Blurb
Menikah bukan tujuan hidup Allan Hadikusuma, seorang pria mapan berusia 32tahun. Ia tampan, banyak uang dan digilai banyak wanita.
Hatinya telah tertutup untuk hal bodoh bernama cinta, hingga akhirnya terjadilah pertemuan antara dirinya dengan Giany, seorang wanita muda korban kekerasan fisik dan psikis oleh suaminya sendiri.
Diam-diam Allan mulai tertarik kepada Giany hingga timbul keinginan dalam hati untuk merebutnya dari suami yang kejam.
Bagaimana perjuangan Allan dalam merebut istri orang?
Akankah ia dicaci karena berusaha merebut istri orang, atau sebaliknya malah didukung?
"Untuk kamu yang tidak tahu cara mencintainya, maaf, bukan salahku merebut istrimu!" --Allan
🌵🌵🌵🌵🌵
_
_
_
_
_
"Giany, berhenti menangis, aku benci mendengarnya!" Suara bentakan Desta menggema.
Sebuah tamparan keras baru saja ia jatuhkan di pipi kanan Giany, seorang wanita muda berusia kurang dari 20tahun yang baru dua bulan menjadi istrinya.
Wanita itu terduduk di lantai dengan mengusap pipinya yang terasa kebas. Bekas tangan Desta meninggalkan tanda merah di sana. Desta melayangkan tatapan kebencian kepada istrinya itu.
Bukan tanpa alasan ia mau menikahi gadis seperti Giany, seorang gadis sederhana yang sama sekali bukan tipenya. Sebab sebelum menikah, Desta memiliki seorang kekasih yang amat dicintainya, Aluna, yang sudah dua tahun ia pacari.
Suatu malam, Desta mabuk setelah menghadiri pesta ulang tahun rekan sekantornya di sebuah klub malam. Giany yang saat itu baru pulang kerja sebagai SPG salah satu toko sepatu di sebuah pusat perbelanjaan, terpaksa menjadi budak na*fsu Desta. Ya, ia mengalami pemerkosaan oleh Desta yang menyebabkannya hamil.
Bukan hanya diusir dari lingkungan tempatnya tinggal karena tuduhan sebagai wanita penghibur, Giany juga kehilangan sosok ibu yang selama ini menjadi tempatnya bersandar. Sang ibu terkena serangan jantung setelah mendapati kenyataan putri semata wayangnya hamil tanpa seorang suami.
Beruntung salah seorang kerabatnya bersedia membantu menuntut pertanggungjawaban dari Desta. Sehingga mau tak mau, keluarga Desta akhirnya setuju menikahkan Desta mereka demi menutupi aib keluarga.
"Kamu sengaja menjebak aku malam itu kan?"
"Tidak, Mas. Aku tidak melakukan apa-apa!"
"Sekarang banyak alasan kamu! Kamu tahu, gara-gara kamu hubungan aku dan Aluna hancur. Sekarang keluar dari kamarku, aku muak melihat wajahmu!"
Sambil menahan tangis, Giany memunguti pecahan gelas yang berserakan akibat dilempar Desta.
Tadi sepulang kerja, ia bermaksud membawakan suaminya secangkir teh hangat. Namun, bukannya berterima kasih, Desta justru marah dan memaki Giany. Ia bahkan tak peduli walau di rahim Giany ada calon anaknya, darah dagingnya sendiri.
Rasanya berat bagi Giany menjalani hidup seperti sekarang. Tidak ada lagi tempatnya bersandar. Desta yang seharusnya menjadi tumpuan hidupnya malah tidak menganggapnya sama sekali. Layaknya seorang istri terbuang, Giany hanya mendapat kamar belakang yang sempit dan pengap, yang bersebelahan dengan kamar pembantu.
"Huek!" Untuk kesekian kalinya, Giany memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya. Mencium aroma masakan saja membuat perutnya terasa mual.
Tepukan lembut mendarat di bahu. Seorang wanita paruh baya memijat tengkuknya. "Mbak Giany mau makan apa? Biar bibi siapkan. Mbak Giany kan belum makan dari pagi," ucap Bibi Sum.
Giany membasuh wajahnya dengan air. Ia menghela napas dalam, berusaha mengurangi perasaan tidak enak yang berpusat di perutnya.
"Tidak ada, Bibi. Aku sedang tidak mau makan apa-apa."
"Tapi Mbak Giany sedang hamil. Kalau malas makan, nanti sakit. Kasihan janin di perut Mbak."
"Tidak apa-apa, Bibi. Aku mau ke kamar saja."
