Di sebuah kamar rawat inap VIP, seorang wanita tengah berdiri sambil bersender pada dinding dengan melipat kedua tangan di dadanya.
Pandangannya mengarah keluar jendela yang terbuat dari kaca, sehingga ia dapat melihat jelas keramaian kota di luar sana yang diselimuti cuaca mendung.
Entah apa sebenarnya yang sedang ia lakukan, tatapannya terlihat kosong seolah sedang memikirkan sesuatu. Raganya berdiri disana, namun jiwanya entah dimana.
Ceklek …
Terdengar suara pintu terbuka, namun itu tak membuatnya bergeming.
Derap langkah kaki seseorang yang nampak memasuki ruangan tersebut terdengar begitu jelas. Ia berjalan menghampiri sang wanita.
Grep …
Dipeluknya wanita itu dari arah belakangnya.
“Apa yang sedang mengganggu pikiran mu?” tanyanya berbisik di telinga wanita itu.
Sang wanita merasa tersentak hingga membuyarkan lamunannya.Tatapannya berubah sendu dengan perasaan takut dan khawatir yang beraduk menjadi satu. Ia menghela nafas berat untuk seolah mengumpulkan kekuatan untuk mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.
“Bagaimana jika papa dan mama teh gak mau menerima dia, Mas?” ucapnya mengarahkan pandangan pada ranjang kecil yang ada di ruangan tersebut.
Perlahan sang pria melepaskan pelukannya, ia melangkah sehingga membuat keduanya berdiri saling berhadapan. Disentuhnya kedua bahu wanita yang merupakan istrinya itu.
“Dengar, bukankah kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Dan kita sudah sepakat akan memberitahukan mereka bahwa dia adalah putri kita,” ucapnya mengusap- usap bahu dengan menatap mata istrinya.
“Tapi Mas … Aku teh takut kalau sampai kita ketahuan bohong, pasti papa dan mama akan sangat marah. Bagaimana dengan nasibnya nanti? … Aku juga takut jika suatu saat ibunya akan mengambilnya kembali. Aku teh gak mau kehilangan anak lagi, Mas … hiks hiks hiks,” ucapnya terisak dengan perasaan takut.
“Sssstt,, sudah jangan bersedih lagi, sudah dua hari kamu terus menangis. Mas janji, tidak akan ada yang mengambilnya dari kita. Kamu gak akan kehilangan dia, dan yang tahu soal masalah ini hanya kita bertiga.” Ia kemudian memeluk istrinya untuk menenangkannya.
“Mas sudah mengurus surat adopsi secara sah, sehingga wanita itu tidak akan bisa mengambil putri kita lagi karena kita memiliki kekuatan hukum,” ucapnya dengan mengusap lembut punggung istrinya.
“Oek oek oek …”
Pandangannya tertuju pada sal suara tangisan. "Tuh dia aja gak suka lihat bunda nya sedih ... Sudah jangan menangis lagi, kasihan dia sepertinya lapar.” Ia pun melepaskan pelukannya perlahan.
“Iya Mas,” ucapnya menghapus jejak air matanya. Ia berjalan perlahan dipapah oleh suaminya mendekati ranjang bayi. Namun ia diminta untuk duduk di sofa.
Sementara Rizal menggendong si bayi yang terus mengeluarkan suara tangisannya. Ia memberikan bayi itu pada istrinya untuk diberikan ASI.
Rizal pun ikut duduk di sebelah istrinya yang sudah mulai menyusui bayinya.
“Sepertinya dia memang terlahir untuk menjadi anak kita. Ia tak mau minum ASI dari ibu kandungnya. Tapi dia begitu lahap meminum ASI- mu, Nita,” ucapnya sembari memperhatikan bayi yang sedang menyedot ASI dari bundanya.
“Iya, Mas. Dia putri kita, akan selalu menjadi putri kita sampai kapan pun,” ucapnya kembali terisak.
“Iya … sudah Nita, jangan menangis lagi. Papa dan mama sebentar lagi sampai disini untuk menjemput kita.”
“Iya, Mas.” Anita segera menghapus jejak air matanya yang sudah membasahi kedua pipinya.
Tak lama setelah Anita selesai menyusui bayinya, mertuanya pun tiba untuk menjemput. Raut bahagia terpancar dari keduanya. Mereka menggendong cucunya secara bergilir. Cucu yang sangat diidamkan di keluarga Harfi, yakni cucu perempuan.
“Wah, cantik sekali cucu kita, Pa,” ucap oma dari sang bayi.
“Iya lah, bundanya saja cantik.” Sang opa malah memuji menantunya.
“Aku gak kebagian ya, Pa?” tanya Rizal yang seolah ingin mendapat pujian.
“Untunglah dia tidak mirip dengan mu, Zal.” Pak Harfi malah mengejek putra bungsunya itu.
“Jangan mengejek ku, Pa … itu sama saja mengejek diri sendiri, aku kan mirip Papa.” Rizal tak mau kalah telak.
“Benar itu, Pa. Kalian itu bak pinang dibelah dua, wajahnya mirip dan sama- sama keras kepala juga,” ucap mama-nya yang malah mengejek ayah dan anak itu biar adil.
“Kalau berani mengejek Papa, kau tak akan mendapatkan Mercy sebagai hadiah karena telah memberiku cucu perempuan.” Pak Harfi pun mengeluarkan ancaman.
“Serius aku dapat mobil, Pa?” tanyanya terkejut dan merasa tak percaya. “Aku pikir waktu itu Papa bercanda, akan memberikan Mercy pada anak Papa yang memberi cucu perempuan,” ucapnya lagi masih tak percaya.
“Kau pikir Papa ini tukang ngibul apa? Tentu saja Papa serius. Tapi jangan senang dulu karena Mercy nya bukan untukmu, melainkan untuk cucu perempuanku yang cantik ini. Awas ya kalau kamu pakai!”
“Dia kan belum bisa nyetir, Pa. pastinya aku atau Anita yang pakai lah,” ucapnya ngeles.
“Rizal benar, Papa ini gimana sih,” akhirnya sang anak mendapat pembelaan dari mama-nya.
“Jadi minggu ini teh Papa mengeluarkan dua hadiah mobil atuh ya?” Anita ikut masuk dalam pembicaraan.
“Iya Nita, kalian benar- benar kompakan ya. Hamil barengan, lahiran pun barengan … Tapi maaf ya hadiahnya masing- masih satu, walaupun kalian punya anak kembar,” ucap Pak Harfi.
“Papa ….” Rizal dan mamanya langsung memberi tatapan tajam pada Papa nya.
