Brak
Sasha menabrak kursi di meja yang sedang ia bersihkan. Beberapa orang temannya yang bekerja disana ikut kaget dengan bunyi tersebut dan menoleh pada sumber suara.
"Kenapa Sha? Kamu sakit?" tanya Chika yang kasihan melihat temannya ini yang tampak sangat lesu dan pucat dibandingkan hari biasanya.
"Aku baik-baik saja," jawab Sasha. Ia kembali mencoba menyeimbangkan tubuhnya dan tersenyum simpul pada Chika yang masih berdiri di sampingnya.
"Kalau kamu sakit, sebaiknya istirahat sebentar. Aku akan mengerjakan bagian mu," pinta Chika dengan nada khawatirnya.
Chika sangat mengenal Sasha yang sangat bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan gadis yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya ini rela untuk bekerja apapun demi menghasilkan uang.
Sasha menghela nafasnya pelan, ia sering kali menambah beban temannya. Terkadang ada perasaan tidak enak karena ia sendiri belum mampu untuk membalasnya. "Maaf, aku selalu merepotkan dirimu," ucapnya dengan raut sedih yang hanya dibalas senyum cantik di wajah Chika.
"Tidak apa, istirahat dulu. Nanti kau bisa lanjutkan pekerjaanmu." Chika tersenyum pada Sasha yang terus menatapnya dengan tatapan bersalah.
"Terima kasih," tutur Sasha sembari menggapai tangan Chika untuk mengucapkan rasa terima kasihnya.
Hari ini begitu banyak pekerjaan yang harus Sasha selesaikan. Mulai dari pagi ia harus membantu penjual ikan di pasar, siang harus bekerja sebagai pelayan di restoran, dan malam hari akan bekerja di di cafe yang sangat ramai ini.
Jatuh tempo pembayaran utang ayahnya sudah sangat dekat, sedangkan uang yang Sasha kumpulkan masih sangat sedikit belum lagi bunga dari pinjaman itu yang sudah membengkak. Jika tidak segera dilunasi, utang itu pasti akan semakin banyak.
Seharusnya diusianya saat ini, ia lebih sering belajar dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya. Namun pada kenyataannya, ia harus menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu meninggalkan mereka dengan utang yang sangat banyak. Ia bahkan rela untuk melepaskan statusnya sebagai mahasiswa teladan universitas terbaik di kota ini hanya kerena harus bekerja untuk keluarganya.
Sasha duduk di belakang cafe untuk beristirahat dan menghirup udara segar. Ia mencoba mengecek handphone yang tidak sempat ia pegang dari pagi.
Sasha langsung membuka pesan dari sang adik.
Kakak tidak lupa kan kalau minggu depan Lila dan Lily haru bayar uang sekolah. Kami harus melunasinya sebelum hari kelulusan.
Adik kembarnya itu masih sekolah, tahun ini adalah tahun kelulusan mereka dari sekolah menengah pertama. Setelah itu, Sasha juga harus mencari uang untuk pendaftaran sekolah menengah atas.
Sekolah itu penting untuk masa depan mereka, namun melunasi utang juga hal yang penting supaya hidup mereka tidak diganggu oleh mafia gila itu.
Aku harus bekerja lebih keras lagi, - batin Sasha mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Sasha beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan gontai kembali memasuki cafe. Ia membuang jauh rasa lelah yang membuatnya ingin segera pulang untuk mengistirahatkan diri.
"Maaf Chik, aku terlalu lama." Sasha menghampiri Chika yang begitu sibuk memberikan pelanggan minuman.
Chika yang melihat kedatangan Sasha hanya tersenyum mengangguk, "Ayo Semangat!"
Sasha mulai menghampiri pelanggan yang baru saja datang. Dilihat dari kedekatan mereka, sepasang sejoli ini masih seumuran dengan Sasha.
"Selamat datang. Mau pesan apa?" tanya Sasha ramah pada pasangan tersebut. ia menatap secara bergantian pelanggannya itu.
"Aku mau satu Cocktail, satu Mocktail, dan satu porsi kentang goreng," ujar si pria, sedangkan perempuan yang ada di depannya hanya mengangguk.
