NovelToon NovelToon

Side To Side

ACT 1

SIDE TO SIDE

ACT 1

VIANIE RAHARDJO

2005

Aku menatap lekat seorang cowok yang duduk di barisan paling depan. Wajahnya tampan, kulitnya putih, rambutnya coklat kemerahan dan ditata dengan rapi. Tangannya terlihat memegang teks naskah yang baru saja aku foto copy.

Namanya Andre, si tampan bermata biru. Blesteran Indo-Ausi, papanya pemilik mall dan toserba terbesar di kota ini, mamanya seorang pelukis berkebangsaan Australia.

Aku diam-diam suka padanya, bukan karena dia tampan saja, tapi karna dia sempurna di segala bidang. Selalu peringkat 1 dipelajaran, masuk tim basket sekolah, bahkan jago dan pernah jadi juara piano tingkat nasional. Cowok idaman semua cewek di sekolahan.

Sayangnya satu.

Dia sudah punya pacar.

Yaiyalah ... cowok ganteng, pinter, dan tajir gitu, kalau nggak punya pacara malahan anehkan.

Nama ceweknya Sinta, cantik, body jangan ditanya lagi. Bibirnya tipis, hidung mancung, rambutnya panjang bergelombang. Mirip dengan boneka barbie yang sering kukoleksi waktu SD dulu.

Banyak anak cewek yang kecewa saat tau Andre punya pacar, tapi akhirnya mereka move on karena tau Sinta yang jadi pacarnya, intinya mereka menyerah sebelum bertanding. Sinta juga salah satu anak kolongmerat di kota S, nggak heran dari segi fashion dan kecantikan dia nomor 1.

Oke, well, back to me!

Namaku Vianie, kelas XI-S3, gadis biasa, paras biasa saja, tapi aku punya senyuman yang manis hlo, karena ada lesung pipi di kedua pipiku. Mata hitamku berbinar, banyak orang sering memujiku karena hal ini.

Saat kecil mereka bilang biji mataku seperti kelereng yang cantik, aku pasti tumbuh menjadi anak yang pintar. But nope, mereka bohong, mataku tetap cantik sih, hanya saja aku nggak pintar. Aku lebih sering remidi dari pada lulus pada saat ulangan, payah dalam olah raga, nggak ada bakat sama sekali dalam bidang apa pun.

Sedihnya mengakui kejelekan sendiri, huft ... sad but true, that’s why aku nggak pernah berani mengejar Andre dan cukup hanya mencintainya diam-diam. Mana mungkin orang se- perfect dia suka dengan orang yang seperti aku, bagaikan bumi dan langit.

Hari ini kami sedang berkumpul untuk rapat club drama. Club drama akan mementaskan drama Romeo & Juliet saat pensi sekolah tahun ini. Sudah bisa dipastikan Andre jadi Romeo dan Sinta jadi Julietnya. Sebenernya nih, Andre bukan anggota club drama, tapi karena mungkin tidak ingin Sinta berpasangan mesra dengan cowok lain Andre mengajukan diri ikutan club. Yah, tidak ada yang berani menolaknya, karena dengan adanya Andre club drama pasti banjir penonton.

Aku masih menatap wajah tampan Andre saat tiba-tiba dia menoleh. Mata kami bertemu, aku tertegun sesaat. OMG dia betul betul tampan, jantungku berdetak lebih keras dan cepat dari biasanya. Ada sensasi geli diperutku seakan-akan tersengat listrik bertegangan rendah, pasti wajahku memerah. Aku sungguh bahagia hanya dengan bertemu pandang saja.

Benarkah aku gila menyukai pacar orang?

ANDRE HARTONO

2005

Hari ini Sinta mengajakku untuk masuk ke club drama, dia sangat menyukai drama. Sebenarnya alasan aku mau mencoba masuk, karena ada seorang cewek yang sudah ku taksir dari dulu. Aku bertemu dengannya saat penerimaan siswa baru.