Giany beranjak menuju kamar, membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Setitik air mata mengalir di sudut matanya. Ia sedang sangat menginginkan makan martabak kesukaannya.
Tetapi harus bagaimana? Desta yang menjabat supervisior di sebuah perusahaan ternama bahkan tak pernah memberinya uang. Ia seakan sengaja membuat Giany hidup dalam tekanan batin.
Di sinilah Giany sekarang. Di sebuah rumah yang terasa bagai neraka. Jika wanita hamil di luar sana mendapat perlakuan istimewa dari sang suami, maka tidak dengan Giany. Jangankan sedikit perhatian, bahkan Desta tidak pernah sekedar bertanya apa yang sedang diinginkan istrinya itu.
******
🌼🌼🌼🌼🌼🌼
_
_
_
_
_
_
Assalamu alaikum warahmatullahi Wabarakatuh... Halo semua ... Aku bawa cerita baru untuk menemani teman-teman di waktu senggang.
Semoga tulisan receh ini bisa menghibur. Bab awal akan penuh bawang tapi makin ke atas akan membuat ngakak dengan kelakuan si Allan.
Jangan lupa follow akun penulis dan juga Akun Igeh di
@Kolom_Langit.
Oh ya, walaupun novel ini judulnya "Bukan Salahku Merebut Istrimu"
Tapi percayalah, ini bukan tentang perselingkuhan, karena Allan akan merebut Giany dari Desta dengan cara terhormat. Eaaaakkkkkk!!!!
Tinggalkan Jejak yaaaa 😘😘😘😘 dan add favorit biar ada notif kalau up.
Terima kasih, Selamat membaca!!!
"Mbak Giany kenapa? Itu wajahnya pucat," tanya Bibi Sum saat melihat Giany keluar dari kamar pagi itu.
Wajahnya yang pucat, bibir kering dan terlihat sangat lemas membuat Bibi Sum khawatir. Menyadari itu, Giany pun berusaha meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja dengan senyuman.
"Tidak apa-apa, Bibi. Hanya lemas dan pusing sedikit."
Wanita paruh baya itu membawa Giany duduk di sebuah kursi di dapur. "Kalau sakit, kasih tahu Bibi, ya. Mbak Giany kan sedang hamil. Bibi takut ada apa-apa."
Sebenarnya, hari ini ia ingin memeriksakan kandungannya. Beberapa hari belakangan, ia kehilangan selera makan, merasa mual terus, dan lemas. Akan tetapi Giany sama sekali tidak punya cukup uang untuk ke dokter, sebab Desta belum memberinya uang bulan ini.
Apa aku minta uang pada Mas Desta saja, ya. Tapi kalau Mas Desta marah bagaimana? ucap Giany dalam hati.
Desta yang ringan tangan membuat Giany tak berani untuk meminta sesuatu kepada suaminya itu. Jika Giany berani meminta, maka tak jarang Desta menjawab dengan tangan. Bahkan, sisa tamparan kemarin masih membekas dan meninggalkan memar di sudut bibir wanita muda itu.
Desta baru saja turun dari lantai atas. Pria tampan berusia 27tahun itu segera menuju meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Selama dua bulan menikah, sepasang suami istri itu tidak pernah sarapan bersama. Giany lebih memilih sarapan di dapur bersama Bibi Sum, sebab Desta tidak pernah mau dilayani oleh Giany.
"Bibi, kopi nya mana?"
Suara panggilan Desta membuat tubuh Giany tersentak. Ingin menyahut, tapi takut. Bibi Sum sedang pergi ke pasar. Sepertinya wanita paruh baya itu lupa membuatkan secangkir kopi untuk Desta.
Tak ingin membuat suaminya kesal menunggu, Giany segera berdiri dan membuatkan kopi.
"Ini kopinya, Mas," ucap Giany sambil menggeser secangkir kopi ke hadapan Desta.
"Kenapa kamu yang buat? Bibi Sum kemana?" tanyanya dengan nada ketus.
Tergugu, Giany belum sanggup menjawab. Tatapan tak bersahabat dari manik hitam Desta membuat tubuhnya seakan terbelah menjadi dua bagian.
"Maaf, Mas. Bibi Sum sedang ke pasar. Sepertinya lupa membuat kopi untuk Mas."
Menghembuskan napas dengan kasar, Desta mengibaskan tangan, pertanda meminta Giany segera pergi dari hadapannya. Wanita itu menunduk, seulas senyum tipis hadis di wajah pucatnya. Untuk pertama kali, Desta tidak berteriak kasar kepadanya saat berhadapan. Mungkin suasana hati Desta sedang baik pagi ini.