Pak Harfi baru teringat akan perkataan putranya saat di telpon yang sudah mewanti- wantinya untuk tidak membahas bayi Anita yang sudah meninggal. “Eh, Papa minta maaf Nita. Papa tidak bermaksud ___ “
“Enggak apa- apa kok Pa, Nita teh sudah berusaha ikhlas.” Anita yang sebenarnya masih merasa sangat sedih, berusaha untuk tidak menunjukkannya di depan mertua dan suaminya.
Hati ibu mana yang tak merasa sakit dan amat sedih, setelah mengandung selama delapan bulan dan menantikan untuk segera bertemu dengan bayinya. Namun, akibat insiden yang dialaminya sehingga membuatnya jatuh sampai mengalami pendarahan. Bayi dalam kandungannya harus merenggut nyawa sebelum dilahirkan ke dunia.
Dan bukan hanya itu, usai melakukan operasi cesar, dokter mengatakan rahimnya mengalami komplikasi sehingga harus dilakukan operasi pengangkatan rahim. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Anita, sudah kehilangan bayinya juga rahimnya.
Hal itu membuatnya hampir depresi pasca ia sadar dari pengaruh obat bius. Ia terus memeluk bantal dan menciuminya yang dianggapnya adalah bayinya.
Beruntung ada seorang ibu yang baru melahirkan dan telah ditolong oleh Anita sebelum mengalami insiden kecelakaan itu. Ia bersedia memberikan bayinya, karena ia merasa tak tega melihat kondisi Anita. Selain itu, ia memiliki masalah ekonomi. Jangankan untuk membiayai hidup bayinya, untuk membayar biaya persalinannya saja ia tak mampu.
Anita menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan raut wajah sedihnya. Ia kembali teringat pada bayinya yang telah meninggal, namun ia belum berani untuk mengunjungi makamnya.
Diusapnya perut yang masih terasa ngillu akibat luka bekas operasinya.
“Bayiku ….” Lirihnya dalam hati.
“Eh, sudah- sudah … ayok kita segera pulang. Takutnya keburu hujan, di luar sudah mendung itu. Kasihan kan nanti cucu kita kedinginan kalau diluar hujan,” ucap Bu Harfi seolah mengalihkan pembicaraan.
Anita mengedipkan matanya beberapa kali untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. ia kembali menegakkan kepalanya.
Rizal yang sudah selesai mengurus administrasi, membawakan barang- barang dibantu sopir yang sudah dipanggil untuk datang ke kamar. Mereka berdua pergi lebih dulu ke parkiran, sedangkan Anita bersama mertuanya yang masih asyik menggendong bayi menunggu di kamar.
Tak lama Rizal kembali dengan membawa kursi roda untuk Anita, mereka pun pergi bersamaan keluar dari ruang rawat inap tersebut. Raizal mendorong kursi roda, sedangkan mama nya menggendong bayi mereka di damping suaminya.
**
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, mereka pun tiba di kediaman Rizal dan Anita. Kedatangan mereka disambut hangat oleh kakak- kakak nya Rizal serta kedua putranya. Mereka pun turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah.
“Selamat ya atas kelahiran putri kalian, Nita,” ucap Ratih, kakak kedua Rizal.
“Terimakasih, Mbak …” ucap Anita sambil tersenyum.
Semua orang mengucapkan selamat silih berganti, walau sebenarnya mereka ingin mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya bayinya Anita, karena Rizal mengatakan pada keluarganya jika Anita melahirkan anak kembar.
Namun, sebelumnya Rizal sudah mewanti- wanti kepada mereka agar tidak membahas soal putrinya yang meninggal di depan Anita. Karena ia tak mau jika Anita mengalami depresi seperti saat ia baru tersadar pasca operasi caesar dan operasi pengangkatan rahim empat hari yang lalu, saat mengetahui putri yang dilahirkannya meninggal.
Anita yang sejak masuk rumah nampak mencari keberadaan seseorang pun dibawa masuk ke kamar untuk beristirahat, sedangkan bayinya diletakan di atas stroller oleh sang oma dan menjadi tontonan keluarganya yang mengucapkan selamat serta memberinya kado.
“Mas, kok dari tadi aku teh gak lihat Arsen ya? dimana dia?” tanya Anita yang tak melihat keberadaan putra ke- tiganya.
“Kamu benar Nita … Mas juga tidak melihat keberadaan anak itu sejak kita tiba tadi.” Rizal pun sama halnya.
“Apa dia teh masih gak mau menerima kalau dia gak jadi anak bungsu dan punya adik lagi?” ucap Anita dengan perasaan khawatir sekaligus sedih.
“Sudah, jangan dipikirkan. Dia kan masih anak- anak, dan pikirannya masih labil. Nanti juga diberi pemahaman lama- lama dia bisa menerima kehadiran adiknya.”
Anita menghela nafas panjang. “Mudah- mudahan mah seperti itu, Mas.”
Jleger …
Terdengar suara gledek yang diiringi kilatan petir. Air hujan pun turun dari langit dengan derasnya.
“Astagfirullah …”
“Bunda, Arsen kemana ya? di kamarnya gak ada,” tanya Dandy yang tiba- tiba masuk ke kamar yang pintunya masih terbuka itu.
“Mas, Arsen dimana? Cepat atuh cari dia, aku mah gak mau kalau sampai dia kenapa- napa. Mana itu teh di luar udah hujan deras.” Anita mulai panik karena mengkhawatirkan putra ke-tiganya.
“Iya iya, Mas cari dulu di seluruh ruangan rumah. Kamu berbaring saja dulu, nanti Mas minta mbak Iyem menemani mu di sini,” ucapnya kemudian beranjak pergi bersama Dandy untuk mencari Arsen.
Rizal bersama kedua putranya, Dandy dan Rezki mencari mulai dari seluruh ruangan dilantai dasar sampai lantai dua rumahnya, namun tak menemukan keberadaan Arsen.
Kini ia mulai khawatir, pikirannya mulai tidak karuan mengingat anak kakak nya yang sempat keluar dari rumah kemudian mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.
Ia pun meghampiri keluarganya yang masih berkumpul di ruang tengah. “Mbak, Mas ada yang lihat Arsen gak?”
“Perasaan dari tadi Arsen gak kelihatan deh,” jawab Ratih yang sedang menyuapi anaknya yang masih balita.
“Tadi sih pas aku datang, Arsen masih ada disini lagi main sama Dandy. Tapi setelah selesai masak, dia gak kelihatan lagi sampai sekarang.” Rika kakak ketiga Rizal pun ikut menjawab.
