“Door, door, pyuuss.”
Derap kaki kecil yang berlarian di tempat itu, tangan kecil yang memegang pistol mainan, juga topi yang kebesaran menutupi mata dan sebagian wajahnya.
“Aku akan mengirimkan senjata nuklir. Pasukan siap... serang dia!” suaranya memenuhi ruangan lalu berkelarian lagi dan bersembunyi di belakang lemari yang berisi perabotan makan yang tertata rapi.
Caraka Kencana atau sebut saja Raka, lelaki yang hampir berumur tiga puluh tujuh itu hanya terkekeh melihat tingkah bocah kecil yang berkelarian di sekitarnya. Dia mencuci piring bekas makanan yang disajikan bagi para pelanggan yang sering mampir di kafe miliknya. Eudaemonia, kafe kecil yang ia jadikan ladang bisnis demi menghidupi dirinya sendiri dan juga bocah kecil yang sejak tadi kelihatan gembira setelah pulang sekolah itu.
“Kau harus melepas seragam sekolahmu dulu, lalu kau bisa bermain lagi,” kata Raka, ayahnya yang hendak menangkap tubuh kecil itu. Tapi tetap saja, dia tidak bisa. Karena bocah kecil itu amat lincah dalam hal melarikan diri dari sang ayah.
“Atau ... aku tidak akan mengijinkanmu bermain bersama paman Fazwan lagi!” seru Raka kewalahan.
Berhasil, dia menangkap bocah kecil yang baru berumur delapan tahun itu. Lalu menggendongnya dan membawanya ke kamar, dia tidak peduli meski bocah kecil itu merengek minta untuk diturunkan.
“Fazwan, lanjutkan pekerjaanku!” Teriaknya sebelum menaiki tangga kayu yang menghubungkan antara kafe dan rumahnya. Dia menjatuhkan bocah kecil itu di atas kasur, lalu melipat tangan di bawah dada.
“Bukankah ayah sudah bilang, setelah pulang sekolah kau harus ...."
“Mengganti seragam sekolah, mencuci tangan dan kaki lalu makan siang. Setelah itu tidur siang dan baru boleh bermain,” potong bocah kecil itu polos.
“Door, door,” katanya sambil memainkan pistol mainan miliknya. “Tapi ayah... aku mau bermain kapten bajak laut bersama paman Fazwan. Kenapa ayah melarangku? Padahal aku cuman bermain di sekitar rumah, aku tidak bermain kotor-kotoran,” katanya membela diri.
Raka hanya menghela panjang. Selalu saja, bocah kecil yang berumur delapan tahun itu selalu tahu bagaimana cara menjawab ucapannya. Dia memang tidak pernah marah pada bocah kecil itu. Kau harus tahu, bahwa bocah kecil itu merupakan hidupnya. Kalau tidak ada si bocah kecil ini, mungkin dia tidak berarti apa-apa, pun dia mungkin akan memutuskan untuk mengakhiri hidup saat dirinya berumur dua puluhan lalu.
“Tapi ini bekas keringatmu, anakku. Bagaimana jika teman-temanmu mencium bau acem dari pakaianmu? Bukankah kau akan malu sendiri?” Raka dengan pelan berkata pada si bocah kecil, sambil duduk di hadapannya, dia mengelus lembut dengan penuh sayang rambut cepak anaknya.
“Baik ayah,” kata si bocah kecil, lalu melepaskan seragam sekolahnya.
Raka memperhatikan bagaimana anaknya itu mengganti dan menggantung seragam sekolah di lemari gantungan berwarna cokelat maroon itu. Dia senang karena bisa mengawasi pertumbuhan anaknya, menjadi orang tua tunggal mungkin bukan hal yang mudah, tapi Raka menikmatinya. Satu-satunya yang dipunyai adalah bocah kecil itu, jadi bagaimana mungkin Raka bisa marah pada darah dagingnya sendiri. Dia memberikan perlakuan yang lembut dan seluruh kasih sayangnya pada anak kecil itu.
