NovelToon NovelToon

Aku Hamil Anak Pacarku

Prolog - Batasan

Pacaran. Di mana sepasang laki-laki dan perempuan menjalin hubungan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Banyak orang-orang yang memanfaatkan tahapan ini untuk saling mengenal satu sama lain, sebelum melanjutkan hubungan yang lebih serius ke jenjang pernikahan.

Meski begitu, tetap saja ada batasan yang harus dijaga. Namun, kebanyakan para remaja terkadang melupakan batasan itu hingga tanpa sadar membuat diri mereka sendiri jatuh ke dalam jurang yang dalam.

Seperti diriku saat ini. Di saat aku sudah mulai mengerti dengan apa yang terjadi, di saat itulah aku baru sadar bahwa aku sudah terlambat untuk memperbaiki segalanya.

PLAK

Tamparan yang amat keras dan menyakitkan kurasakan pada pipiku. Air mataku tidak henti-hentinya mengalir sejak tadi. Yah, aku memang pantas mendapatkan tamparan ini. Aku tidak bisa membela diriku lagi saat ini. Bahkan aku merasa jijik dengan diriku sendiri.

"APA INI SILVIA?!"

Orang yang menampar dan baru saja berteriak di depanku kini adalah mamaku. Benar, mama kandungku. Sambil memegang sebuah testpack di tangan kirinya, dan dengan gemetar, mama menatapku dengan mata melotot.

"SUSAH PAYAH MAMA JAGAIN KAMU SELAMA INI, TERUS INI YANG KAMU PERBUAT?!"

Aku hanya bisa tertunduk sambil mendengarkan segala perkataan mama yang menusuk perasaanku. Aku mengerti kenapa mama sampai marah seperti ini. Aku pun juga marah dengan diriku sendiri.

"...."

Mama tiba-tiba diam. Segala perkataan menusuk yang kudengar tiba-tiba terhenti. Karena itu aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku. Kulihat mama yang tengah menangis. Dengan tangan kirinya yang masih memegang testpack, mama menutup wajahnya dengan tangan kanannya.

"Bilang siapa ayahnya!" sentak mama tiba-tiba.

"Pa-pacar Silvi ma.." jawabku lirih.

"Kamu beneran bikin mama malu Silvia!" Suara mama terdengar parau.

"Maaf.."

Hanya itu yang dapat kukatakan saat ini, meski sia-sia untuk diucapkan karena nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah kuperbuat sudah tidak dapat lagi dikembalikan seperti semula.

Mama mulai terduduk lemas sambil terus menangis. Lalu aku? Aku hanya bisa diam di sini seperti orang bodoh. Air mataku sejak tadi tidak mau berhenti mengalir meski aku ingin.

Aku benar-benar menyesal. Apa tidak ada cara untuk memperbaiki ini semua?

Perlahan kutatap perutku yang kini terdapat sebuah janin di dalamnya. Beberapa bulan lalu aku ingin menggugurkannya, namun hal itu tidak dapat kulakukan karena janinnya sudah terlalu besar.

"Maaf.."

Kata itu terus-menerus terucap olehku. Andai saja sejak awal aku tidak menerima laki-laki itu untuk masuk ke dalam kehidupanku. Jika aku menolaknya saat itu, kehidupanku pasti tidak akan hancur seperti ini.

Kini semuanya hanya tinggal penyesalan. Walau segala cara dikerahkan, semuanya sudah terlambat. Bahkan jika air mata ini terus jatuh hingga membentuk danau Kaspia, waktu yang berharga tidak akan pernah bisa dikembalikan.

Semuanya dimulai sejak beberapa bulan yang lalu. Saat di mana aku masih menjadi siswa baru di SMA, dan baru saja selesai menjalani masa-masa orientasi siswa.

Saat itu adalah masa-masa di mana hidupku masih berjalan dengan baik dan penuh kebahagiaan sebelum semuanya terjadi.