“Aku sama anak- anak sudah mencarinya ke seluruh ruangan yang ada di rumah ini, tapi tidak menemukannuya.” Rizal mengehela nafas berat dengan raut wajah semakin panik. “Dimana anak itu?”
“Tenang Zal, ayok kita cari lagi,” ucap Syarief, sang kakak tertua.
“Dia gak ada di rumah ini, Mas,” ucap Rizal yakin.
“Apa kalian sudah mencarinya sampai ke bawah ranjang atau di dalam lemari? siapa tahu dia besembunyi disana. Biasanya anak- anak suka bersembunyi di tempat itu.” Rika memberi saran, karena anak- anaknya biasanya melakukan hal seperti itu saat sedang bermain petak umpet.
“Sudah Mbak, tapi gak ada ..." jawabnya lalu mengedarkan pandangannya, "Mama sama Papa dimana?” tanya Rizal yang tak melihat keberadaan orang tuanya.
“Papa lagi istirahat di kamar tamu, kalau Mama sedang mengantarkan bayi mu ke kamar Anita,” jawab Ratih.
"Kalau begitu kita cari Arsen di rumah Mas, siapa tahu dia ada di sana," ajak Syarief.
“Iya Mas... Oh iya, kalian jangan ada yang memberi tahu Anita ya, kalau Arsen belum ditemukan. Kami akan mencarinya ke rumah Mas Syarief,” ucapnya memberi pesan pada kakak dan anak- anaknya.
Rizal pun berangkat bersama Syarief ke rumah Syarief yang berada tepat di sebelah rumahnya menggunakan payung, karena di luar hujan deras.
**
“Bi, apa Arsen ada main kesini?” tanya Rizal saat masuk ke dalam rumah bertemu dengan Bi Surti, ART disana.
“Enggak ada Pak, dari tadi saya tidak melihat den Arsen,” ucap Bi Surti.
“Kalau Rahmi dimana, Bi?” Syarief menanyakan keberadaan istrinnya.
“Ibu baru saja tidur, setelah memompa ASI nya. Katanya badannya meriang, Pak” Bi Surti memberitahukan keadaan majikannya.
“Meriang?” Syarief terkejut mendengar istrinya sakit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan istrinya dan melupakan tujuannya datang ke rumah.
Sementara Rizal dibantu Bi Surti mencari Arsen ke seluruh penjuru rumah Syarief. Namun sama halnya, mereka tak menemukan keberadaan Arsen si bocah gemblung yang berusia empat tahun itu.
Rizal semakin khawatir, ditambah diluar hujan semakin deras disertai gledek dan kilatan petir.
“Gimna Zal? Ketemu Arsennnya?” tanya Syarief yang baru keluar dari kamarnya.
“Enggak ada, Mas. Aku dan Bi Surti sudah mencarinya ke seluruh ruangan di sini,” jawabnya dengan raut wajah panik.
“Di kamar ku juga tidak melihat keberadaan Arsen.”
“Dimana anak itu, kenapa bisa menghilang seperti ini?” Rizal semakin panik dan khawatir.
“Kita kembali saja ke rumah mu, siapa tahu Arsen sudah ditemukan disana.” Syarief memberi usulan, keduanya pun kembali ke rumah Rizal.
**
“Arsen udah ketemu, Zal?” tanya Rika yang melihat adik dan kakak nya sudah kembali.
“Belum, Mbak ….” Rizal menjawab dengan lesu.
“Maksudnya Arsen hilang gitu, Zal?” tanya Ratih mengambil kesimpulan.
“Apa? Arsen hilang?” terdengar suara seseorang yang dengan nada terkejut dan membuat semua orang melihat ke arah asal suara tersebut.
------------------ TBC -------------------
***************************
Assalamualaikum para reader tercintah yang kece badai...
Mari kita mulai kisah perjuangan cinta Raline dan Arsen yang diawali sejak mereka masih kicil- kicil …
Happy Reading ….😉
Jangan luva tinggalkan jejak mu … like, komen, vote , hadiah, rate bintang 5 …😉🤩
Tilimikicih …😉
Aylapyu all … 😘
“Mama ….” Ucap Rizal merasa lega, saat melihat mamanya datang ke ruang tengah seorang diri dan tidak bersama Anita, istrinya.
“Bagaimana Arsen bisa hilang, Zal? Maksud mu hilang kabur, apa bersembunyi dan belum ditemukan?” tanya beliau minta penjelasan.
“Tadi pagi masih main sama Dandy, tapi setelah kalian datang kami baru sadar kalau Arsen gak ada," ucap Ratih bantu menjawab.
“Iya Ma, kami sudah mencarinya kemana- mana, di seluruh ruangan rumah ini juga rumah Mas Syarief. Tapi kami tak menemukan keberadaannya." Rizal semakin khawatir.
“Biasanya Arsen suka main kemana? Coba kamu ingat- ingat. Mungkin dia main ke rumah tetangga atau teman bermainnya gitu."
“Arsen hanya main dengan kakak- kakaknya saja atau sepupunya di rumah Mas Syarief. Biasanya kalau keluar suka ditemani Anita atau Mbak Iyem. Tapi kali ini berbeda Ma,” ucap Rizal yang kemudian menghela nafas berat dan mengusap kasar kepalanya.
“Berbeda gimana maksudnya?” tanya beliau bingung.
“Sejak Arsen tahu Anita hamil dan ia akan memiliki adik, ia selalu menolak dan bilang tidak mau punya adik. Padahal kami sudah memberi pemahaman padanya, tapi dia tetap kekeuh gak mau punya adik. Makanya akhir- akhir ini dia sering berontak dan gak nurut sama kami.” Rizal menjelaskan perubahan sikap putranya.
“Mungkin dia takut kehilangan kasih sayang dan perhatian kalian.”
“Iya Ma … aku takut jika dia pergi keluar sendirian, aku takut nanti seperti _____” Rizal tak melanjutkan perkataannya, saat ia melirik ke arah Syarief. “Maaf Mas ....” ucapnya lirih.
“Gak apa- apa, Zal … Mas tahu kamu pasti takut Arsen mengalami hal yang sama dengan almarhum Radit. Tapi Mas yakin, Arsen akan baik- baik saja. Sebaiknya kita cari lagi ke seluruh ruangan di rumah ini, mungkin saja sekarang dia sudah bosan bersembunyi," ucap Syarief berusaha menenangkan adiknya.
**
Sementara didalam sebuah kamar, nampak seorang wanita tengah tidur lelap dengan baju bagian depannya nampak basah. Suara gledek yang menggelegar pun tak mampu mengusik tidurnya. Entah memang terlalu lelap karena sedang bermimpi indah, entah karena memang orangnya sudah biasa tidur seperti kebo.
