Sarah POV.
Aku mengelap peluh keringat yang memenuhi keningku dan kembali membersihkan meja-meja bundar pada kafe yang sebentar lagi akan buka.
Aku bekerja sebagai pelayan di salah satu kafe yang cukup terkenal di Australia.
Aku melirik jam tanganku dan sesekali merapikan kursi di kafe ini. Masih tersisa waktu 10 menit, aku masih bisa untuk memberi makan Langit.
Langit adalah anakku yang sudah berusia 5 tahun, kami pindah ke Australia setelah kejadian itu yang bahkan aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku sedang mengandung Langit.
“Maaaa.” Teriakan Langit yang berada di dapur membuatku membereskan alat-alat yang aku gunakan untuk membersihkan kafe ini dan membawanya ke ruangan belakang tempat menyimpan alat-alat kebersihan.
Aku berjalan mendekati Langit yang sedang bermain dengan mainannya yang aku beli saat hari ulang tahunnya yang keempat. “Kenapa sayang?” Tanyaku, membuat Langit melihatku dan menekuk wajahnya.
“Mama lama sekali, Langit sudah lapar.” Gerutunya yang membuatku hanya bisa tersenyum. Aku mengambil kotak makan dan botol minum pada tasku.
Langit langsung menarik tanganku menuju ke depan kafe dan duduk pada salah satu bangku yang ada di luar kafe.
“Mama masak apa buat Langit hari ini?” Tanyanya menatap kotak makan di tanganku. “Nasi goreng dengan telor mata sapi setengah matang.” Jawabku yang membuatnya berteriak senang dan menyuruhku dengan cepat membuka kotak makanannya.
Aku menyuapinya yang sudah membuka mulut dengan lebar. “Masakan Mama emang paling enak!” Pujinya terus menerus yang membuatku hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Mama gak makan?” Tanyanya kepadaku.
“Mama sudah makan kok.” Ucapku bohong dan menyuapinya lagi.
Aku membiasakan diriku untuk berhemat agar Langit tidak merasa kekurangan dalam hal apapun. Aku berusaha untuk memberikan hal-hal terbaik untuk Langit agar dia dapat tumbuh menjadi orang yang baik walaupun dengan keadaan kami yang sangat sulit.
Aku terus menyuapinya sampai tidak terasa nasi goreng yang ada di dalam kotak makannya sudah habis yang membuatnya langsung minum air putih dari botol minum yang aku bawakan membuatnya tersenyum dengan senang.
“Makasih Mama, Langit kenyang.” Ucapnya membuatku menciumi pipinya yang chubby berkali-kali.
Tiba-tiba pandangan Langit terpaku saat melihat seorang anak laki-laki yang sedang digendong oleh ayahnya dan bercanda yang membuat anak laki-laki itu tertawa geli.
“Ma, Papa Langit lama banget perginya, Papa Langit gak sayang sama Langit ya? Langit janji gak bakalan nakal kok, Ma.” Ucapnya dengan genangan air mata.
“Maafin mama ya.” Ucapku memeluknya erat dan berusaha menahan air mataku untuk jatuh. Maafin mama karena keegoisan mama.
“Mama gak salah, ini salah papa yang pergi tinggalin kita.” Ucapnya mengusap air mataku.
“Mama jangan nangis lagi, Langit sayang banget sama mama.” Lanjutnya dan memelukku erat. “Mama juga sayang banget sama Langit.” Balasku.
Setelah itu aku mengantarkan Langit ke tempat Day Care yang terpisah beberapa blok dari tempatku bekerja.
“Selamat pagi, Jean.” Sapaku kepada penjaga Day Care yang sudah akrab denganku. “Selamat Pagi, Sarah, halo sweety selamat pagi.” Balas Jean kepadaku dan menyapa Langit.
“Pagi, Auntie.” Balas Langit menampilkan deretan giginya yang putih. “Maafkan aku harus merepotkanmu lagi, Jean.” Ucapku kepada Jean.
