Pria jangkung itu mendribble bola hingga ke tengah lapangan. Dengan sekali lompatan tangannya mendorong bola hingga terlempar tepat ke dalam keranjang. Tepuk tangan begitu riuh terdengar. SMA Bimasakti menang telak atas SMA Osiris yang mengakibatkannya menjadi wakil kota Bandung untuk pertandingan basket antar SMA tingkat provinsi. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini SMA Bimasakti memiliki tim basket yang tangguh sehingga menambah daftar ekskul sekolah yang memberi sumbangan prestasi.
Diantara para penonton ada seorang gadis biasa yang sudah menyadari jika dirinya tidak cantik. Firli dengan mata berbinar menatap pria jangkung yang membuat timnya menang dalam pertandingan kali ini, Rai. Laki-laki itu melambai dari tengah lapangan membuat Firli kontan membalasnya walau ia tahu lambaian tangan itu untuk seluruh penonton histeris yang menyemangati Rai hari ini. Tubuh pendek gadis itu menerobos barisan penonton hingga garda depan. Tubuh mungil namun begitu perkasa hingga yang menghalangi terpaksa memberikannya jalan. Peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan terdengar memanggil seluruh pemain untuk merapat ke pinggir lapangan. Panggilan itu pula yang menuntun Rai berjalan menghampiri Firli sehingga mereka bertemu tepat di bangku para pemain tempat Rai beristirahat di tengah pertandingan.
Firli memberikan sebotol air mineral dingin. Ada cahaya di matanya dan wajah tidak sabar untuk menunjukkan kebahagiaannya atas kemenangan Rai dan kawan-kawan. Firli mengelap peluh yang keluar dari di samping jidat Rai, memaksannya untuk menahan nafas sejenak agar jantungnya tak berdebar kencang. "Makasih," Rai mengusap rambut Firli gemas hingga membuat gadis itu tersenyum malu. "Kamu memang sahabat yang baik. Nanti aku ganti pakai coklat deh!"
Apalah yang bisa diharapkan Firli dengan tampangnya yang pas-pasan. Dianggap sahabat oleh Rai sudah hal yang luar biasa. Bedakan dengan Gadis-gadis lain yang hanya bisa mendapatkan sifat acuh Rai. Setidaknya Firli bisa menjadi teman curhatnya, dekat dengannya, bercanda dengannya dan diberi coklat olehnya. Sungguh kontrak eksklusif yang tidak akan diperoleh gadis manapun di SMA ini. "Makanya nyari pacar, biar ada yang bawain minum, ngelap keringat juga," nasehat Firli.
Rai geleng-geleng. "Kalau gitu doank kamu juga bisa!" candanya. Ia mencubit pipi Firli, sentuhan yang membuat jantung gadis itu tak bisa ditahan untuk tidak berdebar kencang. Adrenalin membuat suhu tubuh gadis itu meingkat sementara pipinya merah merona. Semoga saja Rai tidak menyadarinya. "Kenapa gak nyari pacar saja? Biar ada yang beliin coklat, beliin es krim, traktir jajan juga," Rai balas menggoda Firli.
"Mana ada yang mau," pancing Firli berharap Rai memberinya kode sekedar menunjukkan jika laki-laki itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Rai menunjuk seseorang yang masih duduk di bangku penonton. Tepat di bangku itu duduk seorang pria berkulit putih dan bertubuh tinggi menggunakan kaca mata tengah mengobrol dengan beberapa perempuan. "Noh si Yoyok bukannya sudah ngejar-ngejar dari kelas satu?" ledeknya. Firli bergidik. Walaupun ia tidak cantik bukan artinya ia jual murah. Firli tak peduli dengan wajah Yoyok yang sedang-sedang saja. Hanya sifat Yoyok yang selalu bicara terang-terangan membuat Firli tidak nyaman. Ia bahkan memiliki kepopuleran sendiri di sekolah, bukan sebagai pria tampan berprestasi tapi sumber gosip terbaru.
"Kenapa gak lu aja pacaran sama dia sana!" Firli melempar handuk tepat ke wajah Rai hingga membuat pria itu kaget. Firli berbalik dan berjalan menjauhinya.