Saat itu aku menjadi petugas dokumentasi acara MOS. Dia bukan orang yang secantik Sinta pacarku, tapi bagiku dia yang tercantik. Senyumannya manis sekali. Wajahnya selalu berseri-seri, saat berlari, saat makan, saat ngbrol bersama temannya, bahkan saat kakak-kakak OSIS menghukumnya.

Aku senang mengabadikan fotonya, banyak foto-foto yang sengaja ku ambil saat dia tersenyum. Tanpa sadar aku selalu ingin melihat senyum manisnya lagi.

Rasanya aku mulai jatuh cinta dengannya.

Benarkah aku gila menyukai orang yang bukan pacarku?

— SIDE TO SIDE —

Thxque for reading readers

Prolog pake POV Via dan Andre

Episode selanjutnya pake sudut pandang penulis ya ^^

Tinggalin like dan commentnya

Jangan lupa VOTE!!

Yang banyak ❤️❤️

ACT 2

SIDE TO SIDE

ACT 2

Beberapa bulan kemudian ...

Pagi ini udara terasa dingin, membuat Via betah tinggal di dalam selimut tebalnya.

“Via bangun! Sarapan, nanti terlambat.” Riska berteriak memanggil putrinya sembari sibuk membereskan peralatan masak di dapur.

Rumah Vianie memang tidak besar, namun tertata dengan rapi. Mamanya suka sekali dengan kebersihan, beda dengan Via yang sedikit jorok. Karena anak tunggal Via hanya tinggal berdua dengan mamanya Riska Rahardjo. Papanya sudah meninggal saat Via masih kecil.

Via membuka matanya pelan-pelan, tanggannya sibuk meraba-raba nakas di sebelah kasur, mencari keberadaan jam.

“Hah!!! Setengah 7!!!” seru Via, matanya terbelalak seketika. Secepat kilat Via mencari handuk dan masuk ke kamar mandi.

“Mama liat kaos kaki Via, nggak?” teriak Via.

“Di laci bawah lemari!” teriak mamanya nggak kalah kenceng.

Via berlari menuruni tangga menuju ke dapur, mencomot roti dari piring dan menjejalkannya ke dalam mulut. Riska hanya mengngerunyitkan alis melihat kelakuan anak gadisnya.

“Pelan-pelan, nanti tersedak!” Perintah Riska.

“Hahus hepat-hepat ntal tehambay, (Harus cepet-cepat ntar terlambat)” jawab Via dengan mulut penuh makanan.

“Bukannya kamu masuk jam 07.30, masih ada setengah jam lagi kan?” tanya Riska heran.

“Tiap pagi mesti apel pagi, Ma.” Via menyahut tangan Riska, menciumnya dan berlari keluar.

“Apel pagi? Kaya pegawai negeri aja.” Riska bergumam.

Sebenarnya apel pagi yang dimaksud sama Via itu, berdiri pada spot favorit di lantai 2 tepat di depan kelas nya. Dari tempat ini, Via biasa melihat Andre datang ke sekolah setiap pagi, Via cuci mata sambil diam-diam mengagumi Andre.

Yes, belum telat. Pikir Via saat melihat Andre masuk dari arah gerbang sekolah.

“Hari ini juga dia ganteng banget, ya, Tuhan!” Via menggigit bibir bagian bawahnya gemas.

“Cuma melihatnya berjalan saja bisa bikin aku sebahagia ini.” Senyuman mengembang pada bibirnya yang tipis, memunculkan lesung pipinya yang manis.

“Hayo ...! Ngapain senyum-senyum sendiri?” Suara Sandra mengagetkan Via.

“RAHASIA,” jawab Via.

“Wah, ini anak sekarang berani main rahasia-rahasiaan, ya! Liat aja, aku nggak bakalan minjemin kamu PR matematika hari ini." ancam Sandra, rambut gaya bobnya ikutan bergoyang saat mendongakkan kepala.

“Jangan, kumohon Ibu periiii ...!” Via memohon kepada sahabatnya itu.

“Oke, kasih tahu dulu.”

