Sepengetahuanku selama ini, istriku adalah sosok yang sangat patuh dan berbakti kepada suami. Ia merupakan wanita yang sangat ulet dan telaten dalam mengurus rumah tangga kami. Tidak ada yang menyangka sebuah kekurangan yang selama ini kuentengkan ternyata membuatnya berubah menjadi pribadi yang tidak berakhlak di kemudian hari.
Aku menikahinya tepat diusiaku menginjak angka dua puluh tiga. Di saat itu, ia juga berada di usia yang sama. Kami sudah lama menjalin hubungan asmara sejak duduk di bangku SMA. Perangainya yang ramah dan adabnya yang baik, sungguh membuatku terpesona dalam balutan dekapan cinta.
Sejak mengenalnya, aku benar-benar langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Sehingga akhirnya, kami memutuskan untuk saling setia hingga waktu membawa kami dalam lingkar pernikahan yang bisa dikatakan dalam kategori keluarga bahagia.
Setelah menikah aku memintanya untuk berhenti bekerja, karena penghasilanku bisa dibilang--sudah lebih dari cukup jika hanya untuk hidup berdua. Lagi pula, aku tidak ingin membuatnya kelelahan setiap harinya. Oleh karena itu, ia setuju saja jika harus menjadi seorang istri rumah tangga.
Bukan maksud untuk membebaninya dengan pekerjaan rumah, hanya saja agar ia fokus mengurus keluarga. Memang benar, saat ini kami masih berdua. Namun, suatu hari nanti aku yakin akan ada malaikat kecil yang akan menjadi penguat tali cinta.
...💔...
Namaku Ibra Maulana. Panggil saja Ibra. Sebagai seorang musisi aku sering disibukkan dengan perjalanan ke luar kota karena konser tunggal grup band kami. Selain sebagai gitaris, aku juga berprofesi sebagai wirausahawan dalam negeri. Mewarisi usaha kuliner dari keluarga besar yang sangat legendaris dan telah mencuri banyak hati. Ya, katakan saja aku ini seorang suami dengan multi-profesi. Namun, musik tetaplah identitasku sebagai musisi sejati.
Istriku bernama Liana Alvida. Biasa dipanggil Lian, namun ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Vida. Awalnya ia bekerja di salah satu cabang dari sebuah Bank Daerah yang terdapat di luar kota. Itu juga yang menjadi alasan kuat kenapa aku memintanya untuk berhenti bekerja. Karena butuh waktu tiga jam untuk sampai ke sana, sehingga ia tidak bisa pulang setiap harinya. Hanya di saat libur saja ia bisa kembali ke rumah, dan itu pun jika tidak ada perintah lembur dari atasannya.
Satu tahun setelah ia berhenti bekerja, jadwal pentasku semakin padat saja, sehingga aku jarang sekali pulang ke rumah. Terkadang ia juga ikut kemana pun--kota yang aku jarah. Namun, kali ini ia memutuskan untuk tinggal di rumah, dengan alasan lebih betah. Tanpa merasa curiga atau pun bagaimana, aku berangkat dengan wajah sumringah. Apalagi, bisa kulihat ia juga memasang senyuman cerah.
Sesampainya di kota tujuan, aku langsung fokus dengan pekerjaan, sementara Vida ternyata juga fokus dengan kekasihnya.
Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Dan ... apa yang menjadi penyebab pengkhianatannya?
Baiklah!
Akan aku ceritakan se-detail mungkin. Namun, tidak sekarang karena aku masih menderita luka batin. Beri aku sedikit waktu hingga luka ini mengering, sehingga aku tak lagi membatin.
Untuk para pembaca, jadikanlah kisahku ini sebagai ladang pelajaran. Siapa tahu kalian juga mengalami permasalahan yang sama dengan--apa yang akan aku ceritakan.
Yang jelas, jangan pernah mengentengkan hal kecil dalam rumah tangga. Karena apa yang kita anggap remeh, belum tentu remeh juga di mata istri kita. Sekecil apa pun kebutuhannya, tetaplah harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama. Karena, ketika ia tak lagi bersama, maka penyesalanlah yang akan menjadi teman hidup selamanya.
Tak perlu lagi kusebutkan namaku. Kalian semua pasti sudah tahu. Dalam bab ini, aku akan menceritakan bagaimana kisah awal pertemuan kami berdua.
Kala itu, kami tidak sengaja bertemu di depan gerbang sekolah baru. Karena ketika menginjak usia lima belas tahun, aku mulai mengecam pendidikan di bangku SMA. Dan di sinilah aku bertemu dengannya.
Vida merupakan gadis yang sangat ramah. Walaupun tak pernah mengenalku sebelumnya, ia dengan mudah melempar senyuman yang begitu tulus di pandangan mata.
