NovelToon NovelToon

Limerence

PROLOG

Juli 2012

Bandara Soekarno Hatta terlihat ramai seperti biasanya. Banyak orang berlalu-lalang untuk mengantar dan menjemput. Kim melihat sekelilingnya, dia yakin akan merindukan kota kelahirannya ini.

"Apa kamu yakin nak akan pergi?" Kim menoleh menatap wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri, dan memberikan senyuman terbaiknya.

"Ibu ga usah khawatir. Ini sudah keputusanku. Aku akan baik-baik saja." Kim meyakinkan. Menggenggam kedua tangan orang yang sangat berarti baginya itu.

"Bagaimana kalau ibu kangen? Apa kamu akan pulang, mengunjungi ibu? Ibu memang bukan ibu kandungmu tapi Kim tau kan kalau ibu sayang sama Kim?"

Ibu Ratih mengusap kepala Kimberly dengan sayang. Ibu Ratih selalu berharap Kimberly lah yang akan menjadi menantunya. Tapi bahkan anaknya sama sekali tidak sadar akan perasaannya sendiri. Ia memaklumi. Mungkin mereka masih terlalu muda untuk sadar akan hal itu.

"Ibu udah Kim anggap Ibu kandung Kim. Ibu yang selalu disisi Kim saat Mama pergi. Terima kasih bu. untuk semuanya. Maaf Kim selalu merepotkan ibu dan yang lain. Kalau ibu kangen kan bisa telepon Kim bisa lewat Skyp* juga bu. Minta tolong sama ayah, kak Vina atau Al. Kim akan mengunjungi ibu kalau waktunya sudah tepat. Ibu pasti paham yang Kim maksud." Suara Kim melemah saat menyebut nama yang terakhir dan Ibu Ratih menyadari itu. Ia tau seberapa besar perasaan Kim terhadap anaknya itu.

Suara panggilan untuk pesawatnya sudah diumumkan. Kim bersiap bangun dari duduknya dan menatap sosok yang ada di hadapannya lagi. Hanya ibu Ratih yang mengantarnya ke bandara dan supir keluarganya. Suaminya ayah Dana harus bekerja. Kak Vina anak pertama bu Ratih pun harus kuliah. Dan Al. Dia sudah terlalu membenci Al. Bisa dibilang, merek saling mwmbenci.

"Kim pergi ya bu. Salam buat ayah dan yang lain. Jaga kesehatan ya bu." Kim memeluk wanita itu untuk yang terakhir kalinya. Menahan genangan air mata di pelupuk matanya. Kalau bisa milih dia tidak ingin meninggalkan kota ini terlalu banyak kenangan. Bahkan makam ibunya berada di kota ini. Tapi hatinya tidak sanggup. Dengan adanya tawaran beasiswa akhirnya dia memutuskan pergi. Pergi dari kota yang membuatnya tersenyum dan bersedih sekaligus.

"Sering-sering telepon ibu ya. Hati-hati di sana. Jaga kesehatanmu juga. Ingat kamu hidup sendiri di negara orang. Jangan makan makanan instan. Kamu bisa makan, pergunakan keahlian kamu itu. Ibu akan marah kalau tau kamu sakit atau kurus. ingat itu Kim." Ibu Ratih memperingatkan untuk terakhir kali. Mengusap rambut Kim dengan penuh kasih sayang.

"Iya bu. Kim janji tidak makan makanan instan. Tapi kalau kurus bukankah Kim akan terlihat semakin mempesona bu?" Ibu Ratih memukul pelan lengan Kim.

"Buat anak bodohnya ibu itu menyesal."

"Baik bu. Dia pasti menyesal." Kim tersenyum sendu. Tak yakin dengan ucapannya. Bahkan untuk menyapanya Al sudah tidak mau. Dia hanya harus melupakan Al. Dan inilah kesempatannya untuk melupakan Al. Ia harus yakin ia akan bangkit, toh jalannya masih panjang

Kali ini Kim harus benar benar pergi. Menoleh untuk yang terakhir kali merekam wajah yang akan dirindukannya wajah yang begitu mirip dengan sosok itu. Ia akan baik-baik saja. Hidupnya akan baik-baik saja.

