NovelToon NovelToon

The Charming One: Cinta Manusia Abadi

Prolog

Renata membuka matanya, yang pelan-pelan menyesuaikan diri dengan sekelilingnya. Ketika

dia membuka matanya lebih lebar, dia kebingungan. Ada di mana dia sekarang?

Tempat itu cukup gelap dan cahaya sepertinya hanya berasal dari atas. Dia mendongakkan

kepalanya dan menyipitkan matanya. Di atasnya ada semacam jendela bercahaya yang tersusun dari jeruji-jeruji kotak.

Di mana aku sekarang? Tempat apakah ini? Pikirnya. Kenapa dia bisa ada di sini?

Dia memperhatikan sekelilingnya. Dia berada di dalam sebuah ruangan yang cukup kecil dan

kosong. Tidak ada satupun perabot, atau pajangan, atau apa pun.

Dia tidak bisa mengingat bagaimana dia bisa berada di sini. Perasaannya mengatakan bahwa terakhir kali dia sedang di kampus.

Bersama Elvan...

Renata langsung tercekat. Ya! Tadi dia sedang berada di kampus, bersama Elvan

setelah kelas berakhir. Mereka satu angkatan tapi berada di kelas yang berbeda. Dia ingat bahwa Elvan ingin mengatakan sesuatu tentang keluarganya dan keluarga Renata sendiri. Sesuatu yang sangat penting...

Lalu ingatan Renata mengabur. Dia tidak bisa lagi mengingat apa yang terjadi setelahnya. Dia

melihat ke sekelilingnya sekali lagi. Apakah dia sedang bermimpi?

Mimpinya terkadang bisa terasa begitu nyata, dan begitu terbangun sensasinya masih bisa

dirasakannya. Apakah kali ini juga demikian?

Renata memeluk tubuhnya. Dia segera menyadari bahwa pakaiannya berbeda. Dia memakai gaun putih tanpa lengan yang terbuat dari kain halus yang licin. Gaun itu setinggi lututnya dan ketika dia menundukkan kepala, dilihatnya dia memakai sepatu hak tinggi putih dengan warna yang senada. Pakaian apa ini?

Dia tak mungkin memakai pakaian seperti itu ke kampus. Dia ingat bahwa saat ke kampus tadi, dia memakai sweater lengan panjang, celana jins, dan sepatu sneakers

berwarna hitam. Dia juga membawa tas ransel kecil berwarna cokelat. Tas itu tidak ditemuinya di ruangan ini.

Tiba-tiba didengarnya suara dari atas kepalanya. Dia mendongak dan terkejut ketika melihat bahwa ada sepatu yang melangkah, diikuti suara-suara orang. Kenapa orang-orang itu berada jauh di atasnya?

Ataukah... Apakah dia berada di bawah tanah?

Dia tersentak dan menyadari bahwa yang ada

di atas kepalanya bukanlah jendela, tapi penutup dari besi yang biasanya digunakan untuk menutup saluran air.

Dia dikurung...

Renata menjerit, dan suara-suara di atasnya tiba-tiba berhenti. Dirinya dilanda kepanikan. Dia membalikkan badannya dengan kalut, ingin keluar dari ruangan aneh itu. Jika ini hanya mimpi buruk, biasanya ini tidak akan lama. Mimpi aneh ini benar-benar seperti tindihan. Dia harus bisa segera bangun.

Matanya tiba-tiba menemukan sebuah pintu yang tadinya tidak dilihatnya saking minimnya

pencahayaan dalam ruangan.

Itu dia! Pikirnya. Dia setengah berlari mendekati pintu itu. Namun belum sempat dia mencapai

pintu, suara ceklek! Terdengar dan pintu terbuka. Ruangan langsung disirami oleh cahaya. Langkah Renata langsung berhenti. Dia juga merasakan jantungnya seakan ikut berhenti juga.

Dua orang masuk. Keduanya memakai pakaian yang bentuknya aneh, seperti jubah setinggi

lutut. Hanya sejauh itu yang bisa dilihat oleh Renata.

