Gelap. Rumah itu dipenuhi dengan aura kegelapan yang amat mencekam. Meski di senja menuju malam bulan bersinar terang, namun aura kegelapan dari rumah itu tak kalah kuat dengan terangnya sang bulan.
Rumah itu sangatlah besar, bertingkat tiga dan memiliki halaman yang luas. Bahkan dari gerbang masuk hingga pintu masuk utamanya, terhampar karpet merah yang siap menyambut para tamu ketika berkunjung ke sana.
Rumah tersebut dikelilingi pagar berduri. Di setiap sisi pagar rumah itu, terdapat lampu jalan berdesain antik dengan cahaya yang redup. Tak hanya itu. Di sisi kiri halaman rumah juga terdapat air mancur yang kini tak lagi menyala. Di sisi kanan halamannya pula, terdapat sebuah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga cantik nan indah. Sedangkan, karpet merah tadi adalah sebagai pembatas antara sisi kanan dan sisi kiri halaman rumah. Sungguh rumah yang luas dan mewah.
Namun, aura kegelapan dari rumah itu tak kunjung hilang. Angin terus berhembus kencang, menerpa kepala seorang pemuda yang ada di dalamnya. Dia yang tepatnya berada di lantai dua, di sebuah ruangan luas dengan jendela terbuka. Ruangan itu adalah kamarnya.
Pemuda itu terus berdiri sembari menatap resah keluar jendela. Rasa tegang, resah, dan tidak nyaman terus menyelimuti benak pemuda itu. Suasana hatinya sangat berantakan. Firasatnya seolah mengatakan seperti ada hal buruk yang akan terjadi. Dia terus mencoba tak khawatir dan berusaha untuk menenangkan dirinya. Namun, ia tak mampu melakukannya.
Pemuda itu tak sendirian. Seorang wanita paruh baya tampak sedang mencoba menyalakan listrik cadangan di lantai satu. Wanita itu adalah ibunya. Saat itu, keadaan rumah sedang mati lampu. Tak seperti biasanya. Dari sekian banyak bangunan, tak ada sedikitpun tanda yang menunjukkan bahwa listrik sedang konslet dalam kompleks tersebut. Hanya menyisakan satu bangunan luas dan mewah, yaitu rumahnya. Aneh. Orang kaya mana yang terlambat membayar tagihan listrik, membiarkan aliran listrik rumahnya terpaksa diputus. Pemuda itu pun mulai heran dan bertanya-tanya dalam hatinya.
"Sepertinya ada seseorang yang telah sengaja menyabotase listrik rumah kita." gumam pemuda itu dengan wajah resah.
"Tapi mengapa, ya? Ah! Sudahlah. Paling hanya perasaanku saja!"
Pemuda itu akhirnya kembali duduk di atas ranjangnya. Dia menghela napas panjang, lantas merebahkan badannya di atas kasur. Sesekali, tubuhnya bergidik entah mengapa. Bulu kuduknya berdiri.
"Situasi macam apa ini? Apa aku sedang takut? Cih, Memalukan sekali! Aku ini bukan anak kecil lagi, lho!" gumamnya sambil mengacak rambut hitam panjang miliknya.
Duaarrrr!!!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat keras entah dari mana asalnya. Pemuda itu pun sontak terbangun. Dia tertegun dengan tatapan kosong.
"A-apa itu?" lirihnya sambil kembali berjalan menuju jendela kamarnya. Seketika rasa panik langsung menyelimuti hatinya. Dia mengamati keadaan sekitar di luar jendela. Tampak mencurigakan.
Duaarrrr!!!
Suara mengejutkan itu datang kembali. Ternyata suara itu adalah suara petasan kembang api yang terlihat bergemilang di atas langit. Pemuda itu kembali menghela napas lega.
"Fyuuuh… Syukurlah. Memangnya sedang ada festival apa, sih?" tanyanya dalam hati. Tanpa menunggu lama, pemuda tersebut segera mengamati kembali kondisi terkini di luar jendela. Namun, ia tak menemukan satu pun keramaian di sana.
"Oh, ya, mengapa ibu tak kunjung kembali juga, ya? Kira-kira ini sudah lebih dari dua puluh menit. Atau jangan-jangan sesuatu telah terjadi pada ibu?" kata pemuda itu penuh rasa khawatir.
Pemuda itu pun mulai membuka pintu kamarnya perlahan. Ia mulai memanggil ibunya. "Ibu…Ibu… Ibu dimana? Apa ibu baik-baik saja?"
