Saat beberapa orang menjadikan cinta untuk mereka semangat mengejar cita-cita, Rian justru merasakan kebalikannya. Ia merasa cintanya untuk seseorang justru menghambat cita-citanya. Rasanya ia benar-benar pusing dengan kenyataan hidupnya yang dilewatinya.
Rian, anak yang kurang beruntung bersama keluarganya. Namun pertemuannya dengan orang baru, yang justru masih ada keterkaitan antara keduanya membawanya menjadi orang yang sangat beruntung.
Rian yang ditinggalkan ayahnya saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, kini berhasil melanjutkan sekolahnya di Jerman. Sementara ibunya sudah pergi jauh sebelum ayahnya meninggalkannya.
"Kenapa? Apa ada masalah dengan perkuliahanmu?" tanya Tuan Felix yang sudah Rian anggap sebagai ayahnya sendiri.
"Tidak Pah," jawab Rian sembari memberikan senyum penuh keterpaksan.
"Lalu ada masalah apa? Cerita padaku. Jangan sungkan," ucap Tuan Felix.
"Aku baik-baik saja Pah. Papa belum tidur?" tanya Rian mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku tahu kamu sedang ada masalah. Apa ada salah satu mata kuliahmu yang tidak memenuhi target?" desak Tuan Felix.
"Kuliahku baik-baik saja Pah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," tepis Rian.
Rian selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Namun Tuan Felix yang sudah sangat mengenal Rian, selalu tahu jika Rian sedang berbohong. Tuan Felix tahu Rian selalu belajar agar nilainya tidak turun. Kuliahnya yang berjalan dengan beasiswa membuat Rian selalu semangat dalam belajar.
"Kalau nilaimu turun, tidak perlu khawatir. Aku masih mampu membiayai kuliahmu hingga selesai Rian. Jangan tertekan seperti itu," ucap Tuan Felix.
"Memangnya wajahku seperti orang yang banyak tekanan?" tanya Rian.
"Di sana ada cermin. Bisa cek sendiri," ucap Tuan Felix.
Rian hanya cemberut saat melihat Tuan Felix meninggalkannya begitu saja. Ia membuka laptopnya dan berusaha membuat dirinya baik-baik saja. Namun tidak bisa, isi kepalanya hanya tentang Maudi. Mahasiswi cantik yang berasal dari Indonesia. Satu kampus dengannya namun berbeda jurusan.
Rian yang berkuliah di jurusan arsitek, tergoda oleh Maudi yang berkuliah di jurusan tata busana. Berbeda dengan Rian yang berkuliah dengan beasiswa, Maudi berkuliah dengan biaya mandiri. Rian dengan segala kesederhanaannya dan Maudi yang sangat manja.
"Maudi, tolong enyah dari kepalaku!" ucap Rian sembari mengepalkan tangannya.
Matanya memejam. Ia berharap jika saat matanya terbuka, bayangan Maudi tidak lagi dalam kepalanya. Namun usahanya sia-sia. Karena bayangan Maudi belum juga enyah.
Pintu kamar Rian yang terbuka membuat Tuan Felix melihat aktivitas Rian saat ini. Belum juga usai Tuan Felix mengamati tingkah Rian, keberadaannya sudah disadari.
"Papa lagi apa?" tanya Rian.
"Memperhatikanmu," jawab Tuan Felix jujur.
Jawaban Tuan Felix tentu membuat Rian menjadi salah tingkah. Ia berusaha bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan kecurigaan berlanjut dari Tuan Felix.
"Apa kamu sedang jatuh cinta?" tanya Tuan Felix.
Rian menatap Tuan Felix dengan penuh rasa takut. Ia tidak menyangka jika Tuan Felix tahu apa yang sedang ia rasakan. Padahal selama ini ia berusaha menutupi semuanya.
"Apa itu jatuh cinta?" tanya Rian yang pura-pura tidak mengerti.
"Apa itu jatuh cinta? Jatuh cinta itu adalah rasa yang sedang tumbuh di hatimu. Jujur saja, jatuh cinta itu bukan sebuah kesalahan. Yang penting, jangan sampai rasa yang hadir menghancurkan semua asa yang sudah kau bingkai selama ini." Tuan Felix menegaskan.
