Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga semuanya sehat selalu ya!
Welcome!
Psikopat bucin hadir kembali! Sebelumnya author ucapkan terima kasih pada semua readers setia novel ini. Novel ini sekuel dari novel yang sebelumnya ya! Menceritakan perjalanan cinta sahabat-sahabat Dave yang tidak kalah sweet perjuangannya. Tapi tetap dilengkapi dengan kehadiran Dave dan Aryn.
Pepatah mengatakan tidak kenal maka tidak sayang, oleh karena itu ada tokoh yang mau kenalan nih, di novel yang sebelumnya baru kenal dengan Dave dan Aryn kan? Kenalan biar readers sayang hehehe! Kalau sudah sayang jangan lupa beri like, vote, dan masukkan novel ini ke dalam rak novel favorit kalian ya! Tapi kalau belum sayang, cepet sayang ya:)
....................
Reza Albert,
Putra semata wayang Mami Zela Albert dan Papi Edgar Albert. Suka menembak wanita, clubbing, dan juga suka melon. Tapi itu dulu, sebelum bertemu adik kecil Dave Winata. Ia selalu mengatakan bahwa ia bukan pedofil, karena bersedia menunggu adik kecil Dave tumbuh menjadi gadis dewasa. Sekarang lebih suka bekerja, tidur, dan suka jeruk mandarin. Tidak suka dipanggil anak mami. Tinggal di Paris, ia sedang mengembangkan perusahaan papinya sekaligus berusaha membuktikan pada Dave bahwa ia pria mandiri dan mampu membahagiakan adiknya. Keturunan bule, rambut hitam kalau dicat, hidung mancung, mata coklat, bibir seksi menggoda. Punya dua tangan dan dua kaki. Dari penampilan terlihat ramah dan menggoda, tapi tidak banyak yang tahu hobinya bermain darah. Masih aktif di keanggotaan Red Blood walaupun sudah ditendang Dave.
Silvi Winata,
Putri kesayangan Papa Erick Winata dan Mama Katy Winata. Adik dari Dave Winata. Ia adalah gadis yang cantik, mandiri, sedikit nakal, sedikit tomboy, aktif, periang, dan pemberani. Suka membaca novel romantis, berkebun, menembak, memanah, dan beberapa olahraga macho lainnya. Tidak suka berteman dengan orang lebay. Terjebak pesona om om. Seorang tukang ngintip yang profesional dan sudah diakui kemampuannya oleh kakaknya sendiri. Ia mempunyai hewan peliharaan namanya Mira, Cheetos, Sindy, dan Brown. Mira adalah seekor anjing pelacak betina yang terlatih. Keakraban Silvi dengan Mira tidak bisa diragukan, terlihat dari Silvi yang mengerti bahasa Mira. Cheetos adalah seekor cheetah jantan. Sindy, harimau betina. Dan Brown adalah beruang madu jantan. Aktivitas Silvi selain menunggu telepon dari om om kesayangannya, ia sedang berusaha mengubah jeruk nipis menjadi jeruk mandarin.
Zack Johanshon,
Putra kedua dari Papa Cavero Johanshon dan Mama Emmy Johanshon. Bukan penikmat harta orang tua, lebih memilih bekerja di perusahaan Dave. Mempunyai paras yang tampan dan menggoda, senyumannya menjadi senjata andalannya untuk menggaet wanita yang lemah iman. Seorang Casanova, tapi sudah lama ditinggalkan oleh semua gebetan dan selingkuhannya. Ia pernah di demo sampai dipukuli high heels oleh para gebetan dan selingkuhannya. Suka clubbing, kalau kumat. Selalu disuruh orangtuanya untuk segera menikah. Pandai menembak, bermain pisau, dan berkuda. Suka mengoleksi parfum dan ponsel. Paling takut dengan darah dan jarum suntik. Aktivitas terkini selain bekerja, sedang mencari tahu apa itu cinta. Masih aktif di keanggotaan Red Blood.