Setelah beberapa saat, hujan pun mulai reda dan suara gledek sudah tak terdengar lagi.
Krusuk krusuk …
Terdengar bunyi pergerakan dari bawah ranjang tempat sang wanita tertidur lelap. Ternyata ada seseorang tengah merayap- rayap dari kolong ranjang tersebut, seperti tikus yang hendak keluar dari sarang persembunyiannya.
Jeduk …
“Aduh, kepalaku sakit,” ucapnya meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya yang kebentur papan ranjang.
“Uhuk uhuk …” ia pun batuk- batuk, mungkin karena meghirup debu yang ada di kolong ranjang, hingga rambutnya penuh dengan debu yang sudah menggumpal layaknya sarang laba- laba diprintil- printil. ( Tahukan pemirsah ramat di kolong ranjang seperti apa).
Ia lalu berdiri dan berjalan mengendap- endap seperti maling yang takut ketahuan oleh orang yang sedang tidur.
Saat langkahnya mendekat pada tempat tidur bayi, ia terkejut mendengar bayinya yang tiba- tiba menangis.
Oek oek oek oek ….
Ia pun menghentikan langkahnya, dan menatap bayi yang menangis itu.
“Ssssstttt, jangan berisik. Nanti aku ketahuan … ssssttt,” ucapnya pelan sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sambil melotot pada si bayi. Namun bayi itu malah menangis semakin kencang.
“Sssstt, diam ih … semua bayi memang menyebalkan,” ucapnya kesal.
Ia melihat ke arah ibu dari bayi itu yang masih tidur lelap. Namun saat ia melihat ada gerakan dari tubuhnya seolah merasa terusik, ia pun berlari menuju pintu dan segera keluar dari kamar tersebut meninggalkan bayi yang terus menangis.
“Loh, den Arsen kok ada disini? Dari tadi dicariin sama Pak Rizal,” ucap Bi Surti saat memergoki Arsen yang baru saja menutup pintu kamar.
“Hehehe ….” Arsen hanya nyengir tanpa menjawab ucapan Bi Surti.
“Ayok Bibi antar pulang,” ajaknya merangkul pundak Arsen.
“Gak mau … aku gak mau pulang kalau masih ada dedek bayi di rumah. Semua bayi itu menyebalkan!" Arsen menempas tangan Bi Surti dari pundaknya.
“Arsen!” teriak Rezki yang bau masuk ke dalam rumah Syarief. “Kamu kemana saja sih, semua orang mencari kamu kemana- mana, ayok pulang!” Rezki menarik tangan Arsen lalu mengajaknya pulang.
“Gak mau, aku gak mau pulang … aku gak mau pulang.” Arsen terus berontak dan berusaha melepaskan tangannya dari sang kakak.
Namun karena tubuhnya jauh lebih kecil, akhirnya Rezki menggendong Arsen dengan meletakan adiknya itu di pundaknya, seperti memanggul karung beras.
Kaki Arsen terus meronta- ronta minta diturunkan, tangannya pun memukul punggung kakak nya. Tapi itu tak berpengaruh, hinga keduanya tiba di rumah mereka.
Rizal yang sangat mencemaskan Arsen bisa bernafas lega saat melihat putra ketiganya itu sudah ditemukan oleh kakaknya. Ia langsung menghampiri kedua putranya.
“Kamu kemana saja, Arsen? Kami semua mencari kamu … ayok kita ke kamar, Bunda terus menanyakan mu dari tadi,” ucapnya lalu mengambil alih dan menggendong Arsen.
“Aku menemukannya dari rumah om Syarief, Ayah," jawab Rezki.
“Terimakasih Rezki … ayah akan membawa anak bandel ini ke dalam,” ucapnya kemudian membawa Arsen menuju ke kamarnya.
“Turunkan aku ayah! Aku gak mau masuk, gak mau … aku gak mau punya adik bayi!” Arsen terus berontak sambil teriak- teriak, namun Rizal tak menggubrisnya dan tetap membawanya masuk menemui istrinya.
“Nih, si anak bandel … sudah satu jam kami mencarinya, ternyata dia bersembunyi di rumah Mas Syarief,” ucapnya pada sang istri yang baru saja selesai menyusui bayinya.
“Ya ampun Arsen, kamu teh kenapa jadi nakal begini? Jangan diulangi lagi ya … ayok sini lihat adik mu, nih … cantik banget loh," ucapnya mengajak sang putra mendekat padanya.
“Gak mau! Aku gak mau punya adik!” Arsen terus menolak.
Rizal berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang anak. “Bisa kasih tahu ayah, alasannya kenapa Arsen gak mau adik?”
“Nanti Ayah sama bunda gak sayang aku lagi, gak akan beliin mainan lagi. Nanti mainan aku diambil sama adik!” Arsen mengutarakan alasannya.
“Siapa bilang? Buktinya kamu jadi adiknya Rezki dan Dandy, kami tetap sayang sama kalian. Lagi pula adik mu ini kan perempuan, mainannya juga beda sama kamu. Jadi gak akan ngambil mainan Arsen, paham?” Rizal memberi penjelasan.
“Beneran?” tanya Arsen merasa tak yakin dengan perkataan ayahnya
“Tentu saja, kalau anak perempuan kan mainannya boneka sama masak- masakan apalah itu. Kalau Arsen kan mainannya mobil- mobilan, pesawat, motor, robot, kelereng dan lainnya," ucap Rizal.
“Sepeda sama topeng juga,” tambah Arsen yang merasa mainannya belum diabsen semua.
“Iya itulah pokoknya, yang pasti mainan kalian beda. Jadi adik bayi gak akan ngambil mainan Arsen," ucap Rizal memastikan.
“Oh … iya deh, aku mau punya adik. Tapi adiknya gak boleh menyebalkan ya, Ayah” Arsen malah memberi syarat.
Rizal dan Anita saling beradu pandang kemudian keduanya tertawa gemas mendengar ucapan putranya.
"Siap komandan ..." ucap Rizal lalu mengangkat tangannya dan memberi hormat layaknya melapor pada komandan beneran.
Arsen pun bersedia mendekat pada adik bayi yang sedang ada dalam gendongan bundanya sembari beliau duduk di atas tempat tidur. Ia mengusap kepala adiknya kemudian menciumnya sesuai instruksi dari bunda nya.
“Kakak Arsen teh harus sayang ya sama adik dan kakak- kakaknya, juga sama ayah bunda. Kakak arsen harus menjaga dan melindungi adik ya,” ucap Anita sambil mengusap lembut kepala putranya.
