"Aku mau kau lepas hijabmu jika di rumah ini!" teriak Arjuna kepada Melati.
Mata Melati melotot tidak percaya, bagaimana bisa pria berhati batu itu memintanya melepas hijabnya.
'lelaki sialan! Dasar kurang ajar!'
"Kenapa diam saja, kamu keberatan? Mau, biaya pengobatan Bapakmu aku hentikan sampai di sini?"
Melati menunduk, mencoba tersenyum meskipun hatinya bberkecamuk, ngin ia mencakar pria yang kini duduk di hadapannya.
"Maafkan saya, Tuan. Hanya saja dalam Islam, seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya pada lawan jenis. Kecuali suaminya sendiri. Sedangkan rambut adalah salah satu aurat bagi seorang wanita. Maka dari itu saya tidak bisa."
"Oh begitu, kalau begitu besok kita akan melangsungkan pernikahan. Aku tidak mau lagi melihatmu memakai hijabmu jika di rumah ini, khususnya di hadapanku."
Mata Melati membulat, ia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.
'Apa-apaan, aku tidak mau menikah dengan pria berhati batu ini. Aku benar-benar ada di neraka sekarang!' Melati masih tertunduk diam.
"Kau mengataiku dalam hatimu?" tanya Juna tiba-tiba yang membuat Melati gelagapan.
"Ti ... tidak, Tuan. Tidak mungkin saya berani mengatai chef ternama dan kaya raya seperti Anda."
"Jadi, kau mau menikah denganku?" Melati bingung harus bagaimana, karena pernikahan ini sangat mendadak, dan ia merasa belum siap.
"Saya ... saya .... " Melati bingung harus berkata apa.
"Sudahlah tidak usah kebingungan, aku sudah paham maksudmu!"
Arjuna mengambil gawainya lalu menelpon rumah sakit yang ada di Negara xx. Dia hanya pura-pura ingin melihat reaksi Melati, gadis polos di hadapannya. Sejujurnya, ia sangat senang melihat perempuan berhijab. Dulu, Arjuna bahkan pernah meminta kekasihnya memakai hijab, meski pun selalu ditolak.
"Halo, Gilsa. Telepon rumah sakit Elizabeth dan urus pemberhentian pengobatan Bapak Fikri sekarang." Juna menutup telepon dan menyilangkan kaki, menyeruput kopi di hadapannya dengan santai tanpa menghiraukan Melati yang matanya sudah berkaca-kaca.
Posisi Melati sedang duduk di lantai, dekat dengan Arjuna. Pria itu sengaja ingin membuat Melati tidak betah. Baginya mengerjai Melati adalah sebuah kesenangan.
'Mati aku, Bapak ... Apakah Melati jadi anak durhaka sekarang? Ya Gustii, tolong hambamu ini'
cepat-cepat Melati meralat omongannya, dia berjalan berjongkok beberapa langkah lebih mendekat ke arah Arjuna. Setelah itu dipegangnya erat kedua kaki pria itu.
"Tuan, apakah penawaran pernikahannya masih berlaku? Saya mau menikah dengan Anda. Maaf kan saya, Tuan." Melati memohon, membuat Arjuna melirik dan tersenyum sinis, puas.
"Jangan GR, saya meminta kamu menikah dengan saya karena jujur, saya risih melihat kamu memakai hijab kemana-mana di rumah ini. Kalau di luar ya terserah!"
Juna tersenyum sinis, kembali diteleponnya Gilsa, asisten pribadinya dan meminta mengurungkan niat untuk memberhentikan pengobatan.
***
Keesokan harinya, paman Melati datang dari desa. Ia datang mewakili Bapak Melati yang sedang ada di Luar Negeri untuk melaksanakan akad nikah. Tibalah saatnya, Ijab kabul pun dilaksanakan dengan khidmat. Biasanya semua keluarga Melati enggan bersikap baik kepada keponakannya itu.
Bahkan pernah suatu ketika Melati dan sang Bapak main ke sana. Namun, bukannya di sambut dengan hangat, mereka malah diusir secara halus. Kini, saat keponakannya itu menikah dengan orang kaya dan terkenal, Pamannya dengan sigap dan cepat menyetujui saat diundang sebagai wali gadis itu.
Melati memakai kebaya berwarna putih, semua keluarga dari kampung dengan suka cita menyambut hari pernikahan mereka. Kecuali keluarga dari Arjuna sendiri, tidak ada satupun yang setuju dengan pernikahan ini.
"Melati semoga kamu bahagia, ya!" Seru bibinya. Melati hanya tersenyum.
"Jangan lupa sama keluarga besar kita yang di kampung kalau sudah sukses," sambung Pakdenya.
Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum seraya menunduk. Selesai prosesi ijab kabul, waktunya Juna menemui para paparazi yang sudah menunggu di sebuah tempat setelah usai melakukan sungkem kepada semua keluarga.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka, kemungkinan kalau Melati hamil duluan karena menikah secara mendadak dan lain sebagainya.
Juna mengatakan, selama ini Melati tinggal di rumahnya, menyiapkan semua kebutuhannya layaknya seorang istri, karena sudah nyaman Juna memutuskan menikahinya.
Sedangkan Melati hanya duduk diam di samping Juna dengan wajah tertunduk, sesekali disekanya air mata yang mengalir membasahi pipi. Padahal sejujurnya Arjuna hanya kasihan dengan gadis itu, lagi pula ia sangat suka mengganggu dan menjahilinya. Sehingga akan sangat lucu jika mereka berada dalam satu kamar.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Arjuna, Ia melingkarkan tangannya di pinggang Melati yang membuat gadis itu tersentak. Karena ini pertama kalinya ia disentuh oleh pria.