"Aku tadi lihat Pak Joko kepeleset di tangga.” Via berbohong, nggak mungkinkan ngaku sama Sandra kalau dia diam-diam menyukai pacar orang. Yah, walaupun Sandra adalah sahabatnya, tapi Sandra itu adalah fans berat Shinta. Bagi Sandra, Sinta itu goal dia. So, Via takut Sandra bakalan marah kalau tahu dia suka sama Andre.

“Eh, liat, deh, Vi! Kak Andre lagi jalan sama Kak Sinta. Couple goal banget, ya? Yang satu cowok paling keren dan yang satunya cewek paling populer di sekolah.” Sandra menunjuk ke arah lorong kelas XII-A2.

“Iya,” jawab Via sambil tersenyum kecut.

“Ayuk masuk kelas, aku mau pinjem PR, San!” Via nggak mau berlama-lama, takut nggak kuat menahan rasa sakitnya.

“Oke.” Sandra merangkul Via.

— SIDE TO SIDE —

Nggak terasa jam pelajaran telah usai, bell tanda pulang dibunyikan. Via cepat-cepat membereskan bukunya.

“Keburu-buru amat, Neng Gelis?” Glen datang, lengkap dengan berbagai macam snack di tangannya.

“Glen, kamu bolos lagi pas jam terakhir?!” Sandra memukul lengan Glen dengan penggaris.

“Sakit tahu.” Glen mengelus elus lengannya, "dasar cewek bar-bar." Lanjut Glen lagi.

“Heran, deh, punya 2 sahabat aja, yang satu tukang contek, yang satu tukang bolos,” ucap Sandra.

“Kok aku ikutan kena?” sahut Via.

"Ember."

“Sudah, ah, aku lagi buru-buru, nih! Cabut dulu ya, Gaes!" - pamit Via - "Glen, kamu anterin Sandra pulang gih.” Via berlari kecil meninggalkan teman-temannya.

“Mau ke mana sih tuh anak?” tanya Glen.

“Tahu, ah! Ayo pulang!” Sandra mengangkat bahunya tanda tak tahu.

Sandra suka sama Glen, tapi karena alasan persahabatan juga Sandra diam saja. Karena Via tahu perasaan Sandra maka dia sering memberikan kesempatan pada mereka untuk berdua diam-diam.

“Jangan bilang sudah mulai.” Via berlari kecil ke arah lapangan olah raga.

Di lapangan klub basket sedang sparing, latihan untuk kompetisi antar SMA tahun ini. Klub basket SMA nya cukup terkenal, mereka juara provinsi 2x berturut-turut. Alasan Via selalu menonton latihan mereka nggak lain karena Andre adalah kapten tim basket. Via membuka buku komik, pura-pura membacanya saat duduk di bangku penonton. Kamuflase supaya nggak ada yang curiga kalau dia lagi diam-diam menonton Andre latihan

“Haduh cakepnya.” Via sudah hampir pingsan saat melihat Andre berkeringat.

Andre mendribel bola dan dengan cepat menerobos lawannya, mengayunkan lengannya lalu mencetak skor. Andre berhigh five dengan teman 1 teamnya yang lain. Pertandingan ronde pertama selesai, pemain diizinkan beristirahat.

Shinta membawakan minuman dan handuk untuk Andre. Andre menerimanya, meneguk-nya sampai tinggal sedikit, menyiramkan sisa air pada wajahnya yang berkeringat. Andre melepaskan bajunya yang basah oleh air dan keringat, menggantinya dengan baju yang baru. Tampak otot-otot perutnya yang kencang, membuat mata Via nggak berkedip sama sekali.

Roti sobek. Batin Via dalam hati.

Blusss ...

Via menyembunyikan wajahnya yang merah di balik buku komik.

Pengen pegang, ya, Tuhan. Pikir Via gemas. Wajahnya sudah semerah buah cerry.

Dari lapangan Andre baru sadar kalau Via hadir untuk menonton-nya. Senyum ter kembang di wajah Andre lalu berlari kembali masuk ke dalam lapangan.

— SIDE TO SIDE —

Matahari mulai tenggelam, berwarna jingga yang menawan. Via merasa puas menyaksikan latihan tim basket hari ini.