-

-

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, DAN VOTE YA~♡

KALAU SUKA DENGAN CERITA INI, JANGAN SUNGKAN-SUNGKAN BUAT MASUKIN CERITA INI KE LIST FAVORIT AGAR TIDAK KETINGGALAN DENGAN CERITA TERBARUNYA..

Rendi Pacarku

"Silvia Wulandari!"

Aku menoleh ke arah Pak Daryo yang memanggil namaku. Pak Daryo tampak sudah menungguku dari kursinya sambil memegang sebuah kertas.

Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku, berjalan ke arah Pak Daryo berada, lalu menerima kertas itu darinya.

"Bagus! Ulangan kali ini pun nilai kamu juga sempurna," ucap Pak Daryo padaku sambil tersenyum bangga.

Namaku Silvia Wulandari. Panggil saja aku Silvi. Aku murid kelas 1 di bangku SMA yang baru saja selesai menjalani Masa Orientasi Siswa atau yang sering disebut dengan sebutan MOS.

Setelah menerima kertas itu dari Pak Daryo, aku langsung berjalan kembali ke arah tempat dudukku. Pak Daryo adalah wali kelasku. Beliau sangat kagum padaku karena aku selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas.

Berkat beliau yang selalu membanggakan diriku di hadapan guru lain, akhirnya guru-guru di sekolah ini jadi banyak yang mengenalku.

Aku bahkan sering kali dijadikan sebagai pembanding oleh para guru untuk murid-murid lainnya.

"Liat dong Sil! Wow dapet 97!" seru Tania, teman sebangkuku.

Aku dan Tania pertama kali bertemu ketika masa-masa MOS. Aku sangat bersyukur karena dapat berada di kelas yang sama dengannya, karena cukup sulit bagiku untuk mencari orang yang cocok denganku seperti dirinya.

"Kenapa lo pinter banget sih Sil? Pinjem IQ lo sebentar boleh ga?" canda Tania.

"Ya belajar dong! Makanya jadi orang jangan suka males!" ledekku sambil menghentakkan pelan kertas hasil ulanganku ke atas meja, sebelum memasukkannya ke dalam ransel berwarna merah muda pastel milikku.

"Ya kali aja bisa kan?" Tania merengut sambil memunyunkan bibirnya.

"Udah deh jangan ngayal! Lo ada-ada aja," timpalku.

"Oh iya Sil! Ngomong-ngomong lo dengan kakak kelas waktu itu jadinya gimana?" bisik Tania di telingaku.

"Maksud lo?" tanyaku heran.

"Itu lho.. si ketua osis!" jawab Tania.

"Oh.. bilang dong dari tadi! Pada akhirnya kami pacaran dong."

"Wah! Seriusan Sil? Gue ga nyangka!" Tania menggelengkan kepalanya.

"Ekhem! Dua orang yang di sana! Kalau mau ngobrol di luar aja!"

Seketika aku dan Tania langsung menjauh satu sama lain sesaat mendengar suara Pak Daryo yang menegur kami. Setelah Pak Daryo sudah tidak memperhatikan kami lagi, aku dan Tania saling menatap dan tertawa kecil.

"Tuh kan! Untung aja kita ga diusir dari kelas Tan!" Aku berseru pada Tania sambil berbisik.

"Ngapain takut? Kan ada elo, si anak emas guru." Tania menaikkan kedua alisnya.

"Sembarangan! Lo tau kan Pak Daryo itu orangnya gimana? Bisa abis kita berdua!" kataku.

"Ah elah santai aja! Eh hadep sana b#go! Pak Daryo ntar ngeliatin!" seru Tania tiba-tiba.

"Eh iya bener. Kalau ketahuan bisa-bisa kita ga bisa pulang karena dihukum."

"Hihihi."

Kami berdua saling melempar pandangan. Setelahnya kami tidak mengobrol lagi dan hanya fokus menatap Pak Daryo yang sedang sibuk menerangkan pelajarannya di depan.

*****

Teett...