Giany meremaas ujung pakaiannya. Mungkin tidak ada salahnya meminta uang kepada suaminya itu. Toh, Giany bicara atau tidak, Desta tetap akan memukulnya jika salah bicara sedikit saja.
"Mas ..." Ragu-ragu Giany membuka suara.
"Hem ..."
"Hari ini aku mau periksa ke dokter kandungan. Apa ..." Giany tidak berani lagi melanjutkan ucapannya saat manik matanya bertemu dengan Desta. Yang membuat seluruh tubuhnya terasa meremang.
Tanpa menyahut, Desta meraih dompet dari saku belakang celana. Kemudian mengeluarkan lembaran uang seratus ribuan dan meletakkan di meja dengan kasar.
Giany melirik beberapa lembar uang yang baru saja diletakkan suaminya.
"Ambil itu dan cepat pergi dari hadapanku!" ujar Desta masih dengan tatapan tak bersahabat.
"I-iya, Mas. Terima kasih."
Tangan Giany mengulur, meraih lembaran uang itu dan pergi membelakangi Desta. Setibanya di kamar, ia menghitung jumlah uang yang diberikan Desta. Satu juta rupiah. Giany bernapas lega. Setidaknya uang itu cukup untuknya memeriksakan kandungan. Jika ada sisa, mungkin bisa digunakan untuk membeli susu hamil dan beberapa makanan yang ia idamkan beberapa hari terakhir.
*******
Hari itu Bibi Sum menemani Giany ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Desta tidak pernah tertarik dan tidak peduli dengan kondisi calon anaknya yang sedang tumbuh di rahim Giany. Baginya lebih baik pergi bekerja dari pada harus menemani Giany untuk memeriksakan kandungan.
Setibanya di poli kandungan, antrian cukup panjang. Giany berada di antrian akhir. Ia duduk di sebuah kursi panjang bersama Bibi Sum. Tatapannya tertuju pada seorang anak perempuan cantik yang sedang memainkan sebuah boneka Barbie. Giany melempar senyum tipis saat tatapan gadis kecil itu mengarah kepadanya. Akan tetapi, bukannya membalas senyum, gadis itu malah terlihat cukup kesal kepada Giany yang memandanginya.
"Mbak Giany mau minum, tidak? Antrian masih panjang. Nanti Mbak Giany lelah menunggu," tanya Bibi Sum.
"Tidak usah, Bibi. Aku mau jalan-jalan ke depan sebentr ya."
"Ya sudah, hati-hati."
Untuk mengusir kebosanan menunggu antrian, Giany memilih berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Ia melirik seorang wanita hamil yang sedang berjalan mengitari koridor rumah sakit. Sepertinya sedang berjalan sambil menunggu proses bukaan.
Sebenarnya bukan itu yang menjadi perhatian Giany. Akan tetapi, sosok laki-laki yang dengan setia menemani istrinya. Dalam benaknya bertanya, akankah suatu hari nanti Desta akan berbuat demikian untuknya, akankah hati Desta akan terketuk dan menemani nya seperti suami lainnya? Ah, jangan berharap terlalu banyak, sebab Desta sama sekali tidak menginginkan Giany, apalagi anak dalam kandungannya. Pernikahan yang mereka jalani adalah sebuah kesialan bagi Desta.
Menyadari itu, Giany hanya dapat mengusap air matanya.
"Maysha jangan, nanti kepalanya luka!" Teriak seorang wanita membuyarkan lamunan Giany.
Ia menoleh kepada sumber suara. Tampak seorang wanita tengah berusaha meredam aksi seorang bocah yang sedang membenturkan kepalanya di dinding. Alis Giany mengerut pertanda bingung. Ia masih ingat, seorang gadis kecil datar dan tampak pemarah yang tadi mengantri bersamanya.
Tak ingin terjadi hal buruk, Giany segera menghampiri gadis kecil itu. Memeluk dan berusaha menenangkan. Walaupun anak kecil bernama Maysha itu terus memberontak, memukul-mukul tubuh Giany dengan tangannya. Namun, Giany semakin mengeratkan pelukan.
"Sayang, kenapa kepala nya dibenturkan? Jangan ya ... Nanti kepalanya luka," ucapnya sambil mengusap lembut kepala gadis kecil itu.
Tak ada respon atau ucapan sebagai bentuk penolakan ketika Giany merebahkan kepala bocah itu di dadanya. Ia diam membisu, hanya tangannya yang memukul Giany dengan sisa tenaganya.