Mei Da Xia
Putri semata wayang Xiao Tan dan Fang Yin. Pendatang dari Negeri tirai bambu. Selalu mengatakan bahwa dirinya tidak suka merantau, tapi sampai sekarang masih betah. Ia adalah sahabat terbaik Aryn, dan musuh sejati Dave. Suka makan, tapi tidak tahu caranya memasak. Ia juga suka menyanyi, tapi tidak tahu nada. Dari keluarga yang bergelimang harta, tapi gaya hidup seperti rakyat jelata. Gadis yang ceria, heboh, ceroboh, tapi kadang lemot. Suka menonton drama korea, dan melihat pria tampan. Tidak suka hantu. Tinggal di unit apartemen yang kebetulan satu gedung dengan Zack Johanshon. Wajahnya yang cantik dan khas orang Asia dengan matanya yang sipit, membuat tidak sedikit pria yang tertarik. Tapi Mei adalah seorang yang pemilih, kriterianya harus pas. Karena fisi dan misinya, menikah dengan pria tampan dan kaya raya.
Frans Hastanta,
Putra sulung ibu Kinasih, tumbuh dewasa tanpa sosok ayah. Ia mempunyai seorang adik perempuan bernama Adena. Ia adalah seorang pria tampan dan menawan dengan kulit eksotis khas orang Asia. Setelah menyelesaikan pendidikan dengan menggunakan tabungan ibunya, ia bekerja untuk membahagiakan ibu dan adiknya. Merantau ke Negeri Paman Sam dan bekerja menjadi sopir sekaligus bodyguard untuk Aryn. Tapi juga mengantar Silvi kemanapun dia pergi. Pekerjaannya memang sopir, tapi gajinya lebih besar dari pejabat di negaranya. Pejabat yang dimaksud pejabat yang jujur ya! Kalau yang korupsi tentu gaji Frans kalah. Pernah mengejar cinta seorang gadis pujaannya selama 3 tahun tanpa hasil. Hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk melupakan. Tidak ada yang tahu bahkan ia sendiri tidak tahu jika ia mulai merasakan benih-benih cinta dengan gadis yang setiap hari bertemu dengannya di Mansion Dave.
Sonya Diatmika
Putri dari Rendra Pradipa, tangan kanan mendiang ayah Aryn. Gadis pemberani yang mempunyai wajah yang manis. Ia bekerja di mansion Dave, demi melaksanakan amanat terakhir mendiang ayahnya untuk menjaga Aryn. Siap pasang badan kapanpun itu. Bagian membosankan dari pekerjaannya di mansion adalah di saat dirinya harus melihat kemesraan Dave dan Aryn. Walaupun ia bekerja di mansion Dave, tapi ia juga mempunyai bisnis sendiri. Perjalanan asmaranya tidak semulus kulit semangka, ia memang cantik tapi tidak pernah dekat dengan pria manapun. Banyak yang mendekati, namun akhirnya mereka satu per satu menyerah karena sifatnya yang cuek bebek dengan pria. Apalagi pria yang suka tebar pesona.
....................
Stay tuned ya! Sampai jumpa di bab selanjutnya!
じゃまたね!
Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga semuanya sehat selalu ya!
.............
Dubrak,
Reza menggebrak mejanya dengan kesal. Sekretarisnya baru saja melaporkan hasil penyelidikan yang ia lakukan. Seorang karyawan yang ia curigai mengkorupsi uang perusahaan sudah dua hari ini tidak masuk ke kantor. Parahnya, karyawannya itu membawa kabur sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit.
"Cari semua informasi tentang tikus ini, semua informasi! Tempat tinggalnya, keluarganya, temannya, apa yang dia lakukan setahun terakhir, pokoknya semua informasi! Selidiki juga satu persatu karyawanku, aku yakin ia tidak bekerja sendirian!" perintah Reza pada sekretarisnya.
"Baik, bos!" jawab Glen.
Pintu ditutup dari luar. Reza menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Kepalanya terasa sangat berat. Di saat perusahaannya mulai berkembang pesat, ada tikus berdasi di perusahaannya. Pikiran Reza kacau, ditambah lagi papanya Zara mencabut sahamnya karena Reza menolak Zara. Keuangan perusahaan sedang kacau sekarang. Reza mengambil pisau kesayangannya dari laci. Ia menatap pisau itu sambil tersenyum. Reza melepas jasnya, menyingsingkan lengan bajunya sampai siku.