Bab 1

Awalnya aku meyakinkan diriku untuk tidak jatuh cinta, sadar diri aku tidak seperti gadis lain yang mempunyai banyak waktu untuk mengagumi atau bahkan waktu untuk berkencan.

Tapi ternyata aku gagal. Aku jatuh cinta di usiaku yang ke enam belas. Dan orang itu adalah Alvaro Pradipta. Tetanggaku.

Siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan seorang Alvaro Pradipta. Al, dia baik. Dia pintar. Dia tampan, dengan mata teduh, hidung bangir, bibir indah, postur tubuh yang ideal tinggi diatas rata-rata dan kulit langsat yang ia dapat dari ibunya. Dia memiliki segalanya tanpa kekurangan. Keluarga yang kaya dan harmonis, memiliki banyak teman, dan banyak yang menyukainya.

Kami bertetangga. Aku dekat dengan keluarganya. Bahkan aku dekat dengan kakak perempuannya. Tapi kami tidak pernah dekat sama sekali. Dia mungkin tersenyum padaku, hanya tersenyum sopan. Dia selalu menolongku walau atas suruhan ibunya. Tapi aku tetap senang.

Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayahku, dia terlalu sibuk dengan keluarga barunya untuk dimintai tolong. Ayahku memang masih membiayai sekolahku. Dia tidak lepas tanggung jawab.

Aku yang hanya tinggal dengan ibuku lah yang menjadi alasan kenapa Al selalu disuruh menolongku. Entah memasangkan bohlam lampu. Atau memeriksa motorku yang sudah terlalu sering mogok. Seperti saat ini.

"Sepertinya motor kamu harus masuk bengkel kali ini. Ada masalah pada mesinnya. Dan aku kurang paham tentang itu." Aku mendingak menatap Al yang selesai memeriksa motorku dan mendesah. Selalu saja masalah seperti ini.

"Baiklah. Terima kasih sudah menolongku memeriksanya Al." Aku tersenyum memberinya es kopi favoritnya. Aku yang membuatnya. Membawa kopi itu dari tempat kerja paruh waktuku. Dan hanya itulah yang disukai Al dariku. Kopi buatanku.

"Besok kita bisa berangkat sekolah bersama. Dan biar aku yang mengurus motormu. Temanku ada yang mempunyai bengkel. Dia bisa menjemput motormu"

Al. Selalu baik. Aku selalu berusaha menangkal pikiran halu di otakku. Dia melakukan ini hanya karena peduli dan memang karena dia baik. Bukan karena dia perhatian padaku.

Sudah beberapa kali saat motorku dibenahi Al selalu mengajakku untuk berangkat bersama. Tapi tetap disekolah kami tidak pernah dekat. Dia yang berada di kelas IPA dan aku yang di IPS menjadi salah satu alasan. Dan alasan utama, karena Al begitu populer diantara sekian banyak murid.

Kami dekat hanya karena sebatas tetangga. Dan orang-orang tidak sibuk menggosipkan aku dan Al yang selalu datang bersama. Karena Al yang mengkonfirmasi hal itu.

"Kalian datang bersama lagi?"

"Motornya masuk bengkel lagi. Sebagai tetangga yang baik dan anak yang berbakti. Aku mengikuti saran ibuku untuk berangkat bersama." Itu yang selalu diucapkan Al kalau salah satu temannya bertanya.

"Terima kasih Al." Melihatnya mengangguk tanpa menjawab apapun bahkan tanpa melihatku. Aku segera berjalan menuju kelasku. Ingat itu Kim. Dia hanya berusaha menjadi tetangga yang baik dan anak yang berbakti. Karena ibunya yang menyuruh untuk mengantarku.

Aku mendapat pesan dari Al kalau dia tidak bisa mengantarku pulang. Dan yap benar saja aku melihatnya mengntar perempuan teman sekelasnya. Dan dia Siska. Seorang model remaja yang disukai Al.

Sudah benar bukan pilihanku untuk tidak mengatakan perasaanku?

"Bu, Kim berangkat kerja dulu ya." Aku mengintrupsi ibu yang sedang sibuk dengan pesanan cateringnya.

"Iya hati-hati ya. Naik apa? Motormu kan di bengkel."

"Kim bisa naik sepeda bu. Sayang ga dipakai."