“Keluar. Kau sudah ditunggu.”

Salah satu orang itu berkata, Renata tidak tahu yang mana. Dia terkesiap. Suara itu tidak

dikenalnya.

“Siapa kalian? Aku ada di mana?”

“Tidak usah bertanya. Kau akan tahu nanti. Cepatlah, dia tidak suka menunggu.” Suara lain

menjawab, yang berbeda dari suara pertama.

Kedua suara itu terdengar masih muda.

Tanpa sadar Renata menurut dan kakinya melangkah maju. Suara itu seperti perintah yang tidak bisa ditolak oleh Renata, kakinya tidak mau mengikuti benak dan pikirannya.

Dia lalu keluar, menuju cahaya di luar pintu. Dua orang itu berjalan mendahuluinya. Saat itulah

dia melihat dua orang yang menjemputnya. Mereka rupanya memakai jas panjang dengan celana hitam panjang. Mereka juga memakai sepatu licin yang warnanya senada.

Mereka berjalan di sepanjang lorong terang berwarna putih dengan lantai keramik yang juga berwarna putih. Ada beberapa foto berpigura terpasang di kedua sisinya. Renata memperhatikan foto-foto itu, yang menampakkan wajah lelaki dan wanita yang tidak dikenalnya.

Renata ingin bertanya, tapi mulutnya seakan terkunci. Kedua pria di depannya memancarkan

aura mengancam, yang membuatnya berpikir dua kali jika ingin mengucapkan atau melakukan sesuatu. Pikiran ingin kabur muncul selintas di pikirannya.

“Kamu nggak akan bisa kabur,” kata salah satu pria. Dia menoleh dan menyeringai. Wajahnya

tampan tapi kejam.

Renata tersentak. Dia bisa membaca pikiran?

Bulu kuduknya meremang. Jika ini adalah mimpi, maka ini adalah salah satu mimpi

terburuknya. Tapi alam bawah sadarnya tiba-tiba menyadari bahwa semua ini adalah nyata.

Dia tidak merasakan sensasi seperti tindihan jika benar-benar bermimpi buruk. Dia juga tidak merasakan sensasi ingin berteriak tapi tidak bisa. Napasnya normal, dadanya tidak terasa berat.

Beberapa menit kemudian kedua laki-laki itu berhenti. Ada pintu di sebelah kanan mereka.

“Masuk. Kami tidak ikut,” kata laki-laki kedua.

Tidak kalah tampan, tapi wajahnya tidak

menampakkan aura kejam, hanya tegas dan keras. Dia membuka pintu untuk Renata.

Renata masuk. Pintu tertutup di belakangnya.

Dia berada di sebuah ruangan yang sangat indah. Ruangan itu seperti kantor, tapi ada kesan antik, tidak modern. Dindingnya dipasang wallpaper berwarna merah tua dengan bunga-bunga berwarna emas.

Lantainya berwarna putih bersih. Perabotannya sangat berselera dan mahal, juga dengan kesan antik. Dua pot besar diisi bunga kering ada di kanan dan kiri pintu. Namun Renata

tidak memperhatikan semua itu. Pandangannya terkunci di depan, pada sosok yang sedang duduk di balik meja antik berwarna putih.

Elvan.

Setiap melihat Elvan, Renata selalu menahan napas. Wajahnya yang bagai patung marmer

terpahat sempurna. Rambutnya lurus dengan potongan yang bagus. Pakaian yang dikenakannya selalu sangat berselera sehingga penampilannya sangat menonjol di kampus.

Saat ini saja, dia sedang memakai jas putih dengan kemeja hitam di baliknya.

“Elvan!” Renata akhirnya bisa menemukan suaranya.

Ekspresi Elvan terlihat aneh saat melihatnya dan membuat Renata melangkah mundur sekali.

Belum pernah dia melihat pandangan seperti itu di wajah Elvan. Sorot matanya begitu dingin,

wajahnya tanpa ekspresi, mulutnya terkatup rapat. Dia menatap Renata dengan pandangan

menusuk hingga Renata terkesiap.