'Oh Tuhan, pintar sekali pria ini bersandiwara. Nanti di rumah dia pasti kembali bersikap seperti batu, tak ada rasa Iba di hatinya sama sekali buatku. Aku bagaikan boneka yang harus menuruti semua kehendaknya.'
"Nggak apa-apa, Tuan. Saya hanya terharu," sahutnya dengan wajah semakin menunduk, dan tubuh sedikit menjauh, takut.
"Kamu pasti terharu karena dinikahi pria setampan aku, kan? Sudahlah, biasa saja, mungkin tahun ini rejekimu lagi baik." bisiknya di telinga Melati, kemudian Juna tersenyum.
Ia membelai wajah Melati dengan lembut. Sementara Melati hanya bisa menatap pria itu dengan kesal dan perasaan takut.
Jepret jepret jepret!!
Kilauan lampu kamera membuat mata gadis itu memejam kuat. Dia hanya merasa tak nyaman dan belum terbiasa. Dalam hidup ia hanya beberapa kali berfoto itu pun tanpa kilatan lampu camera.
"Oke cukup sekian wawancaranya, kami akan istirahat. Terima kasih teman-teman semua .... " Juna melambaikan tangan, kemudian menarik jemari Melati dengan lembut supaya berdiri dan menjauh dari sana.
Hari itu juga semua keluarga Melati kembali ke desa setelah semua acara usai, mereka mendapatkan uang saku dan oleh-oleh dari Arjuna. Mereka jadi merasa sangat bahagia.
Keponakan yang dulu tak dianggap, jadi sangat disayang-sayang dan disanjung-sanjung saat mereka sudah kembali ke desa. Kepada semua tetangga mereka menginfokan kabar bahagia ini. Hanya karena Melati menikah dengan Arjuna, seorang chef ternama yang memiliki wajah paripurna dan harta yang melimpah.
***
Malamnya ketika pengantin baru itu memasuki kamar. Melati hendak tidur di kamarnya sendiri.
"Kau mau ke mana?" tanya Arjuna.
"Saya akan tidur di kamar saya," jawab Melati mantap. Arjuna diam, ditatapnya Melati lamat-lamat.
"Bukankah kau istriku, kenapa kau mau pindah dari kamar ini?" Melati mengalihkan pandangan.
Perasaan dalam hatinya bercampur aduk menjadi satu.
'Amit-amit memiliki suami sepertimu, Tuan. Aku tidak mau, sungguh!' batinnya bersungut-sungut.
"Hey, jangan melihatku seperti itu!?" Melati langsung menunduk, mencoba tersenyum.
"Maaf, Tuan. Baiklah saya akan tidur di kamar ini. Di sofa itu." Melati berjalan ke arah sofa, kemudian berbaring di sana.
"Bodoh! Ganti bajumu terlebih dahulu. Kau lupa? Aku tidak suka melihatmu memakai kerudung itu di hadapanku!"
'Ya Allah, apa aku harus melepas hijab ini untuk pria berhati batu satu itu?' Melati menggigit bibir, kesedihan menguar di dalam hati.
"Kau tidak dengar? Tenang saja, aku tidak akan tergoda. Kau itu seperti kuman di rumah ini yang harus dijauhi! Niatku menikahimu hanya karena risih melihatmu memakai kerudung di rumah ini. Itu saja!" Arjuna memberi alasan.
Melati terisak. Gadis mana yang tidak ingin pernikahannya di warnai dengan kebahagiaan, dengan orang yang diinginkannya, pria yang mencintainya. Melati benar-benar merasa hidupnya sungguh menyedihkan.
"Dasar, Kuman! Cengeng!" Ganti bajumu kemudian kemari.
'Mau apalagi dia? Tidak puas dia mengataiku kuman? Kalau aku kuman, kenapa dia mau dekat-dekat denganku, dasar pria tak punya hati!!' Maki Melati dalam hati, Gadis itu menghapus air mata dengan kasar dan menatap Arjuna dengan geram.
"Kau mengataiku lagi di dalam hatimu?"
Mata Melati membulat, sungguh pria di hadapannya ini melebihi dukun beranak. Memiliki insting yang kuat dan bisa membaca pikiran. Dengan terpaksa gadis malang itu menuruti perintah Tuan Arjuna. Meski pun hatinya memberontak dan keberatan.
"Tidak, Tuan."
"Sana, cepat ganti bajumu!"
"Baiklah, saya akan membersihkan diri terlebih dahulu, Tuan."
"Cepat, jangan terlalu lama!"
Arjuna mengambil buku di atas nakas, kemudian membacanya.
"Iya, Tuan," sahut gadis itu sambil berlalu ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri.
Enam bulan sebelumnya ....
^^^
"Tuan, saya mohon ... pinjami saya uang. Suami saya sakit parah, saya setiap hari menonton acara Tuan di televisi. Saya mohon tuan, saya tau Anda orang yang baik. Meski pun uang keluarga sudah dikumpulkan tetap saja hasilnya tidak cukup. Saya mohon Tuan!" Seorang wanita paruh baya bersimpuh di kaki seorang Arjuna Delendra, chef terkenal yang sering seliweran di televisi.
Ibu itu berkisah, ia sudah lama ngefans dengan chef Arjuna. Ia curhat panjang lebar dengan deraian air mata tentang suaminya. Meski pun Beberapa bodyguard mencoba melepaskan tangan Ibu itu, tetap saja Ibu itu berpegangan kuat di kaki Arjuna.
Ibu itu tiba-tiba muncul dari keramaian, sehingga membuat semua orang kewalahan. Di depan semua penonton yang ramai di acara siang itu, banyak paparazi yang mengabadikan momentnya.
Chef Juna kebingungan, mungkin jika tidak seramai ini atau suasana sepi tanpa paparazi ia bisa mengusir Ibu itu. Tapi, ini juga menyangkut nama baiknya, jadi ia harus berhati-hati dalam bersikap.