“Sudah... sekarang, apakah aku boleh bermain lagi dengan paman Fazwan?” tanya Arsa berdiri di depannya.
Raka mengangguk, si bocah kecil itu merasa senang. Dengan sigap bocah itu mengambil pistol mainannya dan berlari lewat pintu kamar. Langkah kakinya yang menuruni tangga kayu masih terdengar di telinga Raka sehingga lelaki itu tampak khawatir. “Hati-hati nanti kau jatuh, nak,” teriak Raka yang ikut keluar, lalu menutup pintu kamar.
“Kita bermain lagi paman, ayah sudah mengijinkanku. Sebentar lagi aku akan menarik pelatukku dan akan menembak para bajak laut. Door... door,” teriak Arsa.
Orang yang dipanggil paman adalah Fazwan Kalingga, lelaki itu hanya menggeleng-geleng, untung saja dia sudah selesai mencuci piring. Mereka tinggal menunggu pengunjung yang datang lagi.
Kafe itu menyatu dengan rumah Raka. Rumah mereka berada di lantai atas, dan kafe berada di lantai bawah. Para pengunjung senang melihat tawa renyah bocah kecil yang kadang bermain di sekitar ayahnya yang sedang bekerja, pun mereka juga menyukai sikap ramah dari si pemilik dan lucunya tingkah si bocah kecil itu.
“Hati-hati Arsa, ada pengunjung yang datang,” Raka memperingati.
Arsa Dipta memiliki wajah seperti Raka dan mengambil mata ibunya. Rambut yang bagian depan jatuh di dahinya, wajahnya kelihatan kesal. Arsa duduk di kursi bartender dan memainkan pistol-pistolnya di sana. Pengunjung memang gemas terhadapnya, tapi Raka sangat mengkhawatirkan anaknya, alih-alih bocah kecil itu menabrak pengunjung yang datang lalu jatuh, atau menabrak Fazwan ataupun dirinya yang sedang menyajikan pesanan pengunjung. Jangan salah, bocah kecil itu juga lumayan ceroboh.
“Kau harus makan dulu ya,” kata Raka menyajikan makanan untuknya, lalu si bocah tampak memakan makanannya dengan lahap. Begitulah menjadi orang tua tunggal, disatu sisi Raka harus bisa sebagai ibu, juga disisi lainnya, dia juga harus bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya yang masih berumur delapan tahun itu.
Mungkin Raka tidak berniat membuka usaha kafe, kalau saja —Fazwan Kalingga, temannya itu tidak menawarkan untuk bekerjasama. Fazwan adalah temannya dulu sewaktu mereka di kemiliteran. Lelaki itu juga memutuskan untuk berhenti menjadi seorang militer setelah dua tahun Raka memundurkan diri. Sampai sekarang ini, Fazwan belum memberitahu Raka alasan kenapa lelaki itu berhenti dan memilih usaha seperti ini. Tapi, Raka juga merasa senang karenanya. Bagaimana tidak? Lelaki itu juga pandai memasak dan melayani para pelanggan dengan baik.
“Fazwan, meja 12. Pain d’epice dan Monbazillac,” kata Raka yang masih menemani putranya makan. Sepertinya dia harus mencari pekerja tambahan, tidak cukup hanya mereka berdua saja. Mereka juga sering kewalahan menerima pelanggan yang berdatangan.
Setelah Arsa menghabiskan makanannya, Raka menyuruh bocah kecil itu kembali bermain, lalu dia sendiri kembali sibuk membantu Fazwan melayani para pelanggan yang datang ke kafe. Eudaemonia, kafe yang buka beberapa minggu yang lalu. Letak kafe itu di pinggir jalan, dan suasananya juga tenang. Kafe eudaemonia terkesan klasik, karena Raka memang menyukai hal-hal yang berbau klasik. ‘Hungarian Dance’ dari Johannes Brams menguasai ruangan, suara itu keluar dari tape yang ada di sebelah meja dapur. Para pengunjung yang datang langsung menuju meja kosong, dan Fazwan langsung menghampiri tiap meja yang baru diisi, bak pelayan yang baik, dia menawarkan beberapa menu spesial mereka hari ini.