"Yoyok terlalu tamvan buat gue!" canda Rai dai kejauhan membuat Firli tertawa.
"Rai!" panggil seorang gadis yang tengah berlari di depan Firli. Gladis, pikir Firli. Ia melewati Firli begitu saja, Terpancing dengan sosok itu, Firli berbalik dan menemukan gadis itu berhenti di depan Rai. Ia meliuk-liukan tubuhnya agar terlihat menarik; "Ngomong berdua boleh? Tapi gak di sini," ucap si cantik itu. Telunjuknya memain-mainkan rambutnya yang bergelombang di bagian bawah.
Firli memutar bola matanya kemudian berjalan pergi. Apalagi yang akan terjadi selanjutnya Firli sudah tahu. Alasan wanita menghampiri Rai pasti untuk nembak dan setelah itu ditolak. Itu sudah terbukti melalui hasil penelitian. Firli sampai khatam mengabsen lebih dari 25 perempuan yang ditolak oleh Rai. Firli dan Rai begitu dekat hingga ia sangat tahu Rai bukan pria yang mudah menghadapi wanita. Ia justru sangat pemalu dalam urusan cinta, lain jika menghadapi Firli yang memang sudah sangat dekat. Semakin agresif wanita mendekatinya, Rai malah semakin takut sehingga memilih benar-benar menjauh.
Kaki Firli melangkang meninggalkan Rai dengan dua perasaan yang bertabrakan. Salah satu merasa yakin tak akan terjadi apa-apa, sementara yang satunya menyimpan kecemburuan. Ia berjalan keluar dari gedung lapangan basket indoor di sekolahnya, tempat pertandingan tadi berlangsung. Gedung itu begitu besar hingga memiliki ukuran lapangan yang memiliki standar internasional, kursi penonton yang terbuat dari bahan plastik berkualitas, ruangan ganti dan kamar mandi. Tanpa sadar Janed as known as Yoyok mengikuti. Hingga Firli tiba di taman sayap barat gedung sekolah. Janed tiba-tiba meraih tangan Firli. Sempat Firli tersentak hingga hampir memukul laki-laki itu dengan tangannya yang lain. Untung saja ia mampu menahan diri.
"Nyerah saja, Fir. Buat Rai lo itu cuman sahabat dan selamanya begitu. Lebih baik lupain dia dan datang ke pelukan gue!" Paksa Janed. Laki-laki itu semakin kuat memegang tangan Firli.
Firli menghela nafas panjang. Ini bukan pertama kali ia harus menghadapi pernyataan cinta dari pria yang kena cap ember oleh seisi sekolah ini. Firli sudah muak. Lagipula, meskipun Rai tidak jadi miliknya, tetap saja Firli tak bisa menerima Janed, "Buat gue lo juga sekedar orang lain. Jadi lebih baik lupain gue!" sindir Firli. Ia menarik tangannya kecang hingga terlepas dari tangan Janed. Laki-laki itu terdiam tanpa perjuangan. Ia hanya melihat Firli yang berjalan semakin jauh.
Sementara Firli sedang berjalan menelusuri jalanan setapak menuju bangunan gedung, ia melihat sahabatnya Elsa tengah berduaan dengan pacarnya. Firli berhenti di sana sambil berkacak pinggang memperhatikan keduanya.
Mereka saling berpegangan tangan dengan mesranya dan duduk di atas kursi taman. Senang rasanya menjadi Elsa karena begitu disayangi oleh kekasihnya. Firli juga ingin seperti itu, layaknya seorang gadis remaja berusia enam belas tahun dan akan menginjak usia tujuh belas tahun hanya dalam beberapa minggu.
"Sampai tak sadar dilihat orang," goda Firli sedikit berteriak agar kedua makhluk itu mendengarnya.
Elsa dan Misyel - pacarnya tertegun melihat Firli. Keduanya langsung tersenyum malu. "Darimana, Fir?" tanya Elsa.
"Biasa, lihat Rai tanding basket," jawabnya.
Elsa mengangguk-angguk. Kemudian balas menatap Firli dengan nakal. "Rai terus yang diperhatiin!" goda Elsa.
Firli tersenyum. "Misyel aja terus yang diperhatiin!" Firli balas menggoda kemudian berlari meninggalkan gadis itu.
