"Budi ... Bud ... di mana kamu?"
"Budi .... "
"Ibud ... di mana kamu Bud?"
"Budi .... "
Begitulah teriakan demi teriakan menggema memenuhi hutan belakang rumah mereka. Bukan hanya keluarga yang mencoba memanggil nama Budi, tetangga sekitar rumah juga ikut membantu mencari laki-laki bernama Budi ini.
Sang mama terlihat sudah sangat frustasi mencari anak bujang nya. Dengan air mata yang berlinangan, mama Budi terduduk lemas di bawah pohon kayu ara yang rindang.
"Sabar ma, kita pasti akan menemukan Budi. Dia pasti baik-baik saja," ucap papa memberi semangat pada istrinya.
"Di mana Budi, Pa. Mengapa dia tidak menjawab panggilan kita?"
"Dia mungkin tidak mendengarkan panggilan kita, Ma. Makanya dia tidak menjawabnya."
"Di mana kamu, Nak. Kenapa kamu menghilang tiba-tiba?" tanya sang mama dengan nada yang sangat sedih.
"Sabar ma. Kita akan terus mencari abang sampai kita menemukannya," ucap anak Irfan adik Budi.
Pencarian terus berlanjut. Warga semakin ramai membantu mencari Budi yang hilang entah kemana. Hanya warga yang membantu mencari Budi, tidak ada pihak polisi atau lain semacamnya. Karena mereka tinggal di desa yang jauh keramaian.
Sebenarnya, keluarga Budi bukan pendatang baru di desa ini. Mereka sudah puluhan tahun menetap di desa ini. Tapi entah mengapa, entah salahnya di mana, Budi tiba-tiba menghilang.
Budi bukan anak kecil. Dia seorang remaja yang sudah berusia sembilan belas tahun. Dia anak yang baik. Sopan santun dan sangat penurut pada orang tuanya. Dia tidak mungkin pergi sebelum berpamitan pada mamanya.
Adik Budi menyadari kakaknya menghilang pada siang hari, di saat makan siang. Tapi, sampai malam hari, mereka masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan Budi.
Panggilan, teriakan, terus saja terdengar dalam kegelapan malam. Suasana desa yang sepi, malam ini berubah menjadi ramai akibat pencarian itu.
Mereka terus mencari hingga jam sembilan malam. Hutan belakang rumah yang awalnya semak, kini berubah terang akibat pencarian itu. Semua kemungkinan telah mereka pecahkan. Namun tetap saja, Budi masih belum bisa ditemukan.
Anak itu hilang, bagaikan di telan alam. Tidak meninggalkan tanda-tanda sedikitpun. Membuat semua orang tidak tahu harus bagaimana untuk menemukan Budi yang malang.
Dalam keputusasaan itu, salah satu dari warga yang membantu mencari Budi, duduk di bawah pohon ara untuk melepas lelah. Tiba-tiba, mata warga itu melihat sesuatu dalam kegelapan malam. Ya, itu adalah kaki seorang laki-laki.
Warga itu sedikit kaget dengan apa yang ia lihat. Dengan cepat, dia berteriak memanggil yang lain untuk melihat apa yang telah ia temui.
Semua yang mendengar teriakan itu, bergegas menghampiri asal suara. Sebuah kerumunan pun tercipta di bawah pohon ara.
"Ada apa?" tanya papa Budi.
"Kami telah menemukan Budi."
"Apa!? Di mana?" tanya sang mama penuh semangat.
"Di bawah pohon ara, tante."
"Pohon, pohon ara?"
"Iya."
"Ada apa, Ma?" tanya papa saat melihat ekspresi mama yang seolah-olah tak percaya.
"Gak papa, Pa. Ayo segera ke sana," kata mama.
Mereka pun segera menuju pohon ara. Tempat di mana Budi di temukan.
Sesampainya di sana. Mama segera menghampiri kerumunan yang sedang mengelilingi tubuh Budi yang masih tidak sadarkan diri. Dengan cepat dan disertai air mata, mama memeluk tubuh anaknya.