Sasha mencatat pesanan pelanggannya ini supaya ia tidak salah. Sebelum menuju ke pelanggan selanjutnya Sasha terlebih dahulu menuju pintu dapur untuk menyerahkan catatan pesanan pelanggan tadi.
"Astaga!" pekik Sasha saat melihat pria mabuk yang terjatuh dari kursinya.
Sasha segera berlari kesana untuk membantu sang pria. Tangannya menggapai pergelangan tangan pria yang sedikit berbadan itu untuk membantunya berdiri, namun pria itu menghempaskan tangan Saha.
"Ayo tuan, saya bantu," ucap Sasha menggapai pergelangan tangan itu. Sasha kembali membantu pria itu untuk berdiri, namun lagi Sasha di dorong kuat oleh pria itu hingga punggung Sasha terkena sudut meja pelanggan lain.
"Akkh-"Sasha pun meringis kesakitan. Namun ia tetap ia berusaha menahannya dan tetap tersenyum.
"Maaf." Sasha membungkukkan tubuhnya pada pelanggan itu karena sudah membuat mereka terganggu.
Saat Sasha membalikkan tubuhnya, pria yang jatuh tadi sudah berdiri dengan tegap walaupun masih dengan keadaan mabuk.
Plakk
Satu tamparan mendarat di pipi Sasha. Sontak beberapa orang yang ada di ruangan sana mencoba menjauhkan Sasha dari pria itu.
"Hei perempuan murahan! Jangan mencoba menyentuhku! Enyah kau dari sini!" ujar si pria sembari menunjuk ke arah Sasha. Pengaruh alkohol membuatnya mabuk dan membual.
Sasha menjauhkan dirinya dan berjalan pelan menuju belakang cafe sembari memegang pipinya. Pipinya begitu nyeri dan sudut bibirnya luka. Rasa pusing yang tadi belum hilang ditambah lagi dengan tamparan sang pria membuat kepalanya ikut berdenyut.
"Sha, kamu tidak apa?" Tanya Chika yang panik melihat kejadian tadi.
"Hanya nyeri sedikit saja." Sasha menghapus darah di sudut bibirnya. Ia tersenyum tipis pada Chika mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.
"Ayo masuk, nanti bos marah" Sasha mengajak Chika masuk kembali ke dalam cafe. Mereka kembali melanjutkan pekerjaan di cafe, walaupun sesekali Sasha meringis kesakitan.
...***...
Jam sudah menunjukkan jam dua belas malam. Sasha sampai di rumah dengan selamat. Namun belum sempat ia masuk ke dalam rumah ia ingat akan obat yang harus ia beli untuk sang ibu.
"Kenapa aku bisa melupakannya," ucap Sasha bermonolog sambil menepuk jidatnya .
Sasha berbaik arah menuju apotek yang ada di persimpangan rumahnya. Jaraknya cukup jauh dan Sasha tetap harus jalan kesana.
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit. Sasha sampai di apotek tempat biasa ia membeli obat.
"Seperti biasa kak," ujar Sasha tersenyum pada perempuan yang tidak asing baginya itu.
Bahkan karena terlalu sering membeli obat, penjaga apotek pun sudah hafal dengan obat yang Sasha perlukan.
Hanya perlu menunggu beberapa menit, perempuan itu memberikan obat itu pada Sasha. " Semoga ibumu lekas sembuh," ujarnya sembari tersenyum.
"Terima kasih," balas Sasha menerima obat yang diberikan padanya.
Setelah membayarnya, Sasha mempercepat langkahnya untuk pulang. Ia tidak ingin membuat sang ibu menunggu terlalu lama dan membuat wanita itu khawatir padanya.
"Hei!" Seorang pria memanggil Sasha. Sasha yang tidak merasa terpanggil pun hanya berlalu melewatinya.
"Sasha Jessica Tom, aku memanggilmu." Pria yang menyenderkan tubuhnya pada pintu mobil itu tersenyum puas saat melihat gadis yang ia panggil menghentikan langkahnya.
" Apa yang kau inginkan?" tanya Sasha tanpa menoleh ataupun membalikkan tubuhnya. Sungguh ia sangat takut apalagi hari sudah sangat larut. Ia sangat takut bertemu dengan orang jahat.