Mobil sedan mewah berwarna hitam buatan Mercedes-Benz menjemput Firli tepat di depan gerbang gedung utama SMA Bimasakti. Mobil yang konon seharga hampir 3 milyar itu memanjakan mata orang-orang yang melihatnya. Seorang wanita berpakaian formal (jas hitam, kemeja putih dan rok menutupi lutut) keluar dari dalam mobil dan memberi hormat pada Firli yang tengah berkumpul dengan ketiga temannya Nana, Ghea, dan Elsa.
Gadis mungil yang baru berusia enam belas tahun itu mengenal betul siapa wanita kaku yang kini berada di hadapannya. Sudah enam tahun lamanya Firli menjadi muridnya, Mrs. Charlotte, wanita berusia empat puluh tahunan tapi masih sangat lincah dan terlihat muda karena rutin melakukan yoga dan berolahraga. Tentu Firli tahu karena setiap ia melakukannya, Firli harus ikut berpartisipasi.
"Sudah waktunya Lady kembali ke kediaman keluarga Freiz," Mrs. Charlotte seperti biasanya sangat tegas dalam berbicara. Firli memutar kedua bola matanya tanda kesal. Ia mencak-mencak tapi tak memberikan perlawanan. Sebaiknya ia lekas pulang sebelum Mrs. Charlotte membuat pengaduan lagi terutama pada Ayah dan Bunda.
Firli duduk di kursi belakang sementara Mrs. Charlotte duduk dengan Pak Bram di kursi depan. Firli sempat melambai pada ketiga temannya sebelum Mrs. Charlotte meminta Pak Bram menaikan kaca mobil. Sepertinya walau hanya semenit, Firli tak bisa menikmati waktu pulang sekolah dengan teman-temannya.
Beberapa detik meninggalkan gerbang sekolah, Mrs. Charlotte mengeluarkan sebuah tablet PC berwarna silver dan memiliki lambang apel tergigit di baliknya. Tablet itu ia gunakan untuk mengatur jadwal Firli sehari-hari. "Hari ini Lady diundang makan malam oleh Tuan Mahendra dan keluarganya. Madame Anita tak bisa memenuhi undangan tersebut sehingga Lady diminta menggantikannya."
Firli mengangguk dengan mata yang lebih fokus ke luar jendela. Beberapa kali ia melihat gadis-gadis seusianya tengah berjalan sambil mengobrol di trotoar. Mereka terlihat senang berbagi cerita. Lain dengan Firli yang hidupnya berjalan sesuai jadwal yang dibuat Mrs. Charlotte. Tak ada cuap-cuap asyik di cafe, belanja di mall ataupun makan di pinggir jalan. Semua dalam hidup Firli berputar sekitar bisnis, makan malam, les dan pembelajaran kepribadian.
"Hari ini jangan lupa Lady membaca buku etiket yang saya berikan. Kemarin Monsieur berpesan agar Lady belajar memasang dasi serta mematutkan pakaian pria," lagi-lagi Mrs. Charlotte membacakan jadwal Firli namun gadis itu hanya membalasnya dengan kata 'hmm'.
Melihat itu memancing rasa khawatir dari Mrs. Charlotte. Beberapa hari ini anak gadis itu nampak murung bahkan lebih sering menghabiskan waktunya sendirian di kamar. Biasanya Firli akan berjalan bolak-balik ke rumah utama dan paviliun tempat tinggalnya. Ia juga sering berkeliling taman untuk menikmati udara segar. Sekarang ia tidur lebih awal dan bangun sedikit terlambat. Selain jadwal yang sudah ditetapkan, Firli tak pernah melakukan aktivitas lainnya.
"Apa Lady tidak enak badan?" tanya Mrs. Charlotte. Ia ingin memegang jidat Firli tapi rasa hormatnya membuatnya mengurungkan hal itu.
"Aku baik-baik saja," jawab Firli dengan serak. Matanya masih melihat ke luar jendela.
"Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa anda," tambah Mrs. Charlotte.
Firli menggeleng. Ia merasa tubuhnya baik-baik saja. Hanya hati dan pikirannya yang merasa tidak nyaman. Perasaan itu begitu mengganggunya.