"Ibud, kamu kenapa, nak?"
"Budi ... apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu bisa tidak sadarkan diri di sini?" tanya papa pula.
Tentu saja tidak ada jawaban, karena Budi masih dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini. Mana bisa Budi menjawab pertanyaan mama dan papanya.
"Pak Edi, bu Nunung. Apa tidak sebaiknya, kita bawa Budi pulang terlebih dahulu?" tanya salah satu warga.
"Ya pak, buk. Sebaiknya kita bawa Budi pulang dulu. Mengingat hari sudah semakin malam saat ini, kita tidak mungkin terus berada di sini, bukan?" kata warga yang lainnya.
Papa dan mama Budi pun menyetujui apa yang warga katakan. Dengan dibantu beberapa orang warga, mereka membawa Budi pulang ke rumah.
*****
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Budi. Karena Budi masih tidak sadarkan diri hingga pagi tiba. Dokter sudah didatangkan. Tapi hasilnya sungguh sangat membingungkan semua orang.
Dokter mengatakan kalau Budi baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan Budi. Dalam dunia medis, saat ini Budi hanya sedang tertidur saja.
"Tidur seperti apa yang sedang anak saya alami, Dok? Kenapa dia masih belum bangun sampai sekarang?" tanya mama dengan nada kesal.
Dokter itu hanya bisa diam. Kondisi yang Budi alami tidak pernah ia pelajari dalam ilmu kedokteran. Bagaimana ia bisa menjelaskan pada semuanya, kalau dia saja baru pertama kali mengalami hal seperti ini.
Berbagai tebakan pun bermunculan dalam pikiran warga. Ada banyak pendapat yang mereka utarakan tentang apa yang sedang Budi alami sekarang. Terutama pendapat tentang makhluk halus dan sejenisnya.
Karena banyak yang berpendapat kalau Budi sedang dirasuki makhluk tak kasat mata, juga banyak yang menyarankan untuk memanggil orang pintar alias dukun, maka kedua orang tua Budi pun memanggil orang pintar datang ke rumah.
"Sediakan aku sebuah kikir tiga persegi," kata orang pintar yang bernama Bujang.
"Kikir segi tiga?" tanya papa bingung.
"Iya."
"Udah Pa, sediakan saja apa yang pak Bujang inginkan," kata mama.
"Ba-baiklah. Tunggu sebentar." Papa pun bergegas mencari kikir segi tiga dalam tumpukan perkakasnya.
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. Pak Bujang segera melaksanakan tugasnya. Dengan mulut komat kamit, dia mendekati tubuh Budi yang masih terdiam bak manusia tak bernyawa lagi.
Pak Bujang lalu menyentuh kaki Budi. Menyelipkan kikir segitiga di antara jari jempol dan jari telunjuk. Lalu, dengan cepat, pak Bujang memijat telapak kaki Budi.
Untuk pertama kali, Budi mengeluarkan suara. Ia berteriak, menjerit kesakitan. Membuat semua orang yang ada di rumah itu kaget dengan jeritan yang terdengar sangat memilukan.
"Ada apa pak?" tanya papa.
"Apa yang terjadi dengan anak saya? Kamu apakan dia? Kamu apakan Budi!?" tanya mama dengan nada tinggi.
"Tenang bu Nunung."
"Bagaimana saya bisa tenang, anak saya sedang kesakitan!"
"Tenang. Saya tidak akan mencelakai anak buk Nunung."
"Ma ... tolong aku ... sakit ma, sakit," kata Budi dengan nada memelas.
"Budi. Sabar, Nak," ucap bu Nunung sambil berjalan ingin mendekati Budi.
Dengan cepat pak Bujang mencegah niat bu Nunung.
"Jangan, Bu."
"Kenapa!?"
"Dia bukan Budi anak bu Nunung."
"Apa maksud pak Bujang?" tanya papa pula.
"Pak Edi, bu Nunung. Yang terbaring sekarang memang tubuh anak kalian. Tapi sukmanya sedang tidak berada di dalam tubuh anak kalian."
