Erlangga Bayu Pramuja.
Mahasiswa semester satu, jurusan ekonomi. Anak bungsu dari mendiang Egi Pramuja.
Siapa sangka seorang Erlangga Bayu Pramuja yang dikenal pemain cinta, akan takluk pada sosok perempuan polos yang jauh dari tipenya.
*****
Sebelum Egi Pramuja, papinya meninggal karena serangan jantung, Erlangga adalah anak yang dingin, cerdas, dan tidak pernah bertindak yang mencoreng nama keluarga. Namun, setelah Egi meninggal, perilaku Erlangga berubah total.
Erlangga yang baru menjadi mahasiswa semester satu seolah kehilangan sosok panutannya. Hidup Erlangga menjadi tidak terkendali, Club malam, minuman keras, free ****, obat-obatan terlarang, dan balap liar seolah menjadi dunianya saat itu.
Keluarganya sama sekali tidak mengetahuinya, karena Erlangga begitu pintar menyembunyikan semua perbuatan buruknya. Hingga suatu hari perbuatan liarnya mengakibatkan nyawa seseorang melayang.
Erlangga yang sedang beradu balap liar dengan rivalnya tidak sengaja menabrak kedai nasi goreng dan membuat nyawa pemilik kedai nasi goreng itu melayang.
Erlangga yang menyetir dalam keadaan mabuk pun langsung di bawa ke kantor polisi oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Dan itupun setelah diamuk oleh masa.
Kring kring kring
Pukul dua belas malam, telepon di kediaman Evano berdering. Evano yang masih belum tidur keluar dari ruangan kerjanya untuk menerima telepon itu.
“Siapa yang telepon jam segini?” gumam Evano.
Evano mengangkat gagang telepon dari tempatnya lalu menempelkannya ke telinganya.
“Halo, siapa ini?” tanya Evano.
Apa ini dengan Bapak Evano Pramuja?
“Ya, saya sendiri,” jawab Evano.
Saya dari kepolisian. Adik Anda, Erlangga sedang ada di kantor polisi. Dia baru saja menabrak seseorang.
“Apa?” Evano terkejut mendengar perkataan dari seseorang yang ada di seberang panggilan. “Saya segera ke sana.”
Evano menutup panggilan itu dan kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Evano bergegas ke kamarnya untuk menghampiri istrinya, Violetta.
“Sayang.” Evano membangunkan Violetta pelan-pelan, takut membangunkan si kembar.
Violetta membuka matanya, “Ada apa?”
“Aku mau ke kantor polisi,” jawab Evano.
“Apa? Kantor polisi!” Violetta sangat terkejut mendengar kantor polisi.
“Sttttt, jangan berisik. Nanti si kembar bangun,” ucap Evano lirih.
“Kamu mau ngapain ke kantor polisi?” tanya Violetta.
“Aku belum tahu pasti, tapi Erlangga katanya di tangkap oleh polisi,” jawab Evano.
“Kenapa?” tanya Violetta.
“Aku belum tahu pasti,” jawab Evano.
“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah,” ucap Evano.
Violetta mengangguk, “Kamu hati-hati di jalan. Kabari aku jika ada apa-apa.”
Kini Evano yang menganggukkan kepalanya. Sebelum pergi Evano mengecup kening Violetta.
“Aku pergi dulu,” pamit Evano.
“Aku akan mengantarmu ke depan,” ucap Violetta yang langsung dianggukki oleh Evano.
Evano melingkarkan tangannya di sepanjang pinggang Violetta dan keluar dari kamar mereka.
Evano masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir di garasi rumah, lalu meminta penjaga untuk membukakan pintu gerbang.
Malam nampak begitu sunyi, tetapi ramai pertanyaan di benak Evano. Apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya? Dan apa yang dilakukan oleh adiknya malam-malam, bukankah besok adiknya harus kuliah?
Jalanan yang sepi membuat Evano sampai di kantor polisi dengan cepat. Setelah memarkirkan mobilnya, Evano segara turun dari dalam mobil.