“Tidak masalah, Sarah. Hanya saja…”
Jean melihat ke arah Langit yang sedang meletakkan tas punggungnya pada sebuah lemari.
“Aku melihat Langit beberapa akhir ini sering melamun dan sedih, Sar. Apa kalian sedang ada masalah?” Ucap Jean dengan khawatir. Apa Langit masih sering memikirkan tentang ayahnya.
“Kami baik-baik saja kok, Jean. Terima kasih atas kekhawatiranmu.” Ucapku.
“Baiklah dan ingat Sarah, kalau kamu ada masalah apapun itu jangan sungkan-sungkan untuk meminta pertolonganku, oke.” Ucap Jean yang aku jawab dengan mengangukkan kepalaku.
Aku menghampiri Langit dan menunduk untuk menyamakan tinggiku dengannya. “Mama sudah mau berangkat kerja?” Tanyanya kepadaku dan memainkan rambutku.
“Iya, sayang. Langit jadi anak baik ya sampai mama jemput lagi nanti sore, oke?” Ucapku memeluknya dan memberikan kecupan pada pipinya.
Setelah itu aku segera berlari untuk sampai ke tempat kerjaku.
“Eh pagi, Ms. Rose.” Sapaku dengan terengah-engah. “Pagi, Sarah. Habis mengantarkan Langit?” Tanyanya kepadaku saat sedang membuka pintu kafe miliknya.
“Iya, Ms. Rose. Maafkan saya membuat anda menjadi menunggu di luar.” Ucapku.
“Sarah, seperti yang saya katakan sebelumnya, kamu boleh banget kok ajak Langit buat tunggu di kafe selama kamu kerja.” Ucap Ms. Rose.
“Tidak apa-apa, Ms. Rose. Saya tidak mau menganggu kegiatan di kafe nantinya.” Ucapku, setelah itu Ms. Rose menepuk pundak ku dengan tersenyum dan berlalu pergi menuju ke ruang kerjanya di dalam kafe.
Aku memasukkan kotak makan Langit dan botol minum yang sudah kosong ke dalam tasku. Mengambil dua buah crackers yang di sediakan oleh kafe dan memakannya untuk mengganjal perutku.
Setelah itu beberapa rekan kerjaku mulai berdatangan dan kafe pun mulai ramai oleh pengunjung seperti biasanya. Aku yang sedang berada di belakang mesin kasir sibuk menerima pesanan dari para pengunjung dan menyelesaikan pembayaran yang di lakukan oleh para pengunjung yang sudah selesai menikmati makanan atau minuman yang di sediakan di kafe kami.
Terkadang aku ikut juga membantu rekan kerja ku yang lain menyiapkan makanan dan minuman, tetapi untuk satu minuman yang menjadi best seller di kafe ini yaitu matcha latte. Ms. Rose dan teman-temanku mempercayakannya kepadaku, karena menurut mereka matcha latte buatan ku adalah yang paling terenak yang pernah mereka rasakan, begitu pun dengan para pengunjung.
Sampai pintu kafe terbuka, membuat pintu kaca berdecit spontan membuatku tidak dapat memalingkan mata dari pintu, menatap seseorang yang datang. Pria itu masih tetap sama dalam kenangan ku, pria usia tiga puluhan datang dengan balutan jas blue navy, dengan parfum beraroma mint yang langsung tercium olehku meskipun jarak kasir dan pintu cukup jauh.
“Siapa dia?” Teriak kecil dari salah satu rekan kerjaku. Aku menelan ludah kasar dan berharap dia bukan orang yang aku pikirkan, kuharap ini hanya mimpi. Sampai pria itu berdiri di depan kasir, sikap arogannya langsung menjalar di tubuhku.
Rasa rindu itu kembali hadir, ingin sekali aku menyentuh wajahnya, merasakan kehangatan tubuhnya untuk bertukar suhu dengan diriku, sampai aku tersentak kaget dari lamunanku saat salah satu rekan kerjaku menyikutku.