“Sudah hampir jam 3 sore.” Via melihat ke arah jam di tangannya.

“Hmm ... perpustakaan sudah hampir tutup. Apa aku bergegas ya?” Via kemudian berlari kecil menuju perpustakaan di lantai 2.

Via berencana meminjam buku novel Romeo dan Juliet di perpustakaan, dia harus mengerjakan design kostum para pemain drama. So, Via mencoba menemukan inspirasi lewat buku novel aslinya.

“Untung belum tutup.” Via mengambil sebuah novel dan membawanya ke konter peminjaman.

“Tahun ini Romeo & Juliet?” tanya Meggy, anak kelas XI-A2 yang hari ini ke jatah piket di perpus.

“Iya, Megg,” jawab Via.

“Katanya Kak Andre ikutan main drama, ya? Pasangan sama kak Shinta, ya? pasti cucok meong banget donk. Cogan nomor 1 dan cewek paling kece. Cocok banget nggak sih mereka?” Meggy memuji hubungan Andre dan Sinta.

“I-iya.”

“Oke, sudah ku catat. Batas pengembalian 1 minggu, terlambat denda 1000/hari.” Maggy menjelaskan peraturan perpus.

“Trims, Megg. Bye!” Via keluar dari ruangan perpus.

Kenapa sih, semua selalu bilang kalau Kak Andre dan Shinta itu serasi? Via berjalan sambil melamun, dia nggak sadar kalau sudah sampai di ujung tangga.

“Aduh!” pekik Via. Kaki Via hilang keseimbangan dan terjatuh dari tangga.

Beruntung sepasang tangan yang kuat cepat-cepat menangkapnya. Tas dan buku Via jatuh berhamburan, tangannya refleks mencengkeram erat pundak penolongnya. Wajah Via meringis kesakitan karena terbentur dada bidang di depannya.

“Kamu nggak apa-apa kan?” tanya cowok ini dengan nada khawatir. Via mengangkat kepalanya, ingin mengetahui siapa pemilik suara lembut yang telah menolongnya.

“Ah ... K-kak Andre.” Via terbata-bata, ternyata cowok yang menyelamatkannya adalah Andre.

Aduh bagaimana ini? Malu banget. Via menggigit bibirnya, rasa canggung dan malu menyelimuti dirinya, membuatnya kaku dan tak mampu berkata-kata.

"Kamu nggak apa-apa?” Andre mengulangi pertanyaannya, tangannya melepas cengkeraman Via dan membantunya duduk.

“Coba aku lihat kakinya.” Andre berjongkok, melihat kaki Via yang sedikit memerah.

"IIIhhhss ...." Via mendesaah kesakitan.

“Sakit banget? Kelihatannya ter-kilir.” Andre kembali bertanya.

Via hanya diam mematung, tiba-tiba tangannya mencubit pipinya. Auw ... sakit kok berarti ini beneran bukan mimpi.

Andre tersenyum melihat Via salah tingkah. Imut banget. Pikir Andre dalam hati.

“A-anu ... e ... itu ... ke-kelihatnya nggak papa, kok.” Via terbata-bata, masih menata hati. Saat ini mulut, bibir, lidah, hati, dan pikirannya nggak singkron. Loadingnya lama ... padahal biasanya udah lama, kali ini lebih lama.

“Coba berdiri!” Pinta Andre.

Via mencoba berdiri, tapi ternyata kakinya memang terkilir.

“Adududuh.” Via meringis kesakitan.

“Kelihatanya beneran terkilir, aku antarin ke UKS atau RS, ya?” tanya Andre.

Ya, Tuhan, bagaimana ini? Jantungku rasanya mau meledak. Aku belum pernah berada se dekat ini sama Kak Andre. Ya, ampun, wajahku kucel nggak, ya? Mana sudah sore lagi, badanku bau nggak, ya? Duh, tadi aku pake deodoran nggak, sih? Via malah memikirkan hal-hal yang nggak penting. padahal Andre masih menunggu jawaban Via.

“Gimana?”