Raka merasa beruntung, karena Fazwan seorang koki sekaligus pelayan hebat. Apalagi lelaki itu juga sangat bisa mengambil hati Arsa, anaknya. Jadi kadang dia tidak kewalahan, jika bocah kecil itu rewel. Mungkin iya, Arsa sering rewel diusia lima sampai tujuh tahun. Sebagai orang tua tunggal, Raka harus siaga setiap saat. Apalagi saat bocah kecil itu merengek meminta untuk bertemu ibunya, Raka tidak tidur semalaman dan menggendongnya sampai pagi. Mengajaknya berbicara perlahan, menceritakannya banyak hal, setidaknya pembicaraan tidak mengarah ke ‘Ibu’ terus.
Tapi lihat sekarang, bocah itu menikmati usia delapan tahunnya. Raka puas saat melihat anaknya itu tertawa lebar, juga saat para pelanggan mengajaknya mengobrol. Kadang setiap kali bocah kecil itu sekolah, para pelangganpun sering menanyakannya. Bocah kecil itu, mengikuti sifat Meera, mendiang istrinya. Juga dari bocah yang kecil itu, dia dapat melihat mendiang istrinya, mata Arsa mirip seperti Meera, juga bibirnya yang kecil.
Matahari sore berlalu begitu cepat saat sedan merah itu melintasi jalanan yang sepi. Wanita yang ada di dalamnya hanya bertopang dagu sambil melihat sekitar. Tempat ini terlihat asing baginya, tapi mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menerima kondisi yang ada di sekitarnya. Dia memutuskan untuk mencari rumah baru di sekitar tempat itu. Dia butuh ketenangan, memulai hidup, bertemu dengan orang-orang baru, itu mungkin bisa lebih membantunya untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Toh dia juga sudah diterima sebagai tenaga pengajar di salah satu SD yang ada di lingkungan baru itu dan akan sering berjumpa dengan anak-anak. Dia akan menjaga dan mendidik banyak anak-anak. Anak, yaa... seorang anak. Hal itu kembali lagi melintas dipikirannya. Buru-buru dia mengalihkan pikirannya ke hal yang lain, asal tidak pada ‘anak’.
“Kita sudah sampai,” ujar lelaki yang ada di sebelahnya.
Dia bergerak membuka pintu mobil. Lelaki itu sudah lebih dulu keluar dan mengeluarkan sebagian barangnya. Sementara ini baginya masih kelihatan asing.
‘Ya , mungkin karena ini masih awal, besok dia akan betah sendiri’. Pikirnya.
Matanya tak henti memperhatikan sekitar, kunci rumah ada padanya. Lelaki itu membantunya mengangkat barang-barang dan mendahuluinya masuk setelah pintu utama rumahnya dibuka.
Tidak, bukan saatnya mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Pun bukan saatnya untuk menangisi masa lalu. Dia juga ikut mengambil barang-barang, mengangkat, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
“Sekali-kali datanglah ke rumah. Ibu mengkhawatirkanmu,” kata lelaki itu setelah beberapa menit yang lalu mereka memindahkan barang.
Mereka berada di dapur, wanita itu sangat menyukai desain rumah barunya itu. Terlebih lagi, dapurnya kelihatan cantik dengan meja bar yang membentuk setengah lingkaran. Warnanya juga kelihatan monochrom, warna kesukaannya, sehingga membuat dia merasa tenang saat berada di sana.
“Kalau aku senggang, maka aku akan berkunjung,” katanya.
Ada dua cangkir minuman di hadapan mereka. Satunya masih kelihatan penuh, satunya lagi tinggal setengah.
“Kau memiliki banyak waktu. Bukankah sekarang ini sudah tidak ada lagi yang kau urus? Aku hanya khawatir kalau kau sendirian,” kata lelaki itu.