“Apakah anda tuli?” Ucapnya yang membuatku seketika menjadi takut dan menundukkan kepalaku tidak berani menatapnya.
“Ma…maaf Tuan, anda mau pesan apa?” Tanyaku dengan suara serak. “Saya ingin memesan matcha latte.” Ucapnya lagi. “Ba...baik.”
Dia berlalu pergi melangkahkan kakinya menuju ke konter pickup. Sorot mata itu mengingatkanku akan sensasi ditelanjangi.
Setelah 5 tahun berlalu takdir akhirnya memainkan lagi perannya.
Dia mantan suami ku Angkasa Pratama.
BERSAMBUNG.
Sarah POV.
Aku menyerahkan cup plastik minuman pesanannya. “Silahkan, Tuan.”
Di depan ku berdiri Angkasa Pratama dengan kesempurnaan yang tidak pernah berubah pada saat terakhir aku mengenalnya.
Mata hitam tajamnya yang dia wariskan kepada putra ku membuatku tidak dapat bergerak.
Dia mengambil minumannya dan pergi meninggalkan kafe yang membuatku hanya dapat melihat punggung tegapnya pergi menghilang di balik pintu kaca kafe.
Aku berjalan dengan lesu ke belakang kafe setelah meminta rekan kerjaku yang lain untuk menggantikan ku sebentar.
Hal yang tidak pernah aku bayangkan bertemu kembali dengan seorang Angkasa Pratama. Apa yang dia lakukan disini?
Aku meremas celemek ku lalu memikirkan mengenai Angkasa akan membawa Langit apabla dia tahu kalau Langit adalah anaknya dan mengambilnya dariku. Apa yang harus aku lakukan.
“Kamu tidak apa-apa, Sarah? Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Dave, teman dan juga mantan kekasihku sewaktu di SMA.
Dia masih berharap dan mengejar cintaku kembali setelah tahu bahwa aku kabur ke Australia ini dan berpisah dengan Angkasa.
Dave dulu adalah seseorang yang sangat aku cintai, sampai dia pergi meninggalkanku tanpa alasan. Tetapi dia kembali kepadaku saat cintanya tergantikan oleh orang lain dan cinta itu lebih besar dari cintaku kepadanya. Orang itu adalah Angkasa Pratama.
“A…aku tidak apa-apa.” Ucapku berdiri.
“Bagaimana kamu tahu aku da disini?” Tanyaku.
Dia tersenyum kepadaku.
“Aku melihatmu pergi ke sini dengan wajah yang pucat.” Ucapnya khawatir.
“Aku baik-baik saja Dave dan apa kamu tidak bekerja?” tanyaku lagi. Dave adalah seorang model terkenal dimana wajahnya selalu dapat kalian lihat pada berbagai macam majalah fashion di Australia.
“Aku sedang libur.” Ucapnya ikut duduk bersamaku pada sebuah bangku kayu.
“Sar, saat aku ke kafe ini, aku seperti melihat…”
“Kamu mau mengajakku dan Langit untuk makan malam kan? Aku akan bersiap-siap, bisakah kamu menolongku untuk menjemput Langit?” Ucapku yang dijawab anggukan olehnya, setelah itu aku pergi masuk ke dalam kafe, meninggalkan Dave yang masih mematung. Aku mohon jangan sampai Dave tahu kalau Kassa disini.
Aku mengganti baju kerjaku dengan baju santaiku dan izin pulang kepada Ms. Rose dan rekan kerjaku yang lain karena memang jam kerja shift ku sudah selesai.
Bruk!!!
Aku menabrak seseorang saat membuka pintu kaca kafe.
“Maafkan saya, ini salah saya karena terburu-buru.” Ucapku melihat jas yang dikenakan oleh orang di depanku basah oleh cairan berwarna coklat dari cup plastik yang di pegangnya.
Cup plastik itu bertuliskan “Tuan Angkasa.”