"Iya Pah. Aku mengerti," ucap Rian.
Tuan Felix yang awalnya berdiri di ambang pintu kini masuk dan duduk di tepi ranjang. Tepat di sebelah Rian. Keduanya saling diam hingga suasana kamar menjadi hening.
"Papa mau kopi? Biar aku buatkan," ucap Rian yang mencoba mencairkan suasana.
"Duduk di sini!" ucap Tuan Felix saat melihat Rian sudah berdiri dari tempat duduknya.
Rian kembali duduk di samping Tuan Felix. Seperti dugaannya, ia akan mendapat rangakaian pertanyaan yang sulit untuk ia jawab.
Siapa namanya? Orang mana? Apakah dia perempuan baik seperti kakak-kakakmu? Pertanyaan itu tidak bisa Rian jawab. Lidahnya kelu. Rasanya ia tidak perlu membuka tentang perasaannya pada Tuan Felix. Rasa itu cukup ia simpan sendiri. Biar semuanya ia telan sendiri.
"Kamu tidak perlu menjawab jika tidak mau membaginya. Kejarlah apa yang harus kamu kejar. Perjuangkanlah apa yang memang sudah sepantasnya untuk kamu perjuangkan," ucap Tuan Felix.
"Aku mengerti Pah. Terima kasih untuk semua perhatian Papa. Aku janji akan memberikan yang terbaik untuk Papa," ucap Rian.
"Jangan mempersembahkan semua keberhasilanmu untuk Papa. Berikan apresiasi itu untuk dirimu sendiri. Untuk tubuh dan kepala yang sudah setia mengantarkan dirimu pada kesuksesan yang kamu raih," ucap Tuan Felix.
Mungkin Rian sedang sensitif. Perkataan Tuan Felix menghujam kedalam hatinya. Ia tidak tahu harus berkata apa selain iya dan iya. Beruntung Tuan Felix mengerti Rian, ia segera pergi. Rian kembali sendiri.
Kali ini Rian menutup pintu kamarnya. Mulai berbaring di tempat tidurnya dan mematikan lampu. Ia tidak ingin menghabiskan malam ini hanya untuk meratapi rasanya yang tidak pasti pada Maudi.
Kenapa aku harus jatuh cinta padamu? Kenapa kamu harus membalas rasa ini? Harusnya aku menyadari sejak awal jika kita ini berbeda. Aku dan kamu tidak mungkin bisa bersatu.
Rian menyukai Maudi sejak pertama kali mereka bertemu. Berpapasan di gerbang kampus membuat Rian tidak bisa melupakan wajah canti Maudi.
Nama Maudi semakin dikenal saat banyak sekali kakak tingkat yang mulai menggoda Maudi. Sedangkan Rian semakin lama semakin minder. Ia tidak berani mendekati Maudi sedikitpun. Ya, bisa dibilang jika Rian adalah pengagum rahasia Maudi.
Semester satu sudah berlalu. Nama Rian mulai mencuat saat namanya disebut-sebut sebagai orang yang memiliki prestasi luar biasa. Wajah Rian yang terbilang tampan juga menjadi bahan pertimbangan untuk Maudi.
Pagi hari Rian menatap jam dinding. Hari ini ia mendapat jadwal jam sembilan. Rian tahu betul jika di hari ini mereka ada jadwal yang sama. Secinta itu Rian pada Maudi? Hingga ia mencari tahu jadwal Maudi di kampus.
Dulu, ia senang jika ada jadwal Maudi ke kampus. Namun kini, ia justru menghindari pertemuannya dengan Maudi. Rasanya setiap bertemu dengan Maudi selalu saja membuatnya resah.
"Kamu baru sampai?" tanya Maudi yang menemui Rian di kantin.
"Tadi langsung masuk kelas," jawab Rian.
"Selesai jam berapa?" tanya Maudi.
"Memangnya kenapa?" tanya Rian balik.
"Pulang kuliah aku mau kita jalan ya!" ajak Maudi.