Bukannya aku ingin mencuri perhatiannya, namun salah satu ban sepeda motornya menggilas telak kaki kiriku, yang kini masih menunggu antrian untuk memasuki halaman parkir. Ini sudah hampir bel masuk, makanya banyak sekali siswa-siswa yang berdesak-desakan memasuki lahan parkiran.
Karena telah menyadari keterlanjurannya, ia segera meminta maaf dengan mimik wajah tidak enak. Bukannya tidak enak dipandang mata, namun mungkin hatinya yang merasa tidak enak karena ban motornya telah melindas kakiku, sehingga menyebabkan sepatuku menganga.
"Aduuuh, maaf ya, aku gak sengaja." Dia menstandarkan kendaraannya, kemudian menghampiriku dengan wajah penuh kekhawatiran. "Luka gak ya?" tanyanya lagi sebagai bentuk perhatian.
Ah, wajahnya itu!
Malah telah mengurangi rasa sakitku sepersekian detik kemudian. Hebat sekali dia, dengan menatapku saja, aku bahkan sudah merasakan aura penawar yang muncul dari dalam dirinya.
Apa ada yang salah denganku? Atau mungkin aku sedang dilanda cinta pada pandangan pertama?
Aku rasa begitu!
...💔...
Lama tidak bertemu membuatku merasakan rindu. Ah, sepertinya aku benar-benar terpikat oleh pesonanya. Namun, apa boleh dikata? Memang itulah kenyataannya.
Kususuri koridor untuk mencari keberadaannya, ketika bel istirahat berbunyi. Cepat-cepat kulangkahkan kaki ini, agar aku mempunyai banyak waktu untuk mencari. Mencari sosok gadis yang bahkan belum aku ketahui namanya.
Setelah lima menit berlari ke sana-sini, akhirnya kedua netraku menangkap dua orang yang sedang bercengkerama di bawah pohon rindang. Dan ... aku mengenal wajah yang satunya. Dia adalah kakak kelas yang menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) yang telah kami ikuti, tiga minggu yang lalu.
Ya, aku adalah siswa baru. Begitu juga dengan Vida. Kami sama-sama berada di tahun ajaran yang sama. Apakah ini merupakan sebuah pertanda? Pertanda bahwa kami diciptakan untuk bersama?
Tidak ada yang tahu!
...💔...
Lima menit kemudian, kakak kelas berjenis kelamin laki-laki itu kembali ke kelasnya. Tak ingin kusia-siakan kesempatan ini, yang mungkin tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.
"Ibra ...!" seru seseorang yang sedang berada di belakangku.
Mendengar hal itu, sontak kuputar rotasi leherku sehingga menghadap padanya. "Apa?" Dengan nada malas aku masih berusaha untuk meresponnya.
"Gak papa, kamu mau kemana?" tanyanya yang membuatku semakin kehabisan waktu untuk melangkah maju.
"Mau nemuin itu ...." Kalimatku tercekat tatkala tak melihat satu orang pun yang berada di depan sana.
"Yah ... aku terlambat," gumamku yang mungkin terdengar oleh gadis di belakangku.
Nama gadis itu adalah Miranti Eka Pratiwi, panggil saja Ranti. Sejak pertama memasuki kelas, ia sudah menunjukkan sikap tertarik padaku. Namun, tidak dengan sebaliknya, karena aku sudah terlanjur jatuh cinta. Cinta kepada Vida.
"Kamu mau nemuin Vida?" tanyanya setelah itu.
Aku melengak setelah menyadari kebungkamanku. "Kamu kenal dia?" tanyaku padanya dengan wajah antusias. Jika Ranti memang mengenal Vida, mungkin aku bisa meminta bantuannya agar dapat lebih dekat dengan gadis yang aku suka.
"Gak terlalu sih, cuman setauku, dia itu pacarnya Kak Catur," tuturnya yang membuat hatiku seolah tercabik-cabik.
"Pacarnya Kak Catur? Catur Setiawan?" koreksiku seakan sudah salah mendengar ucapannya.
Ranti mengangguk tegas dengan ekspresi wajah penuh tanya. "Memangnya kenapa, Ib?"
Aku tak lagi bisa menjawab. Pandanganku serasa buram, langkahku pun sontak terasa gontai. Ternyata begini rasanya layu sebelum berkembang.
Namun sepersekian detik kemudian, kuputar rotasi badanku kembali menghadap Ranti.
"Ranti, apa aku bisa minta tolong?" pintaku dengan wajah penuh harap.
"Apa sih yang enggak buat kamu, Ib?!" tegasnya sembari mendekatiku. "Kamu mau minta tolong apa?"
Aku tersenyum geli mendengar kalimat itu. Apakah benar ia mau melakukan apapun untukku? Pikiran kotorku mulai berpacu. Namun kali ini, apa pun yang akan aku lakukan, hanyalah untuk mencapai tujuanku.
Sebelum mulai berucap kusapu berkali-kali tengkukku, karena merasa tak enak hati. Atau mungkin permintaanku ini, sangat tidak berperasaan sama sekali.