Evano melangkah masuk ke dalam kantor polisi dengan berlari kecil. Di parkiran tadi Evano sempat melihat mobil milik adik bungsunya, Erlangga.
“Selamat malam, Pak. Saya Evano kakaknya Erlangga,” ucap Evano.
“Silahkan duduk,” suruh Polisi itu.
“Bawa pemuda yang bernama Erlangga,” perintah Polisi itu pada penjaga.
Evano menunggu dengan harap-harap cemas. Rasa kantuk, rasa lelah setelah seharian bekerja hilang sudah. Kini semua itu berganti dengan rasa cemas memikirkan adik bungsunya.
“Kak Evano ....”
Evano menoleh saat mendengar suara adiknya. Wajah Erlangga nampak babak belur.
“Apa yang terjadi Erlangga?” tanya Evano.
Evano beranjak dari kursi untuk menghampiri adiknya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Erlangga?” Evano bertanya lagi.
Erlangga tidak menjawab. Laki-laki berumur 19 tahun itu justru menundukkan wajahnya tidak berani untuk menatap wajah kakaknya.
Tidak tega melihat adiknya, Evano memeluk adiknya. Namun, saat Evano mencium bau alkohol di tubuh adiknya, rasa kesal muncul di diri Evano.
Evano melepaskan pelukannya, lalu mencengkram kaos adiknya.
“Kamu mabuk? Kamu mabuk, Erlangga!” tanya Evano penuh emosi.
Erlangga diam masih dengan wajah tertunduk. Erlangga sungguh tidak berani menatap wajah kakaknya. Mendengar dari nada bicaranya saja Erlangga sudah bisa menebak jika kakaknya sangat marah.
“Jawab Erlangga! Jangan diam saja!” perintah Evano.
“Dia ketahuan sedang melakukan balap liar bersama dua temannya. Dia juga mengendari mobilnya dalam keadaan mabuk dan mengakibatkan hilang kendali lalu menabrak kedai nasi goreng,” jelas salah seorang polisi yang ada di dekatnya.
“Bukan hanya itu, pemilik dari kedai nasi goreng itu tertabrak dan sudah dilarikan ke rumah sakit. Setengah jam yang lalu kami juga mendengar kabar jika orang yang dia tabrak sudah meninggal dunia,” lanjut Polisi itu lagi.
Evano makin mencengkram kuat kaos Erlangga. Evano melampiaskan kemarahannya dengan memukul adiknya.
“Kamu dengan itu, Erlangga!” Evano memukul adiknya lagi. Namun, segera dipisahkan oleh Polisi.
“Tahan, Pak. Kendalikan diri Anda.” Dua polisi itu menjauhkan Evano dari Erlangga.
“Kamu dengar itu, Erlangga! Apa akibat dari perbuatan kamu! Bagaimana jika mami tahu tentang ini?” ucap Evano penuh amarah.
“Maaf, Kak ...,” ucap Erlangga.
Evano menarik napasnya dalam-dalam untuk meredam emosinya. Setelah dirasa dirinya sudah tenang, Evano meminta nama beserta alamat korban dari kecelakaan itu.
“Kak Evano mau ke mana?” tanya Erlangga.
“Menemui keluarga yang kamu tabrak,” jawab Evano tanpa mau melihat ke arah Erlangga.
“Jangan tinggalkan aku di sini, Kak,” mohon Erlangga.
“Apa yang bisa aku perbuat sekarang. Nasib kamu sekarang ada di tangan keluarga itu.” Tanpa bicara apapun lagi, Evano pergi dari kantor polisi itu meninggalkan Erlangga.
Erlangga kembali ke tempat mobilnya terparkir dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobilnya Evano memukul gagang untuk melampiaskan kemarahannya.
Setelah papi mereka meninggal setengah tahun yang lalu, Evano lah yang menggantikan posisi papinya di keluarganya. Namun, kejadian yang menimpa adiknya membuat Evano merasa gagal menjadi seorang kakak.
Evano mengambil ponselnya untuk menghubungi Alex, meminta pada asisten pribadinya untuk segera menemuinya. Setelah bicara pada Alex, Evano memutuskan panggilan itu lalu berganti untuk menghubungi istrinya.