“Kamu cocok juga pakai baju putih.” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Elvan.

“Tapi warna merah akan merusak keindahannya nanti,” lanjutnya. Renata terkesiap. Warna merah? Apa maksudnya?

Jangan-jangan...

Elvan berdiri dan mendekatinya. Entah mengapa Renata kembali berjalan mundur. Ada aura mengancam yang menguar tajam dari diri Elvan.

“Ah Renata, kenapa kamu ketakutan begitu? Kamu nggak senang melihatku?”

Suara Elvan licin bagai ular. Matanya berkilat. Seringai muncul di wajahnya Renata tersentak.

Itu bukan suara Elvan yang dikenalnya...

Dia seperti ular yang sedang mendekati mangsanya...

1. Awal Mula

*Mawar Eva, seperti inilah bayanganku soal Renata yaaa

----------------------------------------------------------------------

Renata terduduk di ruang tamunya, kepalanya tertunduk. Baju hitam yang dikenakannya

sederhana, dan sepatu hitamnya melengkapi penampilan sendunya. Orang-orang tak henti-hentinya melewatinya. Beberapa berhenti untuk sekedar menyapanya, beberapa lagi menepuk pundaknya.

Renata tak bisa menanggapi mereka sepenuhnya. Matanya nanar memandang lantai.

Dia tidak bisa menangis, bahkan di saat seperti ini. Dia benci dirinya yang seperti ini, walaupun dia tahu nanti malam ketika semua kenyataan sudah menyergapnya sepenuhnya, dia akan menangis sejadi-jadinya. Reaksinya memang lambat. Itu melindunginya di satu waktu, namun akan berbalik menghancurkannya ketika waktunya tiba.

Lambat laun orang-orang tak lagi menyapanya, mereka mengerti. Maka mereka akan duduk di

ruang sebelah untuk berdoa bersama. Renata tidak ikut dengan mereka, dia masih terperangkap dalam dunianya sendiri.

Dia tidak tahu bahwa waktu berlalu di sekelilingnya. Ketika omnya menawarinya makan, dia ingat bahwa dia menolak. Pun ketika kakungnya menyuruhnya untuk tidur. Dalam hati dia berontak, bagaimana dia bisa tidur di waktu seperti ini? Sungguh tidak masuk akal.

Hari yang paling ditakutinya telah tiba. Dia tidak hanya kehilangan salah satu orangtuanya. Dia

langsung kehilangan keduanya sekaligus.

***

Semuanya sudah dipersiapkan untuknya, dia hanya perlu untuk menurut. Dan dia berterima

kasih untuk itu. Setelah pemakaman selesai, dia akan tinggal bersama keluarga ibunya. Di rumah di luar kota, di mana ada kakek, nenek, dan omnya. Rumah orangtuanya akan dijual, Renata juga tidak ingin tinggal di sana lagi. Tidak ketika semua kenangannya di rumah itu akan menyakitinya.

Kakek dan neneknya jelas senang Renata akan tinggal bersama mereka. Mereka berdua selalu bahagia melihat rumah lebih ramai. Om Wendra juga senang. Dia kehilangan istrinya lima tahun lalu karena kanker. Mereka tidak punya anak dan sejak dulu omnya sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Om Wendra dan istrinya sejak dulu tinggal bersama kakek dan nenek Renata untuk merawat mereka berdua. Mereka tidak mempekerjakan pembantu, karena berprinsip bahwa selagi ada keluarga, pembantu tidak diperlukan.

Namun semua itu berubah sejak istri Om Wendra meninggal. Om tidak sanggup merawat rumah besar kakek dan nenek Renata sendirian, maka ada pembantu yang bertugas memasak dan membersihkan rumah yang tinggal bersama mereka sekarang.

Nenek membantu Renata berkemas, sementara om mengangkut barang-barang Renata ke

dalam truk. Beberapa perabot ingin Renata simpan, sementara sisanya dijual. Mereka tak

membuang waktu untuk segera berangkat setelahnya.