“Hem.” hanya kata itu yang keluar dari mulut Arsen, seolah belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan adik barunya itu. Setidaknya ia tak berontak lagi sebagai tanda protesnya.
Anita dan Rizal kini bisa bernafas lega melihat putranya tidak ngambek lagi karena kehadiran adik bayinya. Walau mereka tahu Arsen tak semudah itu langsung menerima.
"Aku mau main lagi sama kakak," ucap Arsen yang kemudian beranjak pergi keluar kamar. Kedua orang tuanya hanya tersenyum dan terus memperhatikannya hingga ia keluar dari kamar.
“Oh iya, Mas ... Kita teh belum kasih dia nama,” ucap Anita yang baru teringat.
“Mas sudah ada nama untuk putri kecil kita ini."
"Siapa namanya?" tanya Anita penasaran.
"Rheanazwa Eleanoor Harfi, yang artinya gadis anggun nan cantik sebagai cahaya yang menerangi keluarga Harfi, terutama dalam keluarga kecil kita.” Rizal menyebutkan nama sekaligus artinya.
“Nama dan artinya bagus, Mas. Semoga nanti teh kelak dia memberi kebahagian dalam keluarga kita, ya Mas.” Anita mendoakan sang bayi.
“Amiin ….”
“Oh iya, kita panggil dia Naz ya.” Anita memberi usul.
“Iya." Rizal mengangguk sambil tersenyum.
**
Keesokan harinya, kedua orang tua Anita datang dari Bandung setelah diberitahukan bahwa ia telah melahirkan.
Awalnya mereka terkejut karena tahunya jika kandungan Anita baru menginjak usia delapan bulan. Mereka lebih terkejut lagi setelah mengetahui salah satu cucu mereka meninggal. Sehingga keduanya datang untuk menjenguk Anita sekalian nyekar ke makam putri kandung Anita yang sebenarnya.
Rizal pun meminta agar mertuanya tidak membahas soal bayi mereka yang meninggal di depan Anita, dengan alasan yang sama yang ia utarakan pada keluarganya. Mereka pun menuruti permintaan Rizal.
Tok tok tok …
“Nita, ini aku Rahmi,” serunya dari balik pintu.
“Masuk mbak Rahmi, gak dikunci kok,” ucapnya yang nampak kerepotan karena baby Naz terus menangis.
Rahmi pun masuk ke dalam kamar Anita.
“oek oek oek ….”
“Nita, bayi mu kenapa? dari luar kedengarannya nangis terus,”
“Ini mbak, sepertinya teh dia masih haus. Tapi ini teh ASI ku sedikit kayaknya, makanya dia rewel," ucapnya lalu kembali
“Cup cup sayang, udah atuh nak jangan nangis lagi … Bundanya mau makan dulu atuh ya, biar ASI nya banyak, cup cup cup,”
"Sebaiknya dikasih susu formula aja, Nita" Rahmi memberi saran.
"Saat di rumah sakit dikasih sufor, dia teh gak mau. Sedangkan ASI- ku sedikit, makanya sejak semalam dia rewel terus. Aku teh jadi bingung ini, Mbak." Anita semakin panik.
“Sini bayi mu biar ku gendong, kamu makan dulu gih ... siapa tahu setelah makan ASI- mu keluar lagi."
“Tapi Mbak, dia teh gak mau berhenti nangis, nanti mbak malah kerepotan kalau aku tinggal,”
“Ya ampun, Anita … aku ini ibu dari empat anak, tentunya sudah berpengalaman. Sini berikan bayi mu.” Rahmi mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong si bayi.
Anita pun memberikannya secara hati- hati dan ia segera beranjak pergi agar tidak terlalu lama meninggalkan bayinya.
Kini baby Naz berada dalam gendongan Rahmi.
“Cup cup cup, sayang …” ucapnya sambil mengayun- ayunkan Naz dalam gendongannya. Namun ia tak mau berhenti menangis.
Rahmi yang merasa kewalahan dan tak tega melihat Naz terus menangis, akhirnya ia pun duduk di atas tempat tidur. Ia membuka kancing atas bajunya, kemudian mengeluarkan salah satu gundukan gunung kembarnya dari dalam bra.
ia menyodorkan put**ingnya pada mulut bayi yang masih menangis itu. Gayung pun bersambut, baby Naz segera menyedot ASI Rahmi yang merupakan tantenya itu dengan lahap. Tangisan pun terhenti seketika.
Rahmi mengusap lembut kepala sang bayi, ia menatap lekat wajah baby Naz. Ada sebuah getaran aneh dirasakannya yang membuatnya bingung sendiri.
"Kamu cantik sekali, nak," ucap ya tersenyum.
Setelah beberapa saat, Anita yang sudah selesai makan pun kembali ke kamarnya. Baru saja masuk, ia dikejutkan dengan pemandangan yang ada di depan matanya.
"Loh, kok Mba menyusui, Naz?" tanya Anita yang kemudian menghampiri kakak iparnya.
"Maaf Nita ... Mbak gak tega melihat bayi mu terus menangis. ASI ku melimpah sampai rembes ke baju, tapi ____"
"Tapi kenapa, Mbak?" tanyanya lalu duduk di atas tempat tidurnya tepat di sebelah Rahmi.
"Tapi bayiku gak mau minum ASI-ku ... Aku juga gak tau kenapa ... Mungkin karena saat di rumah sakit dia dikasih sufor saat aku masih di ruang ICU," jawabnya dengan raut wajah sedih.
"Ruang ICU? bukannya Mbak Rahmi teh melahirkan secara normal?" tanya Anita heran.
"Iya, soalnya pasca melahirkan aku mengalami pendarahan hebat sampai aku pingsan. Makanya aku gak langsung bisa menyusui bayiku, dan bahkan belum melihatnya saat dia baru lahir," ucapnya menjelaskan.
"Ya Allah, Mbak ... aku teh baru dengar. Untunglah sekarang Mbak baik- baik saja."
"Iya Alhamdulillah, aku bisa melewati masa kritis, makanya aku baru bisa bertemu bayiku keesokan harinya. Jadi selama itu dia diberi sufor, dan sampai sekarang dia gak mau minum ASI-ku."
"Ya ampun, Mbak ... itu teh pasti sakit kalo ASI banyak tapi gak bisa dikeluarkan,"
"Iya Nita, setelah pulang dari rumah sakit pun aku terus merasa meriang. Kemudian ASI-ku di pompa dan dimasukan kedalam dot, tapi tetap bayiku tak mau meminumnya. Akhirnya ASI-ku dibuang begitu saja ...Tapi lihat, bayi mu lahap sekali minum ASI-ku."