"Aku harus pulang cepat. Papa minta aku untuk menemaninya," tolak Rian secara halus.
"Kamu menolakku?" ancam Maudi.
"Bukan begitu," jawab Rian.
"Lalu? Kamu mau kan menemaniku jalan nanti?" tanya Maudi.
"Aku pulang sore," jawab Rian.
"Aku tunggu sampai kamu selesai. Sampai ketemu nanti!" ucap Maudi sembari melambaikan tangannya dan berlalu meninggalkan Rian.
Kenapa aku tidak bisa menolak Maudi? Segila inikah cinta? Kenapa aku tidak rela jika harus menolak ajakan Maudi?
Selesai makan, Rian kembali ke kelasnya. Ia kembali berkutat dengan materi-materi perkuliahannya. Ia bersyukur jika sampai saat ini masih bisa mempertahankan prestasinya. Saat di rumah, Rian memang sulit menguasai dirinya. Namun saat ia sedang di kampus, semangat belajarnya masih bisa Rian kuasai.
"Yeaaay, kamu udah selesai. Ayo!" ajak Maudi.
Rian menelan salivanya saat melihat Maudi melingkarkan tangan putihnya di lengan Rian.
"Ayo!" ajak Maudi lagi.
Rian membuyarkan pikiran buruknya dan segera pergi untuk menemani Maudi. Untuk tujuannya, Rian sama sekali tidak tahu akan dibawa kemana oleh Maudi.
"Mau kemana?" tanya Rian.
"Ke tempat romantis," jawab Maudi.
Tempat romantis? Tempat jenis apa yang Maudi maksud? Rian sama sekali tidak mengerti.
Sejak SMA, Rian tidak sekalipun merasakan jatuh cinta. Tidak ada satupun teman sekelasnya yang berasal dari Indonesia. Sepertinya ia tidak jatuh cinta pada wanita berkebangsaan luar.
Hal tersebut membuat Rian sangat kurang pengalaman tentang hal-hal yang bersifat romantis. Sering kali Rian di tertawakan oleh Maudi saat ia nampak sangat lugu.
"Kamu pernah pergi kesana?" tunjuk Maudi saat mereka berada di depan sebuah gedung mewah.
Rian menggelengkan kepalanya. Bukan tidak pernah jalan-jalan. Namun Tuan Felix tidak pernah mengajaknya ke tempat seperti itu.
"Kamu sudah lama tinggal di sini. Kenapa tidak tahu tempat seromantis ini?" tanya Maudi.
"Dulu yang aku tahu hanya belajar dan mendapat nilai bagus," jawab Rian.
"Rian, ayolah. Kita ini sudah dewasa. Kita mahasiswa, bukan siswa lagi. Bersikaplah dewasa sedikit, ini Jerman. Jangan kuno," ucap Maudi.
Dewasa? Beginikah cara menunjukkan kedewasaan? Rian menunduk. Batinnya sedang berperang. Ia bingung menghadapi perasaan dan logikanya.
"Rian, masuk!" perintah Tuan Felix dengan suara tegas.
"Papa," ucap Rian.
Rasa takut membuat Rian melepaskan tangan Maudi dan pamit untuk pergi.
"Begini caramu memperlakukan seorang wanita?" tanya Maudi.
Jantung Rian seakan berhenti berdegup. Ia tidak menyangka jik ucapan Maudi benar-benar membuatny terpojok. Ia merasa benar-benar serba salah.
"Rian," teriak Tuan Felix lagi.
"Maaf, Maudi. Lain kali aku akan menemanimu lagi, tapi tidak untuk saat ini," ucap Rian penuh rasa bersalah.
"Kalau kamu pergi, kamu sudah tahu konsekuensinya. Pilihan ada di tangan kamu," ucap Maudi dengan sinis.
"Permisi," ucap Rian.
"Aku ambil mobilku dulu," ucap Rian.
"Masuk!" ucap Tuan Felix.
Tanpa pikir panjang Rian segera masuk ke dalam mobil Tuan Felix. Urusan mobilnya bisa diurus belakangan. Saat ini yang harus ia lakukan adalah meredam amarah Tuan Felix. Untuk pertama kalinya Rian melihat Tuan Felix marah padanya.