“Halo, Sayang,” ucap Evano.
Halo, apa yang terjadi? Suaramu terdengar sangat cemas?
Evano akhirnya menceritakan pada istrinya apa yang terjadi pada Erlangga. Evano bisa mengetahui jika istrinya sangat terkejut mendengar dari nada bicaranya.
“Baiklah, aku tutup dulu. Aku harus menemui Alex. Kami akan menemui keluarga itu,” ucap Evano.
“Aku mencintaimu,” ucap Evano.
Aku juga mencintaimu. Kamu hati-hati di jalan.
Evano mengakhiri panggilannya. Setelah menaruh ponselnya, Evano kembali melajukan mobilnya ke rumah sakit yang diberitahukan oleh para Polisi sebelumya.
Happy reading
Plaaak
Belum sembuh luka dari amukan masa, pukulan dari kakaknya, sekarang giliran Erlangga mendapat tamparan keras yang diberikan oleh maminya, Monica.
“Apa yang kamu lakukan, Erlangga? Kamu bilang sama mami jika kamu belajar bersama teman-teman kamu, tapi kenapa kamu jadi balapan liar di jalanan? Jadi kamu bohong sama mami.” Monica berteriak untuk melampiaskan kemarahannya pada anak bungsunya.
“Maafin Erlangga, Mam ...,” ucap Erlangga lirih.
“Jangan panggil saya Mami!” Monica langsung pergi meninggalkan Erlangga yang sedang memohon maaf padanya dengan menyatukan kedua tangannya.
“Mam ... Mami ... maafin Erlangga, Mam,” mohon Erlangga.
Rasa kecewa yang begitu dalam terhadap anaknya, membuat Monica tidak ingin melihat anak bungsunya itu.
“Sudah puas kamu, Erlangga! Sudah puas kamu membuat kami semua kecewa, hah! Kamu memang pembuat masalah.” Evelyn yang datang bersama mami dan suaminya pun tidak bisa menahan amarahnya pada adiknya.
“Mami masih sedih karena papi meninggal dan sekarang kamu menambah kesedihan mami. Aku membencimu, Erlangga!” teriak Evelyn.
“Kak ....” Erlangga menangis saat Evelyn juga meninggalkan dirinya.
“Erlangga ....” Pasha menepuk pundak adik iparnya. “Tenangkan diri kamu. Kamu tahu 'kan? Mereka masih sangat terpukul dengan kepergian papi. Sekarang ditambah dengan masalah kamu ini ... mereka pasti sangat sedih,” ujar Pasha.
Erlangga mengusap air matanya. Sejujurnya Erlangga juga merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri.
“Mereka benar kok, Kak. Aku ini memang pembuat masalah.” Tanpa bicara lagi, Erlangga pergi meninggalkan Pasha.
“Erlangga ... tunggu!” Pasha hanya mampu menarik napas beratnya melihat nasib adik iparnya.
Pasha memutuskan untuk pergi dari kantor polisi menyusul istri juga ibu mertuanya. Pasha menghampiri istrinya yang sedang menunggunya di parkiran mobil.
“Evelyn ... di mana mami?” tanya Pasha.
“Mami sudah pulang,” jawab Evelyn di sela isak tangisnya.
“Evelyn, berhentilah menangis. Ini tidak baik untuk kehamilanmu.” Pasha mengusap kepala istrinya yang sedang hamil empat bulan.
“Erlangga itu keterlaluan! Dia membuat mami bersedih,” maki Evelyn.
“Ya, aku tahu. Tapi kamu juga harus memperhatikan kondisi adikmu,” ucap Pasha. “Kalau kalian seperti ini terus padanya, siapa yang akan membela dia. Siapa yang akan mendukungnya dalam keadaannya yang seperti ini.”
“Aku tidak peduli dengan Erlangga! Aku mau pulang sekarang,” ucap Evelyn penuh amarah.
“Evelyn ...,” panggil Pasha.