"Maaf, Tuan saya terlambat datang," ucap seseorang.
Sedikit terengah wanita itu karena berlarian, ia juga menunjukkan raut wajah bersalah. Arjuna memberi isyarat supaya asistennya membantu melepas ibu yang sedang memohon di kakinya.
Kemudian sang asisten ikut mencoba melepaskan pegangan tangan wanita paruh baya yang sejak tadi memohon pada majikannya.
"Cepat selesaikan masalah ini!" Chef Juna berkata lirih dengan mata melotot ke arah asistennya, Gilsa.
"Iya, Tuan," sahutnya mantap dengan kepala mengangguk patuh.
Setelah cukup lama akhirnya cengkraman tangan wanita paruh baya itu berhasil dilepas. Asisten dan beberapa bodyguard membawanya ke tempat yang sepi. Bisik-bisik kerumunan orang mulai terdengar.
"Maaf untuk semua ini," ucap pembawa acara kepada semua orang, kemudian berjalan mendekati Arjuna "Maafkan kami, Tuan." Si pembawa acara meminta maaf karena merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, ini hanya kejadian tak terduga. Lanjutkan pertanyaanya," ucap Arjuna, mencoba tersenyum sehangat mungkin. Meskipun hatinya dongkol bukan kepalang atas peristiwa ini.
***
"Mengapa Anda begitu nekat menemui Tuan Arjuna ditengah acaranya?" tanya Gilsa menyelidik.
"Maafkan saya, Mbak. Saya terpaksa, suami saya sakit keras, kata dokter kelenjar getah bening. Kami tidak bisa berbuat banyak. Semua keluarga sudah patungan untuk membawanya berobat ke rumah sakit yang bagus dan mahal, tapi uang yang terkumpul tetap tidak cukup. Maafkan saya huhuhu ... huhuhu ... " Ibu Jamila meraung, menyeka air mata dengan kerah bajunya. Ia persis seperti anak kecil.
"Mengapa harus Chef Arjuna, bukankah banyak artis lain di Ibu Kota ini?"
"Karena saya ngefans sama beliau, setiap kali melihatnya memasak saya selalu bermimpi bertemu langsung dengannya. Saya pikir karena saya adalah fans setia beliau, dia akan menolong saya."
Gilsa menarik napas berat mendengar pengakuannya.
"Jadi bagaimana, Bu Gilsa? Apakah kita harus mengusir Ibu ini?"
"Banyak Paparazi di luar, akan tersebar berita tidak enak nanti. Tunggu sampai acara selesai dan kita juga perlu mengatakan hal ini pada Tuan Arjuna."
"Baik, Bu Gilsa."
'Ya ampun nekat sekali Ibu ini, dia tidak tahu bagaimana Tuan Arjuna.' Gilsa melirik Ibu Jamila yang masih menangis sesegukan.
***
"Jadi menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Arjuna pada Gilsa setelah mendengar penuturannya.
"Foto dan vidio sudah tersebar Tuan. Pasti banyak yang penasaran, apakah Anda membantu Ibu itu atau tidak. Saya rasa untuk membuat nama Tuan tetap baik, kita harus membantunya."
"Ahhh!! Membuat masalah saja! Di mana perempuan itu?"
"Di ruang sebelah. Boleh saya bawa ke sini?"
"Iya, tapi pastikan dia tidak menyentuh saya. Celana ini harus dicuci berkali-kali karena disentuh olehnya."
"Saya pastikan dia akan menjaga jarak dengan Anda, Tuan."
"Bagus!"
Kemudian Gilsa berlalu. Arjuna memijat keningnya dengan hati kesal. Tidak pernah menyangka dengan kejadian ini.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya asistennya datang bersama wanita paruh baya itu. Arjuna pura-pura tersenyum.
"Saya akan membantu, Anda," ucapnya dengan senyum tipis yang dipaksa.
Bu Jamila menatap Arjuna dengan wajah takjub tidak percaya, dia hendak berdiri dan menghambur memeluk Arjuna, tapi Gilsa dengan cekatan menangkap tubuhnya.
"Tidak perlu berlebihan, Ibu. Tuan Arjuna sedang tidak enak badan. Dia alergi disentuh orang sembarangan." Sementara Arjuna, sudah ketakutan kalau si Ibu akan memeluknya.
"Oh, seperti itu. Maafkan saya, saya terlalu bersemangat. Kalau begitu, sebagai ucapan Terima kasih, saya akan menitipkan anak saya, namanya Melati. Dia akan mengerjakan semua kebutuhan Tuan Arjuna. Dia tidak akan macam-macam Tuan. Aku mengirimnya pada Anda sebagai ucapan terima kasihku."
Mata Arjuna mengerjab beberapa kali. Sungguh ia merasa direpotkan oleh Ibu satu ini. Arjuna melotot ke arah Gilsa, Asistennya mengerti dan menjelaskan.
"Ibu, Tuan Arjuna orang yang baik. Dia tidak perlu ucapan Terima kasih seperti itu. Asalkan suami Anda sehat walafiat saja dia sudah bahagia."
"Tidak! Saya tidak ingin menerima kebaikan ini cuma-cuma, bagaimana kalau suatu hari Tuan Arjuna menganggapnya hutang. Saya tidak mau seperti itu. Pokoknya saya akan mengirim anak saya untuk menjadi pembantu di rumah Tuan Arjuna. Tidak usah digaji, yang penting diberi makan, anggap saja, itu cara kami berterima kasih."
Arjuna mengalihkan pandangan, dia menarik napas panjang. Sungguh dia kesal dan merasa direpotkan.
'Kenapa aku harus bertemu perempuan ini sih! Aku lebih baik tidak memiliki fans, aku harus tinggal satu atap sama gadis itu. Siapa namanya? Melati? Ah, pasti ketenangan hidupku akan terganggu.' Arjuna mengerling, malas.