"Huh.. akhirnya pulang juga." Aku menghela nafas panjang. Kusandang ransel merah muda pastelku di pundakku.

"Sil! Silvi! Itu tuh cowo lo mau kesini!" seru Tania sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Cowo gue?" tanyaku sembari menoleh ke arah yang Tania tunjuk. Sesaat aku menoleh, orang yang Tania maksud sudah muncul di belakangku.

"Silvi, mau pulang bareng ga?" tanya Rendi yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Eh Rendi? Pulang bareng? Boleh aja sih.."

Kulirik Tania yang sudah memperhatikan kami berdua sejak tadi. Tania mengangguk sebagai tanda bahwa dirinya telah mengizinkan aku untuk pergi bersama Rendi.

Sebenarnya sore ini aku dan Tania sudah berencana untuk pergi ke kafe yang sedang hits di kota kami. Tapi karena Rendi, mau tidak mau aku jadi harus membatalkannya.

Di parkiran sekolah, aku dan Rendi sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku sudah tidak dapat menemukan Tania lagi. Sepertinya dia sudah pulang.

"Ini pakai helmnya!"

Rendi menyodorkan helm yang berwarna putih polos itu padaku. Aku pun mengambil helm itu dari tangannya dan langsung mengenakannya di kepalaku. Tidak lupa kupasang tali belt helm itu hingga melingkari daguku, agar helm itu tidak mudah terlepas.

"Sudah naik?" tanya Rendi sembari melihat kebelakang untuk memastikan diriku sudah naik ke atas motornya atau belum.

Sebenarnya sih, Rendi tidak perlu sampai melihat ke belakang seperti itu hanya untuk memastikan apa aku sudah naik ke atas motornya atau belum.

Yah.. itu juga tidak masalah sih. Aku juga tidak ingin merasakan hal konyol jika sampai tak sengaja tertinggal, sementara helm sudah terpasang mantap di kepalaku.

"Sudah kok," jawabku.

Rendi pun menancap gas motornya dan membawa kami berdua keluar dari pekarangan sekolah dengan motornya. Aku memeluk pinggang Rendi dari belakang dan menyandarkan kepalaku ke punggungnya yang lebar itu.

Tidak apa-apa karena dia pacarku. Jika perempuan lain yang melakukan itu, mungkin punggungnya yang lebar ini tidak akan selamat dari tanganku.

Haha lumayan mengancam ya? Kata-kata itu selalu kukatakan dengan sengaja pada Rendi agar dia tidak berani bermain-main dengan perempuan lain di belakangku.

Tuk Tuk

Suara itu terdengar seperti menimpa helmku. Aku pun segera melepaskan pelukanku dari pinggang Rendi, lalu memandang ke atas langit. Kutadahkan tangan kananku sembari memandang ke atas.

Dan benar saja. Telapak tanganku terasa basah oleh rintik-rintik air yang jatuh dari atas langit. Kini suara rintikan hujan yang mengenai helmku terdengar lebih keras dan cepat dari sebelumnya.

"Ren! Hujan!" seruku pada Rendi sembari menepuk-nepuk pelan pundaknya.

"Iya Sil! Sebentar lagi sampe kok," jawab Rendi.

Aku heran. Apa maksudnya dengan akan sampai? Apa Rendi berniat untuk berteduh sebentar? Rumahku jaraknya masih jauh dari posisi kami sekarang. Mustahil kami bisa sampai dalam keadaan kering jika nekat menerobos hujan.

Beberapa menit kemudian, Rendi tiba-tiba memperlambat laju motornya dan berhenti di depan sebuah rumah sederhana ber-cat putih polos dengan pagar besi yang juga ber-cat putih polos.

"Kamu mau neduh sebentar kan?" Rendi turun dari motornya.

Kulihat Rendi berjalan mendekati pagar rumah itu dan menggeser pagar itu ke samping kanan untuk membukanya. Setelahnya Rendi kembali berjalan ke arahku.