Rauly Wara, lelaki yang amat mirip dengannya. Lebih tepatnya, lelaki itu adalah versi laki-laki dari dirinya. Mereka saudara kembar, tapi Wara adalah kakak laki-lakinya yang sampai sekarang masih melajang. Wara memilih bekerja dan membahagiakan kedua orang tuanya lebih dulu sebelum menikah. Benar, menikah bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipertanggung jawabkan. Baik itu suami maupun istri. Juga harus berani saling-mengalah, mengambil resiko dan saling menerima keadaan satu sama lain. Seharusnya begitu.
Hati Varsha Zanita sudah hancur sekarang. Jadi dia datang ke sini untuk memperbaiki hatinya yang lebur, menatanya kembali, serta menjalani kehidupan yang normal.
“Aku juga harus bekerja. Kalau tidak bekerja bagaimana aku bisa makan?” katanya menghela panjang.
Itu hanya alasan, sebenarnya, orang tuanya sendiri masih bisa menghidupinya. Kalau dia mau, dia juga bisa tinggal bersama ibu dan ayahnya. Tapi sayang, dia tidak mau menyusahkan dan bermanja-manja pada orang tuanya. Ingat umur. Setidaknya, dia bekerja untuk mengalihkan pikiran-pikiran buruk, tentang masa lalu yang sering serentak menyerang memori otaknya.
“Saat kau sedang tidak bekerja. Kau bisa menjenguk mereka. Sha, kau harus tahu kalau ibu dan ayah sangat mengkhawatirkanmu,” kata lelaki itu.
Wara lebih tua darinya, tapi Varsha tidak pernah mau mengalah pada kakaknya itu. Jika dia benar-benar menginginkan sesuatu, maka dia akan tetap kekeuh pada pendiriannya.
“Aku baik-baik saja,” katanya.
“Baiklah, kalau begitu. Kau bisa menata semuanya, kan? Aku harus kembali bekerja, dan ingat ... jaga kesehatanmu, maaf tidak banyak membantu,” kata Wara sambil mengacak-acak rambut hitam milik Varsha.
Lelaki itu masih menganggap Varsha sebagai adik kecil yang paling disayang, walau dulu mereka yang paling sering membuat keributan di rumah dan merusak beberapa perabotan rumah hanya karena sebuah remote tv. Mereka berdua juga jadi bahan kemarahan ayahnya. Tapi itu dulu, segala hal-hal yang lalu menjadi kenangan.
Setelah kepergian Wara, dia duduk di sebuah gazebo yang ada di belakang rumahnya. Sambil menikmati udara yang lewat. Udara di tempat ini sangat segar, mungkin karena jarang ada kendaraan yang lewat, sehinggga polusi tidak terlalu mencemari lingkungan. Hari yang baru, juga hari yang berbeda. Tapi bukankah lebih baik menata barang-barangnya sekarang, karena besok dia sudah mulai bekerja. Dia tidak ingin kewalahan sendiri. Maka dia kembali masuk ke dalam rumah. Membawa koper-kopernya ke kamar, merapikan baju di lemarinya. Membuka kardus-kardus berisi lembaran-lembaran tulisan yang sempat dikerjakan bulan lalu. Dia belum menyelesaikan tulisannya sendiri, dia merapikan lembaran-lembaran itu di atas nakas yang ada di dekat tempat tidur. Siapa tahu, nanti hatinya akan tergerak sendiri melanjutkan tulisan itu. Entah.
Dia memasukkan selai fruits rouges buatan ibunya ke dalam lemari dapur, juga sebotol monbazillac. Mungkin ibunya sengaja menyiapkannya sebelum Varsha meninggalkan rumah. Dia sudah berjanji akan menelepon. Lemari es-nya kosong, makanya hari ini, sore ini Varsha akan pergi ke supermarket terdekat untuk membeli kebutuhannya, juga untuk isi lemari esnya.
Benda-benda yang menurutnya tidak penting, ataupun benda-benda yang membuat dia teringat pada masa lalu dipisahkan ke dalam kardus. Dia tidak ingin membiarkan dirinya terjebak di masa lalu. Kemudian beberapa foto keluarga, ayah, ibu dan kakaknya dipajang di tembok ruang tamu. Semuanya terlihat rapi, dia merebahkan tubuhnya di atas sofa hingga lelap dalam tidur.