“Kamu lagi, selain tuli apakah kamu menjadi orang buta sekarang.” Ucapnya.
Aku dengan perlahan mengangkat wajahku dan tepat menatap matanya. “Apa kamu memang sengaja untuk menggodaku.” Ucapnya lagi.
Aku diam menatapnya ada rasa rindu yang tidak pernah pudar selama 5 tahun ini.
“Maaf, saya tidak…” Ucapanku tidak terselesaikan karena Kassa sudah pergi dari hadapanku.
Dengan langkah cepat, aku segera pergi menemui Dave dan Langit.
Di dalam perjalanan aku berpikir untuk segera berhenti dari pekerjaanku sekarang dan mencari pekerjaan lain atau bahkan pindah dari negara ini.
Sampai aku berada pada seberang jalan dari bangunan Day Care tempat Langit aku titipkan.
Aku melihatnya sedang berada dalam gendongan Dave, dia tertawa dengan lelucon yang di lontarkan oleh Dave. Langitku tertawa bahagia.
Aku menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku, Langitlah yang membuatku dapat bertahan sampai saat ini walaupun kata bahagia itu jauh dariku, aku terlalu payah untuk menjadi orang tua bagi Langit.
Kalau saja waktu itu aku bisa menahan Angkasa untuk tidak pergi meninggalkanku mungkin semuanya tidak akan seperti ini, mungkin kehidupan ku akan lebih baik dan Langit dapat bahagia bersama ayahnya.
Seketika rasa takut menyerang diriku.
Aku takut Angkasa akan mengambil Langit ku, aku tidak akan membiarkannya.
Langit adalah sumber kebahagiaanku, aku rela untuk memberikan nyawaku untuknya. Langit adalah segalanya untukku.
Langit melambaikan tangannya saat melihat ku yang berada di seberang jalan, Dave yang melihat itu pun ikut tersenyum melihatku, setelah itu aku berjalan menghampiri mereka dan menghapus kristal air mata di pelupuk mataku.
“Sudah siap?” Tanya Dave dengan Langit yang masih dalam gendongannya. “Sudah.” Balasku.
“Mama, Uncle Dave mau ajak kita makan.” Teriak Langit dengan senang yang membuatku hanya dapat menggelengkan kepalaku.
“Kamu terlalu memanjakannya Dave.” Dave hanya mengangkat bahunya dan melangkah menuju ke mobilnya yang terparkir di depan Day Care.
Aku memasuki mobil dan duduk di sebelah Dave, terlihat Langit yang sedang sibuk bermain dengan mainan baru.
“Dave, kamu membelikannya mainan lagi?”
Dave hanya tersenyum membuat wajah polosnya tanpa dosa.
“Dave, aku tidak mau kamu terlalu memanjakan Langit seperti ini.” Ucapku yang diabaikan oleh Dave seperti biasa.
Tak ada percakapan apapun lagi sampai kami tiba di sebuah restoran dimana semua orang yang bertemu dengan Dave selalu meminta foto membuatku membawa Langit untuk menjaga jarak darinya.
Aku tidak mau nama baik Dave akan tercemar karena kami.
Setelah makan malam itu, Dave mengantarkan kami kembali, mobilnya berhenti di sebuah gedung berlantai dua yang merupakan tempat tinggalku.
Dave keluar bersamaku dengan menggendong Langit di pelukannya.
Aku melihat sebuah mobil yang belum pernah aku lihat, terparkir tidak jauh di depan tempat tinggalku.
Mobil siapa itu? Aku belum pernah melihatnya.
“Besok kamu akan berangkat kerja jam berapa?” Tanya Dave setelah meletakkan Langit di tempat tidur.
“Aku belum tahu Dave.” Ucapku dengan mengambilkan air untuk membasahi tenggorokanku yang kering.
“Aku akan menjemputmu.” Ucapnya, aku menggeleng.