"Ini rumah siapa Ren? Kok neduh di sini? Emangnya boleh?" tanyaku sambil memandangi rumah itu.

"Oh ini rumahku," jawab Rendi.

"Apa?"

Rendi membawa masuk motornya ke dalam rumah. Aku pun juga ikut bersamanya. Kulepas sepatuku dan juga kaos kakiku lalu kuletakkan di depan pintu masuk.

Semakin lama, suara rintik-rintik hujan juga terdengar semakin deras.

"Kamu ternyata tinggal di sini?" tanyaku pada Rendi.

"Iya, kamu belum tau?" tanya Rendi balik.

"Ya mana mungkin aku tau, kamu kan ga pernah ngasih tau aku," timpalku.

"Haha benar juga," balas Rendi.

Suara derasnya hujan terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Aku bisa melihat pemandangan di luar ruangan yang kabut karena hujan serta angin yang kencang.

"Hujannya makin deras nih, aku bisa pulang ga ya?" tanyaku sambil memandang ke luar jendela.

"Tenang aja, sekarang masih jam 4 sore, masih ada waktu 2 jam lagi."

Rendi berusaha menenangkan diriku. Aku pun tersenyum senang karenanya. Bukan apa-apa, hanya saja orang tuaku yang ada di rumah pasti akan cemas jika aku pulang terlambat, apalagi karena posisiku yang merupakan anak tunggal ini.

"KYAAA!!"

Tanpa sadar aku berteriak kencang sesaat tak sengaja melihat Rendi yang tiba-tiba melepas seragam putihnya. Untung saja di luar sedang hujan deras sehingga suaraku tidak akan terdengar oleh tetangga.

Mataku terbelalak ketika melihat dadanya yang bidang itu. Dengan cepat aku pun menutup kedua mataku dengan telapak tangan agar tidak melihatnya lagi.

"KAMU NGAPAIN BUKA BAJU?!" sergahku.

-

-

Silvi

Rendi

...JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA~♡...

Ciuman Pertama

"KAMU NGAPAIN BUKA BAJU?!" sergahku pada Rendi.

"Memangnya kenapa? Aku mau ganti baju." Rendi menjawab seolah-olah dirinya tidak bersalah sedikit pun.

"Enak aja kalau ngomong! Aku ini cewek! Sopan dikit dong!"

Aku terus menutup kedua mataku dengan telapak tangan. Jantungku berdebar kencang. Meski aku tidak bisa melihat wajahku, tapi aku yakin sekali kalau saat ini wajahku sudah memerah seperti udang rebus.

Kini aku tidak lagi mendengar suara Rendi. Mungkin dia sudah pergi ke kamarnya. Karena kupikir sudah aman, aku pun mulai membuka mata.

Namun tanpa kusadari, sesaat aku baru saja membuka mataku, Rendi tiba-tiba sudah ada di depanku dengan wajahnya yang berjarak tidak lebih dari satu jengkal dengan wajahku.

"E-Eh! Kamu mau ngapain?!"

Karena terkejut, tanpa sadar aku jadi mendorong Rendi hingga dirinya tersungkur ke belakang. Apa aku mendorongnya terlalu keras? Ah tidak usah dipikirkan! Memangnya siapa yang menyuruhnya bersikap seperti itu?

"Aduh Sil.. sakit tau!" keluh Rendi sambil mengelus punggungnya yang terasa sakit.

"Biarin! Siapa suruh kamu begitu?" balasku.

"Hmm kamu malu ya? Lucu banget sih kamu," goda Rendi.

"Si-Siapa yang malu? Aku marah tau!" timpalku.

Aku berpaling dari Rendi. Bohong kalau kubilang aku tidak merasa malu. Aslinya aku benar-benar malu sampai rasanya ingin menghilang saja. Hanya saja aku kesal jika Rendi meledekku seperti itu.

"Iya deh, aku ganti baju dulu ya!" ucap Rendi.

"Iya," kataku.

Rendi tampak berjalan masuk ke dalam sebuah kamar. Apa itu kamarnya?