"Harusnya kamu ga perlu kerja. Toh ayahmu kan ga lupa kasih uang jajan dan sekolah." Dan lagi-lagi. Ibu selalu melarangku untuk kerja. Katanya bukan urusanku untuk memenuhi kebutuhan.

"Lumayan bu nambah uang jajan sama tabunganku." Aku menyalami ibu dan dua pegawai ibu yang turut membantu.

Ibu hanya menggelengkan kepala. "Ya sudah terserah kamu. Asal sekolahmu baik-baik saja."

Aku pergi menuju coffee shop tempatku bekerja paruh waktu. Coffee shop ini milik keluarga temanku, Dinda. Dipegang oleh kakaknya kak Dimas.

Hampir satu tahun aku paruh waktu disini dan lumayan untuk menggemukan tabunganku. Aku tidak bisa mengandalkan ayahku yang mungkin saja sewaktu-waktu ia lupa. Seperti saat aku di sekolah menengah pertama. Saat ia lupa membiayai kami dan sibuk dengan keluarga barunya.

Aku melihat Al sedang duduk di sudut cafe saat aku sampai. Ternyata dia membawa Siska kemari. Tanpa membawa teman-teman lelakinya. Itu berarti mereka ada hubungan spesial bukan?

Berusaha sibuk tanpa menghiraukan pasangan itu. Tenang ini sudah biasa. Tidak seharusnya aku iri apalagi cemburu.

"Kim kamu udah datang? Aku pesan kopi yang biasa kamu buatkan ya satu."

Aku mengerut menatap Al yang ada dihadapanku. Bukankah dia sudah pesan kopi? Aku melirik ke arah mejanya dan ternyata dia tidak meminum kopi itu.

"Ah oke. Dua puluh dua ribu. Ada lagi yang mau dipesan Al?" Aku benci saat aku berhadapan dengan Al. Suaraku selalu terdengar seperti dibuat-buat.

"Tidak itu saja. Aku ketagihan dengan kopi buatanmu." Dia menyengir. Kalimatnya membuatku tersipu. Sial begitu saja aku sudah bahagia.

Aku memberinya kembalian uangnya. Dan memberitahu kalau nanti pesanannya akan diantar ke meja.

Sebenarnya kopi buatanku sama seperti yang diajarkan kak Dimas pada kami karyawannya. Tapi entah mengapa Al selalu meminta kopi buatanku. Dan aku senang akan hal kecil seperti itu.

Aku membawa kopi buatan Al ke mejanya. Melihat Siska menatapku tidak suka. Aku yakin dia tau siapa aku. Bukan, bukan karena aku populer di sekolah. Tapi karena aku Kimberly si tetangga Al.

"Kamu kenapa pesan kopi lagi sih yang. Kan ini masih ada."

Aku mendengar Siska protes saat aku menaruh gelas kopi di meja. Dan benar saja mereka punya hubungan dengan panggilan 'yang' yang sepertinya sengaja ditekankan.

Berusaha menutupi perasaanku. Hanya perlu pura-pura tidak mendengarnya.

"Kopi buatan Kim enak. Kamu mau coba? Aku aja ketagihan." Al meminumnya dan menyodorkan ujung sedotan yang sudah dipakainya pada siska.

Aku segera undur diri. Hal itu membuat hatiku sedikit teriris. Bahkan mereka meminum dengan satu sedotan yang sama. Walaupun aku tau itu hal wajar untuk orang yang berpacaran.

Saat pulang bekerja. Aku memilih untuk berjalan sambil mendorong sepedaku. Tidak ingin cepat sampai rumah. Kelelahan adalah pilihan terakhir agar segera tertidur tanpa memikirkan apapun. Terutama kejadian saat di cafe.

Saat sampai ibu menyuruhku mengantarkan kue ke rumah ibu Ratih. Rumahnya Al. Dan kini Al lah yang membukakan pintu untukku. Entah ini kesialan yang mengiringiku atau keberuntungan karena bertemu dengannya lagi.

"Ini titipan dari ibu." Aku memberikan kue itu pada Al yang masih terdiam. Tak ada tanggapan aku segera berlalu.

"Kim." Aku menoleh saat Al memanggilku. Dan mengangkat sebelah alisku tanpa menjawabnya.