Di mobil suasana hening. Nenek tertidur karena kelelahan di kursi tengah. Renata duduk di

depan bersama Om Wendra.

“Kamu sudah daftar kuliah?” tanya Om Wendra sambil menyetir. Renata menggeleng.

“Pembukaan pendaftaran baru mulai minggu depan,” jawabnya pelan. Om mengangguk.

“Nanti om bantu. Om dulu alumni di sana, bareng tantemu juga.”

Renata menoleh.

“Jadi om dan tante ketemu waktu kuliah ya? Om nggak pernah cerita.”

Wajah Om Wendra terlihat sedih.

“Tantemu adik angkatan om. Dia dulu terkenal lho.”

Renata mengangguk.

“Kelihatan kok. Kan tante Sarah cantik, baik juga.”

Om tersenyum.

“Dia juga pinter. Kesayangan dosen.”

Mereka lalu terdiam lagi.

“Kamu jangan khawatir Ren, kami ada buat kamu,” kata Om Wendra memecah keheningan.

Leher Renata tercekat. Dia tidak ingin membahas apapun yang berkaitan dengan kematian orangtuanya.

“Makasih Om,” balasnya. Om Wendra memandangnya dan menyadari bahwa topik itu membuat Renata sedih, maka dia langsung mengubah percakapan.

“Kamu bisa masak?”

Renata menoleh dengan bingung.

“Bisa sih om. Renata suka bantu Mama masak. Kenapa om?”

Om Wendra tersenyum.

“Om bosan masakan Bi Yum. Beliau pinter masak sih, cuma ya kalo itu-itu aja ya bosen hehe. Kata Mama kamu, kamu bisa masak masakan barat ya kayak pasta, gitu?”

Renata tersenyum kecil.

“Bisa om.”

Omnya balik tersenyum.

“Nah sip kalo gitu.”

***

Rumah nenek Renata besar dan terlihat kuno, karena desainnya adalah rumah Belanda.

Renata cukup menyukai nuansanya yang jadul, walaupun kadang saat malam tiba dia sering merasa takut. Untungnya dia tak perlu keluar kamar saat akan ke kamar mandi karena ada kamar mandi dalam tambahan di dalamnya.

Om Wendra membantu Renata mengeluarkan barang-barang. Bi Yum keluar untuk

membantu. Beliau tersenyum ramah pada Renata.

Renata sangat menyukai Bi Yum. Selain baik hati, wanita paruh baya itu membuatnya merasa nyaman selama dia menginap di rumah nenek sejak dulu. Bi Yum tak punya keluarga, beliau kehilangan seluruh keluarganya dalam kecelakaan saat mudik, sehingga Bi Yum lalu tinggal bersama kakek dan neneknya.

Rumah kakek dan neneknya terletak cukup jauh dari pemukiman warga karena berada di

bawah bukit, hanya ada beberapa rumah di samping kanan dan diri.

Saat melihat ke kanan dan kiri, dia melihat sebuah rumah yang tidak pernah diperhatikannya selama ini. Rumah itu ada di atas bukit, berwarna putih dan kelihatan sama tuanya dengan rumah kakek dan neneknya. Renata heran juga kenapa dia belum pernah menyadarinya. Padahal rumah itu cukup mencolok. Mungkin karena ada beberapa rumah tua di sini, pikirnya.

Interior rumah sama jadulnya dengan penampilan luar, walaupun barang-barang modern memberi kesan yang sangat berlawanan arah. Lantai rumah terbuat dari ubin berwarna kekuningan, dinding berwarna putih bersih. Ruang tamu berisi perabot kayu sederhana dan lukisan pemandangan yang cukup besar.

Ruang keluarga sangat luas, dengan perabot modern dan karpet besar berwarna merah. Ada

lampu besar menggantung di tengah. Renata ingat dulu saat kecil lampunya adalah lampu kuno, yang lalu diganti seiring perkembangan zaman. Di sebelah ruang keluarga ada ruang makan, yang berseberangan dengan dapur.