Kemudian mata memejam, meredam emosi yang mulai naik ke kepala.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Gilsa.
Arjuna mencoba tersenyum. Sementara Bu Jamila menatap penuh harap.
'Hahahaha, sebenarnya tujuanku sekalian mau titip si Melati di rumahnya. Bagaimana bisa aku membawanya. Bisa lebih boros jika aku membawanya. Dengan menitipkan Melati, aku tidak perlu mentransfer uang untuk biaya dia makan. Melati bisa makan dan tidur nyenyak di sana. Semoga Tuan Juna mau menerima,'
Tawa Bu Jamila dalam hati, tapi raut wajahnya sangat meyakinkan bersedih.
"Iya, Terima saja!" jawabnya singkat. "Maaf, saya buru-buru. Gilsa, kamu urus semua, saya tunggu di mobil."
Wajah Bu Jamila berbinar. Perempuan itu menarik napas Lega, akhirnya dia bisa menitipkan Melati pada chef pujaannya.
'Semoga pulang dari sana nanti, Melati jadi ikut terkenal, pinter masak dan ketularan banyak uang. Hihihihi,' Bu Jamila tertawa jahat dengan wajah tertunduk dalam, menyembunyikan raut bahagianya.
^^^
Di kamar itu Arjuna sudah tidak sabar menanti gadis itu keluar dari kamar mandi. Ia hanya senang melihatnya mereka tersiksa atas kejahilannya.
"Hey, KUMAN! tidak bisakah lebih cepat ke sini?" teriaknya nyaring.
Melati keluar dari kamar mandi, rambutnya tergerai basah. Dengan wajah datar ia menggosok-gosok handuk di kepala.
"Saya baru selesai, Tuan. Maaf lama," ucapnya.
Arjuna menganga melihatnya. Melati keluar dengan piyama berwarna merah mudah. Bibirnya merekah segar dan basah. Arjuna menelan salivanya beberapa kali.
'Kenapa Tuan ini terus menatapku? apa ia begitu terpesona denganku? Sampai matanya melotot seperti itu?
"Potong kuku kakiku, cepat?!"
Melati menggantung handuknya, lalu melangkah mendekati Arjuna. Ia membuka laci nakas dan mengambil sesuatu untuk memotong kuku majikannya. Perlahan ia duduk di ujung ranjang, memegang jemari kaki Arjuna yang panjang.
"Lepas kan dulu, coba lihat tanganmu!" perintahnya.
"Kenapa, Tuan?"
"Siniin, cepat!"
Bergegas Melati menunjukkan tangannya kepada Arjuna. Dengan seksama Arjuna memeriksa setiap lekuk jemari melati.
"Kau cuci tangan berapa kali tadi? Pastikan tanganmu bersih dan higienis sebelum menyentuh kakiku."
Mata melati mengerling, malas.
'Hah! Bisa bisanya dia berkata seperti itu. Maumu apa? Heyy Tuan! Katakan maumu apa? Kau yang memintaku mendekat, memotong kukumu, tapi sekarang kau meragukan kebersihan tanganku. Sialan!'
Melati mengalihkan pandangan, matanya berkilatan menunjukkan kekesalan.
"Kenapa? Kau marah? Kau mulai berani, hah?"
Arjuna, menegakkan punggungnya, mendorong dahi melati dengan ujung jari telunjuknya.
"Tidak, Tuan. Saya senang, Anda begitu perhatian terhadap kebersihan tangan saya."
"Cepat cuci tanganmu!" Melati beringsut turun, kemudian berkali-kali mencuci tangannya di kamar mandi.
'Ahayy, lucu sekali raut wajahnya. Kau pikir kau bisa hidup tenang sekarang? Eh, tapi dia cantik juga ya, setelah di pikir-pikir.' Arjuna menahan senyumnya.
Selesai membersihkan semua tangannya melati kembali duduk di ujung ranjang. Memotong kuku Arjuna dengan telaten dan hati-hati. Sedangkan Arjuna memilih melipat tangannya ke atas, menjadikan kedua telapak tangannya sebagai pengganti bantal. Matanya terpejam.
Sesekali melati melirik sinis ke arah Arjuna. Sumpah serapah keluar dari kata hatinya. Dengkuran halus terdengar, sepertinya Arjuna telah tertidur pulas. Dengan perlahan Melati turun dari ranjang, kemudian merebahkan tubuh di sofa. Sungguh ia merasa lelah seharian, setelah acara ijab kabul ingin sekali ia langsung tidur. Tapi, seperti biasa Arjuna mengerjainya terlebih dahulu.
Lama Melati melamun, memikirkan nasib hidupnya dikemudian hari. Kenapa Tuan Arjuna begitu kejam kepadaku. Tidak kasihan kah dia padaku? Berbagai macam dugaan berputar di otak gadis itu. Hingga tanpa di sadari ia terlelap.
***
Semua orang sudah duduk di meja makan, ada Tante Dinda dan anaknya yang duduk bersama di sana. Sudah lama mereka tinggal di rumah Arjuna. Tante Dinda ditinggalkan suaminya begitu saja, karena kesulitan masalah keuangan mereka memohon agar diperbolehkan tinggal bersama Arjuna.
Dewi, anak Tante Dinda, merasa terusik sejak Melati tinggal di sini. Dewi begitu membenci Melati. Baginya Melati hanya benalu di rumah ini. Semua masakan sudah tersedia di meja makan. Seperti biasa sebelum makan Arjuna akan mencicipi semua masakan terlebih dahulu. Ia memperkerjakan chef khusus di rumah ini. Ia tidak mau makan sembarangan.
"Bunga," panggilnya. Wanita itu langsung mendekat.