"Suk--sukma?" tanya mama bingung.
"Iya. Sukma Budi tidak berada dalam tubuhnya. Sukma itu sedang mengembara di alam gaib saat ini."
Mama terduduk karena syok dengan apa yang pak Bujang katakan. Ia menangis sambil menutup mulutnya. Papa dengan cepat memeluk mama.
"Pak Bujang, tolong selamatkan Budi. Tolong selamatkan anak kami, Pak," ucap papa dengan nada memelas.
"Aku akan berusaha membantu sebisa ku. Kalian tenang saja. Bantu aku dengan doa."
Pak Bujang kembali melanjutkan tugasnya untuk menolong Budi. Ia mengulangi apa yang dia lakukan beberapa saat yang lalu. Sekali lagi, Budi menjerit kesakitan. Jeritan yang memilukan itu tidak menggoyahkan niat pak Bujang sedikitpun. Ia masih tetap melanjutkan apa yang ia lakukan. Hingga tubuh Budi terkulai lemah dan pingsan kembali.
"Bagaimana pak?" tanya papa.
"Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Aku berhasil mengembalikan sukma Budi ke dalam tubuhnya kembali."
"Syukur deh kalo gitu," ucap papa sambil melepaskan napas lega.
"Benarkah pak Bujang berhasil menyelamatkan Budi? Tapi mengapa Budi masih tidak sadarkan diri sekarang?" tanya mama dengan nada bingung bercampur khawatir.
"Sabar bu Nunung. Sebentar lagi pasti dia akan sadar. Tubuhnya terlalu kelelahan sehingga butuh waktu untuk istirahat sebentar."
"Ma ... mama." Budi memanggil dengan suara yang sangat lemas, sehingga hampir tidak terdengar sama sekali.
"Budi, kamu sudah sadar, Nak?" tanya mama sambil bergegas menghampiri anaknya.
"Ada apa dengan ku, Ma? Kenapa mama kelihatan begitu sedih?"
"Tidak ada apa-apa, Nak. Mama hanya sedikit cemas dengan keadaanmu."
"Ada apa dengan ku?"
"Kamu tidak sadarkan diri selama hampir dua puluh empat jam, Bud. Seharusnya mama yang tanya, ada apa dengan kamu, Nak? Kenapa bisa seperti ini?"
"Ma, sebaiknya jangan tanya apa-apa dahulu pada Budi. Biarkan anak kita pulih dahulu, baru menanyakan apa yang terjadi," kata papa sambil bicara kecil pada mama.
Mama mengangguk setuju. Ia pun mengubah pertanyaan barusan dengan pertanyaan yang lain. Menyembunyikan rasa cemas dengan sedikit senyum yang sulit untuk mama lukis. Karena rasa cemas masih sangat besar dalam hati mama hingga detik ini.
*****
Satu hari satu malam mama dan papa menahan rasa penasaran mereka pada apa yang terjadi dengan anak pertama mereka ini. Orang tua bisa menahan, tapi anak muda tidak.
Irfan selaku adik Budi, tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat makan malam, ia menanyakan apa yang terjadi pada Budi sebelumnya. Mengapa abangnya bisa sampai menghilang dan ditemukan di bawah pohon ara.
Padahal sebelumnya, hutan belakang rumah bukanlah tempat yang angker buat mereka. Karena setiap hari, mereka selalu menggembalakan sapi mereka di hutan belakang rumah. Tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Irfan takut kalau abangnya ada berbuat salah. Sehingga makhluk tak kasat mata itu marah dan memberi abangnya pelajaran. Memang, beberapa hari yang lalu, mereka kehilangan salah satu anak sapi.
Saat itu giliran Irfan yang menggembalakan sapi. Tapi tiba-tiba saja, tidak ada angin, tidak ada hujan. Anak sapi yang Irfan bawa menghilang tanpa jejak.
Irfan mencoba mencari anak sapi itu di semak-semak. Namun tidak ada. Ia terus mencari hingga hari menjelang senja.