Selama ini Rian memng sering mendengar Tuan Felix marah pada anak buahnya. Hanya urusan kantor yang membuat Tuan Felix semarah itu. Jika ada kesalahan Rian, selama ini ia hanya menegurnya dengan tegas. Tidak marah seperti hari ini.
Dalam mobil, suasana hening. Baik Rian ataupun Tuan Felix tidam ada yang berani buka suara. Keduanya hanya berusaha menenangkan diri masing-masing.
"Masuk ke kamar! Aku mau bicara denganmu," ucap Tuan Felix saat mobil berhenti di halaman rumahnya.
"Baik Pah," jawab Rian.
Tuan Felix mengikuti Rian ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya. Ia duduk di sofa, sedangkan Rian duduk di tepi ranjangnya.
"Sejak kapan kamu mengunjungi tempat itu?" tanya Tuan Felix.
"Baru sekarang Pah," jawab Rian.
Sebenarnya Tuan Felix tahu kalau ini pertama kalinya Rian mengunjungi tempat itu. Tanpa sepengetahuan Rian, Tuan Felix memang menugaskan seseorang untuk mengamati Rian saat di kampus.
Sebagai seorang ayah, Tuan Felix sama sekali tidak marah dan menegur Rian saat tahu anaknya pergi dengan seorang wanita. Ia merasa kalau sudah masanya Rian jatuh cinta. Namun sayangnya Rian sudah mengunjungi tempat itu. Saat tahu keberadaan Rian, Tuan Felix yang kebetulan tidak jauh dari tempat itu segera menyusul Rian.
"Kamu tahu itu tempat apa?" tanya Tuan Felix.
"Kata temanku itu tempat gaul Pah," jawab Rian.
"Gaul? Kamu tahu arti gaul di sini seperti apa?" tanya Tuan Felix.
Rian menggeleng. Bukan tidak tahu, tapi Rian tidak berani mengucapkannya. Tempat itu memang tempat yang begitu bebas. Mereka bisa melakukan apa saja di tempat itu. Hanya dengan membayar uang masuk, pengunjung bahkan difasilitasi ruangan khusus untuk satu jam.
"Siapa nama temanmu itu?" tanya Tuan Felix.
"Maudi," jawab Rian.
"Mulai sekarang, tidak ada lagi Maudi dalam daftar temanmu. Kamu bisa pastikan itu?" tanya Tuan Felix dengan penuh penekanan.
Apa ini? Rian tidak mungkin mengiyakan. Masalah dengan Sindi saja belum selesai. Ia masih harus minta maaf untuk perlakuannya tadi. Tapi sekarang ia dipaksa untuk tidak berhubungan lagi dengan wanita yang ia cintai.
"Kenapa diam?" Kamu keberatan?" tanya Tuan Felix.
Rian masih menunduk dan belum bersuara. Nampaknya ia masih memilih beberapa kalimat yang tidak akan membuat amarah Tuan Felix kembali memuncak.
"Lihat aku Rian!" ucap Tuan Felix.
Rian mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Tuan Felix. Bola mata itu tidak lagi menyimpan amarah. Rian sedikit tenang saat melihat Tuan Felix.
"Aku tidak melarangmu untuk jatuh cinta. Itu rasa yang wajar untuk setiap manusia. Namun yang aku ingatkan adalah jangan pernah merusak asamu hanya karena cinta. Baru kemarin aku bicara denganmu. Apa kamu sudah lupa?" tanya Tuan Felix.
"Aku masih ingat Pah," jawab Rian pelan.
"Aku selama ini tidak banyak menuntutmu. Aku hanya kamu belajar dengan sungguh-sungguh. Ukir prestasi. Dan kamu berhasil menunjukkan itu padaku. Namun kali ini aku kecewa. Kamu seolah sudah tidak mau mendengarku lagi," ucap Tuan Felix.
"Pah, jangan bicara begitu! Aku sayang Papa dan akan melakukan apapun agar tidak mengecewakan Papa," ucap Rian.
"Tidak perlu berjanji. Buktikan saja! Oh ya berikan kuncimu pada sopir. Biar dia yang membawa mobilmu," ucap Tuan Felix.