“Jangan mencoba untuk membujukku, Kak Pasha,” ucap Evelyn.
Evelyn masuk ke dalam mobil lebih dulu meninggalkan suaminya. Melihat kemarahan Evelyn, dalam hal ini Pasha tidak akan bisa membujuk Evelyn.
Pasha pun menyusul istrinya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Pasha berjalan memutar dan duduk di bangku kemudi.
“Lebih baik kita ke rumah mami untuk melihat kondisi mami,” usul Pasha.
“Tidak, kita ke rumah kak Evano saja. Pasti mami memilih ke sana untuk bertemu baby twins ... untuk menghibur dirinya,” ucap Evelyn.
“Ya baiklah,” sahut Pasha.
Pasha menyalakan mesin mobilnya kemudian melajukan mobilnya meninggalkan kantor polisi dan menuju kediaman Evano.
Waktu menunjukan pukul satu siang. Jalanan siang itu sangatlah panas, bahkan panasnya sampai terasa di dalam mobil.
Evelyn menyetel pendingin di dalam mobilnya dengan mode sangat dingin. Hawa dingin langsung terasa di tubuh serta pikiran Evelyn. Membuat pikirannya sedikit tenang.
Pasha yang sedang mengemudi sekilas memperhatikan istrinya. Masih ada air mata yang mengalir dari matanya. Pasha tahu jika istrinya juga masih sangat terpukul dengan kematian papinya yang sangat tiba-tiba ditambah masalah yang menimpa adiknya.
“Anak papa kepanasan ya?” Pasha mengusap perut istrinya yang sudah mulai menonjol.
Usapan lembut tangan Pasha di perutnya terasa sampai ke hati Evelyn. Evelyn pun langsung menoleh ke arah suaminya. Melihat senyum di wajah suaminya membuat perasaan Evelyn lebih tenang.
“Kak Pasha ...,” panggil Evelyn disusul tetesan air matanya.
Beruntung jalan dalam keadaan macet total, membuat Pasha lebih leluasa bicara pada istrinya.
“Jangan menangis ....” Pasha mengusap air mata yang jatuh ke pipi istrinya. “Kalau kamu bersedih, anak kita bakalan ikut sedih.”
“Aku hanya lagi keinget sama papi. Papi ninggalin kita secara tiba-tiba, dan bahkan papi pergi sebelum melihat anak kita,” ucap Evelyn di sela isak tangisnya.
“Aku tahu, Sayang. Bukan hanya kamu yang merasa bersedih. Semua orang juga merasa bersedih, terutama mami dan Erlangga,” ucap Pasha.
“Kamu lihat 'kan? Adik kamu sangat terpukul dengan kematian papi, bahkan dia melampiaskan rasa sedihnya dengan cara seperti itu,” ucap Pasha lagi.
Evelyn hanya mampu mengangguk-anggukkan kepalanya untuk merespon perkataan Pasha.
“Sekarang hapus air mata kamu. Jangan tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mami. Kamu tidak mau 'kan jika mami akan bertambah sedih,” ucap Pasha.
Untuk sesaat Evelyn berdiam diri, mencoba untuk mencerna perkataan dari suaminya. Sesaat kemudian Evelyn menghapus jejak air matanya yang masih tertinggal di pipinya.
“Iya, Kak.” Evelyn mengangguk.
Bersamaan dengan itu mobil-mobil yang ada di depan mobil mereka sudah mulai melaju. Pasha pun kembali melajukan mobilnya.
Jalanan sudah kembali longgar membuat laju mobil yang Pasha kendarai tidak tersedat lagi.
Pasha memberhentikan laju mobilnya saat sampai di depan gerbang rumah Evano. Benar saja ibu mertuanya berada di rumah Evano
“Sepertinya mami sudah sampai di sini,” ucap Pasha.
Pasha melihat mobil milik ibu mertuanya terparkir di depan rumah Evano.
“Tebakanku benar, 'kan?” ucap Evelyn.
Pasha kembali melajukan mobilnya saat pintu gerbang sudah dibuka. Keduanya pun langsung turun dari mobil setelah Pasha memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil milik Monica.