Maafkan aku Ranti, batinku saat ini.
"Emmm ... apa kamu bisa bantu aku buat dapetin nomor ponselnya, Vida?"
"Hah?" Ranti tampak ternganga. Mungkin ia tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya. "Untuk apa?" tanyanya dengan mode penasaran.
Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur padanya? Kicauan hatiku semakin menjadi-jadi.
"Untuk ... untuk menanyakan beberapa sumber buku yang sedang aku cari," jawabku yang tidak tega membuatnya tergores hati.
Dia lantas tersenyum geli karena melihat ekspresi wajahku yang terkesan kikuk dan takut sendiri. "Ngomong gitu aja, susah banget, sih? Ya, udah, nanti aku coba minta sama dia ya, itu pun kalo dikasi."
Aku mengangguk tanda mengerti, lalu mengajak Ranti kembali ke kelas kami.
...💔...
Keesokan harinya, Ranti menyodorkan secarik kertas berukuran kecil kepadaku. Aku yang merasa bingung, lantas menatapnya dengan penuh tanya.
"Ini nomornya si Vida, mau gak?"
Mendengar kalimat itu, aku langsung menerima kertas yang ia serahkan. Di dalam hati kuucapkan--Waktunya untuk berjuang. Dan pastinya Ranti tidak bisa mendengarkan.
Kuucapkan terima kasih banyak kepadanya. Walau bagaimanapun ia telah bersedia membantuku. Tanpa bersikap berlebihan dan terkesan memberinya harapan, aku lantas berlalu menuju perpustakaan.
Sesampainya di sana, ternyata ada pemandangan indah yang bahkan tak terduga.
Vida!
Gadis itu tampak sedang membaca sebuah buku di salah satu meja yang berdekatan dengan jendela.
Duh, cantiknya!
Namun, kalimat itu hanya kuucapkan di dalam hati saja. Sebagai pribadi yang pemalu dan tak banyak bicara, aku bahkan sangat sulit untuk mengekspresikan sebuah perasaan.
Kutambah langkah kakiku menyusuri lorong demi lorong rak buku yang tersusun hampir sepuluh jalur. Perpustakaan di sekolahku termasuk dalam kategori perpustakaan sekolah terbesar sekabupaten. Jadi, wajar saja, jika perpustakaan ini tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan ada juga tamu yang datangnya dari luar sekolah.
"Hei ...! Hei, kamu ...!"
Kudengar seruan lirih itu ketika aku baru saja mendudukkan tubuhku di atas salah satu kursi. Perlahan kutoleh ke arah kanan, dan melihat Vida melambaikan tangannya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pekikku girang di dalam hati.
Aku beranjak dari posisiku yang memang belum sempurna itu, lalu berjalan menghampirinya. "Kamu manggil aku?"
"Iya, kamu yang waktu itu tergilas ban motorku, 'kan?" tanyanya dengan wajah antusias.
Dia masih mengingatku, batinku merasa tersentuh.
Aku mengangguk, lalu ia memintaku untuk duduk berhadapan dengannya. Tentu saja, aku tidak keberatan sama sekali. Karena memang itulah yang aku cari.
Sesekali kucuri pandang terhadapnya yang masih fokus dengan buku bacaan di hadapannya. Level kecantikannya bertambah berkali lipat ketika dilihat dengan jarak dekat.
Kulirik sedikit ke arah bukunya, dan ternyata dia sedang membaca buku kesenian.
"Kamu suka seni?"
"Banget, dan aku paling suka seni tari dan musik."
"Kamu bisa main alat musik?"
"Bisa main gitar sedikit-sedikit, tapi aku lebih suka nyanyi."
"Wah, pasti suara kamu bagus banget."
"Ah, kamu bisa aja. Aku memang bisa nyanyi, tapi tak sehebat kakakku."
Aku mengangguk saja ketika ia mengatakan hal itu, hingga akhirnya konsentrasiku terbuyarkan tatkala ia memanggil sebuah nama.
Aku menoleh ke arah seseorang yang dipanggilnya, karena ia sudah berjalan mendekat ke arah kami.
Bukankah itu kekasihnya? Batinku dalam senyuman getir.
"Nanti pulang sekolah kita latihan, ya, Dik!" tegasnya kepada Vida ketika ia menggapai meja kami. Vida mengangguk patuh berbalut senyuman manis.
Hatiku semakin teriris mendengar percakapan mereka. Hingga akhirnya Vida memperkenalkanku kepada pria tersebut.
"Kak, kenalin ini ...." Vida menggantungkan kalimatnya karena memang ia tidak mengetahui namaku.
Kuulurkan tanganku ke arah pria itu, lalu memperkenalkan diriku. "Ibra ... Ibra Maulana."
Uluran tanganku disambut hangat oleh pria tadi. "Catur ... Catur Setiawan, kakaknya Vida."
JLEB
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!