"Baik Pah," ucap Rian.
Tuan Felix keluar dari kamar Rian dan kembali ke kamarnya. Ia membuka jaketnya dan berbaring. Hatinya merasa bersalah saat memarahi Rian. Tapi perasaannya tidak bisa diam saja saat melihat Rian salah melangkah.
Saat makan malam, tidak ada Tuan Felix di ruang makan. Rian menyantap makanannya seorang diri. Ia tahu saat ini Tuan Felix masih marah padanya.
Setelah selesai makan, Rian kembali ke kamarnya. Ia membuka bukunya. Mengerjakan beberapa tugasnya untuk hari esok. Ditengah tugasnya, Rian menghentikan aktivitasnya. Ia melihat sudah jam sepuluh malam. Rian kembali mengingat Tuan Felix.
Rian bertanya pada asisten rumah tangganya tentang Tuan Felix. Namun malam ini Tuan Felix tidak makan malam. Rian mengecek Tuan Felix ke kamarnya.
"Pah," panggil Rian setelah mengetuk pintu kamar Tuan Felix yang tertutup rapat.
"Ya," jawab Tuan Felix.
Rian menyiapkan keberaniannya saat pintu kamar perlahan terbuka.
"Aku bawakan makan malam untuk Papa. Papa belum makan," ucap Rian sembari menyerahkan piring yang berisi makan malam pada Tun Felix.
"Aku tidak lapar. Kamu makan saja," tolak Tuan Felix.
"Pah, perut Papa butuh makanan. Kalau Papa marah padaku, itu tidak berarti Papa meninggalkan makan malm begitu saja. Makan ya Pah," bujuk Rian.
"Terima kasih," ucap Tuan Felix sembari menerima piring itu.
"Aku kembali ke kamar ya Pah. Ada beberapa tugas yang belum selesai. Besok sebelum ke kampus, aku mau bicara dengan Papa. Papa besok tidak buru-buru, kan?" tanya Rian.
Tuan Felix menggeleng dan tersenyum saat Rian pamit untuk kenbali ke kamarnya. Ia senang saat melihat Rian masih peduli dengannya. Padahal hari ini ia sudah memarahi Rian. Tuan Felix masuk ke dalam kamarnya dengan senyuman yang mengembang.
Senyum bahagia itu dilihat oleh Rian. Ia tenang saat melihat Tuan Felix tidak lagi marah padanya.
Pah maaf atas semua kebodohanku. Aku janji tdiak akan mengulangi hal seperti ini lagi. Tapi Maudi? Ah soal itu, besok aku pikirkan lagi.
Pagi ini Rian tidak berangkat ke kampus. Padahal seharusnya ia ada kelas pagi.
"Kenapa tidak ke kampus?" tanya Tuan Felix saat mereka berada di ruang makan.
"Aku masuk sore Pah. Ikut kelas malam," jawab Rian.
"Sejak kapan?" tanya Tuan Felix.
Rupanya selama ini Tuan Felix benar-benar memperhatikan perkuliahan Rian. Bahkan ia sampai hapal jadwal kuliah anak angkatnya itu.
"Baru kali ini Pah. Aku mau nyoba," jawab Rian.
"Ok," ucap Tuan Felix sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesederhana itu. Nampak tidak terlalu peduli. Padahal saat Tuan Felix selangkah keluar dari gerbang utama, ia segera menghubungi anak buahnya. Mencari tahu alasan Rian mengambil kelas sore.
"Rian, Papa cuma mau yang terbaik. Bukan buat Papa, semua yang Papa lakuin buat kamu juga. Papa cuma mau kamu sukses," gumam Tuan Felix.
Rasa bersalah terus menyelimuti Tuan Felix. Namun ia harus tegas. Ia takut Rian salah melangkah.
"Ah, hati-hati!" ucap Tuan Felix saat mobilnya berhenti mendadak.
Tuan Felix menggelengkan kepalanya saat melihat Maudi yang hendak menyerempet mobilnya. Ia meminta sopirnya untuk tidak memperpanjang masalah. Malas jika harus berurusan dengan Maudi.