"Rasa masakan yang ini agak hambar, lain kali boleh tambahkan sedikit garam. Untuk yang ini, dagingnya kurang matang. Lain kali merebusnya agak lama." Bunga menunduk sopan.
"Pak Gus. Hari ini tolong antar Melati kursus menari." Mata Melati membulat. "Saya tau, kamu dulu mengajari menari anak-anak tetanggakan?"
"Tuan, tau dari mana?"
"Bukan urusan kamu! Cepat saya mau makan. Ambilkan!" Melati berdiri, mengambilkan piring dan mengisinya dengan makanan.
Saat ia hendak mengambil piringnya sendiri. Arjuna melarang.
"Untuk apa piring itu?"
"Untuk makan saya, Tuan."
"Tidak boleh! Kamu harus makan setelah saya makan. Makan harus bekas piring saya!" Melati kembali duduk. Menunggu Arjuna selsai makan. Padahal perutnya sudah keroncongan. Sementara Tante Dinda dan Dewi tertawa puas.
'Kelewatan!! Saya sumpahin kamu Tuan, semoga kamu bertemu gorila di jalan, terus gorila itu mencabik-cabik tubuhmu sampai hancur tak bersisa.'
"Kau mengatakan sesuatu?" Arjuna melap bibirnya dengan tisu yang tersedia di meja.
"Tidak, Tuan."
"Oh, ya sudah. Ini, makanlah!" Arjuna menyodorkan piring bekas makannya.
Dengan hati meronta-ronta Melati mengambilnya.
"Kamu tidak mau makan di piring yang sama dengan saya?"
"Tentu saja mau, ini suatu kehormatan Tuan!"
Segaris senyum terukir di bibir tipis Arjuna. Hatinya sangat puas mengerjai Melati.
Mobil melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah yang luas. Dalam mobil Arjuna mendengarkan Gilsa menyebutkan beberapa acara yang harus dihadiri hari ini. Sementara Regi, sopir mereka hanya diam mendengarkan. Bahkan sopir itu takut jika tidak sengaja terbatuk saat mereka sedang berbicara. Karena itu akan membuat Arjuna Murka.
Selesai menyampaikan semuanya, Gilsa memberanikan diri bertanya. Wanita itu penasaran kenapa Arjuna memilih menikahi Melati yang perempuan biasa. Padahal banyak di luar sana perempuan cantik dan terkenal yang mengejar cintanya.
"Tuan, jujur saja aku terkejut waktu Anda memutuskan menikahi Melati. Kalau boleh tau, apa alasan dibalik semua itu?" Gilsa bertanya dalam perjalanan. Arjuna diam sesaat kemudian mulai bicara.
"Sebenarnya aku bosan dikejar-kejar para gadis yang haus popularitas. Kau lihat saja Angel, Fika, Feli, Keisha dan masih banyak lagi. Mereka semua bergantian setiap minggu datang ke lokasi syuting, sok membawa makanan buatku dan pura-pura menyukaiku."
"Apakah Anda tidak memiliki hati pada salah satu dari mereka?"
"Aku? Suka sama mereka? Ah!!" Arjuna mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Perempuan seperti mereka cuma mau enaknya aja, mereka cuma nebeng nama dibalik namaku. Mau digosipin setiap hari. Coba kalau aku bukan siapa-siapa, apa mereka tetap mengejarku seperti itu?"
"Tapi bukankah bagus, nama Anda juga terangkat karena memiliki hubungan dengan mereka? Sebut saja Fika, dia model ternama, Tuan. Angel, wanita itu cantik, sexy, pemain sinetron ternama pula. Feli dia bahkan sudah mengerluarkan 2 single terbarunya."
"Kata siapa? Buktinya sampe sekarang namaku tetap berada di atas meskipun menikahi Melati yang miskin dan kampungan. Aku tidak butuh gimmick untuk menaikkan popularitasku. Karena yang berkualitas akan bertahan, yang cuma cari sensasi pasti agan tergeser suatu saat. Mereka tidak akan lama berada di puncak."
"Anda benar, Tuan. Lalu apakah ada alasan lainnya mengapa Anda menikahi Melati selain membuat para gadis yang haus popularitas itu menjauh dari Anda?"
Arjuna terdiam, siku tangannya bersandar pada pintu mobil, sedangkan jemarinya mencubit-cubit kecil dagunya sendiri.
"Aku kasihan .... "
"Kasihan, Tuan?" Gilsa mencoba menajamkan pendengarannya.
"Iya, kasihan. Kita berdua tau, orang tuanya berdalih menitipkan dia padaku, padahal Melati sengaja dibuang ke rumahku. Sudah dua bulan pihak rumah sakit memberi tahu kita kalau mereka sudah keluar dari sana. Tapi mereka terus meminta dikirimi uang, mereka pikir kita tidak tau soal itu."
"Kenapa Anda tidak jujur pada mereka?"
"Kita lihat saja, sampai mana mereka terus menipu kita. Biar saja mereka bahagia menikmati uang yang aku kirimkan." Pandangan Arjuna menerawang. Bibirnya menyungging sebelah, penuh siasat.
***
Melati baru saja pulang dari les menari. Dia biasa mengajari anak-anak tetangganya menari jaipong ketika ada di desa. Kini dia belajar menari salsa, katanya Arjuna yang meminta. Melati duduk di sofa sembari menonton acara televisi swasta. Tanpa sengaja ia melihat acara suaminya sendiri sedang mengomentari chef pemula di sana.
"Hah! Nggak di sana, nggak di sini, kerjanya marah-marah." Melati mendekat ke arah TV dan menunjuk-nunjuk muka Arjuna. Ia terlihat sangat kesal.
"Hey Tuan!! Anda pikir saya takut sama Anda? Kalau bukan karena Bapak saya berhutang budi pada Anda saya tidak akan mau menikah dengan pria berhati batu seperti Anda. Lihat diri Anda, jangan mentang-mentang Anda kaya bisa berbuat seenaknya sama saya."