“Ayo kita masuk,” ajak Pasha.
Pasha melingkarkan tangannya di sepanjang pinggang Evelyn, menuntun istrinya masuk ke dalam rumah.
“Awas hati-hati. Perhatikan langkahmu,” ucap Pasha.
“Iya, Sayangku. Kamu ini cerewet sekali,” ucap Evelyn.
Kadang Evelyn merasa jengah saat Pasha terlalu berlaku over protective kepadanya.
“Bukan begitu, Evelyn. Aku takut kamu jatuh,” ucap Pasha.
“Aku ini hamil, Sayang. Bukan sakit parah,” ucap Evelyn disusul tawa kecilnya. Apapun itu Evelyn bahagia karena suaminya selalu memperhatikan dirinya.
Evelyn dan Pasha masuk ke dalam rumah kakaknya. Mereka dibuat heran saat mendengar suara tawa mami Monica. Merasa penasaran Evelyn dan Pasha mempercepat langkah mereka.
Ternyata yang membuat mami Monica tertawa adalah baby twins. Bayi kembar berumur 8 bulan itu sedang merangkak ke sana kemari.
Sepertinya kakak iparnya sengaja memakaikan bayi kembarnya dengan kostum anak beruang, membuat mereka benar-benar seperti anak beruang.
“Baby twins ... kalian memang sangat menggemaskan,” seru Evelyn.
Mendengar suara Evelyn, mami Monica dan Violetta menolehkan pandangan mereka ke asal suara. Keduanya melihat Pasha dan Evelyn sedang berjalan ke arah mereka.
“Kalian ke sini?” tanya Monica.
“Karena aku tahu Mami pasti pergi menemui baby twins. Makanya kami menyusul ke sini,” jawab Evelyn.
Evelyn duduk tepat di samping maminya dan langsung memberikan pelukan pada perempuan yang telah melahirkannya.
“Mami baik-baik saja, 'kan?” tanya Evelyn.
Monica mengangguk, “Iya, Nak. Mami baik-baik saja. Mami hanya memikirkan Erlangga. Bagaimana jika keluarga yang dia tabrak menuntut adik kamu dengan hukuman yang berat.”
Monica menitihkan air matanya. Jujur hatinya sakit melihat nasib anak bungsunya. Dirinya merasa gagal menjadi seorang ibu dan gagal mengemban amanah dari mendiang suaminya untuk menjaga anak-anaknya terutama Erlangga.
“Mami sabar ya. Kita tunggu kabar dari kak Evano,” ucap Evelyn seraya mengusap kedua pundak maminya.
Jangan lupa tekan jempol, vote, rate, love, dan komentarnya.
Tin Tin Tin
Mobil yang Evano kendarai berhenti di depan rumah besarnya. Sudah dari semalam dirinya tidak pulang ke rumahnya. Tarikan napas Evano begitu lega. Akhirnya ia bisa beristirahat di rumahnya juga.
Evano berlari kecil saat memasuki rumahnya. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan anak kembarnya dan juga keluarganya.
“Kamu sudah pulang, Nak? Bagaimana dengan keluarga itu? Apa mereka akan menuntut adik kamu?Jika iya ... berikan saja separuh dari harta mami untuk mereka untuk menukar kebebasan adik kamu.” Monica menodong Evano dengan banyak pertanyaan saat melihat anak sulungnya masuk ke dalam rumah.
“Mami ... tenanglah! Biarkan kak Evano duduk dulu,” ucap Evelyn.
“Mami tenanglah! Aku akan membersihkan tubuhku dulu, baru aku akan bercerita kepada Mami,” ucap Evano.
“Baiklah, lebih baik kamu mandi dulu. Wajahmu terlihat sangat kacau,” ucap Monica.
Evano masuk ke dalam kamarnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Evano mandi dengan terburu-buru ia tidak ingin membuat maminya menunggunya terlalu lama. Setelah berganti pakaian Evano langsung keluar dari kamarnya. Langkahnya menuntunnya ke tempat maminya berada.