"Aku datang untuk memberikan tawaran untukmu," ucapnya dengan nada sombong.
Pria bernama Zico itu adalah asisten dari seorang presdir pemilik gedung tertinggi di kota ini. Kedatangannya menemui Sasha ingin memberikan kemudahan untuk gadis itu.
"Aku tidak butuh penawaran darimu." Sasha yang merasa percakapan mereka telah berakhir pun melangkahkan kakinya untuk segera pulang.
Namun Zico mencoba menghentikan Sasha dengan kalimatnya, "Utang keluargamu dengan mafia besar itu sebentar lagi jatuh tempo. Apakah kau tidak takut jika kau dan adik-adikmu itu akan dijual dan dijadikan budak? Lalu siapa yang akan merawat ibu mu yang sakit-sakitan itu?"
Sasha menundukkan kepalanya. Perkataan lelaki itu ada benarnya. Utangnya harus dilunasi, jika tidak, bahkan ia sendiri tidak tahu apa yang akan mereka perbuat dengan keluarganya.
Sasha membalikkan tubuhnya. "Jadi apa yang kau inginkan?" tanya Sasha pada pria yang wajahnya tidak jelas karena gelapnya malam.
Zico merasa puas, sebentar lagi ia akan mendapatkan bonus yang begitu besar dari tuannya. Ia berjalan pelan ke arah Sasha dan mendekatkan wajahnya pada telinga Sasha, "Menjadi selir untuk tuanku. Kau tidak perlu khawatir dengan bayaran yang akan kau dapatkan. Dalam beberapa waktu saja, kau bisa langsung melunasi utang mu itu."
Sasha sangat shock dengan apa yang pria itu ucapkan. Apakah dia sedang mencoba membeli dirinya.
"Kau gila! Kau sedang mencoba menipuku?!" Sasha menolehkan kepalanya pada Zico. Wajah mereka sangat dekat sehingga mata tajam Sasha bisa menusuk manik Zico.
"Aku akan menunggu keputusan darimu. Simpan kartu namaku ini." Zico menggenggam tangan Sasha dan meninggalkan kartu namanya pada Sasha. Ia yakin Sasha tidak akan menolak tawarannya ini.
"Pikirkan baik-baik." Zico membalikkan tubuhnya meninggalkan Sasha dengan wajah marahnya. Terlihat jelas bahwa gadis itu sedang menahan amarahnya.
"Hei berhenti! Kau pikir aku seorang jalang?" Teriakan Sasha tidak dihiraukan oleh Zico. Ia memasuki mobilnya dan melajukan mobilnya pergi dari tempat itu.
Sasha kembali ke rutinitasnya sebagai perempuan yang super sibuk mencari uang untuk kebutuhan keluarganya. Seringkali ia terpikir akan ucapan lelaki yang menemuinya beberapa malam yang lalu. Namun ia membuang jauh pikiran tersebut dan berharap masih ada jalan lain.
"Jangan diam saja. Selesaikan pekerjaanmu!" Suara kepala pelayan membuat lamunan Sasha buyar. Siang ini Sasha bekerja di restoran. Selama bekerja, pikirannya melayang kemana-mana.
"Maaf," jawab Sasha sembari menundukkan wajahnya.
Restoran ini banyak pengunjung, apalagi berada di kawasan perkantoran. Gaji yang dihasilkan setiap jam pun cukup banyak.
Sasha segera menyelesaikan tugasnya membersihkan meja. Jam makan siang semakin dekat dan restoran ini akan sangat sibuk.
"Sha, tolong bawakan beberapa pesanan untuk perusahaan di depan sana. Aku sangat sibuk di dapur. Kamu bisa bantu kan?" ujar Hana menghampiri Sasha.
Melihat rekannya itu tampak sangat terburu-buru membuat Sasha langsung menganggukan kepalanya, "Oke, sini aku bantu."
"Makasih Sha." Hana memberikan beberapa bungkus plastik yang dipesan oleh karyawan yang ada di perusahaan seberang sana. Karena takut kehabisan meja, mereka lebih memilih untuk makan di gedung perkantoran.
Sasha keluar dari restoran luas itu. Panas begitu terik membuat Sasha menyipitkan matanya. Sasha harus berdiri di bawah teriknya matahari untuk menunggu lampu merah untuk menyeberang.