“Ah, itu, ngg-nggak perlu, Kak. Aku bisa jalan sendiri, kok. Ngga perlu diantar ke UKS atau RS.” Via menolak, bukannya dia nggak mau tapi beneran malu banget kalau misal sampai Andre merasa dirinya jelek, kucel, dan BB-an.

“Hei, jalan saja nggak bisa. Sudah ayo aku antarin.” Andre mengambil buku dan tas Via kemudian kembali memapah Via berjalan.

UKS TUTUP

“UKS -nya sudah tutup. Bagaimana kalau ke RS?” tanya Andre lembut.

“Nggak perlu, anu, Kak. Aku pulang saja. Rumahku nggak jauh kok dari sekolahan.” Via ingin segera mengakhiri kecanggungan nya. Tangannya beneran dingin hlo, grogi karena ada Andre di sebelahnya.

“Oke, aku antarin kamu pulang ke rumah. Tunggu, ya, aku ambil motor dulu.” Andre meninggalkan Via dan berlari ke tempat parkir.

Via mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya.

Sial jantungku bunyinya keras amat, ya? Oh, Tuhan ... ini cobaan apa berkat? pikir Via.

Nggak lama Andre datang dengan motor sport hitam miliknya.

“Sorry.” Andre membantu Via naik ke motornya, menjujung badan mungil Via naik ke atas motor tingginya. Wajah Via benar-benar merah seperti bom yang sudah siap meledak kapan pun.

Ringan banget. Pikir Andre lalu memacu kendaraannya.

Andre sampai di depan rumah Via, ia memapah Via saat menuruni motor dan membantunya untuk duduk di sofa.

“Kamu beneran nggak mau aku anter ke RS?”

“Nggak, Kak, bentar lagi Mama juga pulang, kok. Maaf, ya, sudah merepotkan," tolak Via halus.

“Nggak repot, kok.” Andre tersenyum.

Padahal senyuman doang, tapi bisa membuat jantung Via berdebar tak karuan.

Suasananya agak hening

Kecanggungan macam apa ini? Ayo Andre cari topik pembicaraan. pikir Andre.

“Kak Andre pulang saja sudah sorekan?” Belum sempat ngajakin ngobrol Via sudah mengusirnya.

"Wah, diusir nih ceritanya?” goda Andre.

“Ng-nggak kok, cuma nggak mau ngerepoti Kak Andre aja.”

“Apa ada es batu di kulkas?” tanya Andre.

“Kelihatannya ada Kak. Kak Andre haus, ya?” tanya Via polos.

“Bodoh, tentu aja buat kompres kakimu biar nggak bengkak.” Andre ketawa pelan.

Andre mengambil sedikit es dan membungkusnya dengan plastik, menaruh di atas pergelangan kaki Via yang mulai bengkak.

“Kapan Papa, Mamamu pulang?” tanya Andre.

“Papa sudah meninggal, Kak. Kalau Mama mungkin jam 5 sampai rumah,” jawab Via.

“Sory, aku nggak tahu.” Andre merasa bersalah.

“Nggak apa-apa kok, Kak.”

“Mamamu kerja di mana?” Andre berusaha meredakan kecanggungan nya.

“Di perusahanan A, Mamaku seorang accounting,” jawab Via.

Perusahaan A. Hm, jadi Mamanya kerja di perusahaan milik orang tua Sinta. pikir Andre.

“Oh, ya dari tadi kita banyak ngobrol tapi kita nggak saling kenalkan,” kata Andre.

“Ah, iya. Namaku Via.”

“Andre.”

“Sudah tahu, Kak.” Senyum Via manis.

“Kok kamu bisa tahu namaku?” Andre penasaran.

Oh, No, jangan sampai Kak Andre tahu kalau aku mengagguminya diam-diam. Via menyalahkan dirinya sendiri dalam hati.

“Em ... soalnya Kakak terkenal, sih. Semua anak satu sekolah juga tahu nama Kakak.” Via ngeles.

“Oh, gitu.”