Mimpi yang masih saja menghantuinya. Hingga sekarang membuat Varsha khawatir. Bajunya sampai basah akibat keringat yang membanjiri tubuhnya. Dia terbangun sesaat, Varsha berpikir untuk memasang pendingin ruangan karena rumah itu sangat panas, tapi Varsha harus bekerja dulu, dia tidak ingin meminta uang terus-menerus pada orang tua ataupun kakaknya.
Lantas dia keluar dari dalam rumah. Matahari sudah mulai tergelincir ke peraduan, dan seorang bocah kecil masih sedang bermain di luar. Melihat bocah kecil itu membuat hatinya tenang. Apalagi saat si bocah kecil itu melambai padanya, dia juga balas melambai. Mungkin dia adalah anak dari tetangga barunya itu. Mungkin juga besok dia akan menyapa mereka. Tidak menunggu lama, baru seorang laki-laki keluar dari pintu kafe yang ada di samping rumahnya. Dia terlihat buru-buru sekali, tapi setelah bertemu dengan bocah kecil itu, rautnya langsung berubah. Merekapun masuk ke dalam kafe tersebut, jadi tetangganya adalah seorang pemilik kafe, mungkin suami-istri itu membuka usaha kafe bersama. Ah, keluarga memang seharusnya rukun, keluarga memang seharusnya saling menjaga. Varsha masuk setelah memastikan ayah dan anak itu sudah menghilang dari pintu kafe itu.
"Ada orang yang mau bekerja di sini. Bukankah kau sedang mencari pekerja tambahan?” tanya Fazwan.
Mereka sedang bersantai di lantai dua, rumah Raka. Sementara Arsa sedang bermain di luar, setidaknya bocah itu tidak pergi jauh-jauh dari sekitar rumahnya. Raka juga sudah berpesan, kalau dia mau pergi bersama temannya, bocah itu harus meminta izin dulu padanya atau pada Fazwan. Bocah itu penurut.
“Iya. Jika ada orang yang kau kenal, kita bisa merekrutnya--”
“Ada,” kata Fazwan cepat.
Seolah lelaki itu tidak membiarkan Raka menyelesaikan kalimatnya. “Dia seorang wanita. Temanku, dia juga lumayan baik dan rajin. Kalau kau mau, aku akan membawanya besok,” tambah Fazwan.
Raka memutari sofa tempat mereka duduk dan menuju mesin pembuat kopi. Dia tidak perlu menanyakan apakah Fazwan mau minum kopi atau tidak, karena yang pasti temannya itu tidak akan menolak kopi yang sudah dibuatkan untuknya. Setelah sepuluh menit lamanya menunggu kopi yang sudah jadi, dia memberikan kopi tersebut pada Fazwan sambil menghidu kepulan asap berbau kopi di atas cangkirnya.
“Malam ini aku akan pulang ke rumah. Ngomong-ngomong kenapa Arsa belum juga kembali?” khawatir Fazwan.
Raka yang baru saja merebahkan bokongnya langsung berdiri dan turun ke lantai pertama. Dia berkelarian di kafenya yang sepi itu, lalu keluar dari pintu utama. Sebentar lagi akan petang, dan bocah itu belum juga pulang.
“Ayah, ayah, di sini.”
Raka menatap anaknya yang sedang melambai, di tangan kanannya ada sebungkus es krim, bocah itu berlari menghampirinya, Raka mengangkat tubuh anaknya ke dalam gendongan dan membawanya masuk.
“Kau dari mana? Dan siapa yang memberimu es krim?” tanya Raka, didapatinya Fazwan yang kelihatan buru-buru, “Kau mau pulang sekarang?” tanyanya dan langsung mendapat anggukkan dari Fazwan.
Lelaki itu mengacak-acak rambut Arsa. “Jangan buat ayahmu khawatir ya,” katanya, lalu mengelus wajah Arsa yang belepotan karena bekas es krim. Bocah kecil itu menurut, mengangguk.