Beberapa menit berlalu, Maysha tampak lebih tenang. Tak lagi memberontak seperti tadi. Giany kemudian berjongkok, mengusap wajah polos Maysha.
"Adik cantik, kenapa? Namanya siapa, Sayang?"
Hening! Maysha tak menjawab. Hanya manik cokelatnya yang kini menatap sendu Giany. Tak seperti tadi ketika ia menatap dengan penuh kemarahan.
"Namanya Maysha, Kakak," jawab wanita paruh baya yang menemani bocah itu.
"Oh, Maysha. Namanya bagus. Kakak namanya Giany. Maysha, jangan benturkan kepalanya lagi, ya. Nanti kepala Maysha berdarah dan sakit."
Lagi-lagi Maysha tak menjawab. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Membuat kerutan di dahi Giany semakin dalam. Entah mengapa anak perempuan cantik itu sangat sulit menjawab. Giany bahkan belum mendengar sepatah kata pun keluar dari mulut Maysha.
Tepukan mendarat lembut di bahu Giany. Seorang wanita paruh baya yang terlihat sangat ramah itu tersenyum. "Ini cucu saya, namanya Maysha. Akhir-akhir ini dia jadi sering tantrum. Kalau Maysha sedang marah atau sedih dan tidak bisa mengekspresikan-nya, dia akan berteriak dan menangis. Kadang melukai dirinya sendiri. Maysha juga belum bisa mengucapkan sepatah kata pun."
Giany menatap gadis mungil nan cantik berusia lima tahun yang kini tengah memeluknya erat. Ada rasa iba melihat kondisinya.
"Saya ikut sedih, Bu."
"Hari ini Maysha kemari untuk menjalani psikoterapi."
Giany kemudian berjongkok di hadapan Maysha. Dengan penuh kelembutan mengusap wajah gadis kecil itu. Ia dapat melihat kesedihan di matanya. "Maysha Sayang ... Jangan sedih lagi ya. Mau peluk kakak?"
Maysha diam, tetapi tubuhnya dengan cepat merespon. Ia memeluk Giany dengan erat, seakan tidak ingin melepaskan.
"Mbak Giany, sebentar lagi gilirannya. Ayo cepat masuk," panggil Bibi Sum yang berdiri di ujung sana.
"Iya, Bi," jawabnya. Kemudian kembali menatap Maysha. "Kakak masuk dulu ya. Nanti kapan-kapan kita ketemu lagi ya." Giany berdiri dari posisi berjongkoknya, kemudian menatap Bu Dini. "Mari, Bu ... Saya duluan."
"Silakan ..." jawab wanita itu sambil tersenyum ramah.
Giany beranjak meninggalkan Maysha yang masih membeku, ia hanya menatap punggung Giany yang perlahan menjauh, seakan tidak rela berpisah dengan Giany.
"Maysha, ayo tunggu ayah di mobil saja. Sebentar lagi, ayah juga keluar," ucap sang oma.
🌻
🌻
"Permisi, Dokter," ucap Giany saat memasuki ruangan dokter.
"Silakan masuk," jawab seorang dokter pria dengan ramah.
Dokter Allan Hadikusuma, seorang dokter kandungan berusia 32tahun. Wajahnya tampan rupawan dengan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya.
Ia mempersilakan Giany untuk duduk. Menanyakan beberapa hal seperti nama, usia dan alamat. Kemudian mulai memeriksa tekanan darah dan lain-lain. Sebisa mungkin, Giany bersikap santai, walau sebenarnya ia risih jika harus diperiksa seorang dokter pria.
"Ibu ada keluhan selama kehamilan?" tanyanya.
"Hanya lemas dan mual, Dok. Tadi pagi perut agak sakit," jawab Giany membuat Dokter Allan mengangguk.
Sesekali, laki-laki itu tampak mencuri pandang saat Giany menunduk. Dokter Allan terfokus kepada lebam di sekitar wajah Giany.
"Silakan berbaring, Bu. Kita USG dulu, ya..." pintanya. "Sus, tolong dibantu."
Dengan dibantu seorang perawat, Giany naik ke pembaringan.
Perawat itu memakaikan selimut tipis berwarna putih, kemudian menyibak pakaian yang dikenakan Giany hingga bawah dada, lalu mengoles gel dingin. Dokter Allan hendak meletakkan alat di atas perut Giany.
Sementara Giany yang merasa malu jika bagian tubuhnya disentuh dan dilihat oleh lelaki lain, reflek menarik selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Membuat Dokter Allan menatapnya.
"Kenapa ditutup?"
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!