“Oke deh, aku pulang dulu, ya. Segera pergi ke dokter.” Andre bangkit berdiri, keluar dan menyalakan mesin motornya. Andre tersenyum sebelum pergi meninggalkan pekarangan rumah Via, Via pun membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis.

— SIDE TO SIDE —

IG @dee.Meliana

LOVE, LIKE, VOTE, COMMENT

ACT 3

SIDE TO SIDE

ACT 3

Brrmmmm ...

Suara motor Andre memasuki pekarangan rumahnya. Andre memerintahkan Pak Haryo, satpam rumahnya untuk memarkirkan motor kesayangannya itu.

“Papa sudah pulang, Pak?” tanya Andre ketika melihat mobil La**cruiser milik papanya sudah terparkir di garasi.

“Sudah, Tuan,” jawab Pak Haryo.

Andre bergegas masuk ke dalam rumah, di ruang keluarga terlihat papanya duduk sambil membaca koran. Televisi sengaja dibiarkan hidup, aroma kopi tercium wangi memenuhi ruangan.

“Jam segini baru pulang? Ke mana saja?” tanya papa Andre, pandangannya masih tertuju pada koran yang dibacanya.

“Latihan basket, Pa.”

“Hubungan kamu dan Sinta bagaimana?”

“Biasa saja, Pa.” Andre berhenti di ujung tangga untuk menjawabnya.

“Papa harap kamu baik-baik dengan Sinta, Ndre. Kamu tahukan kalau papa lagi menggarap bisnis baru. Papa dia itu klien kita.” Papanya mulai menoleh.

“Iya, Pa.”

“Lagian Sinta anaknya baik, cantik, sopan, dan pintar. Papa nggak keberatan kalau ke depannya bisa jadi menantu Papa.”

“Pa, Andre masih SMA.” Nada suara Andre agak tinggi.

“Papa Mama dulu menikah saat kuliah. Lagi pula kalau kamu menikah dengan Sinta kamu bisa mendapatkan pengaruh di perusahaan-nya juga.”

“Andre permisi dulu.” Andre tidak mau melanjutkan pembicaraan papanya.

BLAM!!

Andre mambanting pintu kamarnya, melemparkan tasnya ke ranjang.

Tok ... tok ... tok!

“Sweetheart are you okay?” Suara lembut terdengar mengetuk pintu kamarnya.

“Leave me alone, Mom.” Andre menjawabnya, namun pintu tetap terbuka. Sarah masuk ke dalam kamar Andre, melihat anaknya yang duduk di samping ranjang.

Sarah mendekati Andre perlahan dan duduk di atas ranjang, mengelus rambut lembut Andre.

“Hei.”

“Bagi Papa aku cuman alat bisnis.” Andre langsung berteriak.

“No, Papa sayang sama kamu sayang," jawab mamanya.

“Dia suruh aku pacaran sama Sinta, bahkan sampai menikah. Padahal Andre masih mau sekolah, Ma. Masih mau kuliah dan menikmati kehidupan Andre.” Andre memandang mamanya.

“Kamu tahu sayang, Papamu punya 5000 karyawan. Jadi ada 5000 keluarga, kalau satu keluarga ada 2 orang saja berarti ada 10.000 orang yang harus terisi perutnya, belum lagi anak-anak mereka.” Sarah menjelaskan, tangan lembutnya masih mengelus rambut Andre.

“Kamu masih SMA, Ndre. belum mengerti beban Papa sebagai pemilik perusahaan.” Sarah menuangkan air dan memberikannya pada Andre.

“Mama tahu ini berat untukmu, tapi Papamu mau perusahaan menjadi solid. Kalau kamu tidak mencintai Sinta, kamu bisa belajar mencintainya. Pelan-pelan saja Andre.” Sarah tersenyum hangat, merangkul tubuh Andre, menggosok-gosok lengannya, menimbulkan perasaan yang nyaman dan aman.

“Thanks, Mom.”

“Sekarang mandi dan turun, Mama masak pasta kesukaanmu.” Akhirnya Sarah meninggalkan kamar Andre. Memberikan senyum hangat sebelum menutup pintu.