Aku duduk bersila tepat di dekat jendela. Dari kaca jendela yang transparan, aku bisa melihat derasnya air hujan yang membasahi jalan.

Kuperhatikan, Rumah yang Rendi tempati ini hanyalah rumah petak sederhana yang letaknya berada di ujung jalan. Sangat sederhana jika dibandingkan dengan rumahku yang luas dan besar, juga memiliki dua lantai. Bahkan kamarku saja mungkin lebih luas daripada rumah ini.

Kulihat di sebelah kiri rumah Rendi tidak terlihat adanya rumah lagi. Aku hanya bisa melihat sebuah lapangan yang luas di sana.

Rumah Rendi menghadap ke arah barat sehingga sore hari akan terasa sangat panas, itu karena cahaya matahari sore akan menyinari rumah ini secara langsung.

Dari mana aku bisa tau tentang itu? Sebenarnya Rendi pernah bercerita padaku soal itu. Ia mengeluh padaku bahwa dirinya sangat kepanasan saat sore hari. Aku bersyukur karena cuaca di luar sedang hujan deras sehingga aku tidak merasa kepanasan saat ini.

Kuambil ponselku dari dalam ransel. Sambil menunggu Rendi yang masih berganti pakaian, kutonton beberapa episode drama korea yang baru saja rilis.

"Maaf Sil, kelamaan ya?"

Aku menoleh ke arah Rendi yang baru saja datang. Kulihat seragam putih abu-abu yang ia kenakan sebelumnya sudah berganti dengan celana hitam pendek selutut dan kaos lengan pendek berwarna putih polos.

"Enggak kok, gak lama," kataku.

Lagipula aku menunggunya sembari menerima hiburan dari layar ponselku. Meski Rendi pergi selama 1 jam pun aku tidak akan merasa bosan menunggu.

"Oh iya, ngomong-ngomong Ren, kamu cuma tinggal sendirian di sini? Di mana keluargamu yang lain?" tanyaku pada Rendi.

"Hm? Iya, aku cuma sendirian tinggal di sini. Ibu dan adik-adikku tinggal di kampung. Aku ngontrak di sini buat sekolah," ujar Rendi.

Aku tercengang. Aku sungguh tidak menyangka. Sebelumnya kupikir Rendi adalah anak dari suami istri yang kaya.

Pemikiranku itu tidak lepas dari posisi ketua osis yang Rendi emban di sekolah. Karena biasanya posisi itu hanya bisa didapat oleh orang yang hebat, jadi kupikir latar belakang keluarga Rendi juga sama hebatnya dengan posisinya itu.

Mataku hanya tetap fokus pada layar ponsel meski Rendi duduk di sampingku, hingga salah satu adegan di layar ponsel memunculkan dua sepasang kekasih tengah berciuman dengan mesranya.

"KYAA!!"

Spontan aku menutup kedua mataku. Aku benar-benar tidak menyangka adegan seperti itu akan muncul dari layar ponselku. Yang anehnya, aku merasa malu melihatnya. Padahal bukan aku yang melakukannya.

"Kenapa Sil?"

Kubuka kedua mataku, lalu aku menoleh ke arah Rendi. Rendi terlihat khawatir. Mungkin Rendi mengira ada sesuatu yang terjadi padaku hingga membuatku berteriak. Kulirik ponselku. Syukurlah kini scene kiss itu telah berlalu.

"Kamu kenapa?" tanya Rendi lagi.

Aku merasa malu untuk menjawab pertanyaan Rendi dengan alasan yang sebenarnya. Aku berniat untuk berbohong agar tidak merasa malu. Tapi entah mengapa mulutku ini tidak mau selaras dengan keinginanku.

"Tadi.. ada adegan kiss, aku kaget," ujarku.

"Hm? Terus kenapa?" tanya Rendi lagi.

Dasar Rendi! Apa dia mau menggodaku? Untuk mengatakan ucapan yang tadi saja sudah membuatku malu.