"Sampaikan terima kasih untuk ibu. Dan apa kamu mau datang ke acara ulang tahunku hari minggu ini?"

Aku terkejut mendengarnya. Sudah lewat dua tahun Al tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Katanya dia sudah bukan anak-anak.

"Hanya beberapa orang saja dan hanya barbeque-an disini." Aku mengangguk mendengarnya dan tersenyum.

"Baiklah. Aku akan datang."

Kali ini aku benar benar kabur ke rumahku yan. Tepat disebelah kanan rumah Al. Terlalu bahagia. Aku sampai meloncat dan sudah memikirkan kira-kira kado apa yang cocok dan berguna untuk Al.

Besoknya aku memutuskan untuk pergi sekolah sendiri mulai hari ini, setelah ingat kalau Al kini sudah ada yang punya. Bahkan kini sekolahpun gempar dengan berita itu. Bukan hal aneh. Karena Siska sangat populer dikalangan murid perempuan dan laki-laki. Mengabaikan itu adalah pilihan terbaik.

Pulangnya aku membeli kado untuk Al. Sebuah jaket kulit yang harganya memang tak seberapa. Tapi aku harap dia suka.

Aku terlalu excited. Lihatlah aku membongkar lemari bajuku. Mencari sekiranya pakaian yang bagus untuk menghadiri acara Al malam ini. Setidaknya aku ingin tampil cantik sesekali. Aku yakin Siska pasti datang.

Sedikit berdandan mungkin akan lebih baik. Awalnya aku ingin mengenakan dress. Tapi pada akhirnya aku tetap memilih jeans dan baju hitam dengan model sabrina karena tidak percaya diri dengan pakaian yang berwarna terang.

Aku berjalan menuju rumah Al dengan membawa kado dan kue titipan ibuku. Dari sini aku bisa mendengar beberapa teman Al sudah ada di halaman belakang rumahnya.

Aku disambut ibu Ratih yang seperti biasa tampil cantik dan anggun. Menyuruhku langsung ke belakang karena Al sedang menjemput Siska.

"Si Al itu loh Kim. Harusnya kan dia tidak menjemput karena dia tuannya. Tapi si Siska Siska itu aleman. Masa minta jemput segala. Mana mintanya pakai mobil. Ribet. Ga mandiri." Aku tersenyum mendengar keluhan ibu Ratih. Tapi apa yang harus ditanggapi? Toh Siska pacarnya Al.

Aku bergabung dengan teman-teman Al yang sudah sedikit akrab denganku. Karena aku paling dekat dengan Daniel karena dia teman sekelasku. Jadi aku membantunya membakar sosis dan beberapa daging.

"Kamu keliatan beda hari ini." Daniel tersenyum jenaka menggodaku. Aku memang jarang tampil bak perempuan.

"Hmm karena aku memang jarang berdandan." Kami tertawa. Daniel tau tentang perasaanku. Karena pernah memergokiku saat menulis nama Al di buku catatan ku.

"Kau tau kalau dia dan Siska..."

"Ya aku tau. Dan itu bukan masalah." Aku tersenyum menatap Daniel.

"Kapan kamu bilang ke Al tentang.."

"Tentang apa?"

Aku dan Daniel terkesiap ketika Al tiba-tiba ada diantara kami.

"Tidak. Aku dan Kim sedang membicarakan tentang kampus yang nanti akan kami pilih. Ya kan Kim?"

"Ah iya" aku mengangguk dengan cepat membenarkan perkataan Daniel. Al terlihat bingung.

"Aku mendengar kamu menyebutkan namaku niel." Al bertanya. Terlihat ada kerutan samar di dahinya. Menandakan diantidak percaya.

"Kamu salah dengar."

"Ini sudah matang. Aku bawa ke meja ya. Kamu panggil teman-teman kamu dulu Al"

Aku mengalihkan. Beruntung Siska segera menghampiri al dan mengaitkan tangannya, mengajak Al untuk segera duduk dan memulai acara. Aku segera berlalu dan duduk diantara teman-teman Al. Daniel duduk di sebelahku. Menyengir dan meminta maaf tanpa suara. Aku hanya mendengus menanggapinya.