Om menarik koper kedua Renata ke kamar dan Renata mengikutinya. Kamar Renata cukup

luas. Ranjang Renata sudah diletakkan sehari sebelumnya, sementara lemari dan meja belajarnya akan menyusul. Jendela kamarnya sudah dibuka luas, angin segar masuk seolah menyambut kedatangannya.

“Kalo kamu mau, nanti interior kamar bisa diubah. Anak muda biasanya suka yang modern,” kata Om Wendra sambil tersenyum. Renata tersenyum.

“Makasih banyak Om, nggak usah repot-repot.”

“Ya udah, kamu mandi dulu sama ganti baju. Abis itu makan siang ya, udah disiapin soalnya,” kata Om. Renata mengangguk.

Renata meletakkan koper di samping tempat tidurnya dan mengeluarkan baju. Dia tidak akan membongkarnya sampai lemarinya datang, walaupun ada lemari kecil di kamar itu.

Setelah mengambil baju, Renata duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya terpejam, bibirnya

bergetar. Dia merasa seakan ingin menangis lagi. Semua ini terlalu berat dihadapinya.

Terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Dia kangen ayah dan ibunya...Seharusnya dia sekarang tidak sedang berada di rumah ini...

Rumah yang besar dan terasa sepi baginya. Rumah asing yang mulai sekarang harus

ditempatinya. Dia ingin kembali ke rumahnya... Dia ingin berada di kamarnya sendiri...

Renata tiba-tiba tersentak. Bulu kuduknya meremang dan dia menoleh. Di belakangnya, di jendela yang terbuka lebar, Renata merasa aneh, seperti ada sesuatu. Dia mengernyitkan mata saat menyadari bahwa lewat jendela itu terlihat pemandangan bukit yang tadi dilihatnya.

Saat Renata menoleh ke bukit itu, dia merasa bahwa ada seseorang yang mengawasinya. Dia memandang rumah besar yang dilihatnya saat sampai, dan dia sangat yakin baru saja melihat seseorang melintas di jendela lantai 2.

2. Pertemuan Awal

Junior Roberts, seperti inilah bayanganku untuk sosok Elvan yaaa, cowok tampan yang memukau perhatian para calon mahasiswa di akhir bab ini.

--------------------------------------------------------------------

Beberapa hari setelahnya, kehidupan Renata hanya berkutat di dalam rumah kakek dan

neneknya. Perabot datang di hari keduanya di sana. Kakek dan neneknya jelas menghabiskan sebagian waktu di rumah juga, sementara omnya bekerja di sebuah perusahaan berbasis sains.

Agar tidak bosan, sekaligus mengalihkan pikiran dari kesedihan, dia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan.

Kakeknya gemar membaca. Dulu saat masih kecil, saat kehidupan masih sangat sulit, kakeknya kesulitan membaca dan mendapatkan buku yang ingin dibacanya.

Setelah dewasa, kakeknya pelan-pelan mulai bisa membeli buku-buku yan diinginkannya. Hingga saat sudah beranjak tua, koleksi buku beliau sudah memenuhi dua rak besar kayu jati di ruang perpustakaan keluarga.

Ruang perpustakaan itu tidak terlalu besar. Hanya ada dua rak buku tadi, sebuah meja kerja dan kursi dari kayu, dan sebuah sofa jika kakeknya ingin beristirahat sehabis membaca. Renata suka duduk di sofa itu, karena letaknya di sebelah jendela. Saat hari terasa panas, membuka jendela sangat menyegarkan tubuh dan pikirannya. Buku-buku koleksi kakeknya kebanyakan adalah sastra dan sejarah. Selain itu cuma koleksi majalah jadul yang dijilid sesuai tahunnya.

Renata menyukai koleksi sastra kakeknya. Dia sendiri memang berencana untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia. Siang ini Renata memilih sebuah novel roman terkenal. Dia lalu duduk menyamping di kursi, menekuk lututnya, dan menaruh buku di sana.

Tak lama, dirinya hanyut dalam bacaan.

Angin yang masuk lewat jendela hampir membuainya dalam mimpi, namun Renata

memaksakan dirinya untuk terjaga. Dia menoleh ke jendela, bermaksud untuk menutupnya, ketika matanya melihat sekelibatan sesuatu yang rasanya tak asing.