Nampak banyak sekali bekas luka sayatan di lengan Reza. Tidak banyak yang tahu luka itu, tentu karena Reza selalu menggunakan baju berlengan panjang. Kedua orang tuanya pun tidak tahu sama sekali mengenai kondisi putra mereka yang sebenarnya. Walaupun lukanya sudah memudar tapi kadang kalau terpaksa memakai baju lengan pendek, ia akan menutupi bekas lukanya dengan krim. Reza membuka sarung pisaunya. Ia menempelkan pisau kesayangannya itu di kulit lengannya.
Zasshh...
Reza tersenyum senang, darah segar mulai mengalir dari lengannya. Ya! Reza melukai lengannya sendiri. Bahkan sekarang ia menggunakan ujung pisaunya untuk mengotak-atik luka itu. Ia seperti mempunyai kepuasan sendiri melihat darah segar yang mengalir. Reza tertawa dengan keras sendiri.
Inilah sisi gelap dari seorang Reza Albert. Di luar ia bersikap seperti orang kebanyakan. Murah senyum dan ramah dengan semua orang. Ditambah lagi, ia terkenal sebagai seorang anak yang selalu dimanja oleh maminya. Tapi sekali saja emosinya tersulut dan ia tidak bisa mengontrolnya, yang ia lakukan adalah melukai dirinya sendiri. Melihat aliran darah dan rasa perih mempunyai kesan tersendiri untuknya. Masih bagus ia hanya melukai dirinya sendiri sekarang, tidak jarang ia membunuh orang dan tanpa merasa bersalah sedikitpun setelahnya.
Di dunia mafia, ia sudah dikenal baik sebagai psikopat berdarah dingin. Tapi sebenarnya hanya sedikit kegilaan yang dilihat mereka. Masih banyak kebenaran dari seorang Reza Albert yang tidak diketahui.
Ceklek,
Glen, sekretaris Reza tiba-tiba masuk ke ruangan Reza lagi. Saat hendak menjalankan tugas dari Reza, ia baru teringat Reza mempunyai jadwal meeting setelah makan siang nanti. Ia berniat mengingatkan Reza mengenai jadwal meeting itu sekaligus membawakan berkas yang diperlukan. Tapi lagi-lagi ia harus memergoki bosnya yang sedang menikmati kegilaannya.
"Astaga, Bos!" Glen berlari menghambur ke arah Reza yang terduduk di lantai dengan lengan yang penuh darah. Sejauh ini hanya Glen yang tahu kegilaan Reza.
"Biarkan aku sendiri!" Reza mengarahkan pisaunya pada Glen.
"Relax, bos! Luka bos sangat parah kali ini! Biarkan saya membantu, atau bos akan kehabisan darah di ruangan ini!" jawab Glen.
"Tahu apa kau? Lihatlah! Bukankah darah ini sangat indah? Hmm... Baunya harum!" Reza mencium darah di lengannya.
Glen bergidik ngeri, entah nasib seperti apa yang membuatnya bekerja dengan bos gila darah seperti ini. Kalau tidak karena gajinya yang tinggi dan ketenaran yang dimiliki Reza pasti Glen sudah resign sejak lama.
Glen adalah sekretaris Reza yang mulai bekerja di perusahaan ini di saat Reza mengambil alih tanggung jawab perusahaan ini. Usianya hanya beda satu tahun lebih muda dari Reza. Selain menjadi sekretaris Reza dia aktif membuat konten. Itulah sebabnya ia langsung melamar di perusahaan ini setelah mendengar kabar Reza Albert akan menggantikan posisi Edgar Albert. Pengaruh perusahaan A group tidak perlu diragukan lagi di negara ini, apalagi ketenaran Reza sebagai pengusaha muda yang tampan. Siapa yang menduga, pekerjaan barunya sedikit mendogkrak konten yang ia buat.
"Jangan ganggu aku, keluarlah!" teriak Reza.
"Sekali ini dengarkan saya, bos! Luka bos kali ini parah, tenangkan diri bos! Saya yakin bos belum minum obat," ucap Reza.
Sudah lama Reza diam-diam menemui seorang psikiater, untuk berkonsultasi. Ia menerima obat, dan harus mengkonsumsinya rutin. Tapi karena masalah keuangan perusahaan ini, sejak kemarin dia tidak meminumnya. Itulah mengapa Reza kehilangan kendali. Masalah kejiwaannya sudah serius.
"Aku tidak sakit hahaha!" Reza tertawa keras, tawanya membuat Glen semakin takut.
"Buang pisaunya, bos!" ucap Glen.