Saat lampu merah menyala, Sasha segera menyeberangi jalan. Ia mempercepat langkahnya agar bisa segera di tempat tujuan.
Sasha sampai di lobi dan beberapa orang karyawan sudah menunggunya. Mereka mengambil pesanan mereka dan membayar langsung pada Sasha.
"Tersisa satu, apa ini bukan punya kalian?" Mereka saling berpandangan dan memastikan bukan punya mereka yang ada di genggaman Sasha.
"Itu bukan punya teman kami." Salah seorang perempuan karyawan disana menjawab.
"Disini ditulis A50. Apakah kalian tahu siapa pemiliknya?" Pertanyaan Sasha langsung membuat beberapa orang karyawan di depannya ini membulatkan mata mereka. Mereka saling bertatapan sedikit shock.
"Kau bisa mengantarkan ke lantai lima puluh. Mungkin itu punya presiden," jawab si karyawan dengan senyum simpul di wajahnya.
Saha merasa kebingungan. Bagaimana mungkin ia berkeliaran di perusahaan milik orang lain. Ditambah lagi ia tidak pernah sekalipun masuk ke gedung perkantoran ini.
"Ya sudah kami pergi dulu." Mereka segera meninggalkan Sasha.
Sasha memperhatikan sekitarnya, melihat kanan dan kiri mencoba mencari seseorang yang bisa membantunya. Sepertinya tidak ada orang yang bisa ia minta bantuan disini karena para karyawan itu juga sedang makan siang.
Sasha menuju lift kantor menuju lantai lima puluh seperti kata perempuan tadi. Semoga saja ia tidak tersesat di perusahaan yang ini.
Membutuhkan waktu beberapa menit, Sasha sampai di lantai lima puluh, tidak ada orang seperti lantai-lantai yang ia lihat sebelumnya. Hanya lorong panjang dan tidak ada orang satupun disini.
Sasha mengikuti lorong itu, yang ia lewati hanya ruangan meeting yang tampak tersusun rapi. Saat Sasha harus berbelok ke kiri, akhirnya ia melengkungkan senyum di wajahnya. Terdapat perempuan di ujung lorong sana.
"Permisi, apa kamu memesan makanan dari restoran kami?" tanya Sasha malu-malu.
Keberadaan Sasha cukup membuat perempuan itu sedikit kaget. "Ahh iya, aku melupakannya. Terima kasih sudah mengantarkannya. Maaf merepotkan mu," ucap si perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris itu dengan wajah bersalahnya.
"Ini uangnya. Sekali terima kasih," ucap Zia, si perempuan berpostur tubuh ideal itu. Ia tersenyum ramah pada Sasha.
"Terima kasih kembali. Semoga kau menyukainya." ucap Sasha sembari menundukkan tubuhnya.
Sasha pun pergi dari tempat itu menuju restoran. Ia tidak mau terkena masalah jika berlama-lama di tempat ini.
Tanpa Sasha sadari, Zico melihat Sasha saat ia keluar dari ruangan sang presdir. Zico menyunggingkan smirk di wajah tampannya.
...***...
Setiap harinya Sasha harus melewati jalan yang sama. Pergi saat buta dan pulang saat semua orang sudah terlelap. Ia ingin segera pulang ke rumah. Tidak lupa beberapa makanan yang ia beli di mini market untuk adik-adiknya di rumah.
Otaknya kembali berputar layaknya kaset rusak pada kejadian beberapa malam yang lalu. Saat seseorang menawarkan sebuah pekerjaan. Tidak. Ini bukan pekerjaan, tapi menjual diri pada orang kaya yang mungkin bisa membantu hidup Sasha.
"Apakah aku harus memikirkannya lagi? Sedikit berkorban demi hidup keluargaku." Sasha bermonolog pada dirinya sendiri. Mencoba mencari jawaban atas apa yang mungkin terus berputar di otaknya.
Sasha berjalan gontai sembari sibuk dengan pikirannya sendiri. Menghirup udara segar saat malam hari untuk melepas letih bekerja hari ini.