Rumah itu. Rumah besar kuno di atas bukit itu. Di lantai dua itu kembali terlihat ada orang.

Kali ini dua orang. Pemandangannya tidak jelas karena jauh. Tapi kedua orang itu mula-mula

mendekat, lalu menjauh. Lalu mendekat lagi, dan menjauh. Beberapa saat kemudian kedua orang itu tidak tampak lagi.

Renata mengernyit. Perasaannya mengatakan bahwa kedua orang itu sedang bertengkar.

***

Ujian masuk universitas sudah hampir dimulai. Renata mulai bersiap untuk belajar. Di waktu-

waktu dia sedang belajar, terkadang neneknya masuk dan menyapanya.

“Belajar lagi ya?” tanya neneknya. Pertanyaan retoris.

Renata mengangguk.

“Kamu tekun sekali ya. Tadi abis makan langsung ke kamar, nggak mau istirahat dulu nonton tv?” tanya beliau lagi.

Renata menggeleng. Neneknya terdiam, bingung mau berkata apa lagi. Suasana langsung hening. Renata tak ingin memecah keheningan itu.

Sejak sampai di rumah neneknya, Renata memang tidak banyak mengobrol dengan anggota keluarga rumah. Dia ingin menyendiri, ingin memeluk kekosongan dalam dirinya sendirian. Dia juga tidak banyak bergabung saat semua orang berkumpul. Setelah sarapan bersama, dia langsung masuk kamar. Siangnya, dia menenggelamkan dirinya dalam perpustakaan. Setelah makan malam dia juga

langsung masuk kamar.

Renata tahu itu bukanlah hal yang sopan untuk dilakukan. Tapi sepertinya keluarga kakeknya mengerti. Mereka membiarkannya mendapat ruang pribadi sementara waktu.

“Ya udah nenek tidur dulu ya. Jangan begadang ya, nenek sayang kamu.” Neneknya lalu

meremas pundaknya dan mencium sisi kepalanya.

Tenggorokan Renata tercekat. Ibunya juga suka sekali mengucapkan selamat tidur padanya

dan mencium kepalanya. Sekarang dia tahu darimana ibunya mewarisi kebiasaan itu.

Tangan Renata bergetar di atas buku. Dia merasa ingin menangis.

***

Senin ini adalah waktu ujian masuk Renata. Dia terlihat pucat dan ***** makannya hilang. Dia

juga merasa mual. Dia hanya memainkan sendok di atas piringnya yang baru diisi nasi.

“Ini. Telur ceplok kesukaan kamu. Mau pakai kecap? Nenek siapin.” Neneknya

mengagetkannya dari belakang kursi.

“Ah, pakai cabe bubuk aja Nek,” jawab Renata begitu tersadar dari lamunannya.

“Oh ya udah. Tehnya diminum dulu gih,” kata neneknya lagi. Renata mengangguk lalu

mengambil teh hangat yang sudah disiapkan. Teh itu membuat perutnya terasa lebih baik.

“Makan yang cukup, biar nggak lemes waktu ujian.” Omnya datang dari kamar. Sudah

memakai pakaian kerja lengkap. Tasnya ditaruh di lantai di dekat kursinya sebelum dia duduk.

“Iya om,” jawab Renata sambil mulai mengunyah telur yang rasanya seperti karet di mulutnya yang mulai kering lagi.

“Nanti om jemput terus om ajak kamu jalan-jalan mau nggak? Om tahu kamu suka baca. Om juga pengin beli buku baru buat dibaca,” Om Wendra masih berusaha menjalin percakapan.

Renata menatap omnya. Dia merasa bahwa omnya sedang berusaha mengakrabkan diri

dengannya. Maka dia tersenyum dan mengangguk.

“Boleh Om.”

***

Renata menghembuskan napas perlahan. Dia merapikan rambut hitam panjangnya, yang tadi pagi diputuskannya untuk menjalinnya dalam cepol tinggi di atas kepala. Dia juga merapikan kemeja putihnya di atas celana jins hitamnya dengan gugup.