“Sar, aku hanya mau menjemputmu, tidak bisakah kamu mengiyakannya?” Ucap Dave terdengar kecewa membuatku menatap mata birunya.
“Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Dave?” Tanyaku langsung membuat Dave mendekatiku hingga punggungku tertahan oleh dinding dapur.
“Aku menginginkanmu, kamu sudah tahu itu.” Jawabnya, tangannya menyentuh pipiku dan mengelusnya dengan lembut membuatku nyaman.
“Aku hanya menginginkanmu kembali kepadaku, itu yang aku inginkan.” Lanjutnya lagi.
“Dave.” Panggilku lembut dan menarik tangannya.
“Kamu tahu kalau aku tidak bisa.”
“Sarah, ini sudah 5 tahun, mau berapa lama lagi kamu mengingat pria itu.” Ucap Dave marah.
“Bahkan kamu tidak pernah melepas cincin itu dari jari manismu.” Lanjutnya lagi, aku dengan spontan melihat cincin di jari manis tangan kananku. Cincin pernikahanku.
Dave menghela napas dan memberikan sebuah kertas yang bertuliskan “Australia’s Next Top Model.”
Aku menaikkan alisku dan melihatnya dengan heran. “Apa ini?”
“Ini adalah jalan yang mungkin dapat membuat kehidupanmu dan Langit berubah, datanglah ke agensiku besok.” Jelasnya.
“Kalau kamu memang tidak mau menerima setiap bantuanku, setidaknya turuti permintaanku kali ini, aku tidak akan pernah tenang melihat kondisi kalian berdua seperti ini.” Ucapnya penuh kelembutan.
Aku mengambil kertas itu. “Aku akan memikirkannya.” Setelah itu Dave pergi meninggalkanku.
Aku menundukkan diriku pada sofa usang milikku. “Apa aku bisa?”
BERSAMBUNG.
Angkasa POV.
Aku membeli sebuah perusahaan besar di Australia untuk memperluas bisnisku.
Sebenarnya bukan hanya itu saja tujuanku.
Setelah berjuang selama 4 tahun lebih dengan gangguan mimpiku setiap malam dan hampir setiap minggu selalu berbicara dengan para psikolog-psikolog bodoh itu, akhirnya aku dapat menghentikan mimpi-mimpiku itu, mimpi tentang wanita itu.
Aku melihat ponselku, melihat sebuah sebuah foto yang menampilkan seorang gadis melihat ke arah menara Eiffel. Siapa wanita ini?
Aku melihat sebuah kafe dengan pengunjung yang memenuhi setiap meja. Padre Cafe.
“Berhenti.”
Perintahku kepada Charles, asisten pribadi yang membawa mobilku.
Aku turun dari mobil, membuka pintu kaca yang menghubungkan kafe di depanku dengan jalanan di Royal Arcade, South Melbourne Market.
Aroma minuman kesukaanku beberapa akhir ini membuat hidungku menghirup dalam aromanya. Matcha latte.
Aku berdiri di depan kasir melihat menu-menu yang ditampilkan kafe ini untuk mencari tulisan matcha latte.
“Saya pesan matcha latte.” Ucapku tanpa melihat seorang kasir di depanku.
Tidak ada jawaban dari kasir itu membuatku melihat dengan malas seorang wanita yang menggunakan celemek berwarna hijau tua dengan rambut panjang yang diikat menjadi satu.
Mata itu, mata yang tiba-tiba membuat perasaan menjadi aneh. Perasaan apa ini.
Sampai salah satu temannya menyikut tubuh wanita di depanku yang membuatnya sedikit terkejut begitupun dengan ku.
“Apakah anda tuli?” Bentakku membuat wajahnya menunduk takut. “Ma…maaf Tuan, anda mau pesan apa?” Tanyanya dengan suara serak.
“Saya ingin memesan matcha latte.” Ucapku. “Ba…baik.”