Karena Irfan tidak bisa menemukan anak sapi itu sampai senja, ia pun memutuskan untuk pulang saja. Irfan menceritakan apa yang terjadi pada abangnya. Budi pun memutuskan untuk mencari anak sapi itu besok hari.
Keesokannya, bukan hanya anak sapi yang tidak bisa mereka temukan, Budi juga menghilang. Yang anehnya lagi, setelah Budi ditemukan, anak sapi itu juga ada di sekitar pohon ara. Tempat di mana Budi warga temukan pingsan malam itu.
Irfan takut kalau abangnya membuat perjanjian dengan makhluk halus hanya untuk menemukan anak sapi mereka yang hilang. Makanya dia tak sabar lagi untuk bertanya pada Budi, apa yang terjadi sampai-sampai dia bisa pingsan.
"Bang, apa kamu ingat kejadian sebelum kamu pingsan?" tanya Irfan memulai pertanyaan.
Budi hanya menggelengkan kepalanya sambil bengong tak menentu. Ia kelihatan bingung dan berusaha berpikir keras agar ingat apa yang terjadi sebelumnya.
"Masa iya kamu gak ingat sih bang," kata Irfan agak kesal.
"Irfan. Jangan paksa abang mu mengingat apa yang tidak dia ingat," kata mama dengan nada marah.
Irfan terdiam. Ia tahu kalau apa yang ia katakan salah. Tapi, rasa penasaran akan apa yang terjadi membuat hatinya tidak tenang.
Sementara itu, Budi terus berusaha mengingat apa yang terjadi sehingga dia pingsan.
"Jangan kamu paksakan, Ibud. Jika tidak bisa diingat, maka biarkan saja. Jangan dengarkan apa yang adikmu katakan," kata mama.
"Ya Budi. Jika sudah tidak ingat, maka jangan diingat-ingat. Mungkin lebih baik tidak ingat dari pada ingat tapi menakutkan," ucap papa pula.
Tidak ada jawaban dari Budi. Ia hanya diam tanpa kata dengan peluh membasahi tubuhnya. Tangannya menggenggam erat. Tubuh Budi tiba-tiba kaku dengan mata melotot.
Mama dan papa menyadari kalau Budi sedang tidak baik. Mama berjalan cepat menghampiri Budi yang sedang duduk sambil berkeringat dingin.
"Jangan, Ma!" Papa mencegah niat mama dengan cepat.
"Kenapa, Pa!?"
"Mungkin itu bukan Budi."
"Apa sih maksud papa?" tanya Irfan bingung.
"Jangan banyak tanya. Cepat jemput pak Bujang, bawa dia ke rumah kita."
"Pak Bujang? Pak Bujang yang tinggal di ujung desa itu?" tanya Irfan semakin bingung.
"Iya," jawab papa singkat.
"Cepat Irfan! Jangan bengong lagi," kata mama pula.
"Iy--iya ma. Aku berangkat sekarang."
***
Ketika pak Bujang sampai ke rumah Budi, Budi sudah kehilangan kendali. Tubuhnya ditahan oleh beberapa orang warga agar tidak mengamuk dan keluar dari rumah.
"Pak Bujang cepat! Tolong anak saya pak," kata mama dengan berurai air mata menghampiri pak Bujang yang masih berada di ambang pintu.
"Baik bu Nunung. Saya akan berusaha membantu," ucap pak Bujang.
"Bujang! Kau tidak perlu ikut campur urusan ku!" kata Budi dengan suara tinggi dan berat.
Suara itu bukan milik Budi. Suara itu juga tidak sama dengan suara Budi saat pertama kali ia kerasukan. Suara Budi kali ini tinggi dan berat, lebih mirip laki-laki tua.
Pak Bujang tidak menghiraukan suara itu. Ia tetap berjalan maju mendekati Budi yang terbaring di atas lantai.
"Bujang! Kau sungguh tidak mau mendengarkan perkataan ku? Apa kau tidak sayang dengan peliharaan mu?" tanya Budi lagi.
"Apa maksud mu?" tanya pak Bujang mulai goyah.