Acara berjalan dengan seru. Aku tertawa banyak walaupun sebenarnya aku sedih. Melihat betapa mesra dan perhatiannya Al ke Siska.

Daniel terlihat khawatir denganku. Dan aku abaikan.

Saat acara selesai aku membantu ibu Ratih. Kak Vina dan mbok Jum membereskan semua. Yang lain sudah pada pulang. Al pun mengantarkan kekasihnya pulang.

"Kamu loh ya harusnya bilang kalau kamu suka sama Al. Ibu ga suka deh sama si Siska Siska itu. Kamu lihat kan Kim pakaiannya sangat terbuka. Gaun itu seharusnya untuk seusia Vina, bahkan mungkin diatas Vina. Dan tadi dia minta pulang tanpa pamit ke ibu sama ayah. Gak ada sopan-sopannya. Mana dia bilang ke Al. Kenapa Al ngundang kamu. Kata dia kamu ga pantas ada di acara itu."

Ibu Ratih mengeluh. Dia sangat tidak menyukai Siska. Aku tidak bisa mengatakan apapun karena aku memang tidak mengenal Siska. Yang ku tau dia seorang model.

"Al mana suka sama aku bu. Sainganku sekelas Siska ya jelas bukan aku yang Al pilih."

Kak Vina tertawa. "Al tuh ga bisa disuruh peka Kim. Dia harus dikasih tau baru sadar."

Aku kembali menggelengkan kepala. Ibu dan kak Vina terlalu mendukungku. Ga adil rasanya buat Siska. Walaupun sikap ga suka ibu dan kak Vina karena Siska sendiri.

Aku segera berpamitan saat selesai membantu. Dan betapa kagetnya aku melihat Al ternyata sedang duduk di depan teras. Heran kenapa dia tidak masuk kedalam rumah.

"Aku pulang Al, terima kasih sudah mengundangku. Dan selamat ulang tahun." Aku tersenyum heran. Kenapa Al terlihat marah.

"Bisa kita bicara?"

Aku mengerut mendengar nada bicara Al. Terdengar ketus.

"Bicara apa?"

"Kenapa kamu mengatakan perasaan kamu sama ibuku dan kak Vina? Kamu sengaja? Kamu tau ibu dan kak Vina sangat menyukaimu. Jadi mereka bersikap tidak suka saat Siska datang kemari. Siska bahkan marah padaku karena ibu yang terang-terangan tidak menyukainya. Dan aku yakin kamu senang akan hal itu!"

Al membentakku. Dan ini pertama kalinya Al melakukan itu. Dia bahkan mencengkram tanganku. Membuatku refleks merintih.

"Benar kata Siska. Gak seharusnya aku dekat dengan kamu. Gak seharusnya aku mengundang kamu. Kamu mungkin bisa meminta dukungan ibu dan kak Vina tapi buatku kamu bukan siapa-siapa. Mulai sekarang menjauhlah dariku dan keluargaku."

Al masuk kedalam rumah meninggalkan aku sendiri. Jadi Al sudah mengetahui semuanya. Dan bodohnya aku tetap berharap melalui keluarganya. Benar kata Al. Aku memang bukan siapa-siapa.

Merenungkan semua semalaman membuat kepalaku sakit pagi ini. Tidak, aku tidak menangis sama sekali. Air mataku sudah habis saat mengetahui ayah bisa mengkhianati orang sebaik ibu. Jadi untuk urusan ini aku tidak mau repot harus menangisinya. Itu hal sia-sia.

Disekolah aku menghindari segala hal yang berhubungan dengan Al. Termasuk menghindari Daniel yang sekelas denganku. Menghabiskan waktu di perpustakaan adalah jalan terbaik untuk menghindar. Tempat terbaik untuk tidak terlihat.

Dan karena sebentar lagi ujian. Aku akan berhenti bekerja. Jadi aku tidak akan melihat pemandangan tidak mengenakan lagi.

Begitulah hari demi hari yang kulewati. Tapi hari ini sialnya, aku lupa membawa bekal dan mengharuskanku pergi ke kantin sekolah.

Aku, Dinda dan Daniel pergi bersama. Daniel selalu saja bisa membuat obrolah lucu dan hangat. Aku pergi ke toilet dan Dinda memesan makanan. Namun sial aku berada di tempat dan waktu yang salah.