“Bagaimana, Nak?” Monica bertanya dengan tidak sabarannya.
“Mami ... tenanglah!” Evano menuntun maminya untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. “Duduklah, Mam.”
“Semuanya baik-baik saja, Mam. Aku sudah bicara dengan keluarga itu. Mereka bahkan tidak akan menuntut Erlangga tanpa aku harus membujuknya,” jelas Evano.
“Tapi ....” Evano meredam perkataanya.
“Tapi apa, Nak?” Ada rasa cemas pada nada bicara Monica.
“Ternyata orang yang Erlangga tabrak adalah tulang punggung keluarga kecil itu. Orang itu meninggalkan seorang anak perempuan berumur 7 tahun dan juga ibunya,” ucap Evano.
“Jadi sebagai gantinya aku akan membantu kebutuhan mereka, terutama anak perempuan itu. Aku akan kebutuhan mereka sampai anak perempuan itu bisa mandiri,” jelas Evano.
“Tidak, Nak. Biar mami saja yang melakukan itu. Kamu fokus saja pada anak-anak dan istri kamu,” ucap Monica. “Besok antar mami ke rumah mereka. Mami ingin berterima kasih kepada mereka.”
“Baik, Mam,” ucap Evano. “Dan aku juga sudah menyuruh Alex untuk membawa Erlangga pulang. Mereka sudah dalam perjalanan ke mari,” ucap Evano.
Monica akhirnya bisa bernafas lega mendengar jika Erlangga akan segera pulang. Meskipun amarahnya sangat besar kepada Erlangga, tetapi dia juga seorang ibu, yang akan merasa sedih jika anaknya berada dalam masalah.
“Syukurlah,” ucap Monica.
“Mami sudah dengar itu, 'kan? Sekarang mami makan ya,” ucap Violetta.
“Nanti ya, sebentar lagi. Tunggu Erlangga pulang,” ucap Monica.
“Ya, sudah. Tapi janji ya, mami akan makan setelah Erlangga pulang,” ucap Violetta.
“Iya, mami janji,” ucap Monica. “Kalian makan dulu saja. Mami mau main sama si kembar sambil nunggu Erlangga,” ucap Monica.
“Baiklah, terserah mami saja,” ucap Violetta.
Monica pergi ke kamar Kenzo dan juga Kenzi. Setelah Egi meninggal, kedua cucunya adalah semangat hidup bagi dirinya.
“Ayo, Sayang kita makan dulu. Biarkan mami main sama Kenzo dan juga Kenzi,” ajak Violetta. “Ayo Evelyn, Pasha.” Violetta pun mengajak Evelyn dan juga Pasha untuk makan malam.
“Iya, ayo Kak. Aku juga sudah sangat kelaparan,” imbuh Evelyn.
“Kamu harus jaga kesehatan kamu dan juga bayi dalam kandungan kamu ini,” ucap Violetta.
“Iya, Kakak iparku,” ucap Evelyn.
Keempatnya pun melangkah bersama menuju meja makan. Mereka menarik kursi yang ada di meja makan sebagai tempat duduk mereka masing-masing.
Saat keempatnya tengah makan, suara klakson mobil milik Alex terdengar di telinga mereka. Evano beranjak dari kursinya untuk melihat Alex.
“Kalian lanjutkan makannya. Aku yang akan melihat mereka,” ucap Evano yang langsung dianggukki oleh istri dan adiknya serta adik iparnya.
Evano melangkah ke arah pintu utama. Sampai di teras Evano langsung memeluk adiknya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Evano.
Erlangga mengangguk dalam pelukan kakaknya. “Maafin aku, Kak ....”
“Sudahlah, ayo masuk! Mami sudah menunggumu,” ajak Evano.
Erlangga masuk lebih dulu ke dalam rumah meninggalkan kakaknya yang sedang bicara dengan Alex.
“Mampir dulu, Al,” tawar Evano.
“Beres, Bos. Numpang makan sekalian ya,” ucap Alex diikuti kekehanya.
“Makanya cari istri! Jadi gak numpang makan terus di rumah orang,” gurau Evano yang disambut tawa kecil oleh Alex.