"Aku pulang." ucap Sasha saat membuka pintu rumah yang belum terkunci. Mereka sengaja tidak menguncinya agar Sasha bisa masuk dengan mudah saat pulang nanti. Menurut Sasha sangat mustahil ada maling yang masuk ke rumah mereka. Tidak ada benda berharga yang akan mereka temui di rumah kecil ini.
"Kakak sudah pulang? Apa Kak Sasha beli makanan yang kami mau?" ucap Lily dengan semangat. Ia sangat ingin memakan snack yang banyak di makan oleh teman-teman mereka di sekolah.
Sasha mengangguk dan tersenyum pada kedua adiknya itu, "Ini kakak beli di minimarket di depan."
Sasha memberikan kantong plastik yang ada di genggamannya. Adik kembarnya itu sangat senang. Walaupun harus merelakan sedikit uang untuk membayar utang. Sasha tetap senang bisa melihat kedua adiknya itu bisa tersenyum.
"Ibu sudah tidur?" Tanya Sasha pada adik kembarnya.
"Ibu sudah tidur. Ibu batuk berdarah, kami sudah memberinya obat dan menyuruhnya untuk segera tidur. Aku rasa sakit ibu semakin parah, dan aku sangat khawatir," jelas Lila dengan wajah sedihnya.
"Ya sudah. Setelah makan kalian tidur. Ini sudah sangat larut," seru Sasha pada Lila dan Lily dan mereka pun mengangguk.
Sasha melangkahkan kakinya menuju kamar sang ibu. Dimana wanita yang sudah cukup berumur itu terlihat semakin kurus. Sejak perginya sosok ayah dalam hidup mereka satu tahun yang lalu, Sasha harus merelakan semuanya untuk menghidupi keluarganya.
Sasha keluar dengan pelan dan menutup pintu kamar sang ibu. Ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian Sasha mengambil alas tidur dan tidur di ruang tengah.
Rumah sederhana ini hanya memiliki dua kamar. Terkadang Sasha lebih memilih untuk tidur di ruang tengah agar tidak mengganggu sang ibu yang sudah terlelap.
Ia menatap langit-langit ruangan. Air matanya menetes. Sangat sedih hidup seperti ini, saat melihat orang-orang yang ia sayangi hidup dengan kondisi seperti ini.
Kebiasaan buruk judi sang ayah yang tidak pernah hilang membuat mereka harus kehilangan satu per satu harta benda yang dulu mereka miliki.
Mata Sasha beralih pada kalender yang ada di ruangan itu. Hari demi hari pun berlalu, Sasha harus membayar angsuran untuk bulan ini. Tapi karena kebutuhan untuk adiknya sedang banyak, Sasha hanya mengumpulkan sedikit uang.
Lama berpikir, akhirnya Sasha membuat keputusan. Cukup dirinya saja yang berkorban. Ia akan menerima segala resiko yang mungkin harus ia tanggung nanti.
"Aku harus melakukannya. Aku akan sedikit berkorban, dengan begitu ibu, Lila, dan Lily bisa hidup aman disini." Sasha tersenyum simpul. Berusaha menguatkan hatinya walaupun sangat berat rasanya.
Sasha merogoh sakunya mengambil kartu nama yang beberapa hari belakangan mengganggu pikirannya. Ia memutuskan menerima tawaran dari Zico dan berharap ini adalah jalan terbaik.
"Hallo. Aku Sasha. Maaf mengganggu tidur mu, aku hanya ingin mengatakan...." Belum sepat Sasha menyelesaikan ucapannya. Orang diseberang sana sudah bisa menyimpulkan apa yang akan Sasha katakan.
"Sudah ku duga. Aku akan menemui mu di tempat terakhir kita bertemu besok malam. Aku akan menyampaikan beberapa hal penting tentang pekerjaan mu," ucap Zico dan menutup telepon.
Setelah keputusan yang ia buat, Sasha merasa sedikit lega. Ia tidak memandang hal buruk apa yang akan ia lakukan. Namun ia berpikiran dengan begini ia akan segera melunasi utang keluarganya dan setelah itu ia bisa memberikan kehidupan yang nyaman untuk ibu dan adik-adiknya.
