap ke arahnya.

Luna langsung merasa jijik tiba-tiba. Jangan salah sangka dulu. Dia bukan jijik dengan El, tapi jijik dengan dirinya sendiri yang selama ini kecentilan mengecup pipi El, minta dipeluk, minta disayang. Ah entah lah. Tapi ia benar-benar menganggap El kakaknya.

“Nggak bisa.” Tegas Luna.

“Ya sudah. Kalau begitu, mama batalkan saja Pa tinggal di Aussie.” Renata tertunduk. “Maaf ya, mama egois sama kamu.” Tutupnya.

Tes…

Satu tetes air mata jatuh di pipi Renata. Jika seorang ibu harus memilih antara hidup dengan suaminya atau anaknya. Pasti ia akan memilih anaknya. Jika ibu harus memilih kebahagiaan dirinya atau anaknya, pasti jawabnya adalah anaknya. Anak adalah segalanya bagi seorang ibu.

“Ma…” Elio langsung memegang tangan renata.

“Sudah El. Mama nggak apa-apa kok. Besok Mama akan beli unit disebelah. Kamu pindah ke sebelah. Mama dan Luna disini. Biar Mama yang jaga Luna. Kamu nggak punya tanggung jawab apapun untuk menjaga anak Mama.” Ucap Renata.

“Mama El mohon. Izinkan El balas budi sama Mama. El sudah anggap Mama dan Papa seperti orang tua kandung El.” Lirih Elio.

“Mama tau, Sayang. Kamu tetap anak kami. Tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Tapi tidak untuk menjadi kakak Luna.” Renata mengusap pucuk kepala anak angkatnya itu.

“Tidak boleh ada hubungan seperti itu antara kalian. Kalau kalian tidak menikah, lebih baik mulai sekarang belajar saling menjauh dan tidak saling mengenal. Jangan sampai menjadi masalah di masa depan. Kalian akan hidup dengan pasangan masing-masing nantinya. Pasangan kalian pasti akan cemburu melihat kalian sedekat ini, padahal bukan sauara kandung.” Tutup Renata.

“Ya sudah… Sekarang sudah jelas ya semuanya. Tidak ada pernikahan. Mama batal ikut Papa ke Aussie. Dan Elio, mulai besok kamu atur pembelian unit di sebelah.” Akhirnya sidang dadakan itu ditutup dan disimpulkan oleh Gilang.

Luna? Bagaimana gadis itu. Hatinya berdenyut nyeri. Dia memang gadis tomboi yang cenderung masa bodoh. Tapi dia tau rasanya kesepian. Dia tau apa yang dirasakannnya Sang Mama dua puluh tahun ini. Kesepian, jauh dari orang yang dicintai dan itu menyakitkan. Lalu malam ini? Dia melihat mamanya nangis di depannya. Pasti kecewa harus batal hidup bersama dengan belahan jiwanya, setelah dua puluh tahun menunggu.

Akhirnya, malam itu Elio tidur di sofa ruang tengah, Luna di dalam kamarnya, dan Renata dan Gilang tidur di kamar Elio.

Tidak ada satu pun dari mereka yang memejamkan mata. Luna masih sibuk mengurus kamarnya yang berantakan, Elio menonton televisi, Renata dan Gilang sepertinya mereka harus menangis gara-gara batal hidup berama.

Setelah kamarnya beres kembali, Luna terdiam duduk di kasurnya. Fikirannya melayang entah kemana. Sedih sekali rasanya tapi egonya masih sangat tinggi untuk menuruti permintaan sang mama. Tidak ke Aussie dan tidak juga menikah dengan Elio. Pokonya dia mau seperti ini saja.

Ada lagi sebenarnya yang mengganjal di hati Luna, yaitu Elio. Laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakak selama dua belas tahun ini. Ternyata mulai besok bukan lagi menjadi kakaknya seperti dulu. Elio akan seperti empat orang kakak angkat Luna yang lain, yang tinggal terpisah darinya.

Benar kata Renata, tidak ada hubungan seperti itu harusnya. Tapi kenapa sakit sekali rasanya harus kehingan orang yang selama ini menjaganya. Dari semua nama teman yang tadi ia sebutkan, Elio lah yang paling sayang padanya. Satu Elio sama dengan seribu temannya.

Sementara di ruang tengah, Elio sesekali meneteskan air matanya. Pahit sekali kenyataan hidupnya. Masih segar di ingatannya dua belas tahun silam. Saat tidak ada satu orang pun yang bisa ia percaya, bahkan ia ragu dengan ketulusan Nenek dan Kakeknya saat itu. Lalu tiba-tiba Renata, Gilang dan Luna hadir memberikan cinta yang luas untuknya. Cinta tanpa syarat, penuh dengan ketulusan. Tapi lihat apa balasan yang ia berikan hari ini, tangisan kekecewaan Sang Mama.

...😌[Bersambung]😌...

Ditunggu sentuhan jarinya di tombol like, hadiah, favorite, vote dan yang pasti bubihi komen2 yang menyengkan agar aku semangat olah raga jempol setiap hari.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!