Melati menatap wajah pada layar itu sinis. Di tetapnya wajah itu lamat-lamat sambil mengucap sumpah serapah dalam hati.
Kreakkkk!
Pintu terbuka, Melati melonjak kaget, jantungnya serasa mau copot.
"Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?" tanya Bunga.
Melati masih mengatur napasnya, dia pikir Arjuna yang pulang. Ia lega bukan kepalang melihat Bunga yang datang.
"Tidak, Mbak Bunga. Terima kasih."
"Baiklah, pencet tombol saja kalau Anda memerlukan sesuatu."
"Ba ... baik, Mbak Bunga."
Bunga tersenyum, sedikit menundukkan kepala dan kembali menutup pintu.
"Ahhh ya Allah, Astagfirullah ... selamat-selamat, bisa mati kutu aku kalau itu Tuan Arjuna!"
***
Melati melirik jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam.
'Kenapa Tuan belum pulang, ya? Apa aku tidur duluan saja? Nanti kalau dia marah-marah karena mau minta sesuatu bagaimana?'
Gelisah Melati memikirkan Arjuna. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Rasa kantuk sudah menyelimuti diri. Melati berjalan ke arah ranjang, merapikan tempat tidur itu sebentar, lalu duduk di sana.
Mulutnya terus saja menguap, tubuhnya sangat butuh istirahat. Melati menghempaskan tubuhnya. Dan tanpa disadari, ia terlelap.
Sementara Arjuna, baru saja pulang. Berbincang pada Gilsa sesaat, kemudian langsung masuk ke rumah. Keadaan rumah sudah sepi, semua orang sudah ada di alam mimpi. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Arjuna membuka pintu kamar dan mendapati melati berbaring di sana.
'Ah, sial! Kenapa dia bisa tidur di sana?' Umpatnya dalam hati sembari melewati tubuh Melati ke arah kamar mandi.
Arjuna menyiram tubuhnya dengan air hangat, hilang sudah lelah berganti segar. Setelah keluar kamar mandi Ia berjalan mendekati gadis itu.
'Dasar kuman, bakteri, kenapa kau tidur secepat ini? Aku bahkan belum membuatmu menderita hari ini.'
Arjuna menyusun guling dan bantal di tengah ranjang. Dia sangat takut bersentuhan dengan Melati yang sudah terlelap. Karena terlalu lelah, suara dengkuran Melati agak keras. Arjuna menutup kedua telinganya dengan bantal.
'Ah, dasar perempuan payah! Bagaimana aku bisa tidur kalau kau berisik seperti itu!' teriaknya dalam hati.
Arjuna turun dari ranjang dan memilih tidur di sofa.
"Awas kau besok ya!" ucapnya geram sembari berbaring di sofa.
***
Suara alarm terdengar nyaring, Arjuna terbangun dari tidurnya. Ia merasa semua anggota tubuhnya pegal. Arjuna melihat jam sudah menunjukkan pukul 05.30 subuh. Ia beranjak dan mendekati Melati yang masih pulas tidur di atas tempat tidurnya.
Plukkk!!
Melati hanya menggeliat sesaat, kemudian kembali memejamkan mata.
Plukkkk!!
Kali ini Arjuna lebih keras melemparnya dengan bantal.
'Dalam hitungan lima kau tidak juga bangun, kau akan mati Kuman!' Arjuna nampak geram.
"Ahhhhh .... " Melati menguap, merenggangkan otot-otot tangannya. Ia duduk dengan mata masih setengah terpejam.
"hehehe." Melati tertawa kecil melihat Arjuna. "Tuan, mengapa Anda berdiri di sana? Apakah Anda tidak pergi bekerja?" Melati bicara setengah sadar. Ia kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur.
"Nyenyak ya tidurmu?" tanya Arjuna melihat tingkahnya.
"Tentu saja Tuan. Kenapa malam ini tidurku begitu enak. Aku merasa lebih nyaman dari biasanya. Heheheh." Melati nyengir kuda, memeluk guling lebih erat.
"Oh begitu, wajar lah. Kau tidur di kasurku. Dan aku tidur di sofa itu. Tubuhku sakit semua rasanya dan semua itu karena kau!."
"Emmm, benarkah? Jadi kau tidur di sofa dan aku di ranjang? Hehehe." Kesadaran Melati belum terkumpul, ia masih setengah sadar.
Saat kesadarannya sudah 100℅ rasa kantuknya langsung hilang. Matanya mengerjab beberapa kali.
'Apa? Apa dia bilang? Jadi aku tidur di kasurnya dan ia tidur di sofa?' Mata Melati memejam. Ia malah pura-pura kembali tidur karena ketakutan.
"Hey, Bakteri! Dalam hitungan tiga kau tidak bangun. Kelempar tubuhmu dari sana ke lantai. Satu! Dua! Ti ... "
Melati langsung berdiri dan duduk memegangi kaki Arjuna.
"Tuan, saya salah, maafkan saya .... "
'Apa aku harus minta maaf seperti ini hanya karena tidak sengaja tidur di kasurnya? Hah! Sungguh kekanakan!'
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Arjuna menatap wajah Melati tajam.
"Tidak, Tuan."
'Apakah selain indra perasa dan indra pendengaranmu tajam, kau juga memiliki indra ke 100? Mengapa kau seolah selalu tau isi kepalaku?'
"Melati taukah kau ini jam berapa?"
Melati melirik jam dan melonjak kaget, reflek ia berdiri yang membuat bibir Arjuna terbentur kepalanya, karena Arjuna sedikit menunduk memperhatikannya.
"Astagfirullah, Ma ... maaf Tuan! Saya bahkan belum melaksanakan shalat subuh! Astagfirullah, astagfirullah!!" Melati panik karena belum shalat Subuh.