"Ini pisau kesayanganku!" seru Reza.
Reza bersusah payah untuk berdiri. Badannya sudah lemas, jalannya sempoyongan. Pelan tapi pasti ia mendekati Glen. Glen mencoba relax, dan tersenyum pada Reza.
"Aku penasaran dengan bau darah milikmu," Reza mengendus tubuh Glen.
"Bos...." Glen ketakutan.
Reza tersenyum smrik, emosinya telah menutupi pikirannya. Kalau sudah seperti ini, ia tidak akan mendengarkan apapun dari orang lain. Reza menempelkan pisaunya yang masih berlumuran darah di pipi Glen.
"Seseorang tolong selamatkan aku! Subscriberku baru 150 ribu orang!" gumam Glen.
Drrttt....drrttt....
Deringan ponsel Reza memecah keheningan ruangan itu. Reza berdecak kesal, ia merogoh saku celananya. Seketika pisau yang ia genggam terlepas begitu saja dari tangannya.
"Silvi," lirih Reza.
Reza berkaca sebentar di cermin kecil, mengelap bercak darahnya sendiri di wajahnya. Ia memasang wajah ramah dengan senyum yang manis. Lalu ia menggeser tombol warna hijau. Muncullah Silvi di layar ponselnya. Silvi terlihat sedang berada di kamarnya.
"Coba tebak aku ada kabar gembira apa?" seru Silvi di seberang telepon.
"Wah....kabar gembira? Katakan saja, aku tidak suka tebak-tebakan!" jawab Reza, tidak lupa Reza menampilkan senyumnya yang termanis.
Glen menyaksikan pemandangan itu dengan penuh rasa takut. Emosi Reza bisa mereda dengan cepat karena gadis belia yang sedang mengobrol dengannya di telepon. Glen memanfaatkan kesempatan ini untuk menyingkirkan pisau Reza. Ia juga menyingkirkan benda tajam lainnya yang ada di ruangan itu. Reza sempat melirik Glen, tapi ia tidak berkomentar. Glen langsung bergegas membersihkan darah di lantai.
"Desmon pulang ke mansion pagi tadi,"
Reza melihat jelas kegembiraan di wajah Silvi. Tiga minggu lalu Silvi mengabarinya jika adiknya lahir prematur karena mamanya terjatuh. Pasti Silvi sangat senang karena adiknya sudah dibawa pulang ke mansion. Melihat kegembiraan Silvi membuat pikirannya tenang, emosinya perlahan mereda.
"Benarkah? Kamu pasti bermain dengannya, saranku jangan diajarin menembak dulu ya!" Reza terkekeh.
"Mana bisa... Kak Reza tahu tidak, tangannya itu sangat kecil!" jawab Silvi.
"Alright," Reza terkekeh.
"Kak Reza sudah makan belum? Kak Reza sakit? Kok pucat begitu?"
"Ah iya... Kakak belum makan, sebentar lagi mau makan!" jawab Reza dengan santai.
Reza pucat tentu bukan karena belum makan. Tapi ia banyak kehilangan darah. Ia tidak ingin Silvi tahu kebenaran tentang dirinya. Ia belum siap dibenci Silvi karena penyakit kejiwaannya.
"Apa kakak mau makan bersamaku?" tanya Silvi.
"Sepertinya tidak bisa, aku harus makan dengan cepat! Pekerjaan masih segunung, " jawab Reza.
"Kalau begitu kakak makan dulu, Silvi mau menengok Desmon lagi soalnya! Nanti Silvi kirim fotonya Desmon ya kak? Silvi sayang Kak Reza, see you..."
"Siap, putri! Aku juga sayang kamu!" jawab Reza.
Tut,
Mendengar bosnya sudah selesai bertelponan, Glen menghentikan aktivitasnya yang sedang membersihkan luka Reza. Reza menatapnya dengan tatapan dingin membunuh.
"Maaf, bos! Saya takut bos kehilangan lebih banyak darah lagi," Glen tidak berani menatap Reza.
"Pergilah, carikan psikiater baru untukku!" ucap Reza.
Glen mengangguk dan langsung berlari keluar ruangan. Reza menatap foto Silvi cukup lama. Lalu ia menatap foto papi dan maminya yang terpajang di meja kerjanya. Reza mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya seperti sekarang.