Dua puluh menit kemudian mobil mewah yang Firli tumpangi masuk ke dalam halaman luas sebuah rumah bergaya baroque. Halaman simetris yang memiliki jalan aspal yang menghubungkan gerbang dengan entrance rumah dan paviliunnya. Tamanya sendiri dihiasi rumput Jepang dan pohon pucuk merah. Rumah itu sangat luas dan memiliki 4 paviliun. Bangunan pertama adalah rumah Ayah Abellard dan Bunda Anita. Sementara paviliun terbesar adalah rumah Firli. Tiga paviliun kecil adalah green house, gazebo dan kantor Ayah.
Mobil itu mengambil jalan memutari rumah utama agar berhenti tepat di faviliun besar. Firli secepatnya membuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah. Beberapa pembantu kaget melihat Firli berlari masuk sebelum mereka memberikan penghormatan. Firli tak peduli, ia bukan orang kaku seperti Ayah dan Bunda apalagi Mrs. Charlotte.
"Lady!" panggil Mrs. Charlotte setengah berlari. "Bukannya kurang sopan masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa?"
Firli terdiam beberapa saat kemudian kembali berlari ke dalam kamarnya di lantai dua. Beberapa kali Mrs. Charlotte mengetuk pintu pun tak Firli hiraukan. Gadis itu duduk di pinggir tempat tidurnya sambil membaca pesan yang ia terima dari Bundanya.
Anakku Bunda pergi ke Vienna untuk mendampingi Ayah. Bunda harap Lady bersikap baik pada Mrs Charlotte.
Firli melempar ponselnya ke meja rias. Akhirnya ia ditinggalkan lagi. Baru dua hari lalu Bunda tiba dari New York dan sekarang mereka pergi ke Vienna. Firli menutup wajah dengan kedua tangannya. Air matanya mengalir membasahi telapak tangan.
"Apa ini alasan mengapa aku di bawa ke sini? Hanya untuk ditinggalkan sendirian," keluh Firli. Ia menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. "Setidaknya biarkan aku pulang ke rumah walau hanya sementara."
Kali ini bantal menjadi sasaran amukannya hingga ia lempar tepat ke dalam keranjang sampah. Nafasnya naik turun sangat cepat. Sejenak Firli ingat ucapan teman satu sekolahnya. Mereka bilang Firli sangat beruntung karena memiliki Bunda dan Ayah yang sangat kaya, dijemput dengan mobil mewah dan bertemu orang-orang penting. Mereka mengatakan itu karena tidak tahu apa-apa. Mereka hanya melihat dari aquarium kaca tanpa menyelam di dalamnya.
Ponsel Firli berbunyi. Ia raih ponsel dengan kedua tangannya. Ada pesan di grup chat pertemananya dengan Elsa, Ghea dan Nana. Ghea mengirimkan fotonya tengah berlatih taekwondo sementara Nana dan Elsa yang sedang belanja bersama. Mereka berjanji untuk bertemu dan makan bersama di salah satu cafe.
E**lsa : Fir, gak ikut**?
**Firli : Gak, Sa. Bunda gak akan izinin. Ada acara makan malam juga sama rekan bisnis Ayah.
Ghea : Anak orang kaya memang beda ya. Mainnya makan malam sama rekan bisnis.
Nana : Iya, pengen gue kayak Firli**.
Lain dengan teman-temannya, justru Firli merasa sedih. Ia yang merasa iri dengan kedua temannya yang bisa bergaul dengan begitu mudah. Lain dengan Firli yang tinggal di dalam sangkar emas. Ia tak bisa keluar tanpa izin Ayah juga Bunda. Ia juga tak bisa dengan bebas berbelanja, makan di cafe juga jalan-jalan di ruang publik sembarangan. Gadis itu melempar kembali ponselnya ke atas nakas.
Apa yang bisa dibanggakan? Tak ada satupun barang di rumah ini yang benar-benar milik Firli. Mobil-mobil mewah itu milik keluarga Freiz, orang-orang penting itu rekan bisnis keluarga freiz dan Ayah serta Bunda bukan orangtua kandung Firli. Mereka hanya memiliki satu anak laki-laki yang menikahi Firli enam tahun lalu, Andrean Peter Freiz.