Arjuna memejam geram.
"Kalau begitu cepat laksanakan setelahnya kembali ke sini!" Arjuna memegangi mulutnya yang sakit karena terbentur kepala Melati.
Tanpa aba-aba Melati langsung melesat pergi. Ia langsung menuju tempat ibadah di lantai satu. Di rumah besar Arjuna ada ruangan khusus yang cukup luas (Mushola mini) tempat menjalankan shalat. Meski pun Arjuna jarang memakainya, tapi semua Asisten rumah tangga di sini rutin melakukan shalat.
Setelah Melati pergi, Arjuna langsung menuju kamar mandi. Ia membersihkan diri. Selesai ia menuju ke ruangan khusus ganti pakaian, ruangannya itu ada di samping kamar mandi. Cukup luas, terdapat baju-bajunya dan baju Melati di sana.
Sedangkan Melati baru saja selesai menjalankan shalat subuh. Saat akan kembali naik ke atas ia berpapasan dengan Dewi, anaknya tante Dinda. Dengan sengaja gadis usil itu menjulurkan kakinya ketika Melati melintas di hadapannya, sehingga membuat Melati jatuh dan mengaduh.
Melihat Melati terjatuh Dewi tertawa menutup mulutnya sembari tertawa sinis. Sedangkan Melati tidak berani melakukan apa-apa. Melati hanya menatap kesal pada Dewi. Ia bukan tipe gadis yang suka dengan keributan.
"Sorry .... " Dewi berlalu pergi dengan wajah mengejek.
Melati mengulum bibirnya kesal.
'Entah sampai kapan aku akan tersiksa berada di rumah ini. Andai aku bisa pergi dari sini aku akan sangat bersyukur kepadamu ya Allah.'
Melati berdiri dan sedikit pincang naik ke atas.
Kreakkkk ....
Pintu terbuka, terlihat Arjuna sedang duduk di depan meja rias, Ia tersenyum melihat kedatangan Melati. Diletakkannya ponsel di atas meja rias dan memanggil Melati dengan menggerakkan jari telunjukkan maju mundur.
Melati segera berjalan mendekat menerima aba-aba dari suaminya.
"Jangan mau jadi orang yang bodoh! Kalau aku jadi kamu, akan kubalas perbuatan Dewi tadi!" katanya dengan tenang.
Mata Melati membulat, bagaimana Arjuna bisa tau kejadian barusan.
"Saya hanya tidak suka keributan."
"Bukan tidak suka keributan, kau gadis bodoh. Orang akan melakukan hal lebih dari itu jika kau diam! Sekarang sisir rambutku dengan benar!"
Melati diam saja. Ia memposisikan tubuhnya berada di hadapan Arjuna. Diambilnya sisir dan menyisir rambut pria menjengkelkan itu.
"Pake minyak rambut. Yang keren sisirinnya!" pintanya.
Melati mengangguk. Diambilnya sedikit minyak rambut merk ternama dan mengusapkannya ke rambut Arjuna.
"Pastikan tanganmu bersih! Aku tidak mau Bakteri-bakteri yang ada di jarimu, turun ke rambutku dan menjalar ke kulit kepalaku. Aku bisa ketombean!" teriaknya nyaring.
"Tangan saya bersih, Tuan. Saya tadikan ambil wudhu di bawah."
"Pake sabun, nggak?" Matanya melotot seperti ingin menelan.
"Pake, Tuan."
'Ishh!! Apa-apaan. Sebelum melawan Dewi kupastikan aku akan melawanmu terlebih dahulu setelah keberanianku terkumpul!'
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak, Tuan," sahut Melati dengan sopan.
Ia kembali sibuk menyisir rambut Arjuna. Setelah agak lama ia selesai.
"Sudah, Tuan."
"Coba minggir aku mau lihat di cermin." Melati minggir ke samping. Mata Arjuna melotot. "Kau pikir aku dosen culun menyisir rambutku seperti ini?" Arjuna tampak kesal. Rambutnya di sisir belah tengah oleh Melati, bagian kiri dan kanannya licin sampai lalat pun terpeleset jika hinggap di sana.
"Maaf, Tuan. Akan saya coba lagi."
Melati kembali sibuk menyisir rambut Arjuna. Setelah dirasanya selesai ia kembali minggir.
"Kau pikir aku anak pank rambutnya kau sisir Jigrak-jigrak begini?"
Lagi gadis itu mencoba membenahinya. Sepuluh kali lebih Melati mencoba menyisir rambut itu, tapi selalu salah. Arjuna tetap marah-marah dan bilang Melati tidak becus mengurusnya. Akhirnya Melati menjauh dari sana karena Arjuna memintanya pergi.
Melihat Melati pergi dengan raut wajah sedih Arjuna tersenyum senang. Namun, dalam hati ia kesal juga melihat perbuatan Dewi pada Melati. Ia melihat itu dari ponselnya, semua ruangan di rumah ini dipasang CCTV kecuali kamar. Sehingga Arjuna bisa memantau apa pun yang terjadi di rumah besar ini.
***
"Cut! Cut! Cuttttt!!!" teriak produser mengakhiri syuting hari ini. Arjuna duduk diantara para kru yang bertugas. Satu persatu mereka memberikan salam persahabatan pada Arjuna.
Sedangkan Gilsa sudah berdiri tegak di sampingnya.
"Ini minumnya, Tuan!"
"Terima kasih Gilsa." Arjuna mengambil botol air mineral dari Gilsa.
Setelah itu meminumnya. Arjuna meletakkan botol di bawah kursi kemudian memeriksa ponselnya.
Arjuna tertawa ketika memantau keadaan rumah. Ia melihat tante Dinda dan Dewi terus mengganggu Melati.