***************
Sembilan belas tahun lalu,
Reza meronta-ronta, tangannya terikat kuat di sebuah kursi. Di sekitarnya semua gelap, hanya ada lampu bolam kecil yang menggantung tepat di atasnya. Tubuhnya yang kecil tentu tidak mempunyai cukup tenaga untuk melepaskan ikatan. Usianya baru 9 tahun hari itu. Dua orang pria yang memakai kostum badut menangkapnya dan membawanya secara paksa ke tempat ini.
Setelah mengecek keadaan sekitarnya Reza perlahan menjatuhkan dirinya bersama kursi itu. Tangannya susah payah mengambil sebuah potongan tutup kaleng besi. Kakinya tadi diam-diam menginjak tutup kaleng bekas di pinggir kursi. Kedua pria yang menangkapnya tidak mengetahuinya. Perlahan tapi pasti Reza memotong tali yang mengikat pergelangan tangannya.
Brak,
Sebuah batu berukuran sedang dilempar dari kejauhan dan mengenai bahunya. Reza mengerang kesakitan. Ia semakin mempercepat gerakan tangannya. Hingga ikatan di tangannya pun terlepas. Ia membuka lakban yang menutup mulutnya. Lalu melepaskan ikatan di kakinya. Baru saja ia akan berlari, salah satu pria yang memakai baju badut muncul dari kegelapan.
"Hebat juga putra Edgar ini," pria itu bertepuk tangan.
Dari belakang pria itu pria badut yang satunya, membawa seorang pria yang diikat kedua tangannya. Itu papinya. Rupanya kedua pria ini musuh papinya.
"Papi...." teriak Reza.
"Lari dari sini, nak! Cepat!" seru Edgar.
"Aku tidak akan meninggalkan papi," ucap Reza tegas.
"Biarkan papi yang menghadapi kedua pria sialan ini," ucap Edgar.
Bugh,
Sebuah bogem mentah mendarat di pipi Edgar hingga darah segar mengalir di sudut bibirnya. Reza mengepalkan kedua tangannya.
*Bugh,
"Arrgghh..." Edgar mengerang*.
Pria itu menendang perut Edgar dengan sangat keras. Air mata Reza menetes.
"Apakah kau mempunyai pesan terakhir untuk papimu, anak kecil?" seru pria itu.
Zasshh...
"Arrgghh... anak sialan!"
Reza menyerang pria itu dengan tutup kaleng yang ia pakai tadi. Darah segar mengalir di lengan pria itu. Edgar langsung menendang pria yang berada di belakangnya dengan keras. Reza pun berlari dan melepaskan ikatan Edgar.
"Tunggu di sini," ucap Edgar.
Edgar berkelahi dengan dua pria itu. Karena ruangan itu besar, komplotan kedua pria yang berjaga di luar tidak mendengarnya. Orang diluar pasti mengira kedua pria ini sedang menyiksa Edgar. Tapi sialnya, Edgar lemah karena sudah dipukul dan ditendang lagi. Dalam sekejap keadaan berbalik, kedua pria itu memukuli Edgar.
Reza tidak bisa membiarkan papinya dipukuli kedua pria itu. Ia melirik ada palu di atas sebuah meja. Reza mengambilnya. Dengan tangan kecilnya Reza mengayunkan palu berukuran besar itu pada kedua pria itu.
"Arrgghh..." pekik kedua orang itu.
Kedua pria itu tumbang setelah kepala mereka dihantam palu besar. Tapi Reza tidak berhenti, ia memukuli kepala kedua pria itu terus menerus sampai kedua pria itu tidak bergerak lagi. Kepala kedua orang itu pecah. Ruangan itu kini penuh darah.
"Reza cukup, nak!" Edgar menenangkan Reza.
"Mereka menyakiti papi, mereka harus mati!" Reza kini memukul dada kedua pria itu bergantian.
Bugh bugh bugh...
"Mereka sudah mati, nak!" ucap Edgar.
Reza melepaskan palunya. Edgar memeluk putranya dengan erat. Ia tidak menyangka putranya bisa melakukan hal itu saat papinya terluka. Tidak berapa lama kemudian, terdengar adu tembak dari kejauhan. Edgar membawa Reza berlindung di balik meja besar. Ternyata istrinya membawa anak buahnya untuk menyelamatkan Edgar dan Reza.