Mimpi buruk itu datang di hari Rabu. Setelah beberapa minggu tak pulang ke rumah, Bapak tiba-tiba pulang dengan basah kuyub. Mamah menyambutnya dengan wajah kesal dan tak lama mereka adu mulut. Firli sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan, hanya saja perasaan gadis itu begitu perih apalagi Bapak bertengkar sambil merapihkan pakaiannya ke dalam koper.
Hampir satu jam lebih pertengkaran itu terjadi hingga kalimat terakhir Mamah semakin menghujamkan belati yang telah tertusuk di hati Firli. "Jika kamu lebih memilih wanita itu, pergilah! Jangan pernah cari aku atau anakmu!" Setelah itu Bapak benar-benar pergi. Bahkan untuk terakhir kali jangankan memberi pelukan, dia tak menatap Firli sama sekali.
Gadis yang baru berusia sepuluh tahun itu menangis sambil menenggelamkan wajahnya di sandaran kursi. Mamah mengurung diri di kamar. Gadis kecil itu hanya bisa memandangi dinginny pintu kamar ibunya yang tertutup. Hari itu baik hingga malam semakin larut, Mamah tak memberikan penjelasan apapun pada Firli. Hanya ada dirinya sendiri di ruang tamu sesekali menatap pintu keluar dan pintu kamar ibunya bergantian.
Keesokan harinya Firli berusaha melakukan kebiasaannya. Ia bangun pagi, memasak nasi lalu mandi dan berangkat sekolah. Firli berusaha tersenyum di depan teman-teman SDnya. Ia main kelereng, main lompat tali dan memberi makan kelomang kesayangannya. Mamah belum keluar dari kamarnya. Keadaan itu bertahan selama satu minggu. Setidaknya ia lega melihat bekas piring tanda ibunya sempat keluar untuk makan. Firli hanya bertahan hidup dengan beras dan air keran serta gas elpiji yang masih tersisa.
Tak lama Mamah keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Firli tersenyum, dia sedikit bahagia apalagi Mamajnya menatapnya dengan hangat. Tak ada lagi mata sembab terlihat tanda ia sudah berhenti menangisi takdir.
"Firli mau main dengan Andrean?" tanyanya. Firli mengangguk. Tentu dia ingin main dengan Rean, sahabat yang paling dekat dengannya. Sejak bayi mereka dititipkan pada pengasuh yang sama sehingga hubungan keduanya sudah seperti saudara. Mereka saling mengunjungi setiap akhir pekan sehingga hari Minggu mereka rayakan sebagai hari mereka berdua. Sekarang bukan akhir pekan, ia bisa bertemu dengan Andrean.
"Mamah kamu kenapa nangis?" Andrean memberikan Firli segelas susu coklat ketika ia telah duduk di ruang tamu kamar anak laki-laki itu. Firli menggeleng. Ia tak mengerti masalah keluarga. Yang jelas ada seorang wanita yang membuat Bapak meninggalkannya ia dan Mamah.
"Rean, Bapak Firli sepertinya gak akan pulang selamanya," jawab Firli sambil menangis tersedu-sedu. Ia berusaha menahan nafas agar air matanya berhenti tapi ia gagal. Rean memeluknya. "Kan ada Rean," ucap Rean hangat. Firli mengusap air matanya sambil mengangguk-angguk. Tangan Rean begitu lembut membelainya dan tangan lainnya menepuk-nepuk pundak Firli seakan memberikan serangan kekuatan batin.
firli tahu, hidupnya akan lebih baik karena Andrean bersamanya. Ayah, Bunda dan Mamah juga berpikir seperti itu.
Keesokan harinya Firli dibawa ke rumah keluarga Freiz. Mamah mendandaninya dengan gaun putih yang bagus serta tatanan rambut yang cantik. Mamah juga yang memakaikan sepatu putih di kaki Firli, membuat gadis kecil itu berubah seperti tuan putri.
Sebuah pesat digelar di rumah keluarga Freiz, pesta perayaan ulang tahun Andrean yang ke sebelas yang artinya sebulan lagi Firli juga akan berusia sebelas tahun.