Sudah jam makan siang namun Tuan Felix belum juga mendapat informasi tentang Rian. Untuk mengalihkam pikirannya, ia menelepon Mia. Mia adalah anak kandungnya yang tinggal di Indonesia.
Melalui sambungan telepon, Tuan Felix meminta Mia untuk mengingatkan Rian. Ia juga menceritakan apa yang menjadi kegelisahannya pada Mia.
"Iya Pah. Nanti Mia hubungi Rian dan bicara dengannya. Rian pasti mengerti maksud Papa," ucap Mia.
Setelah panggilan itu berakhir. Mia segera menghubungi Rian. Tidak perlu basa basi karena Rian sudah mengerti maksudnya. Mia selalu bicara terang-terangan pada Rian.
"Aku tahu aku salah Kak. Aku juga sudah memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Maudi," ucap Rian.
"Kamu mencintainya?" tanya Mia.
Pada Mia, Rian akan dengan mudah jujur tentang perasaannya. Ia mengakui rasa yang ia simpan untuk Maudi. Namun Rian juga menyadari kalau rasa yang ia simpan tidak sepantasnya ia pertahankan.
"Aku tahu rasa itu tidak bisa ditepis dengan mudah. Namun kita punya logika yang bisa mengendalikan hati. Jangan pesimis, masih banyak wanita yang bisa mendukung tujuan kamu. Kamu hanya belum menemukannya saja," ucap Mia.
"Iya Kak," jawab Rian.
Rian menyadari jika selama ini ia sempat mengesampingkan logikanya. Ia sempat hanya memikirkan perasaannya. Beruntung banyak sekali yang menegurnya.
Bukan hanya Mia, Rian juga memiliki Sindi dan Maya yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Dulu, Rian lebih dekat dengan Sindi. Namun setelah kuliah, Rian justru lebih sering berkomunikasi dengan Mia.
Selain kedua sepupu Rian dari Mia yang sering meneleponnya, Rian juga sering bertanya tentang tugas kuliah pada Mia. Mia wanita cerdas yang selalu bisa membantunya membuat Rian kagum.
Kekaguman pada Mia, perlahan membuat Rian berusaha menghapus perasaannya pada Maudi. Ia menginginkan wanita seperti Mia. Dewasa, mandiri, cerdas, namun tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri.
"Sengaja menghindari aku? Lari dari kesalahan dan melupakan tanggung jawab?" tanya Maudi saat bertemu dengan Rian.
Rupanya Maudi sengaja menunggu Rian. Rasa kesalnya membuatnya rela seharian menunggu kedatangan Rian.
"Aku minta maaf," ucap Rian sembari menunduk.
"Maaf? Kamu pikir cukup dengan kata maaf? Kamu itu laki-laki. Mana tanggung jawab kamu? Membiarkan seorang wanita begitu saja di jalanan, aku rasa bukan sifat seorang laki-laki sejati. Kamu payah," ucap Maudi.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Rian frustasi.
"Kamu tanya aku?" tanya Maudi tidak percaya.
Rian diam. Ia bingung harus menjawab apa. Belum lagi jam masuk sudah semakin dekat. Maudi yang semakin kesal ternyata membuat keputusan yang menyakitkan bagi Rian.
"Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku. Antara aku dan kamu tidak ada hubungan apapun. Bahkan kamu, bukan temanku. Aku tidak mengenalmu," ucap Maudi.
Rian hanya bisa menahan sesak di dadanya saat melihat Maudi pergi meninggalkannya semakin menjauh. Kakinya lemas. Ia merasa dunianya hancur.
Seperti inikah sakit hati? Tuhan, kuatkan aku. Tujuan hidupku masih sangat panjang. Tapi ucapan Maudi seakan membuatku tidak memiliki tujuan hidup lagi.
Sapaan dari salah seorang temannya membuat Rian tersadar. Ia segera pergi ke kelas. Berusaha berjalan meskipun kakinya terasa sangat lemah. Berusah berkonsentrasi saat kepalanya penuh dengan beban.