"Akhh.." Aku bertabrakan dengan Siska. Dan tampaknya dia tak suka karena minumannya tertumpah di bajunya. Beberapa temannya mengerubungi kami.

"Kimberly. Kamu sengaja ya?! Kamu ga suka sama aku karena aku berhasil ngedapetin Al? Kalau kamu ga suka kamu harusnya bilang baik-baik. Ga perlu siram aku." Nada bicaranya terdengar aneh seperti dibuat-buat. Dan hei apa-apaan itu. Aku bahkan tidak menyentuh minuman yang ternyata kini tergeletak dibawah itu.

"Loh kenapa kamu.."

"Siska kamu kenapa?" Itu suara Al yang memotongku. Aku melihat dia menghampiri siska dan menyampirkan jaketnya di bahu Siska.

"Itu Al si Kimberly dia nyiram Siska. Aku liat dengan kepalaku sendiri."

Hah? Demi apa. Yang membela Siska itu teman Siska sendiri. Dan setauku tadi tidak ada siapapun.

"Aku bahkan ga nyentuh gelas minuman itu. Terserah Al kamu mau percaya atau tidak. Itu bukan urusanku."

Aku pergi tanpa membiarkan Al berkata apapun lagi. Aku ga akan membiarkan hatiku terluka hanya dengan kata-kata yang ia lontarkan lagi.

Bab 2

Aku mendengar semua orang mencemooh ku. Dan ini kedua kalinya aku dibicarakan semua orang setelah sekian lama. Yang tidak peduli akan kejadian kemarin hanya Dinda, Daniel dan beberapa murid lain yang memang tidak mengurusi hal remeh seperti itu.

"Sebel deh mereka ngehakimin kamu seolah mereka paling benar. Si nenek lampir lagi. Pakek sok sokan tersakiti, kebanyakan nonton drama dia. Harusnya kamu ke kamar mandi sama aku." Aku meringis mendengar ocehan Dinda yang sibuk marah-marah.

"Udahlah ga ada untungnya juga kan buat kita. Mau membela diri kaya gimana juga. Siska pasti dibela." Benar bukan? Mengingat seberapa terkenalnya dia dikalangan murid. Aku mencoba meredamkan emosi Dinda. Dan Dinda mencebikkan bibirnya. Membenarkan perkataanku.

Mau gimanapun sejak acara ulang tahun Al aku pasti terlihat salah dimatanya. Jadi buat apa susah-susah membela diri.

Menjaga jarak paling sulit dilakukan saat dirumah. Apalagi ibu Ratih yang terkadang mampir ke rumahku untuk memesan kue atau mengantarkan makanan. Kadang ibu menyuruhku mengantarkan kue-kue buatannya. Beruntung aku bisa membaca situasi melalui kamarku di atas yang jendelanya tepat menghadap halaman rumah Al. Dan aku mengantarkan kue saat Al tidak berada dirumahnya.

Minggu berlalu. Dan aku sudah melewati ujian nasional. Berharap aku lulus dengan nilai terbaik. Walau bukan yang tertinggi.

Karena ibu sedang tidak enak badan. Aku terpaksa harus makan siang di kantin lagi. Sejak insiden itu aku tidak pernah ke kamar mandi atau kantin sendiri. Dinda selalu menemaniku.

"Kamu tau? Aku dengar Al dan Siska selalu bertengkar akhir-akhir ini." Dinda berbisik saat melihat Al dan teman-temannya memasuki kantin tanpa Siska disampingnya.

"Kamu tau dari mana?" Aku mengerut. Mungkin saja mereka memang tidak pergi bersama bukan?. Walaupun aneh karena mereka sekelas.

"Teman ekskul-ku yang kebetulan sekelas dengan mereka. Mereka bahkan sempat ribut di kelas. Yah lebih tepatnya Siska yang cari masalah di kelas."

Wow. Aku baru tau akan hal itu. Tapi masa bodo. Aku mungkin masih menyukai Al. Tapi aku tidak mau menjadi bodoh. Karena mengharapkan.

Dinda izin ke kamar mandi saat Daniel tiba-tiba duduk di sampingku, teman-temannya ikut bergabung dengan meja kami. Dan tanpa diduga Al juga ikut duduk di hadapanku menggeser mangkuk bakso Dinda.