Andre membenamkan diri di ranjang empuknya. Wajah Via mendadak muncul, Andre tersenyum mengingat kejadian hari ini. “Kakinya bagaimana, ya? Sudah diobati belum ya. Harusnya tadi aku minta nomor ponsel-nya.”

“Bodohnya aku.” Andre bangkit berdiri menyahut handuk dan bergegas mandi.

— SIDE TO SIDE —

“Bagaimana bisa terkilir, sih?” Riska mengantar putrinya ke rumah sakit.

“Via!! Via ...? Vianie!” Panggilan mamanya membuyarkan lamunan Via.

“Em, jatuh dari tangga.”

“What? Kok bisa? Nggak hati-hati ngelamunin apa?” tanya mamanya lagi.

Blusss ... wajah Via malah memerah, membuat Riska menjadi heran.

“Pasti cowok.” Tebakkan mamanya tepat sasaran.

“Nggak kok, Ma.” Via panik.

Via memalingkan wajahnya memandang keluar jendela mobil, wajahnya memerah mengingat kejadian sore tadi.

Perutku geli, OMG. Belum sehari aku sudah merindukannya. Pikir Via.

Akhirnya mobil kecil warna biru parkir di halaman rumah sakit.

“Hei, jangan melamun! Ayo turun periksa.”

— SIDE TO SIDE —

Via izin tiga hari nggak masuk sekolah karena cidera kemarin. Banyak catatan dan pekerjaan rumah yang belum sempat dia buat.

“Gimana kakimu?” tanya Sandra.

“Sudah baikan, sudah nggak sakit kok,” jawab Via. Mereka berjalan beriringan di lorong sekolah.

“Habis ini pelajaran siapa, San?” Via mengingat-ingat.

“Bahasa Inggris, Bu Nina.” Sandra memasukan permen lolipop ke mulutnya.

“APA? Gawat!!!” Via teringat dia belum bikin PR.

“Kenapa?” Sandra kaget.

“Aku belum bikin PR Bahasa Inggris.”

“Kirain ada apa.” Sandra mendengus kesal.

“Sandra temanku yang baik AKU BOLOS YA!!” Via menggenggam tangan sahabatnya dengan mata memelas.

“Eeee ...?”

“Bilangin ke Bu Nina, kakiku masih sakit jadi harus di rawat di UKS.” Via berlari meninggalkan Sandra yang belum sempat memberikan jawaban.

Dari kejauhan Via melambaikan tangannya dan memberikan gerakan bibir THANK YOU.

“Akh!! Tapi ... Via!!” Sandra mencoba melarang Via, namun sia-sia karena Via telah berlari meninggalkannya.

“Huh dasar anak itu.” Sandra membetulkan letak kacamatanya.

—JUICY LOVE—

Via menaiki tangga menuju ke atap sekolahan, tempat instalasi air dan panel-panel listrik. Jarang sekali ada orang yang naik ke atas atap, jadi tempat ini aman buat membolos. Glen yang menemukan tempat ini duluan, Glen, Sandra, dan Via sering makan siang di tempat ini. Anginnya kencang jadi nggak terasa panas, di sebelah ruang panel mereka biasa duduk, karena bayangannya menutupi sinar matahari.

Kriiiett!

Via membuka pintu besi yang ukurannya cukup besar.

“Waaahhh anginnya enak banget.” Via berteriak saat masuk ke dalam.

“Akhirnya aku bolos juga, sudah lama nggak bolos. Haha!” Via tertawa sambil merenggangkan lengannya ke atas.

“Hahaha ... ha ...ha ... hhhh ... what!!!!” Suara tawa Via menjadi hambar dan mulai terhenti, ada orang lain di situ.

Jreeengggg ... !

ternyata Andre lagi duduk membaca buku. Dia menutup tawa kecilnya dengan buku diktat.

Waduh aku ini malu-maluin banget! Mana orang itu Kak Andre lagi. Pikir Via, ia menggigit bibirnya sebal.