"Astaga!" pekik Zela.
Edgar dan Reza muncul dari balik meja. Zela memeluk keduanya. Beberapa anak buah Edgar membereskan kedua mayat itu. Salah satu dari mereka hampir muntah
"Siapa yang melakukannya?" tanya Zela.
Edgar tidak menjawab, ia hanya melirik Reza yang terlihat tidak ketakutan sama sekali. Setelah hari itu Edgar dan Zela membawa Reza ke psikiater. Kejadian di hari itu tidak selayaknya terjadi untuk anak usia 9 tahun. Keduanya menjadi sangat protektif pada Reza. Keduanya tidak tahu kejadian hari itu benar-benar tertanam dalam diri Reza. Walaupun setiap psikiater yang mereka kunjungi mengatakan Reza akan baik-baik saja.
************
Jangan lupa like, vote, dan tinggalkan komentar sesuka kalian!
Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga semuanya sehat selalu ya!
.............
"Aku sudah dewasa, pa! Aku tidak ingin terburu-buru menikah, apalagi dengan gadis pilihan papa!" ucap Zack.
Baru saja ia mau menyantap makan malamnya, papanya menelpon dan menyuruhnya untuk makan malam bersama di rumah. Papanya mengatakan akan memperkenalkan Zack dengan gadis pilihan papa dan mamanya. Gadis itu putri semata wayang dari rekan bisnis papanya.
"Pilihan papa adalah yang terbaik untukmu," seru Cavero di seberang telepon.
"Aku hanya akan menikah dengan gadis pilihanku sendiri," Zack berkata lirih.
"Benarkah? Papa tahu betul bagaimana sifatmu. Kamu itu punya banyak ponsel untuk apa? Untuk mempermudah menjadwal kencanmu dengan wanita-wanitamu, kan? Kamu saja punya banyak wanita dan tidak tahu apa itu cinta, lalu kapan kamu akan menikah? Papa ini sudah tua, ingin cepat menggendong cucu! Apalagi kamu dan Zain sama-sama tidak ingin bekerja di perusahaan,"
"Aku sudah tidak punya banyak wanita, pa! Papa lupa, semua wanitaku berdemo waktu itu? Suruh Zain menikah duluan saja!" jawab Zack singkat.
"Dia tidak mau menikah duluan, belum ada jodoh katanya!"
"Nah... Harusnya papa jodohkan gadis itu dengan Zain saja. Sebagai kakak harusnya dia menikah duluan, pa! Masak aku melangkahi!" Zack tersenyum smrik.
"Zain siap dilangkahi katanya," ucap Cavero.
"Papa mau gendong bayi kan? Ya sudah buat bayi saja dengan mama, seperti Om Erick! Sudah ya pa... Zack sibuk!"
Tut,
Zack melemparkan ponselnya ke sofa. Nafsu makannya hilang seketika. Usianya yang sudah genap 26 tahun membuat papanya selalu memintanya untuk cepat menikah. Padahal kakaknya, Zain yang berusia 27 tahun belum menikah juga. Kalau seperti ini ia harus menemui kakaknya itu, Zack akan meminta Zain menikah. Agar papa tidak terus memaksanya menikah, apalagi dengan cara dijodoh-jodohkan.
Zack mengambil kunci mobilnya, tidak lupa ia mengambil jaket kesayangannya. Ia akan menemui kakaknya sekarang juga. Zain, kakak Zack tinggal di apartemen yang tidak jauh dari apartemen Zack. Ya! Kedua kakak beradik itu tidak ada yang tinggal di rumah orang tua mereka ataupun bekerja di perusahaan milik keluarga. Keduanya mencari pundi-pundi uang dengan hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua mereka. Mereka bukan penikmat harta orang tua. Baru saja Zack melangkah keluar dari unit apartemennya, ada saja yang menguji emosinya.
Gedubrak,
Seorang gadis menabraknya, buku-buku bertebaran di lantai. Parahnya kemeja Zack terkena tumpahan cokelat.
"Kalau jalan pakai mata!" Zack menggibaskan kemejanya.
"Dasar orang gila! Jalan itu pakai kaki lah, mana bisa jalan pakai mata!" sahut gadis itu.