"Ada yang mau minta maaf dengan kamu." Daniel menyenggol bahuku dan mengedikkan kepalanya ke arah Al. Membuat aku otomatis memandang Al yang ternyata sedang menatapku.

"Kenapa memang?"

"Aku sudah salah menilai." Al mengucapkan itu sambil menatapku. Aku terdiam. Tidak mengatakan apapun. Terlalu malas. Dan memilih melanjutkan makanku.

"Aku antar kamu pulang."

Aku mendongak kembali dan mengerutkan kening. "Septian udah antar motorku. Jadi aku bisa pulang sendiri."

Aku melihat Al menatap Septian dengan tatapan seolah berkata 'kenapa tidak memberitahuku' yang membuat Septian tersenyum kikuk.

"Toh masih bisa bicara di rumah kalau memang niat minta maaf. Lagian sebel banget. Kok bisa cowok pacarin cewek cantik yang etitude nya nol." Aku melotot mendengar Dinda yang datang-datang nyeletuk dengan santainya.

"Mana kita tau. Pas pdkt pasti tiap orang nampilin kesan baik untuk dapat nilai lebih. Bukan gitu Kim?"

Aku menoleh menatap Daniel dan membalas dengan memutar mataku. Malas membahas hal ini.

Pulang sekolah ibu meminta tolong seperti biasa mengantarkan kue ke rumah sebelah. Aku memperhatikan area halaman untuk memastikan tidak ada motor Al. Dan yap Al belum pulang.

Aku mengetuk pintu. Dan terkejut yang membuka ternyata Al. Aku kembali menengok melihat halaman rumahnya dan benar tidak ada motor Al di situ.

"Motorku dipinjam Dito." Dia memberitahu seolah bisa membaca gelagat ku.

"Aku ingin antar pesanan ibu Ratih."

"Itu aku yang pesan. Bukan ibu. Lagian pake panggil nama ibuku lengkap. Kedengarannya aneh. Biasanya juga panggil ibu."

Aku semakin terkejut mendengar nada ramah Al. Bukankah dia sendiri yang minta aku untuk menjauh dan jangan belagak dekat dengan keluarganya?

"Ah oke. Kalau gitu aku pulang. Terima kasih." Sebelum aku berbalik Al menahan tanganku.

"Bisa kita bicara? Aku ingin minta maaf."

"Sudah aku maafkan." Sial aku terlalu cepat menanggapi. Bagaimanapun aku jarang bersentuhan dengan Al. Ini membuat perutku melilit.

"Aku sudah putus dengan Siska. Dia tidak sebaik yang aku pikir. Dan masalah kejadian depan kamar mandi. Aku melihatnya dari kejauhan. Dan ya aku tau kamu tidak salah."

Aku melongo mendengar apa yang Al ucapkan. Dia melihat tapi tidak membelaku sama sekali?

"Bisakah kamu tidak menjauhiku lagi? Terutama keluargaku. mereka mengomeliku abis - abisan karena kamu jarang ke rumah."

Aku tersenyum melihat Al memasang muka memelas. Aku menjauhinya atas permintaannya. Tapi aku juga harus tau diri. Bukan berarti dia ingin dekat denganku hanya karena memintaku untuk tidak menjauh.

"Ah iya ya sudah. Lagi pula ga ada yang perlu di bahas. Semua udah lalu."

Aku melepas cekalan tangan Al. Dan segera berlalu. Jatungku masih berdebar. Aku tidak bisa menutupi kebahagiaanku saat mendengar Al mengatakan telah putus dengan Siska. Mereka hanya jalan sebulan. Entah kenapa aku bersyukur. Jahat memang.

Ting

Aku menatap handphone ku dan membaca sebuah pesan yang dikirim Al.

'Sebagai permintaan maaf dan mumpung kita sudah bebas. Mau nonton denganku besok?'

'Boleh aku yang memilih filmnya'

Aku membalas dan segera tidur. Berusaha mengabaikan rasa senangku. Ini pertama kalinya Al mengajakku jalan.

Besoknya aku melihat Al sudah duduk di atas motornya tepat di depan pagar rumahku.