“Nenek yang ada di sebelah memberikanku ini. Ah iya ayah, aku melihat tetangga baru kita. Dia tersenyum padaku,” katanya polos sesaat Raka mendudukkannya di atas sofa. “Dia mirip seperti ibu.”
***
Dia berdiri di depan mayat istrinya sambil menggendong Arsa kecil. Arsa yang memanggil-manggil ibunya membuat Raka semakin sedih. Dia masih ingat bagaimana tubuh kaku Meera penuh darah yang ditinggalkan di TKP saat itu. Arca saat itu masih tidak tahu apa-apa, jadi dia hanya bertanya dengan polos, apa yang terjadi pada ibunya. Raka juga harus memberitahunya dengan sangat hati-hati bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan ibunya.
“Kenapa? Kenapa kita tidak boleh bertemu dengan ibu?” tanyanya sambil menangis. Raka ikut sedih melihat putra kecilnya itu.
“Ibu sudah bahagia sama Tuhan di sana. Tuhan sangat menyayangi ibu,” kata Raka mengelus rambut tipis putranya. Lalu memeluk bocah kecil yang tidak tahu apa-apa dan masih menangis itu.
“Kalau sekarang, di sini, kan masih ada ayah. Jadi Arsa jangan ke mana-mana ya, tetap sama ayah.”
“Tapi ayah tidak akan pergi jauh, kan? Pergi jauh seperti ibu. Kalau Tuhan lebih menyayangi ayah dan ibu, bagaimana denganku? Aku akan sendirian di sini,” kata Arsa menangis, Raka mengusap wajah anaknya yang basah oleh air mata.
“Tidak, ayah janji tidak akan meninggalkan Arsa. Ayah akan selalu bersama Arsa. Arsa anak ayah yang baik dan pintar,” kata Raka lalu merangkul anaknya.
Itulah saat-saat dimana perpisahan antara mereka dan Meera, dan hari itu juga menjadi hari tugas terakhirnya di kemiliteran. Raka mengabdikan diri untuk menjaga dan melindungi keluarga satu-satunya.
“Sekarang kau harus membersihkan tubuhmu dulu. Ayah tidak mau memberikanmu cokelat kalau kau belum bersih,” kata Raka.
Arsa mengangguk dan langsung pergi ke kamarnya, Raka memandangi sosok kecil yang tengah melepaskan pakaiannya dan hendak mandi itu. Raka berharap agar anaknya itu menjadi anak yang baik. Ngomong-ngomong, tetangga baru mereka sudah datang ya? Berarti rumah itu tidak sepi lagi, juga rumah itu pasti akan terang benderang. Raka mengintip dari tirai jendelanya, memang rumah itu menyala. Mungkin besok pagi dia akan menyapa tetangga barunya itu.
***
Ruangan itu agak meremang. Arsa sudah tidur beberapa jam yang lalu. Anak kecil itu tidak bisa tidur kalau tidak ditidurkan oleh Raka. Lelaki itu selalu membacakan dongeng untuk anaknya agar bisa terlelap. Sebuah bingkai foto di bawah lampu yang meremang, Raka hanya memandangi sosok yang dipeluk di dalam bingkai foto itu. Wanita itu tersenyum dengan sangat cantik, rambutnya disanggul ke belakang hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Raka mencintai pemilik leher itu, pemilik senyuman itu, bahkan apa yang ada pada sosok di dalam bingkai foto itu disukainya.
“Seharusnya kau ada di sini sekarang. Seharusnya kau melihat Anca tumbuh dengan baik. Dia menjadi anak yang baik dan sangat periang,” katanya seolah berbicara dengan mendiang istrinya.
Dia menyalurkan rindunya pada bingkai foto yang sekarang ada di dalam dekapannya. Mengenang hal-hal manis yang pernah mereka lakukan bersama. Saat wanita itu tertawa, saat mereka berpelukan, juga saat mereka tiduran di atas rumput ilalang. Raka tersneyum masam. Hal-hal yang lalu masih mengingatkannya akan betapa besar cintanya pada mendiang istrinya itu.