Setelah membayar, aku berlalu meninggalkannya untuk mengambil pesanan ku, tetapi pandanganku tidak henti-hentinya melihatnya yang sedang sibuk mengerjakan pesanan ku. Lihat aku, aku ingin melihat
mata itu lagi.
Dia menyerahkan cup plastik minuman pesanan ku. “Silahkan, Tuan.”
Aku melihat mata itu lagi dan bibir mungil berwarna merah muda yang membuat tubuhku tiba-tiba menjadi panas dengan seketika.
Mengambil minumanku dan pergi meninggalkannya, aku tidak tahu kalau aku tidak segera pergi entah perbuatan asusila seperti apa yang akan aku lakukan kepada wanita itu.
Aku masuk ke dalam mobil dengan cup plastik yang aku pegang erat, aku ingin merasakan kehangatan kulitnya.
“Jalan.” Perintahku.
Mobil berjalan meninggalkan kafe itu, hanya saja sepanjang perjalanan aku selalu memikirkan wanita itu, mata itu, bibir itu dan bahkan bekas genggaman tangannya pada cup
plastik ditanganku membuatku gelisah.
“Sial, siapa wanita itu.” Gumamku kesal.
Mobil berhenti di depan salah satu gedung pencakar langit di Australia.
“Kita sudah sampai, Tuan.” Ucap Charles salah satu asisten pribadi kepercayaanku sekarang.
Saat hendak turun, pikiranku masih memikirkan wanita kafe itu, bahkan tatapan mataku tidak henti-hentinya melihat tulisan tangan “Tuan Angkasa.” Pada cup ku.
“Kembali ke kafe tadi.” Ucapku.
“Tapi, Tuan. Kita ada punya banyak meeting hari ini dengan investor baru.”
“Apa aku harus mengulanginya lagi, Charles Atau memang kamu sudah tidak berkompeten untuk menjadi asisten pribadiku?” Ucapku dengan tatapan tajam, membuatnya hanya dapat menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.”
“Pindahkan semua jadwal meetingku besok, semuanya.” Perintahku.
Mobil berjalan kembali sampai berhenti di depan kafe. Cup yang berisi matcha latte buatannya selalu aku pegang, aku tidak ingin melepaskannya seolah ini adalah barang paling berharga yang aku miliki.
Aku turun dari mobilku, tetapi saat ingin membuka pintu kaca itu lagi. Aku merasa ragu. Ada apa dengan dirimu Kassa? Apa karena wanita itu membuatmu menjadi orang yang sangat bodoh sekarang.
Aku membalikkan tubuhku lagi untuk kembali ke mobil, tetapi aku merasa ragu kembali. “Aku akan mencari tahu siapa wanita itu.” Gumamku kecil.
Bruk!!!
Aku menabrak seseorang saat berbalik lagi, sehingga menumpahkan matcha latte berhargaku, membuatku ingin sekali membunuh orang di depanku ini sekarang.
“Maafkan saya, ini salah saya karena terburu-buru.” Ucapnya.
Aku melihat tubuhnya yang kecil dengan raut wajah yang terlihat merasakan banyak sekali kesedihan.
Aku ingin sekali memeluknya.
“Kamu lagi, selain tuli apakah kamu menjadi orang buta sekarang.” Ucapku yang sama sekali tidak sejalan dengan hatiku sekarang.
Dia menatapku lagi dengan mata dan bibir merah mudanya yang sedikit terbuka.
“Apa kamu memang sengaja untuk menggodaku.” Kataku.
Ya aku tergoda sekarang.
“Maaf, saya tidak…”
Aku segera pergi meninggalkannya dan masuk ke dalam mobilku. Ada apa denganku.
Aku melihatnya berlari kecil. “Ikuti wanita itu.” Perintahku kepada Charles.
Mobil kami mengikuti wanita itu secara diam-diam sampai dia berhenti di seberang jalan.
Dia melambaikan tangannya kepada seorang anak kecil yang digendong oleh seorang laki-laki. Apa itu suami dan anaknya?