"Kamu berangkat sama aku ke sekolah. Biar kita bisa langsung nonton pas pulang."

Al memberikan helm padaku. Aku melihat ia memakai jaket pemberianku. Dan sial dia tampan. Dan hal ini membuat kami sangat terlihat canggung. Ah mungkin hanya aku yang canggung.

Al membawa motor dengan santai. Toh kita memang sudah bebas. Tidak ke sekolah pun tak apa. Hanya saja ini mungkin kesempatan kami murid kelas tiga untuk mengenang masa sekolah. Sekalian memenuhi berkas untuk pengajuan beasiswa.

"Kamu milih kampus apa?"

Aku menoleh pada Al yang berjalan di sampingku. Ini pertama kalinya kami berjalan berdampingan.

"Di Jakarta aja. Targetku bukan kampusnya tapi beasiswanya. Selama mereka menyediakan beasiswa penuh aku akan mengambilnya." Al mengangguk mendengar penjelasanku.

"Aku juga milih di Jakarta."

"Ahh okay." Aku bingung harus merespon apa. Aku memang anak yang pasif dan sedikit jutek kalau kata Dinda.

"Apa jurusan yang kamu pilih?" Al bertanya lagi.

"Hmm. Mungkin akuntansi. Tapi aku hanya mengambil D3."

"Agar cepat lulus?"

Aku mengangguk. Tujuanku kuliah hanya formalitas kalau yang sebenarnya aku tidak ingin kuliah sama sekali, terlalu malas. Tapi Ibu bilang pasti banyak yang melihat latar belakang pendidikan saat melamar kerja.

Kami memasuki kantin. Di kantin aku sudah melihat Dinda dan Daniel.

"Kamu dipanggil bu Fitri Kim." Dinda memberitahu padaku. Aku menitipkan tasku dan segera berlalu ke ruang BK.

Bu Fitri memberi tahuku kalau ada beberapa beasiswa yang ditawarkan. Dan aku memilih salah satu kampus swasta yang terbilang bagus, karena hanya itu yang menawarkan beasiswa penuh untuk D3. Ibu Fitri lah yang membantuku. Ibu Fitri bilang, aku terbilang mampu karena masih memiliki ayah. Jadi bu fitri menyarankan beasiswa prestasi. Aku bukan anak yang jenius tapi aku cukup pintar, sejauh ini hanya otakku yang bisa aku andalkan. Minimal nilaiku belum pernah ada yang menurun.

Setelah memenuhi berkas. Kami bersiap untuk pergi ke mall. Aku dan Al berangkat dari sekolah menuju mall terdekat. Sedikit kecewa. Ternyata kita tidak hanya berdua. Tapi Al mengajak yang lainnya. Termasuk Dinda. Ya sudahlah toh aku memang tidak mau lagi berharap.

Kami menonton film Karate Kid yang tayang pada saat itu. Film yang seru dengan suasana yang canggung. Aku duduk di pojok baris E. Al duduk tepat disebelahku. Dia memberikan jaketnya untuk menutup bagian rokku yang tersingkap sedikit dan perasaanku terombang ambing hanya karena hal kecil seperti itu.

Ingat Kim. Dia melakukan itu karena memang dia baik. Bukan karena hal lain.

Kami pulang setelah nonton dan makan makanan cepat saji. Al menurunkanku tepat didepan pagar. Aku memberikan helm dan jaketnya. Dan berterima kasih atas traktirannya.

"Sekali lagi aku minta maaf. Ibu bilang kalau kamu tidak pernah mengatakan apapun masalah perasaan kamu ke ibu ataupun kak Vina."

Aku terdiam hanya menatap Al yang terlihat tidak nyaman dengan tatapanku.

"Tidak masalah."

"Bisa kita kembali berteman?" Al menatapku dengan pandangan memohon. Membuatku sedikit tersenyum.

Okay. Mungkin memang semua harus diawali dengan pertemanan. Kita memang belum bisa dibilang berteman. Bertetangga mungkin iya.

"Baiklah. Lebih baik kita masuk."

Al tersenyum. Lalu memasukkan motornya ke dalam rumahnya.

Dan malam ini. Mungkin aku tidak akan bisa tidur sama sekali.

Bolehkah aku berjuang lagi Al?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!