Namun, tak ada sedikitpun jawaban dari ibunya. Pemuda itu pun segera meninggalkan kamarnya, menyusuri lorong menuju tangga, menapaki satu per satu anak tangga, menuju lantai satu. Gelap. Di lorong itu tak ada sedikitpun cahaya. Tubuh pemuda itu mulai bergemetaran.
"Ibu! Apa yang terjadi? Di mana ibu berada?" untuk kedua kalinya pemuda itu berteriak memanggil ibunya.
Tetap saja tidak ada sedikitpun suara yang membalas. Ketika ia sampai di tangga, ia samar-samar mendengar jeritan yang ambigu. Suaranya begitu kecil sehingga terlalu sulit untuk mencari sumber suara tersebut.
"Kyaaaaaaa!!!"
Suara jeritan itu kembali terdengar. Namun, suara ini begitu jelas. Sangat berbeda dari yang sebelumnya. Pemuda itu begitu yakin bahwa suara jeritan itu adalah milik ibunya. Tatapan matanya kembali kosong. Pikirannya bercampur aduk tidak beraturan.
Pemuda itu pun segera melangkahkan kakinya, bergegas menuju arah sumber suara dengan penuh rasa takut yang terus membalut jiwanya. Ia menduga suara itu berasal dari ruang kerja ayahnya. Lantai satu.
...****************...
"Oi! Mengapa kau membiarkannya membuka pintu lalu berteriak? Dasar, Sialan!" keluh seorang pria berjubah hitam dengan topi pesulap yang juga hitam mengkilap. Rambutnya keriting dan panjang. Sebatang rokok tampak terjepit di antara kedua bibirnya. Tampangnya sangatlah mengerikan. Ia tampak seperti seorang pembunuh bayaran handal dan berdarah dingin.
"M-maaf, saya tidak sengaja, Bos. S-saya kira dia sudah tak bisa bergerak. Lihat saja, dia sudah terikat seperti itu." Balas seorang pria yang memiliki tubuh kekar tak berambut itu. Ia juga memiliki banyak luka di wajahnya. Pria bertubuh besar ini berada di ruangan yang sama dengan pria berjubah hitam tadi. Rupanya pria bertubuh besar itu adalah anak buah darinya. Ia pun menutup kembali pintu ruangan tersebut.
Duaakk!!!
Seorang wanita paruh baya berteriak, terpental keluar ruangan. Tendangan keras seorang pria berjubah hitam berhasil membuatnya terpojok di sudut tembok. Seluruh tubuh wanita itu terikat dengan rantai besi, membuatnya tak bisa bergerak sekali pun. Wanita itu tampak babak belur. Di sekujur tubuhnya terlihat banyak sekali bekas lebam dan luka-luka. Sepertinya mereka telah mengintimidasi wanita itu habis-habisan.
"Aaaarghh!" wanita itu menjerit kesakitan.
"Berteriaklah sepuas hatimu, Wanita Jalang! Tak akan ada yang bisa mendengarmu! Kau tahu kan, ruangan ini dilengkapi dengan peredam suara?" ucap pria berjubah hitam sambil mengangkat dagu wanita tersebut. Senyum kejam terukir di atas bibirnya.
"Oh, ya, Kenzo! Cepat habisi nyawa pria ini sekarang! Mungkin peluru beracunku telah membuatnya pingsan dan lumpuh. Namun, mungkin saja dia masih hidup!" ucap si jubah hitam memerintah.
"Baik, Bos" jawab pria bertubuh kekar itu, menganggukkan kepalanya. Pria bertubuh kekar itu segera mengambil sebilah pisau bermata tajam dari atas meja. Sepertinya pisau itu memang dibuat khusus untuk membunuh.
Tampak seorang pria tergeletak tak berdaya di hadapan pria bertubuh kekar itu. Darah berlumuran di seluruh tubuhnya. Padahal pria itu masih mengenakan jas dan dasi layaknya pekerja kantoran biasa. Sebilah pisau kini telah siap menusuk, menembus tubuh pria tak berdaya tadi. Tanpa basa-basi, pria bertubuh kekar itu pun segera mengangkat pisaunya dan mengarahkan ke pria tadi. Sekarang, pisau tajam sudah berada tepat di atas kepala pria itu.
Kreekkk!!!
Terdengar suara gagang pintu yang ditarik.
Pemuda itu tiba tepat di depan ruang kerja ayahnya. Saking penasarannya, ia ingin segera membuka pintu ruangan tersebut. Tapi tetap saja, rasa takut tak kunjung hilang dari dalam jiwanya.