"Emangnya gak apa- apa gitu, Mbak menyusui Naz yang bukan anak Mbak Rahmi?" tanya Anita mulai cemas.
"Gak apa- apa Nita, bayi mu ini kan keponakan ku juga. Lagi pula suami kita kakak beradik, jadi anak- anak kita tidak ada yang boleh menjadi pasangan, atau menikah. "
"Oh iya, Mbak teh betul pisan," ucap Anita.
"Eh, siapa tadi nama bayi mu? Naz?" Rahmi baru menyadari, jika tadi ia mendengar Anita memanggil bayinya dengan sebutan Naz.
"Namanya Rheanazwa Eleanoor Harfi, Mbak ... Aku mah manggilnya Naz, biar singkat dan gampang, hehehe."
"Wah, nama yang cantik, secantik paras bayi mu," ucapnya memberi pujian sambil menatap wajah baby Naz yang tidur lelap, namun mulutnya masih asyik menyedot ASI.
Tiba-tiba muncul ide aneh di benak Rahmi. Pandangannya beralih pada Anita yag duduk di sebelahnya.
"Anita ... Emm, ASI ku kan sangat melimpah, tapi sayang setiap hari dipompa dan dibuang begitu saja. Emm, bolehkah aku jadi Ibu susu nya Naz?" tanyanya dengan hati- hati, karena takut menyinggung perasaan adik iparnya.
"Ibu susu?" tanya Anita dengan ekspresi terkejut.
------------- TBC -------------
***********************
Happy Reading... 😉
Jangan luva tinggalkan jejakmu....😉
Aylapyu all .....😘😘
“Ibu susu?” tanya Anita merasa terkejut dengan tawaran jasa yang diberikan oleh kakak iparnya.
“Iya, Nita … Em, mungkin lebih tepatnya kita saling menolong."
“Hah? Saling menolong? Maksudnya teh gimana, Mbak?” Anita merasa bingung dengan perkataan Rahmi.
“Tadi kamu bilang kalau ASI-mu sedikit dan Naz tidak mau minum susu formula, dan karena itu membuat Naz jadi rewel. Sedangkan ASI-ku banyak, tapi putriku tidak mau meminum ASI-ku, sehingga membuatku kesakitan sampai dua hari kemarin aku merasakan demam.” Rahmi menjelaskan maksud dari ucapannya.
Anita tak langsung menjawab, ia malah diam termenung mendengar tawaran dari kakak iparnya itu. Ia pun tahu bagaimana rasa sakitnya jika payud*aranya sudah membengkak karena ASI-nya sudah penuh, namun tidak bisa keluar atau dihisap oleh bayinya. Dalam beberapa jam saja terasa sakit, apalagi jika sampai seharian. Ia sudah bisa membayangkan apa yang dirasakan Rahmi, pastinya tubuhnya terasa meriang.
“Nanti atuh ya Mbak, aku mau membicarakannya dulu dengan Mas Rizal. Aku teh gak berani memutuskan sendiri tentang hal sebesar ini. Mbak juga sebaiknya membicarakan hal ini dengan Mas Syarief, supaya nantinya teh kita sama- sama merasa nyaman." Anita tak langsung mengiyakan dan ia pun memberi usulan.
“Iya Nita, kamu benar. Kita harus membicarakan hal ini dengan suami kita.” Rahmi pun setuju dengan pemikiran Anita.
“Oh iya, nama bayi Mbak teh siapa? Aku belum tahu … Maaf ya belum sempat melihatnya saat masih di rumah sakit. Padahal kita melahirkan di rumah sakit yang sama ya , Mbak.”
“Hehe, iya. Aku ngerti kok, kamu kan membutuhkan waktu untuk pemulihan pasca operasi. Em, putriku namanya Raline Eliana Harfi,” ucapnya menyebutkan nama lengkap bayi perempuannya.
“Wah, nama yang bagus … Eh tunggu, nama tengahnya teh kok hampir sama dengan Naz. Kalau Naz mah Eleanoor, Raline mah Eliana,” ucap Anita menyadari ada kesamaan dengan nama putrinya.
“Eh, iya ya … padahal kita gak janjian ya. Mungkin karena lahirnya di hari yang sama, jadinya ngasih nama juga ada kesamaan. Raline dan Naz sudah seperti anak kembar aja, lahir di hari yang sama.”
“Iya, Mbak … semoga mereka berdua bisa menjdi saudari yang rukun dan saling menyayangi ya, Mbak.”
“Iya, Nita."
“Tapi, kenapa atuh gak dibawa kesini?” tanya Anita heran.
“Dia lagi tidur, abis ngabisin sebotol susu. Makanya gak aku bawa, jadi dititipkan sebentar sama Mbak Tati … Nanti ya kalau dia udah bangun, aku bawa kesini biar Naz ada teman main.”
“Mereka itu kan masih bayi atuh Mbak, bukanya main bareng malah nangis berjama’ah entar. Hahaha ….”
“Iya benar sih, kalau enggak paling sama- sama tidur,” ucapnya terkekeh, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Naz yang sudah tidur lelap dalam gendongannya.
Diusapnya kepala Naz dengan penuh kelembutan. Rona bahagia pun nampak jelas dari senyum yang terukir dari bibirnya.
Ia melihat pergerakan mulut Naz yang sudah berhenti. Dilepasnya perlahan si put*ing dari mulut sang bayi, kemudian payud*aranya dimasukan kedalam bra dan kancing bajunya pun dipasang kembali. Namun, mulut Naz kembali bergerak seolah ia masih menyedot ASI dalam mimpinya.
Rahmi bangkit dari duduknya. Ia berjalan menggendong sang bayi, kemudian menidurkannya di ranjang bayi yang atasnya ditutup tirai puring. Kalau kata orang tua zaman dulu mah tirai anti nyamuk.
Rahmi masih berdiri di samping tempat tidur Naz. Matanya seolah tak ingin berhenti memandangi wajah polos sang bayi yang tertidur lelap itu. Senyuman pun terus terukir dari bibir manisnya.
Ceklek …
“Mama … itu adik bayi nangis.” Hardi, anak kedua Rahmi langsung masuk tanpa mengetuk pintu dan memberi berita pada mamanya.
“Oh, ya ampun … Nita, aku pamit pulang dulu ya,” ucapnya berpamitan lalu beranjak pergi keluar kamar bersama putranya setelah diangguki oleh Anita.