Duh, dia melihatku dalam keadaan seperti ini, mau ditaruh di mana mukaku. Hati Via menangis ><

Andre bangkit berdiri, menutup buku fisika yang baru dipelajarinya.

Gawat kelihatanya Kak Andre sedang belajar, aku pasti gangguin dia. Via mulai gugup, jatungnya mulai berdetak cepat.

Andre masih terus berjalan mendekati Via.

Ah, dia ke sini. Aku harus segera minta maaf. Pikir Via.

“Ma-maaf, Kak! Aku nggak tahu kalau ada Kakak di sini. Aku nggak bermaksud buat mengganggu jam belajar Kak Andre.” Via berseru sambil menundukan kepala. Rambutnya yang panjang se bahu menutupi wajahnya.

Andre melepaskan kaca matanya, mendekati via dan berkata, “kenapa kamu minta maaf? Kamu ini aneh sekali.” Andre tersenyum, geli dengan tingkah konyol Via.

Saat itu wajah Via langsung memerah, belum pernah dia melihat Andre tersenyum se dekat ini. Via dibuat tersipu-sipu karenanya.

“Cakep banget,” gumam Via lirih.

“Ya?” Andre tampaknya tidak mendengarkan.

“Nggak kok, anu ... itu baru kali ini aku lihat Kakak tersenyum.”

“Oh, ya?”

“Iya.” Via mengangguk, wajahnya memerah.

“Hei bagaimana kakimu?” tanya Andre.

“Oh, sudah baikan. Nggak apa-apa.” Via mengerak gerakan pergelangan kakinya.

“Baguslah.”

"Makasih, ya, Kak. Bagaimana aku harus membalas kebaikan, Kak Andre?" Via tersipu.

"Bagimana ka ...." Andre belum sempat menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba ...,

BRAAAK ...!

Tiba-tiba pintu besi kembali terbuka, tampak Glen terengah-engah naik ke atas.

“Via ... dicariin juga!!!” Suara Glen terdengar cemas.

“Glleeeenn ...?!” seru Via.

“Kata Sandra kakimu sakit dan kamu mau istrahat di UKS. Aku langsung ke sana karena khawatir. Ternyata di sana kamu nggak ada ... Tapi ... tapi ....” Glen masih berusaha mengatur napasnya saat berbicara.

“Tapi ternyata kamu di sini, lagi berduaan sama cowok ini.” Glen menunjuk ke arah Andre.

“Whatttt?” Via kaget, siapa yang berduaan? Hish, kenapa sih Glen mesti merajuk seperti anak kecil? Membuat Via malu di depan orang yang disukainya.

“Glen jangan ngaco.” Via menepuk pundak Glen.

“Pokoknya nggak boleh deket cowok lain. Via itu cewekku.” Glen menatap tajam ke arah Andre.

ENG ING ENG ... Via langsung syok

“Sejak kapan aku jadi cewekmu?” Via menendang kaki Glen.

“Aduduh ... pokoknya kamu ce... hemp!” Belum sempat Glen melanjutkan kalimatnya Via sudah membungkam mulut Glen dengan tangannya.

“Bu-bukan kok, bukan pacar!” Via menatap Andre, cemas kalau Andre berfikir macam-macam.

“Ah, maaf aku masih ada urusan jadi harus pergi.” Andre berjalan mendekati Via.

Wajahnya mendekat, membisikkan sesuatu ke telinga Via. “Pacar juga nggak apa-apa kok.” Lalu Andre tersenyum dan menepuk punggung Via.

Bener juga, memang aku apanya? Kenal aja nggak. Kenapa aku mesti salting kaya gini? Duh aku ini memang malu-maluin banget. Via tertunduk lesu.

“Lepasin.” Glen meronta.

“Gara-gara kamu. Aku benci sama kamu!!” Via kembali menendang kaki Glen, sekarang kena di bagian tulang kering.

“Sakit banget, ya, Tuhan.” Glen meringis.

“Wanita kejam.”

“Biarin!! Rasain!!” Via meninggalkan Glen.

— SIDE TO SIDE —

IG @dee.Meliana

LOVE LIKE COMMENT VOTE!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!