Setelah itu mereka masuk ke dalam mobil dan aku masih mengikutinya, sampai mereka berhenti di sebuah restoran.
Laki-laki yang bersamanya itu sepertinya merupakan orang terkenal, karena banyak sekali orang-orang yang meminta fotonya.
“Charles cari tahu tentang laki-laki itu dan wanita itu.” Ucapku yang dijawab anggukan oleh Charles.
Aku merasa Charles seperti menyembunyikan sesuatu, dia terlihat terkejut melihat wanita itu saat bertabrakan denganku di depan kafe.
Setelah kurang lebih satu jam, mereka keluar dari restoran dan pergi menuju ke sebuah bangunan berlantai dua. Apa ini tempat tinggal mereka?
“Charles kita pulang.” Kataku, aku melihat lekat wanita itu saat mobil yang dikendarai Charles melewatinya sampai bayangannya benar-benar hilang dari pandanganku.
Aku sampai di apartemenku 30 menit kemudian, menghempaskan tubuhku lalu memejamkan mata.
Ponselku berdering menampilkan sebuah notifikasi email yang dikirimkan oleh Charles.
Aku membuka ponselku dan melihat lampiran yang dikirimkan Charles.
Aku membaca data diri wanita itu. Sarah Gibran.
“Wanita ini berasal dari Indonesia dan hanya lulusan SMA?” Gumamku.
Selebihnya dalam informasi yang dikirimkan Charles tidak ada yang berarti.
“Mengapa seorang wanita yang hanya lulusan SMA bisa sampai berada di negara orang seperti ini, bahkan tidak memiliki keluarga atau saudara sama sekali disini.”
“Langit. Apakah anak ini adalah hasil pernikahannya dengan pria itu.” Ucapku kepada diri sendiri.
Aku membaca data diri dari pria itu. Dave Franco.
Seorang model ternama di Australia dan belum menikah. “Belum menikah? Apa wanita ini adalah simpanannya?” Tanyaku heran.
Aku tertawa kecil di dalam kamarku yang sunyi. Sarah Gibran, Kamu wanita yang menarik.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah duduk di sudut meja kafe, mengabaikan pandangan penuh minat dari semua pengunjung kafe ini bahkan para pelayan yang berbisik dengan menatapku.
Kemana wanita itu? Apa dia kelelahan setelah melayani pria itu.
Kemarahanku tiba-tiba saja memuncak, entah mengapa aku sangat tidak suka melihat wanita itu berada dekat dengan pria itu, ingin sekali aku menyarangkan satu buah peluru ke tengkorak kepala pria yang bernama Dave itu.
Matcha latte yang kemarin sempat aku rasakan tidak seenak lagi seperti kemarin. Aku melirik jam tanganku.
“Sudah hampir satu setengah jam aku menghabiskan waktuku hanya untuk menunggu wanita itu.” Ucapku dengan kesal.
Aku berdiri dari tempatku duduk dan mendekati meja kasir tempat wanita itu kemarin berdiri.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Tanya seorang pria dengan gerakan lembut dan suara yang di buat aneh.
“Kemana wanita yang kemarin disini?” Tanyaku langsung.
“Hmm maksudnya Sarah, Tuan?” Tanyanya.
“Iya.”
“Sarah hari ini izin tidak masuk kerja, Tuan.” Ucapnya membuatku mendengus kesal. Sial.
Aku langsung melangkah pergi, membuka pintu kaca kafe dengan kasar. Memasuki mobil dengan pintu yang telah dibuka oleh Charles. “Jalan.” Ucapku membuat Charles langsung melajukan mobilnya meninggalkan daerah South Melbourne Market.
Pikiranku masih memikirkan wanita itu, tidak bertemu dengannya pagi ini membuat perasaanku menjadi tidak tenang, sampai tidak terasa mobil sudah berhenti di sebuah bangunan besar tempatku akan melakukan sebuah meeting dengan salah satu investor baruku.
BERSAMBUNG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!