"Ibu!!! Apa ibu ada di dalam?" ia kembali memanggil ibunya. Namun, tak ada satu pun respon yang menjawabnya. Rasa tak sabar terus bergejolak dalam hatinya. Dengan cepat ia membuka pintu ruang kerja ayahnya.
Jeglekk
Pintu pun terbuka lebar. Sesuatu yang mengerikan baru saja terjadi.
Ruangan kerja yang sebelumnya bersih dan rapi, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Meja, kursi, dan barang-barang lainnya berserakan, tidak keruan. Darah berwarna merah pekat berceceran di mana-mana. Aroma busuk dari darah itu merambat masuk ke hidung, menyengat ke seluruh tubuh.
Croott!
Pria bertubuh kekar itu menusuk dada pria yang ada di hadapannya. Mata tajam pisau tersebut terlihat gagah menembus dada pria itu, membuat seorang pria berpakaian kantor tersungkur tak berdaya. Tak tanggung-tanggung, pria bertubuh kekar itu juga menendangnya, membuatnya terpental tepat di depan pintu masuk.
Darah terus memancar ke seluruh area ruangan itu. Mayat yang kini tak bernyawa itu tergeletak tepat di hadapan pemuda itu berdiri. Ia pun terjatuh, berlutut di hadapan mayat ayahnya. Air mata terus bergelinangan di wajahnya. Ia tak menyangka bahwa hal seburuk ini bisa terjadi padanya. Alhasil, ia pun mengalami syok berat karena hal itu.
Duaarrr!!!
Suara letupan pistol terdengar menggema. Sang pria berjubah hitam menekan pelatuk dari pistol Glock-17 miliknya, mengarah ke atas langit ruangan itu.
"Jangan bergerak! Atau aku akan menekan pelatuk pistol ini!" ucap si jubah hitam dengan nada mengancam. Arah pistol itu sejajar lurus dengan pemuda itu.
"Kazuki…!!!" teriak seorang wanita yang tengah terikat di sudut tembok. Ia terlihat tak sanggup untuk berbicara. Namun, ia terus berusaha untuk berteriak dengan suara seraknya.
"Oh, jadi nama bocah itu Kazuki, ya? Nama yang cukup bagus. Apa dia anakmu, wanita jalang?" tanya si jubah hitam, melirik ke arah wanita itu.
"Kazuki…!!! Larilah!" wanita itu kembali berteriak, mengabaikan ucapan si pria jubah hitam.
"Diam, Kau!" titah pria berjubah hitam, mengarahkan pistolnya ke arah wanita itu. Tak lain dan tak bukan, wanita tersebut adalah ibu dari pemuda itu.
Kazuki baru saja tersadar dari lamunannya. Ia menatap seisi ruangan itu dengan kebingungan. Air mata terus saja mengalir deras, membanjiri pipinya. Ayahnya telah dibunuh dengan sadis tepat di depan matanya.
Dia tertegun sambil berkata dalam hatinya, "Ini hanya mimpi, ‘kan? Iya, ini pasti hanya mimpi. Jika ini bukan mimpi, berarti aku sudah mati. Tak mungkin dunia indahku menjadi seperti ini. Dunia yang penuh dengan darah bagaikan neraka para iblis. Lebih baik aku mati saja bersama ayah."
"Hei-hei! Kau ini bicara apa? Kau ingin meninggalkan ibumu begitu saja? Bangkitlah! Kau perlu menyelamatkan mereka! Aku telah melihat potensi besar dalam dirimu. Kau pasti bisa!" secara tiba-tiba bayangan yang mirip seperti diri Kazuki, muncul di hadapannya. Kazuki mengucek kedua matanya. Ia tak percaya kalau ilusi yang ia lihat sekarang adalah sesuatu yang nyata.
"Tunggu, siapa dirimu ini? D-dan apa maksud perkataanmu itu?" Kazuki kembali bertanya.
"Kau tak perlu tau siapa diriku. Kau hanya perlu bangkit kembali, dan menatap ke depan. Lalu katakan 'tadaima' (aku kembali) dan jangan berputus asa lagi!" tak lama kemudian bayangan itu lenyap dari hadapannya.
Kazuki kembali tersadar dari halusinasinya. Ia mulai bangkit lantas menguatkan perasaannya.
"Kazuki…!!! Cepat pergilah dari sini!" teriak sang ibu kepada anaknya.
"Hah? Ibu?! Tunggu sebentar! Aku akan menyelamatkanmu!" isak Kazuki yang terus mengeluarkan air mata.