Walaupun masih dengan keraguan yang ada di hatinya, tapi otaknya terus memaksa diri memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah menyelesaikan shift siang di restoran, malam ini Sasha lanjut bekerja di cafe untuk shift malam. Ia baru saja selesai mengganti baju kerjanya dan bersiap untuk memulai pekerjaan.
"Sha, bisa temankan aku ke toko kue sebentar? masih ada tiga puluh menit lagi sebelum waktu pergantian shift," ujar Chika yang menghampiri Sasha.
"Oke Chik, sebentar aku rapikan dulu pakaianku," jawab Sasha yang masih sibuk bercermin memastikan bahwa ia sudah rapi.
"Ayo! Keburu waktunya habis." Sasha menarik tangan Chika untuk segera ke toko kue.
Mereka keluar dari cafe sambil bergandengan tangan. Sasha dan Chika sudah berteman sejak mereka mulai bekerja di cafe ini. Sama-sama menjadi karyawan baru di hari itu membuat mereka saling memberi semangat satu sama lain.
Jarak toko kue dari tempat mereka bekerja tidak terlalu jauh, masih berada di deretan yang sama dan terpisah beberapa toko saja. Sehingga tidak memerlukan waktu yang lama.
Sasha hanya menunggu di luar, sekaligus menikmati pemandangan kota yang sangat sibuk ini.
"Sudah?" tanya Sasha saat melihat Chika yang keluar dari toko itu. Wajah gadis itu terlihat sangat bahagia.
"Sudah Sha," jawaban Chika membuat Sasha melontarkan senyum di wajahnya. Mereka segera berjalan menuju cafe karena mereka harus segera mulai bekerja.
"Bisa pegang sebentar Sha, tali sepatuku lepas." Sasha mengambil kue yang ada di pegangan Chika. Sasha jalan pelan sembari menengok ke arah Chika.
Brukk
Tanpa sengaja Sasha menabrak punggung seseorang yang ada di depannya. Jantung Sasha berdetak sangat kencang, bukan karena rasa bersalah dengan si pria, namun kue yang ia pegang sedikit penyok di bagian sudutnya.
"Astaga Sasha!" Pekik Chika yang langsung menghampirinya. Wajah Chika tampak memerah menahan marah hendak memaki Sasha.
"Maaf, aku tidak sengaja. Maaf," ucap Sasha panik. Ia merasa sangat bersalah pada Chika.
"Sudahlah!" Chika pergi dengan marah yang ia tahan. Padahal ini adalah kue yang sangat diinginkan ibunya dan ia baru sempat membelikannya sekarang, namun Sasha mengacaukan semuanya.
"Chika tunggu!" teriak Sasha. Belum sempat ia berlari mengejar Chika, tangannya di cekal oleh pria yang barusan ia tabrak.
"Apakah kau tidak ingin meminta maaf padaku nona?" Mata tajam itu menusuk ke dalam manik Sasha. Wajah datar dan nada suara yang sangat dingin berhasil membuat Sasha merasa terintimidasi, belum lagi tangan pria itu memegangnya sangat kuat.
"Maaf tuan." Sasha membungkuk pada pria itu dan segera pergi dari tempat itu.
Pria berwajah tampan dan bertubuh atletis itu hanya menatap Sasha dengan tatapan tajam hingga punggung mungil itu hilang di kerumunan orang yang berlalu lalang.
...***...
Saat bekerja, Chika hanya bersikap acuh tak acuh pada Sasha. Ia diam tanpa mau diajak bicara oleh Sasha. Bahkan Chika terlihat sangat menghindarinya.
"Chik, aku minta maaf." Sasha memegang pergelangan tangan Chika saat mereka hendak keluar dari ruang ganti.
Waktunya untuk pulang tapi Chika tak kunjung mau diajak bicara. Rasa bersalah semakin besar di hati Sasha. Chika pasti sangat marah padanya.
"Sudahlah Sha. Aku mau segera pulang." Chika melepas tangan Sasha yang memegang pergelangan tangannya. Ia tidak ingin marahnya terlepas pada Sasha dan melukai temannya itu.
"Chika!" panggilan Sasha tidak dihiraukan oleh Chika. Gadis itu hanya berjalan lurus ingin segera pulang. Ingin rasanya Sasha menangis saat ini juga. Satu-satunya teman kerja disini marah padanya. Rasanya begitu menyakitkan saat gadis itu mengacuhkannya.