“Kau harus membuat anak kita bahagia. Jika nanti aku sudah tidak ada di sini, kau harus mencari seseorang yang menyayangimu, juga menyayangi anak kita,” kata Meera suatu ketika, seolah wanita itu tahu bahwa umurnya tidak akan lama, seolah kalimat itu adalah pesan terakhirnya. “Carilah wanita yang menyayangi Arsa seperti anaknya sendiri,” kata Meera lagi saat mereka sedang piknik di bawah pohon yang ada di belakang rumah.
Arsa saat itu baru lahir dan Raka sudah minta izin satu minggu untuk cuti dari kemiliteran. Dia sendiri heran, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian. Apakah ada sesuatu yang tidak diketahui oleh Raka mengenai istrinya itu atau mungkin, apakah istrinya sedang sakit?
“Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?” tanya Raka sambil mengelus-elus lembut pipi bayi kecil yang sedang berada dalam gendongan Meera.
Wanita itu mengulum senyum sambil mencium kening bayi kecilnya.
“Untuk apa aku menyembunyikan sesuatu darimu? Aku menyayangi kalian berdua. Jika ada apa-apa, aku selalu memberitahumu. Tapi jika suatu hari nanti aku pergi, kuharap kau bertanggung jawab sepenuhnya atas anak kita, dan carilah seseorang yang mencintai kalian berdua.”
“Kau tidak akan kemana-mana, kita akan membesarkan Arsa bersama-sama. Kita akan melihat anak kita tumbuh dengan baik. Kita bertiga akan selalu bersama,” kata Raka memeluk keluarga kecilnya itu.
Arsa yang merasa hangat dalam dekapan kedua orang tuanya itu tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang belum tumbuh.
***
“Ayah, ayah.”
Pagi itu Raka terkesiap bangun saat dilihatnya Arsa sudah berada di hadapannya. Sepertinya bocah kecil itu baru saja bangun, karena masih mengenakan baju tidurnya sejak semalam. Arsa juga belum mencuci wajahnya, sehingga matanya masih kelihatan mengantuk. Jam berapa sekarang? Ah, dia tertidur semalaman di ruangan itu, ia juga lupa menutup pintu, bahkan bingkai foto istrinya masih berada dalam dekapan. Untung saja, jam weker di samping televisi mereka belum berbunyi, jadi ini masih terlalu pagi untuk siap-siap pergi ke sekolah. Belum juga terdengar suara ayam berkokok, jadi Raka menggendong putranya dan membawanya kembali ke kamar, menidurkan bocah laki-laki itu.
Tapi Raka tetap terjaga. Sembari menunggui subuh, dia membuat sarapan dan bekal untuk putranya. Satu jam lagi, dia akan membangunkan Arsa. Kalau saja Fazwan tidur di sini semalam, mungkin mereka sudah membagi tugas masing-masing. Tapi Fazwan memilih pulang ke rumah dan berjanji untuk datang pagi ini.
Pagi yang sibuk untuk Raka, saat dia harus kembali membangunkan Arsa. Hal itu memang sudah biasa baginya. Untung saja Arsa tidak merengek-rengek saat dibangunkan seperti dulu. Raka menyiapkan seragam sekolah, makanan dan bekal, lalu mengantar anaknya pergi ke sekolah.
“Tidak ada yang ketinggalan?” tanya Raka saat mereka sudah berada di depan mobil.
Arsa memeriksa tas sekolahnya, lalu menggeleng. Berarti semuanya sudah siap. Raka membukakan pintu untuk anaknya, lalu menaikkan bocah laki-laki itu ke kursi penumpang, dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.
Pagi ini Raka tidak melihat si tetangga barunya keluar. Tetangganya itu juga tidak mengambil koran pagi yang biasanya sudah diletakkan di depan rumah oleh bapak pengantar koran keliling yang ada di sekitar komplek mereka.
Kenapa tetangganya itu tidak pernah kelihatan? Batinnya.
Raka memutari mobil dan menyusul anaknya ke dalam, lantas mengendarakan mobilnya meninggalkan halaman rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!