Pesta ulang tahun yang dihadiri orang-orang penting mulai dari pejabat, investor, pengusaha hingga artis. Firli sempat tak ingin masuk karena ia belum menyiapkan kado untuk Rean. Ia kira seharusnya ulang tahun sahabatnya itu dirayakan lusa bertepatan dengan tanggal kelahiran Rean.
Mamah juga tak terlihat membawa kado apapun. Hingga akhir acara Firli mendapat jawaban dari semuanya. Mamah membawa kado untuk Andrean, Firli. Hari itu Firli merasakan perih yang lebih dalam lagi. Ternyata ia bukan hanya tak berharga untuk Bapak tapi juga untuk Mamah. Buktinya hari itu ia diserahkan pada keluarga Freiz.
Seluruh tamu di pesta itu menjadi saksi saat Andrean memasangkan cincin mas putih berhiaskan berlian berwarna biru. Nama belakang Firli berubah dari Suprapto menjadi Freiz. Firli memiliki orangtua baru, orang tua Andrean. Dibandingkan menjadi diri sendiri, para tamu di sini mengenalnya sebagai Nyonya Andrean. Iya, Tannggal 4 april 2014, Firli resmi menjadi istri Andrean Petter Freiz.
Firli tak pernah pulang ke rumahnya semenjak hari itu. Mamah meninggalkanya di rumah besar bangsawan asal Eropa itu. Tapi Firli percaya ia masih memiliki Mamah. Setidaknya sampai keesokan harinya ketika ia mendengar kabar bahwa Mamah telah tiada. Wanita yang melahirkannya ditemukan gantung diri di rumah. Satu-satunya hal yang ia tinggalkan sebelum itu hanya sebuah tulisan di kertas putih.
Bunda Anita akan melindungimu. Dengan mereka Firli tak perlu takut kekurangan apapun. Mulai sekarang Firli akan terus main dengan Andrean. Firli tak memerlukan Mamah ataupun Bapak lagi. Jadi jangan pernah mencari laki-laki itu dan jangan akui dia sebagai Bapakmu lagi. Mamah dan Bapak Firli sudah tiada.
Firli berurai air mata di atas makam Mamanya. Mama salah, sampai kapanpun seorang anak akan membutuhkan orangtuanya. Hari itu Firli hanya mengandalkan pelukan Bunda Anita dan Ayah Abellard. Dia sadar tak memiliki siapapun lagi. Kenyataan semakin hitam karena Bapak tak datang sama sekali untuk mengantar Mamah menuju peristirahatan terakhir meski Ayah Abellard sempat mencarinya tapi tak ia temukan.
Firli hancur. Ia hanya bisa menatap kosong ke arah jendela kamarnya sambil terduduk di atas kasur. Terdengar suara Andrean membuka pintu kamar, suami kecilnya itu berjalan lalu duduk di sampingnya sambil memegang tangan Firli erat.
"Andrean, Bapak memang begitu benci dengan Mama dan Firli, ya? Kenapa Bapak tidak datang. Mama pasti menunggu Bapak," lirih Firli. Andrean bingung harus melakukan apa.
"Sekarang Firli gak punya siapa-siapa. Firli hanya sendirian. Kakek juga nenek gak suka dengan Firli karena benci pada Bapak. Firli harus bagaimana?" Pipinya basah karena tersiram air mata.
"Semua akan baik-baik saja, Rean ada di sini," ucapnya hangat. Lagi-lagi Firli merasa lebih baik ketika Andrean bersamanya.
Benar, Firli tak akan khawatir jika Andrean ada di sini. Hanya saja dua bulan setelah itu Andrean pergi ke London untuk melanjutkan sekolah. Setelah ia pergi tak pernah sekalipun Ayah dan Bunda memberikan Firli izin untuk menghubungi suaminya. Enam tahun Firli tak pernah bertemu Andrean lagi sekalipun. Enam tahun begitu lama hingga Firli lupa seperti apa wajah suaminya, sehangat apa Andrean memeluknya. Bahkan tak ada satupun foto Andrean di rumah.
Firli menangis sendirian sambil memeluk bantalnya. "Semua tak terasa baik-baik saja karena kamu tak pernah di sini, Andrean."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!