Sementara pada waktu yang sama namun di tempat yang berbeda, Tuan Felix nampak terdiam saat mendapati berita tentang Rian. Ia membuak kacanatanya dan memijat kepalanya yang terasa berat.
Tuan Felix pulang saat Rian belum berada di rumahnya. Hal langka yang dialami oleh Tuan Felix. Namun ia cukup senang saat tahu perjuangan Rian untuk memperjuangkan cita-citanya.
"Papa belum tidur?" tanya Rian saat sudah pulang ke rumahnya.
"Sengaja. Papa menunggu kamu," jawab Tuan Felix.
"Kenapa? Apa aku membuat Papa khawatir?" tanya Rian.
"Duduk dulu!" ucap Tuan Felix menepuk kursi di sampingnya.
Rian menyimpan tasnya dan duduk di samping Tuan Felix.
"Sekali lagi Papa tidak berniat menghalangi kisah cintamu Rian. Papa tidak berhak sama sekali dengan urusan hatimu. Mungkin benar Papa terlalu egois. Tapi Papa ingin yang terbaik untuk kamu," ucap Tuan Felix.
Berkali-kali Tuan Felix mengingatkan agar Rian berusaha menomorsatukan perkuliahannya. Menurut Tuan Felix, jika suatu saat Rian sukses maka tidak akan sulit mencari pasangan. Rian bahkan tinggal memilih mana yang paling cocok dengannya.
"Aku harusnya berterima kasih pada Papa. Kepedulian Papa sama Kak Mia menyadarkan aku dari kesalahan terbesarku selama ini," ucap Rian.
Tuan Felix tenang saat mendengar Rian lebih memilih pendidikannya dibanding dengan Maudi. Meskipun ia tahu jika perasan Rian sekarang sedang tidak baik, namun suatu saat nanti Rian akan jauh lebih baik tanpa kehadiran Maudi dalam hidupnya.
Setelah Maudi memutuskan hubungannya dengan Rian, kerap kali Rian pulang dalam keadaan frustasi. Bagaimana tidak, Maudi berpacaran dengan teman sekelasnya yang bernama Rey. Sama-sama orang Indonesia dengan prestasi yang cukup baik.
Meskipun tanpa beasiswa, namun Rey termasuk mahasiswa yang pintar. Keunggulannya dari Rian, Rey jauh lebih mudah untuk berbaur dengan lingkungan barunya.
Wajah tampan, kecerdasan, serta keadaan finansial Rey membuat Maudi tertarik. Apalagi sekelas dengan Rian. Maudi kerap memamerkan kemesraannya dengan Rey.
Sesekali, saat hatinya sudah tidak kuar menahan beban di hatinya, Rian akan menghubungi Mia dan menceritakan apa yang terjadi. Berkat Mia, Rian jauh lebih tenang.
Satu semester sudah berlalu. Walaupun dengan banyak drama, akhirnya Rian masih mendapat nilai terbaik di kampusnya. Sementara Rey, nilainya jauh menurun dari nilai semester sebelumnya.
Rian, ayo berterima kasihlah pada hatimu yang sudah kuat menerima dan menjalani semua ini. Berkat kekecewaanmu, akhirnya kamu masih bisa mempertahankan prestasimu. Sekarang kamu coba lihat Rey! Berantakan. Nilai kuliahnya menurun jauh hanya karena Maudi. Selamat dan semangat hey aku.
Rian pulang melewati Maudi dan Rey yang berada di sebuah koridor kampus. Dengan wajah sinis, Rian berlalu. Ada kepuasan tersendiri di hatinya.
"Apa?" tanya Maudi dengan emosi.
"Numpang lewat," jawab Rian sembari menahan tawanya.
Sementara Rey hanya bisa memalingkan wajahnya saat Rian berlalu di hadapannya. Ada rasa malu dan kecewa saat melihat Rian melenggang dengan penuh kebebasan. Sementara Rey sendiri kuliah dengan penuh tekanan dari Maudi. Aturan ini dan itu Maudi terapkan meskipun tanpa persetujuan Rey. Belum lagi Maudi yang manja dan sering meminta belanja hampir setiap minggu, berhasil membuat Rey stress.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!