Zack memutar bola matanya malas saat tahu siapa gadis itu. Siapa lagi kalau bukan Mei. Mei sekarang sedang mengejek Zack dengan cara memelototkan matanya sambil menunduk ke bawah.
"Nih, lihat! Mana bisa jalan pakai mata!" seru Mei.
"Terserah kamu saja!" seru Zack.
Zack berjalan meninggalkan Mei yang masih menengomel sambil mempraktekkan jalan menggunakan mata. Terpaksa Zack harus kembali ke unit apartemennya untuk berganti baju.
"Setiap kali bertemu gadis itu hidupku selalu dalam masalah," gumam Zack.
Di luar dugaan Zack, Mei masih ada di depan unit apartemennya. Gadis itu berkacak pinggang.
"Apa lagi? Aku sedang buru-buru!" seru Zack kesal.
"Ganti cokelatku dulu!" ucap Mei.
"Besok aku ganti, sekarang kembalilah ke habitatmu!" Zack menunjuk unit apartemen Mei yang ada di paling ujung.
"Aku maunya sekarang," ucap Mei.
"Beli sendiri saja kalau begitu," jawab Zack.
"Tidak bisa, uang jajanku hari ini sudah habis!" protes Mei.
"Bisa kuliah di sini tapi kok kere," lirih Zack.
"Apa kamu bilang?" Mei melotot.
"Bukan apa-apa, besok akan aku belikan! Sekarang aku ada urusan penting!"
"Baiklah, besok tidak apa-apa. Tapi ada syaratnya," Mei tersenyum smrik.
"Cepat katakan!" seru Zack.
"Selain cokelat, aku juga mau jus alpukat, chicken wings, chicken nuggets, kentang goreng, ice cream vanila, kue sus, puding leci, dan sup jamur! Sudah itu saja!" ucap Mei.
"Kamu mau merampokku?" Zack menatap Mei dengan tajam.
"Ya sudah kalau tidak mau, aku akan mengikutimu!" Mei tersenyum smrik.
"Baiklah, besok akan kubawakan semua itu. Sekarang menyingkirlah!" seru Zack.
"Siap gerak!" Mei berjalan ke unit apartemen miliknya seperti seorang petugas bendera.
"Semoga istriku kelak tidak seperti dia," Zack melangkah pergi.
Zack mengemudikan mobilnya dengan santai. Jarak apartemen Zain tidak jauh juga. Dalam sepuluh menit mobil Zack sudah memasuki basement. Zack masuk ke dalam lift dan menekan angka 16, lantai tempat unit apartemen Zain berada.
Ting,
Sepi, tidak ada orang di lantai itu. Zack berpikir, pasti orang yang menghuni lantai ini sama seperti Zain. Tidak pernah keluar malam, cuek, dan irit bicara. Sesampainya di depan unit apartemen Zain, Zack tidak mengetuk pintu. Tapi ia menggedor pintu itu dengan keras.
Brak brak brak,
"Sebentar," terdengar suara dari dalam.
Pintu besar itu dibuka dari dalam, nampak seorang pria tampan dan kaku keluar dari apartemen itu. Tingginya sedikit lebih rendah dari Zack, tapi mereka sama-sama tampan.
"Oh kau, kukira depkolektor!" ucap Zain dingin.
Zack hanya mengangkat bahunya, lalu ia masuk tanpa permisi. Dan duduk di sofa dengan kaki yang dinaikan ke atas meja. Zain duduk di sofa seberangnya. Menatap Zack dengan tatapan dingin.
"Tidak ada makanan?" tanya Zack.
"Tidak," jawab Zain singkat.
"Minuman ada?" tanya Zack lagi.
"Mau soda, susu, kopi, sirup, atau jus?" tanya Zain.
"Aku mau soda," Zack tersenyum, untuk pertama kalinya Zain menawarkan minuman yang beraneka macam. Biasanya hanya diberikan air mineral saja.
"Soda tidak baik untukmu, air mineral saja ya!" Zain beranjak dari duduknya.
"Kalau begitu kenapa tadi menawarkannya?" Zack kesal.
"Cuma basa-basi," jawab Zain sedikit berteriak dari dapur.
"Aku penasaran bagaimana caramu mengajar di kampus, mahasiswamu pasti kabur semua," Zack menggoda.