Akhirnya Sasha membalikkan tubuhnya menuju jalan pulang. Rumah mereka berlawanan arah sehingga tidak mungkin berjalan berbarengan untuk pulang.
Sasha masih ingat akan janji bertemu dengan pria yang tidak ia kenal itu. Tepatnya malam ini mereka akan berbicara untuk membicarakan hal penting.
Sasha sampai di persimpangan rumahnya. Tepatnya di dekat apotek persimpangan itu. Sasha tidak melihat mobil yang ia lihat beberapa hari yang lalu itu.
Lama Sasha berdiri sendirian di kegelapan itu, akhirnya mobil yang ditunggu pun datang menghampirinya. Tidak. Lebih tepatnya Sasha yang menghampiri mobil itu saat mobil itu sudah berhenti.
"Masuklah!" Seru Zico pada Sasha.
Sasha sedikit ragu untuk masuk ke dalam mobil, namun Sasha memberanikan diri untuk masuk ke dalam mobil.
Baru saja masuk dalam mobil, Sasha langsung diberikan beberapa lembar kertas untuk dibaca. Sasha memegang kertas itu dan tidak ada yang memberatkan dirinya. Namun larangan-larangan yang ada di bagain bawah sedikit membuat Sasha mengerutkan keningnya.
"Aku akan memastikan aku tidak akan hamil. Tapi apa maksud bahwa aku tidak boleh menyukainya? Aku sangat yakin tidak akan menyukainya," ucap Sasha percaya diri. Ia bisa memastikan perasaannya tidak akan ia berikan pada lelaki yang hanya menjadikannya budak.
"Kau yakin? Dari beberapa wanita yang sudah bekerja dengan tuanku. Tidak ada yang bisa menyangkal perasaan mereka. Ingat! Kalian hanya orang yang dibayar dan tidak akan diperlakukan dengan hati. Jadi buang jauh-jauh pikiran bahwa tuanku akan memberikan hatinya untukmu" Jelas Zico.
Sasha hanya mengangguk pelan dan kembali membaca lembaran itu. Setelah rasa cukup untuk meyakinkan dirinya Sasha pun menandatangani kontrak kerja.
"Bagus." Zico tersenyum puas mendapati tanda tangan Sasha di kertas itu. Uang memang bisa membeli segalanya di dunia ini.
"Ini uang untukmu. Sebaiknya kau sedikit memperbaiki penampilanmu dan rambut panjang mu itu sebaiknya kau potong saja. Uang itu juga sebagai uang ganti kue temanmu yang rusak" Senyum miring memang tidak pernah hilang di wajah tampannya.
Sasha sedikit shock mendengar kata kue keluar dari mulut pria itu. Bagaiman bisa pria ini mengetahui hal tersebut. Padahal ia sangat yakin orang yang ia tabrak tadi bukanlah Zico.
Sasha memperhatikan wajah Zico, memastikan bahwa pria yang ia tabrak tadi bukanlah Zico.
"Oh ya, perkenalkan namaku Zico. Kau bisa bekerja setiap weekend. Aku akan menjemput mu di restoran tempat kau bekerja di hari Sabtu dan kau bisa kembali pulang malam hari Minggu," jelas Zico lagi tentang pekerjaan yang akan diemban Sasha.
"Besok hari Rabu, kau harus check up kesehatanmu. Aku tidak mau tuanku tertular penyakit darimu." Lagi dan lagi Sasha hanya mengangguk. Sepertinya bekerja dengan orang kaya semuanya harus sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sasha menundukkan kepalanya dalam. Ia harap ia tidak akan menyesal seumur hidupnya bekerja seperti ini.
"Baiklah, aku pergi sekarang," ucap Sasha sembari memasuki uang yang diberikan Zico padanya ke dalam tas kecilnya. Sasha membuka pintu mobil dan keluar dari mobil itu.
Zico pun melajukan mobilnya saat Sasha sudah keluar. Tugasnya sudah selesai menemukan perempuan miskin yang siap memberikan apapun yang mereka punya pada orang yang memiliki banyak uang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!