"Ada yang terjadi, Tuan?" tanya Gilsa.
"Mulai bulan depan pangkas uang untuk tante Dinda. Jadi seperempat saja."
"Anda serius, Tuan?"
"Saya yakin, bukan lagi serius!"
"Apakah Anda tidak takut, Mama Anda marah?"
Arjuna diam saja, ia bahkan tidak pernah membuka SMS dan mengangkat telepon dari sang Mama. Baginya Mamanya hanya status seorang ibu saja.
"Lakukan saja."
Gilsa mengangguk mengerti.
***
Malam itu Arjuna pulang lebih cepat dari biasa, sebelum Magrib ia sudah berada di rumah. Semua orang sudah menunggu di mushola mini. Melati bingung siapa yang sedang ditunggu, kenapa tidak langsung shalat saja. Karena biasanya Pak Gus yang akan menjadi imam.
"Assalamu'alaikum, maaf semua lama menunggu."
Melati menoleh kearah sumber suara, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Arjuna memakai sarung motif kotak-kotak dan baju koko berwarna putih masuk ke Mushola langsung memposisikan diri sebagai imam.
'Tuhan, mengapa wajah itu seolah bersinar-sinar. Apa aku tidak salah lihat?'
Wajah Arjuna semakin tampan tatkala masih terlihat basah oleh air wudhu. Bunga menyenggol lengan Melati dengan siku tangan saat semua orang sudah memulai shalat, tapi Melati masih bengong saja.
"Nyonya, shalat sudah dimulai. Apa yang Anda tunggu?" bisik Bunga.
Cepat-cepat Melati membuang jauh-jauh pikiran takjubnya dan mulai khusuk menjalankan shalat. Selesai shalat dan berzikir, mereka berbincang sebentar menunggu datangnya waktu Isya.
Kecuali tante Dinda dan Dewi. Mereka ikut shalat berjamaah jika Arjuna datang sebagai imam. Di hari-hari biasa, bahkan mereka tidak pernah menjalankan shalat.
"Sudah waktunya Isya ini. Pak Gus, silakan," perintah Arjuna pada Pak Gus untuk melakukan azan. Semua orang diam mendengarkan, semenjak di sini, Melati terbiasa mendengar suara Pak Gus mengumandangkan Azan, merdu.
Selesai shalat Isya mereka langsung menuju meja makan. Melati beberapa kali mencuri pandang pada Arjuna. Gadis itu masih tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah menyiapkan makan malam Arjuna dalam piring ia bergumam dalam hati.
'Jangan-jangan aku hanya mimpi? Coba aku cubit tanganku sendiri.'
Melati mencubit tangannya.
"Awwww!" teriaknya kesakitan. Arjuna menatap sinis ke arah Melati.
"Bodoh!" Arjuna geleng-geleng kepala.
Melati membantu Bunga membereskan meja makan. Sedangkan Arjuna sudah naik ke atas. Di dapur mereka berbincang banyak hal. Bunga bercerita, kalau sempat Arjuna memang shalat di rumah. Menjadi imam untuk mereka semua. Hanya saja sangat jarang. Kadang hanya setahun sekali.
"Tapi kenapa saat shalat subuh ia tak pernah turun?" tanya Melati.
"Mungkin Nyonya tidak pernah memperhatikan ruang ganti pakaian kalian, di dekat baju-baju tuan yang tergantung ada ruangan tertutup, di sana ia biasa menjalankan shalat. Bik Wiwit membersihkannya kalau hanya ia minta. Karena tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana."
Melati mengangguk mengerti. Selama berada di sini, ia tidak pernah tahu ruangan itu. Bik Wiwit Asisten rumah tangga di rumah ini. Ia datang pagi pulang sore karena sudah berkeluarga. Pak Gus menginap, hanya sesekali pulang ke kampung. Bunga sebagai chef profesional sistim kerjanya kontrak, bukan digaji perbulan.
Bunga banyak menjelaskan tentang rumah ini yang selama ini tak di ketahui Melati. Ia juga menceritakan Rega dan Nyonya Hertini, adik dan Mama Arjuna yang berada di LN. Selesai berbincang Melati langsung naik ke atas. Ia tidak mau membuat Arjuna marah.
Melati membuka pintu kamar. Ternyata Arjuna sudah berbaring dengan mata terpejam. Melati melepas hijab dan menggantungnya di belakang pintu kamar. Baru saja ia akan berbaring.
"Bakteri! Ke sini!" pinta Arjuna.
"Iya, Tuan." Melati mendekat.
Arjuna memberikan tangannya. Melati diam saja.
"Urut tanganku. Entah mengapa aku sangat pegal sekali." Melati menurut mengurut jari jemari Arjuna.
"Katakan sesuatu, jangan diam saja!"
"Anda terlihat sangat tampan tadi ketika di Mushola."
Melati mengucapkannya begitu saja, tanpa ia sadari.
"Apa?" Arjuna langsung mengubah posisinya duduk.
"Apa?" Dahi Melati mengerut bingung.
"Iya, barusan yang kau katakan, apa?"
"Hah? Itu Tuan. Maksud saya, maksud saya .... Ehhh." Melati gugup menyadari kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Ayo katakan sekali lagi!" Arjuna menatap wajah Melati penuh harap.
"I .... iya, Tuan. Saat Anda menjadi imam tadi, terlihat sangat tampan."
'Huek, huek, huek'
"Hahahahaha, seharusnya kau menyadari itu dari dulu, bodoh!" Arjuna menyentil telinga Melati. Kemudian mengulum senyum sambil berbaring.
Pria itu sangat bahagia mendengar pujian Melati.
"Pijat sampai aku tertidur!" perintahnya.
Melati diam saja.
"Kau dengar?"
"Iya, Tuan. Saya dengar."
"Bagus!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!