Zain adalah dosen di salah satu universitas terkenal negeri ini. Belum lama, mungkin sekitar 15 bulanan. Tapi Zack tidak tahu dimana kakaknya mengajar. Lebih tepatnya, Zack tidak tertarik dengan kehidupan kakaknya. Menurutnya kehidupan kakaknya terlalu kaku dan lurus.
"Beda tempat beda sikap, beda lawan bicara juga beda perlakuan," Zain meletakkan segelas air mineral di meja.
"Terserah kau saja lah, Pak Dosen!" Zack menyerah, berdebat dengan Zain membuatnya pusing kepala.
"Sekarang katakan, apa tujuanmu datang kemari?" Zain memulai obrolan serius.
"Cepatlah menikah, aku lelah mendengar papa yang selalu memintaku untuk menikah!" ucap Zack.
"Kalau kau lelah mendengarnya, menikahkan! Selesai masalahnya." jawab Zain.
"Kau kan kakakku, menikahlah lebih dulu! Aku tidak ingin melangkahimu, aku masih ingin hidup bebas!"
"Aku tidak punya calonnya, lagipula aku tidak keberatan jika kau langkahi!" ucap Zain cuek.
"Papa akan mencarikan calonnya," jawab Zack.
"Aku tidak suka perjodohan," Zain mengalihkan wajahnya.
"Percuma aku berunding denganmu," Zack beranjak dari duduknya.
"Itu kau tahu,' jawab Zain.
Blam,
Zain menutup pintu itu. Diam-diam Zain kepikiran dengan apa yang diucapkan Zack tadi.
"Menikah?" gumam Zain.
Sementara Zack, ia menendang ban mobilnya dengan keras karena kesal. Saat itu juga alarm mobilnya berbunyi dengan nyaring. Dua orang security datang menyerapnya.
"Jangan kabur kau, maling!" seru security itu.
"Ini mobil saya," ucap Zack santai.
"Jangan ngaku-ngaku," security itu tidak percaya.
Akhirnya Zack mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ia menekan tombolnya, dan lampu depan mobilnya berkedip membuktikan mobil itu memang miliknya.
"Maaf, tuan!" kedua security itu menyingkir memberikan jalan.
"Wajah tampan seperti ini bisa-bisanya dikira maling! Tapi sebenarnya aku yang bodoh sih, ngapain nendang ban!" oleh Zack.
-------------------------------------------------‐--------‐------
Di paris,
Reza menyenderkan kepalanya di jok mobil. Pagi ini ia akan menemui psikiater yang sudah dijadwalkan Glen kemarin.
"Bagaimana tikus itu?" tanya Reza memecah keheningan.
"Siang ini akan saya kirimkan semua informasi yang bos minta, sekarang bos harus konsentrasi pada pengobatan!" jawab Glen.
"Hmm," jawab Reza singkat.
Reza merapihkan rambutnya saat mobilnya memasuki area rumah sakit yang mereka tuju. Glen mengikuti Reza sampai ke depan ruangan psikiater. Glen hanya menunggu di depan, membiarkan bosnya masuk sendirian.
Saat Reza masuk, seorang psikiater wanita duduk dengan anggun di kursinya. Mempersilahkan Reza untuk duduk di kursi yang telah di sediakan. Psikiater itu pertama-tama mengajak Reza untuk berkenalan dan mengobrol santai. Psikiater itu bernama Abel. Baru kemudian Reza menceritakan apa yang dia alami, dan awal mula kegilaan itu berawal.
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanya Reza setelah menceritakan masalahnya pada psikiater itu.
"Gangguan ini bisa dikendalikan dengan cara mengikuti terapi rutin, perlahan anda dapat mengontrolnya. Obat ini hanya bersifat menenangkan saja, anda harus terapi rutin untuk bisa mengelola gangguan kejiwaan ini." Abel menyodorkan sebungkus obat.
"Berikan jadwalnya pada sekretarisku, saya permisi." Reza meninggalkan ruangan itu.
Ada secerca harapan di kedua bola mata Reza. Walaupun psikiater itu menjelaskan gangguan kejiwaannya tidak bisa sembuh karena sudah masuk dalam kepribadiannya. Tapi dengan terapi rutin ia bisa mengelola emosinya. Itu artinya ia tidak perlu takut dibenci Silvi karena kekurangannya ini.
.................
Jangan lupa like, vote, dan tinggalkan komentar sesuka kalian ya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!