"Bujang. Aku tahu kamu punya peliharaan. Dan kau datang juga bersama peliharaan mu itu. Dia berada di samping kiri mu saat ini. Iya kan?"
Pak Bujang terdiam sesaat. Ia menoleh samping kirinya. Pak Bujang seakan berbicara dengan seseorang. Tapi tidak bicara secara langsung. Ia hanya menggunakan isyarat saja.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya pak Bujang pada Budi.
"Aku? Aku Budi. Apa kau tidak bisa melihatnya?" tanya Budi kembali.
"Jangan main-main dengan ku. Aku tidak suka dipermainkan."
"Jika kamu memang punya ilmu, mengapa kamu harus bertanya? Kamu bisa cari tahu sendiri siapa aku," ucap Budi sambil tersenyum santai namun terkesan sangat menakutkan.
Budi bicara. Namun, matanya tertutup dan tangannya menggenggam erat. Tangan dan kakinya juga di tahan oleh warga.
"Jangan banyak bicara. Katakan apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kenapa kamu merasuki tubuh anak yang tidak punya salah apa-apa padamu," kata pak Bujang.
"Sudah aku katakan, jika kamu memang benar-benar orang pintar, kamu cari tahu sendiri apa tujuan ku."
Kekesalan pak Bujang kini meningkat. Ia merasakan benar-benar sedang dipermainkan oleh makhluk yang merasuki tubuh Budi.
Selain rasa kesal, pak Bujang juga malu akibat perkataan makhluk tersebut. Bagaimana tidak? Makhluk itu menantangnya secara terang-terangan. Mana didengar dan dilihat oleh warga lagi. Siapa yang tidak malu coba?
"Makhluk terkutuk! Bisa-bisanya kamu mempermainkan aku!" kata pak Bujang sedikit berteriak akibat kesal dan malu.
"Ha ... ha ... ha ... kamu bilang apa Bujang? Aku makhluk terkutuk? Apa kamu gak sadar dengan apa yang kamu katakan itu? Apa kamu tidak takut menyingung peliharaan mu?" tanya Budi sambil terus tertawa dengan keras.
"Diam!"
Pak Bujang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya lagi. Dia membentak Budi dengan sangat keras. Sangking kerasnya, warga lain ada yang terperanjat karena terkejut.
Namun sayangnya, Budi bukanlah Budi. Dia tidak kaget sedikitpun. Jangankan merasa kaget, terpengaruh sedikitpun tidak. Ia bahkan tidak menghentikan tawanya sedikitpun.
"Keluar kamu dari tubuh anak ini!" kata pak Bujang sambil memijat kaki Budi dengan keras.
"Aaaggghhh. Kurang ajar kau Bujang. Berani sekali kamu menyakiti aku," kata Budi sambil meringis kesakitan.
"Keluar kamu!"
"Tidak akan!"
"Keluar aku bilang! Keluar!"
"Aggghhh sakit .... "
"Jika kamu tidak ingin keluar, maka akan lebih sakit lagi," kata pak Bujang sedikit bangga.
"Jangan senang dulu kamu Bujang. Aku tidak ka ... lah. Aggghhh .... "
Erangan itu membuat tubuh Budi terkulai lemas. Mungkin, makhluk halus yang merasuki tubuhnya sudah keluar bersama dengan erangan panjang tersebut.
"Lepaskan dia. Mahkluk itu sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi," kata pak Bujang pada warga yang membantu memegang tubuh Budi.
"Benarkah pak Bujang? Bagaimana kalau dia kembali lagi dan mengamuk jika kita lepaskan tubuh ini," ujar salah satu dari mereka.
"Tidak akan. Dia sudah pergi dan tidak berani kembali lagi. Selagi ada aku, maka kalian tidak perlu cemas."
Mereka pun melepaskan pegangan mereka dari tubuh Budi yang malang. Tubuh itu terlihat agak memar akibat eratnya pegangan warga. Di tambah lagi, kulit Budi yang putih. Warna merah itu terlihat begitu jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!