**
Malamnya, Anita membicarakan perihal jasa ibu susu yang ditawarkan Rahmi pada suaminya, Rizal. Awalnya ia merasa keberatan, namun setelah mempertimbangkan dan berpikir semalaman, keesokan paginya sebelum berangkat kerja, Rizal menyetujui hal tersebut. Itu dilakukan demi kesehatan dan pertumbuhan bayinya agar tidak kekurangan asupan ASI, karena sang bayi terus menolak saat semalam dicoba diberikan susu formula lagi, sementara ASI Anita tetap sedikit.
Sama halnya dengan Anita, Rahmi pun meminta izin suaminya untuk memberikan ASI pada keponakannya. Syarief langsung menyetujuinya, karena ia tak tega melihat istrinya sering merasa kesakitan bahkan sampai beberapa kali demam karena ASI-nya terus ditolak oleh bayi mereka.
Selain itu, daripada ASI-nya dibuang sia- sia, lebih baik diberikan pada yang lebih membutuhkan. Apalagi diberikan kepada anak dari adik kandungnya sendiri, yang tentunya dalam agama pun anak- anak dari mereka tidak diperbolehkan untuk menikah kelak.
Semenjak hari itu, Rahmi pun memberi ASI pada Naz. Kadang Anita yang akan membawa Naz ke rumah Rahmi, atau sebaliknya Rahmi sendiri yang akan datang ke rumah Anita dengan membawa bayinya. Namun untuk malam hari, Naz merasa cukup diberikan ASI dari bundanya, Anita.
**
Setelah empat puluh hari meninggalnya sang putri, pagi ini Anita memberanikan diri mengunjungi makam bayi yang dulu dilahirkannya, yang bahkan belum sempat dilihat apalagi digendongnya itu. Ia hanya bisa melihat rupa bayi mungil itu dalam beberapa foto yang diambil oleh suaminya.
Seusai Anita menabur bunga dan menyiramkan air mawar, Ia menangis sejadi- jadinya sembari memeluk batu nisan mendiang putrinya itu. Rizal pun terus menemaninya, ia mengusap- usap punggung sang istri untuk menenangkannya.
“Sudah Nita, sudah … Putri kita sudah berada di surga dan bahagia disana. Jangan menangis di makam seperti ini, tidak baik.” Rizal memeluk istrinya yang terlihat begitu sangat sedih dan terpukul.
“Kenapa dia teh harus pergi sebelum aku melihatnya? Hiks hiks … Aku yang mengandungnya selama delapan bulan, dia teh hidup bersama ku selama itu. Tapi, saat lahir____ ” Anita tak kuasa melanjutkan perkataannya. Air matanya terus mengalir deras.
“Seandainya aku teh bisa menghundari insiden itu, pasti dia masih bersama kita, Mas.” Rasa sesal dan sedih yang menyesakkan dada beraduk menjadi satu.
“Sudah, Nita. Ini sudah menjadi takdirnya, kita harus ikhlas. Yakinlah dia sudah mengirim Naz untuk mengobati luka kita karena kehilangannya. Mereka berdua akan selalu menjadi putri kita," ucap Rizal yang terus menenangkan istrinya.
“Kamu yang tenang di sana, nak … Bunda dan Ayah akan selalu mendoakan kebahagiaan mu disana. Kamu juga doakan kami ya, nak. Bunda sangat mencintaimu, Renasha.” Anita mencium batu nisan itu.
“Sudah Nita … ayok kita pergi.” Rizal tak kuasa melihat istrinya yang terus menangis.
“Ayah sama Bunda pergi dulu ya, nak … Kami akan selalu mengunjungi mu, sayang.” Anita kemudian bangkit dibantu oleh suaminya. Mereka pun beranjak pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir sang putri.
“Mas akan mengantarkan mu ke butik, baru setelah itu ke rumah sakit,” ucap Rizal yang tengah berjalan menggandeng istrinya.
“Iya, Mas ….” Anita mengangguk sembari menghapus jejak air matanya dengan sapu tangan.
Dulu sebelum hamil, Anita telah membuka sebuah butik dan menjual pakaian hasil rancangannya sendiri. Dan kini butik tersebut sudah banyak dikenal orang dan memiliki banyak pelanggan.
Karena kesibukannya, Anita sering meninggalkan Naz di rumah dan di titipkan pada Mbak Iyem. Dan saat Naz berusia satu bulan, ASI Anita tidak keluar sama sekali, sehingga Naz lebih bergantung pada Rahmi. Naz sering dibawa ke rumah Rahmi dan diasuh bersama dengan Raline disana.
Sementara para anak laki- laki lebih sering bermain di rumah Anita. Lain halnya dengan Arsen yang lebih suka menemani adiknya saat ia dibawa ke rumah Rahmi. Karena sesuai dengan perkataan ayahnya, ia harus menyayangi dan menjaga adiknya. Bahkan oma dan opa nya pun sering mengunjungi kedua cucu perempuan yang selama ini diidamkan dalam keluarganya.
**
Tak terasa kini Raline dan Naz sudah berusia satu tahun, dan sang opa menggelar pesta meriah untuk kedua cucu kesayangannya yang berulang tahun itu. Naz sudah bisa berjalan dan mulai belajar bicara beberapa kata walaupun ucapannya belum jelas. Begitu juga dengan Raline, namun bedanya ia baru bisa merangkak, belum bisa berjalan. Seperti yang kita ketahui, jika perkembangan setiap anak itu berbeda- beda.
Arsen yang sudah masuk sekolah TK sejak enam bulan yang lalu, lebih suka bermain dengan kedua adik bayinya ketimbang bersama teman- teman sebayanya. Baginya berteman dengan mereka cukup di sekolah saja, sedangkan di rumah adalah waktu bersama adiknya.
Arsen sangat menyayangi adiknya, jika ia diajak membeli apa pun pasti selalu meminta ayah atau bunda nya membelikan untuk adiknya juga.
**
Sore ini hujan turun dengan derasnya, Arsen tengah bermain dengan Dandy di ruang tengah. Mbak Iyem baru pulang setelah mengambil Naz dari rumah Rahmi. Naz pun langsung minta diturunkan karena ingin bermain bersama kedua kakaknya.
Arsen yang mulai merasa bosan pergi ke arah pintu samping. Ia melihat keluar lewat jendela, ternyata ada genangan air di rerumputan halaman samping dan hujannya pun mulai reda tak sederas sebelumnya. Ia berlari kembali ke ruang tengah.
“Kakak, ayok kita main di luar,” ajaknya pada Dandy.
“Jangan, di luar kan hujan. Nanti kita bisa sakit.” Dandy langusng melarang sanga adik.