Evano dan Alex menyusul masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju meja makan, sedangkan Erlangga langsung menemui maminya yang ada di dalam kamar si kembar.
Saat akan masuk ke kamar Kenzo dan juga Kenzi, pintu kamar itu terbuka lebih dulu dan memunculkan maminya dari balik pintu.
“Mami ....” Erlangga langsung memeluk maminya dan terisak di sana. Tidak lupa juga Erlangga mengucapkan kata maaf berulang kali pada perempuan yang sudah melahirkannya.
“Maafin Erlangga, Mam. Maaf sudah bikin Mami kecewa, bikin Mami malu, dan bikin Mami marah,” ucap Erlangga. “Erlanga janji gak akan melakukan itu lagi.”
“Mami sudah maafin kamu, Nak.” Monica melepaskan pelukannya dan memberikan kecupan di wajah anak bungsunya. “Maafin, mami juga karena sudah menampar kamu tadi.”
“Iya, Mam,” ucap Erlangga.
“Ini pasti sakit.” Monica menyentuh salah satu luka yang ada di wajah anaknya. Membuat Erlangga meringis menahan sakit.
“Gak apa-apa, Mam. Lebih sakit jika Mami marah sama Erlangga,” ucap Erlangga.
“Ayo, Mami obatin. Kamu juga pasti lapar, 'kan? Mami akan suapin kamu.” Monica membawa Erlangga ke ruang tengah dan meminta pada asisten rumah tangga di rumah itu untuk mengambilkan kotak P3K.
“Ini, Bu kotak P3K-nya.” Asisten rumah tangga itu memberikan kotak P3K kepada Monica.
“Mba, sekalian ambilkan makanan untuk Erlangga ya,” suruh Monica.
“Baik, Bu,” sahutnya.
“Tidak usah, Mam. Aku sudah membawakannya.”
Monica dan Erlangga menoleh ke asal suara. Mereka melihat Evelyn sedang melangkah ke arah mereka dengan membawa nampang berisi makanan serta minuman.
Evelyn duduk di samping Erlangga, lalu menyuapi adiknya.
“Maafin, kakak ya udah marah-marah sama kamu tadi siang,” ucap Evelyn seraya menyuapkan makanan ke mulut Erlangga.
“Aku yang salah, kok,” ucap Erlangga.
“Sini, biar mami yang suapin Erlangga. Kamu lanjutkan makan malam kamu sana.” Monica meminta piring yang Evelyn pegang.
“Aku sudah selesai makan kok Mam,” sahut Evelyn. Akan tetapi Evelyn tetap memberikan piring itu kepada Monica. Agar maminya bisa menyuapi adiknya.
Tidak lama Evano, Violetta, dan Pasha datang ke tempat itu. Mereka sama-sama duduk pada sofa yang ada di ruangan itu.
“Erlangga, kamu harus bersyukur keluarga itu tidak menuntut dirimu. Jika iya, kami semua tidak bisa menolong kamu,” ucap Evano.
“Iya, Kak ....” Erlangga mengangguk dengan wajah tertunduk.
“Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kamu dan jangan mengulanginya lagi,” ucap Evano yang langsung dianggukki oleh Erlangga.
“Erlangga janji pada kalian semua tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi,” ucap Erlangga.
“Dan mulai sekarang kakak akan mencabut semua fasilitas kamu. Berikan kartu kredit, kartu ATM, dan kunci mobil yang pernah papi berikan padaku,” pinta Evano.
“Berikan, Nak,” sambung Monica.
Erlangga memberikan kartu kredit dan kunci mobil kepada Evano. Namun, Evano kembali memberikan kartu ATM kepada Erlangga.
“Ini kamu pegang. Setiap bulan kakak akan kirim uang ke kamu ... hanya 5 juta. Dan kakak minta itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kamu,” ucap Evano.
Erlangga pun mengangguk saja. Meskipun uang yang diberikan oleh kakaknya hanya separuh dari uang yang biasa papinya berikan kepadanya dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!