"Ya.. gitu deh. Lagian kenapa mereka bisa santai begitu sih ngelakuinnya? Aku aja ga pernah begitu."

Aku memunyunkan bibirku. Kumatikan layar ponselku karena sudah tidak mood lagi untuk menonton drama. Sementara Rendi yang berada di sampingku terus saja tersenyum sembari menatapku.

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Kamu gak penasaran?" tanya Rendi.

Aku tidak mengerti apa yang Rendi maksud. Aku memiringkan kepalaku ke samping sambil menatap Rendi dengan tatapan bingung.

"Adegan barusan, kamu gak penasaran gimana rasanya?" jelas Rendi.

"HAH?!"

Mataku terbelalak, bahkan mulutku sampai ternganga saking terkejutnya dengan apa yang Rendi katakan. Dia bertanya apa aku penasaran atau tidak dengan rasanya? Yang benar saja!

"Apaan sih kamu? Aneh-aneh aja pertanyaannya." Kupukul punggung Rendi dengan telapak tanganku.

"Aduh! Jangan keras-keras dong mukulnya! Kebiasaan nih ciwi-ciwi!" Rendi mengelus punggungnya yang terasa sakit karena pukulanku.

"Sorry-sorry, lagian pertanyaan kamu aneh banget. Tapi.. kalau boleh jujur aku penasaran sih," kataku dengan malu-malu.

"Emm.. mau nyobain gak?" tanya Rendi padaku sambil tersenyum. Lantas ucapannya itu membuatku terkejut untuk kedua kalinya.

"Hah? Nyoba? Kamu kalau ngomong yang bener dong Ren!" Kutatap Rendi dengan tajam.

"Ayolah sekali aja gapapa kan? Kamu bukannya penasaran?" Rendi semakin mempersuasi diriku.

"Tapi-"

Cup

Tanpa aba-aba, Rendi langsung saja menempelkan bibirnya pada bibirku tanpa persetujuan dariku. Aku ingin memukul bahunya, tapi tidak bisa karena Rendi langsung menangkap pergelangan tanganku dan menahannya.

Aku meronta-ronta agar bisa menjauh darinya. Tapi entah mengapa semakin lama rasanya semakin nyaman. Tanpa sadar aku mulai terbuai dan menikmatinya juga.

Karena merasa sudah tidak ada perlawanan dariku, Rendi mulai mendekap tubuhku. Posisiku yang sebelumnya tengah duduk bersila, perlahan di dorong oleh Rendi hingga punggungku bersandar pada meja kecil yang ada di belakangku.

Kami berdua saling memejamkan mata. Aku tidak tau alasan pasti, tapi entah kenapa Rendi terasa sangat handal, tidak sepertiku yang kaku karena belum pernah melakukannya sekali pun.

Aku bisa merasakan tangan Rendi yang menyentuh leherku. Sementara tangannya yang satu lagi melingkar di pinggangku. Rendi terus memagut bibirku hingga nyaris membuatku tak bisa bernafas.

Setelah beberapa menit, Rendi mulai menghentikan kegiatannya di bibirku. Aku yang masih bersandar pada meja perlahan mulai membuka mata. Jantungku berdegup dengan sangat kencang seakan aku baru saja berlari dari Monas ke Istana Negara.

Kulihat Rendi yang menatapku dengan senyuman di wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku pun baru tersadar dengan apa yang baru saja kulakukan. Aku memukul dada Rendi dengan kencang karena merasa malu.

"Kamu jahat! Kamu jahat!" kataku sembari memukul dada Rendi.

"Duh aduh! Aku jahat kenapa?" tanya Rendi yang kebingungan.

"ITU CIUMAN PERTAMAKU TAU!" teriakku pada Rendi.

Wajahku terasa hangat. Aku benar-benar malu. Aku tak bisa mengontrol perasaanku. Seperti air yang meluap dari sebuah kolam, seperti itulah perasaanku saat ini.

"Kamu udah ngerebut ciuman pertamaku!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!