"Woi, siapa yang menyuruhmu berbicara?!" pria berjubah hitam membungkam mulut si ibu. Namun, sekali lagi, sang ibu berusaha melepas tangan pria itu dari mulutnya dengan sekuat tenaga.
"Kau tak akan bisa, Nak! Mereka itu bersenjata! Pergilah sebelum semuanya berakhir! "
"Tapi ibu..."
"Pergilah! Jika tidak, kita akan sama-sama mati!"
"Menurutku itu lebih baik, Bu! Kita akan mati bersama!"
"Berani sekali kauuu!" duak! Duak! Duak! Pria itu menempatkan sepatunya tepat di atas kepala wanita tersebut. Lantas, ia menginjak-injaknya tanpa lagi berpikir dengan perikemanusiaan.
"Tidaaakkk…!!! Pergilaah…!!! Apa kau tak ingin mewujudkan harapan ayah dan ibu yang masih belum terwujudkan? Turutilah keinginan orang tuamu untuk yang terakhir kalinya, nak! Kumohon!" sang ibu membentak anaknya sepenuh hati.
"B-ba-baiklah, Bu" jawab Kazuki tersendat. Sebenarnya ia tak tega meninggalkan ibunya, namun tiada pilihan lain, ia telah bertekad untuk mewujudkan harapan bapak-ibunya.
"Oi! Kau tidak boleh pergi begitu saja! Kalau tidak, aku akan menekan pelatuknya!" ancam pria berjubah hitam, mengarahkan pistolnya ke ibu Kazuki.
"Eh!? Mengapa kau tidak membiarkannya pergi saja, Bos? Bukannya target kita sudah tewas, Bos?" tanya si badan kekar.
"Otakmu ada di mana, sih? Kalau dia lapor polisi kita bisa ketahuan, Bodoh!" cela si jubah hitam.
"Oh iya, ya." jawab asistennya cengengesan.
Kazuki kembali menoleh ke belakang. Ia merasa tak yakin untuk meninggalkan ibunya sendirian.
"Berjuanglah, Kazuki! Cepat!" teriak ibunya dari kejauhan. Kazuki pun berlari, meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar.
Sang ibu menghela napas lega lalu tersenyum.
"Akhirnya.... Tetaplah hidup Eiichi! Selamat tinggal." begitulah ucap sang ibu untuk yang terakhir kalinya.
Duaarrr!!!
Suara letupan peluru itu kembali terdengar. Sang jubah hitam tak segan-segan segera menekan pelatuk pistolnya. Sesosok wanita terjatuh, tak berdaya di hadapannya. Darah mulai bergelimang di tubuh wanita itu.
Suara letupan peluru itu terdengar oleh Kazuki. Ia tahu bahwa saat itu juga ibunya telah tiada. Sepanjang jalan, Ia terus meneteskan air matanya tanpa henti. Pikirannya kosong. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku. Aku memang seorang pecundang yang bisanya hanya berlari dan kabur. Aku memang sangat lemah. Dan juga ayah, maafkan aku. Aku tak bisa menyelamatkan kalian berdua." ucap Kazuki yang terus menangis tiada henti sambil terus berlari menuju pintu keluar.
"Sebenarnya siapakah mereka? Siapa orang berjubah hitam dan orang bertubuh kekar itu? Mengapa? Mengapa mereka membunuh orang tuaku? Sebenarnya apa tujuan mereka? Apa mereka adalah orang suruhan atau pembunuh bayaran? Tapi jika memang benar begitu, siapakah yang tega menyewa mereka untuk membunuh orang tuaku?"Kazuki terus bertanya-tanya dalam pikirannya.
Bruakk!
Saking berantakan pikirannya, Kazuki pun tersandung jatuh. Tubuhnya terhempas ke depan hingga tengkurap. Namun, tiba-tiba saja Kazuki merasa tak sanggup untuk bangkit. Ia malah melemaskan tubuhnya. Ia tak sedikitpun menggerakkan kepalanya seakan-akan ia ingin menyerah tanpa alasan. Tiba- tiba Kazuki merasa ada seseorang yang menepuk bahunya. Sontak Kazuki terkejut. Badannya bergetar.
"Kazuki! Bangunlah! Kau harus bangkit sekarang juga!" terdengar suara seorang pria dewasa. Sepertinya Kazuki sangat mengenal suara itu. Suara itu adalah suara seorang pria yang selama ini dia kenal sebagai seorang ayah.
"Ehh, Ayah?" ia menoleh ke belakang sambil menelentangkan tubuhnya. Ia melihat dua sosok manusia yang merupakan ayah-ibunya.
"Ayah, Ibu! Syukurlah jika kalian masih hidup!" Kazuki kembali meneteskan air mata.