“Hujannya sudah kecil, jadi gak akan menyakiti kita. Ayok kakak kita main perosotan, di rumput. Ada kolam renang kecil.” Arsen menarik tangan kakaknya yang sedang duduk di atas karpet. Namun Dandy terus menolak, akhirnya Arsen pergi sendiri keluar dan bermain di halaman samping.
Dandy yang merasa khawatir, kemudian pergi ke halaman samping untuk melihat Arsen. Tanpa ia sadari Naz mengikutinya dari belakang. Saat baru keluar dari pintu samping, Dandy melihat Arsen nampak senang bermain di kubangan air layaknya sedang berenang di empang mini. Ia pun merasa tertarik dan segera menghampiri Arsen untuk ikut bergabung.
Naz yang melihat kedua kakak nya bermain dibawah hujan, berlari ke tempat mereka bermain. Ia pun ikut bergabung dan ketiganya bermain di kubangan dengan penuh keceriaan tanpa beban.
“Arsen … Dandy! Kenapa kalian main hujan- hujanan?” teriak Anita yang baru pulang kerja, ia terkejut mendapati ketiga anaknya tengah bermain di halaman samping dibawah kucuran hujan.
“Aduh, Bunda sudah pulang. Bagaimana ini?” ucap Dandy yang takut bundanya akan memarahi mereka. Namun Arsen dan Naz tak menghiraukannya, malah asyik bermain.
“Aduh aduh … ampun, sakit Bunda.” Dandy meringis kesakitan.
“Aduh sakit bunda sakit.” Arsen pun ikutan meringis kesakitan.
“Nakal ya kalian berdua … “ ucap Anita sembari kedua tangannya menjewer kuping kedua putranya.
“Mbak, bawa Naz masuk dan mandikan pakai air hangat.” ucapnya pada sang ART.
“Baik, Bu.” Mbak Iyem segera menggendong Naz yang berontak tak mau berhenti bermain dan kemudian menangis. Ia pun membawa Naz masuk.
Anita pun melepaskan tangannya dari kedua putranya.“Kalian teh ngapain main hujan- hujanan, nanti bisa sakit. Mana pakai ngajak Naz lagi.” Anita memarahi kedua putranya.
“Arsen yang ngajak, Bunda.”Dandy mengadukan sang adik karena tak mau disalahkan.
“Enggak, aku main sendiri kok. Kakak tuh yang ngajak adek kesini.” Arsen pung mengatakan hal yang sebenarnya.
“Kamu kan yang maksa tadi,” Dandy terus menyalahkan Arsen.
“Tapi kan kakak tadi tidak mau. Orang kakak tiba- tiba kesini, wle.” Arsen menjulurkan lidahnya sebagai tanda mengejek sang kakak.
“Kamu !” bentak Dandy menunjuk Arsen.
“Kakak!” Arsen ikut membentak.
“Sudah sudah … ayok sekarang kalian masuk dan mandi. Nanti bisa masuk angin.” Anita melerai kedua putranya yang saling melempar kesalahan. Kemudian mengajak keduanya masuk ke rumah.
Anita mengantarkan keduanya ke kamar mandi.
“Sekarang kalian mandi, pakai air hangat dari shower. Jangan pakai air dingin ya.”
“Iya, Bunda.” Arsen dan Dandy menjawab serentak.
Karena Arsen baru berusia lima tahun lebih, mandinya pun dibantu oleh Dandy. Walau sebenarnya Dandy masih merasa kesal pada Arsen.
“Ih, kok tritit kakak beda sama punyaku?” tanya Arsen yang melihat miliknya dan milik kakaknya berbeda bentuk.
“Ya bedalah, kan kakak sudah disunat. Sedangkan kamu belum disunat kan,” ucpnya lalu memakai handuk yang dilingkarkan pada pinggangnya karena sudah selesai mandi. Ia kemudian menggosokan sabun pada tubuh adiknya, lalu membilasnya.
“Disunat itu apa?” Arsen kembali bertanya.
“Kalau anak laki- laki itu harus disunat. Semacam dibersihkan gitu katanya, tapi oleh dokter.” Dandy menjawab pertanyaan adiknya, yang dia sendiri sebenarnya bingung menjelaskan seperti apa disunat itu. Dia tahunya setelah disunat itu sakit, namun ia tak memberitahukan hal itu pada adiknya.
“Disunatnya sama ayah gitu?” tanya Arsen yang mengetahui profesi sang Ayah.
“Bukan, tapi sama dokter lain bukan sama Ayah,” ucap Dandy.
“Ayah juga kan dokter.” Arsen berpikir semua dokter punya tugas yang sama.
“Iya, tapi kata ayah dokter itu tugasnya beda- beda.” Dandy mengambil handuk yang digantung pada pegangan pintu dan memakaikannya pada sang adik.
“Aku juga mau disunat … Aku juga kan laki- laki, soalnya bagusan punya kakak ... Aku mau bentuk kayak gitu,” ucapnya seolah disunat itu untuk mengukir miliknya supaya jadi bagus.
“Kamu bilang aja sama ayah, udah yuk keluar,” ajak Dandy kemudian keduanya keluar dari kamar mandi.
“Bunda !!” teriak Arsen sambil berlari menghampiri bundanya yang sedang menyuapi Naz di ruang tengah.
“Kalian sudah selesai mandinya, ya,” ucap Bunda lalu beralih pada Mbak Iyem yang membawakan pakaian serta minyak kayu putuh dan bedak untuk Arsen.
"Mbak, tolong pakaiakan baju Arsen ya.”
“Siap, Bu.” Mbak Iyem menghampiri Arsen.
Mbak Iyem melap seluruh tubuh dan kepala Arsen dengan handuk. Ia mulai membalur tubuh Arsen dengan minyak kayu putih serta bedak, kemudian memakaikan pakaianya yang diakhiri dengan memberi bedak pada wajah Arsen. Karena Arsen yang tidak mau diam, sehingga bedak diwajahnya belepotan.
“Bunda ….” Panggilnya yang baru saja selesai disisir rambutnya oleh Mbak Iyem.
“Iya, kenapa Arsen?” sahut Anita yang baru selesai menyuapi Naz dan membereskan bekas makannya.
“Aku mau disunat !!” Arsen langsung mengutarakan keinginannya dengan lantang.
“Apa? Mau disunat?” Anita yang terkejut mempertanyakan kembali apa yang dikatakan Arsen, takutnya ia salah dengar.
------------- TBC ----------------
*************************
Happy Reading ... 😉
Jangan luva tinggalkan jejakmu ...😉😍
Aylapyu All...😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!