Ujian dilaksanakan di salah satu gedung di universitas dan bertempat di dalam sebuah ruang kelas yang besar. Renata masuk ke dalam ruang itu, yang sudah penuh dengan calon mahasiswa. Dia duduk di kursinya dan menunggu dengan gugup. Dia berusaha mengulang belajarnya di detik-detik

terakhir tapi tidak bisa memusatkan perhatian saking paniknya.

Maka alih-alih hafalan, yang masuk ke dalam pikirannya malah obrolan orang-orang di

sekitarnya.

“Eh, tahu nggak, katanya ada cowok ganteng yang daftar ulang juga tadi!” Cewek di

belakangnya sedang asyik gosip.

“Alah, cuma cowok. Kirain apaan.” Renata bisa mendengar jawaban tidak peduli dari lawan

bicara si cewek.

“Kamu nggak tahu sih wajahnya kayak apa. Coba bayangin idol Korea deh, atau aktor cowok Jepang. Nah mukanya kayak gitu! Anjir lah cakep pokoknya.”

“Halaaa.”

“Coba deh nanti dia masuk ruang apa waktu ujian. Semoga aja ruang ini sih.” Si cewek yang

masih asyik gosip terkikik kesenangan.

“Udah ah. Bentar lagi dimulai ujiannya.”

Renata menutup buku dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia lalu menutup wajahnya

dengan telapak tangan, merasa frustasi. Dia nggak ngerti lagi kenapa dalam situasi yang membuat stres ini, si cewek tadi sempat-sempatnya bahas cowok.

Para calon mahasiswa di sekitarnya kasak kusuk, membuat pikirannya makin kacau. Lalu

lambat laun, suara-suara mereka mulai memudar. Takut ketiduran, dia menurunkan tangannya. Bisa malu dia kalau ketahuan tidur di saat seperti ini.

Dia langsung mengernyit ketika menyadari bahwa suara-suara di sekelilingnya masih berhenti. Kebingungan, dia mencoba mencari penyebabnya, dan segera menemukannya.

Perhatian semua orang terpusat pada satu orang cowok yang sedang berdiri di depan pintu, kelihatan jelas dia baru saja masuk.

Cowok itu tinggi, perawakannya sempurna. Wajahnya putih bersih, matanya menyipit

kelihatan tidak peduli, rambutnya agak awut-awutan, namun justru sangat cocok buatnya.

Dia memakai kemeja putih di balik jaket hitam yang terlihat mahal. Sepatu hitamnya yang tanpa cela tidak menimbulkan suara ketika dia melangkah. Tangan kanannya memegang tali tas selempang hitam panjangnya sementara tangan kirinya menjuntai bebas di sisi tubuhnya.

Dia berjalan dengan santai lalu duduk tenang di kursinya, yang hanya berjarak dua kursi di

depan Renata, tidak menyadari atau tidak mau peduli pada pandangan seluruh orang di ruangan yang tertuju pada dirinya. Setelah duduk, kedua tangannya diletakkan di atas meja, pandangannya tertuju sepenuhnya ke depan.

Kelas masih hening selama beberapa menit setelahnya. Renata menoleh ke belakang dan

menyadari ada cewek yang sedang melongo sambil ngeces di belakangnya. Jangan-jangan ini cewek yang tadi, pikirnya curiga. Cewek di sebelahnya juga sedang melongo, walaupun lebih sopan tanpa air liur menetes dari mulutnya.

Keheningan itu baru pecah setelah penguji masuk. Dia menenteng sebuah map tebal yang tampak berat.

“Nah, bagus. Udah pada kumpul semua ya. Anteng lagi. Bagus. Saya senang, saya senang.” Si penguji tersenyum, tampak menganggap situasi itu wajar. Dia lalu mengeluarkan kertas ujian dari map sambil masih tersenyum.

Dari tempat duduknya, Renata melihat si cowok pendatang baru itu menyeringai dari sudut mulutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!