"Tidak sayangku, kami memang sudah tiada. Ini hanyalah sekadar ingatanmu tentang kami, untungnya Tuhan masih mengizinkan kami berbicara denganmu untuk yang terakhir kalinya." ucap sang ibu.
"Meski kami telah tiada, setidaknya kamu masih bisa memenuhi harapan kami.” ujar sang ayah.
"Memangnya, apa harapan ayah-ibu?" tanya Kazuki tersendat-sendat.
Ayah dan ibu Kazuki tersenyum, "Berjuanglah!" Begitulah kata terakhir yang diucapkan oleh ibu Kazuki. Perlahan bayang-bayang mereka mulai memudar dan kian menghilang. Padahal ayah Kazuki belum sempat menjawab pertanyaan anaknya.
"Ayaah…! Ibuuu…! Tidaaaakk….!!!"
Rasa semangat membara mulai terbit sedikit demi sedikit di hati Kazuki. Entah dari mana asalnya Kazuki menjadi sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya. Keputusasaan dalam dirinya mulai sirna secara perlahan. Kazuki kembali bangkit dan mulai berlari lagi.
Tap…Tap...Tap...
Terdengar jelas suara langkah kaki manusia di sepanjang lorong. Tanpa diduga, dua orang pria terlihat berjalan tegap, berlawanan arah dengan Kazuki. Mereka adalah para pembunuh jahat ayah-ibunya.
Mereka berkata, "Oi! Berhenti! Jika tidak, akan kubidik kepalamu dengan sniper ini.” Namun, Kazuki justru tak menghiraukan ancaman mereka dan terus berlari menuju pintu keluar. Tersisa satu meter lagi untuk berjumpa dengan pintu tersebut.
"Aku harus lolos dari mereka! Setidaknya mereka hanya berdua, mereka juga tak terlihat terlalu pintar. Hanya saja mereka membawa senjata yang berbahaya. Lagi pula mana bisa mereka membidik sniper sambil berjalan. Ancaman mereka tak masuk akal." gumam Kazuki dalam hati.
Akhirnya Kazuki sampai tepat di depan pintu keluar, sedangkan dua orang pria itu masih tertinggal jauh di belakangnya. Tak tunggu lama, ia pun langsung kabur meningalkan rumah tersebut.
Bruakk! Kazuki kembali terjatuh dan terseret lumayan jauh.
"Sial! Apa-apaan ini? Berapa kali aku sudah terjatuh?" keluh Kazuki dengan rasa kesal. Betapa ceroboh dirinya.
Mungkin ia memang tersandung, tetapi tidak tersandung dengan batu atau benda lainnya. Melainkan seseorang yang sengaja menjatuhkannya dengan mengait kakinya.
Zraaasshhh!!!
Darah mulai bercucuran dari kepalanya akibat tergores oleh tanah. Ia menoleh ke belakang.Ternyata benar, ada seorang wanita muda yang sengaja menjegalnya. Wanita itu terlihat sedikit lebih tua dari Kazuki. Rambutnya yang berwarna merah diikat menggunakan penjepit yang mirip seperti jarum. Tampang wanita itu mirip seperti anggota mafia atau yakuza. Karena tindak-tanduknya yang memasukkan tangan ke dalam saku celana itu, bukanlah sikap gadis-gadis pada umumnya.
"Oi! Apa yang kau lakukan? Kau ingin cari masalah denganku?" teriak Kazuki sambil memelototi Wanita itu
Wanita itu tak sedikitpun menjawab. Ia malah menanggalkan jaket yang ia pakai lalu mengikat lengan jaket itu di pinggangnya. Wanita itu mengangkat kedua tangannya sembari mengepalkannya. Ia lalu menggoyangkan 4 jari tangan kanannya, seakan hendak menantang Kazuki untuk bertarung.
"Ohh, kau benar-benar ingin cari masalah denganku, ya?" ucap Kazuki dengan sedikit rasa kesal. Ia pun kembali bangkit dan mulai bersiap untuk bertarung.
"Baiklah, hiyaaaah!" Ia langsung berlari sekuat tenaga dengan kepalan tangan yang ia siapkan. Ketika ia merasa sudah cukup dekat dengan wanita itu, ia langsung meninjunya tanpa berpikir panjang. Namun, pukulannya meleset karena wanita itu sangat gesit dan lincah dalam menghindarinya. Kazuki juga tak memperhatikan arah gerak wanita itu dan asal pukul saja.
Wanita itu melakukan serangan baliknya dengan sangat cepat, sehingga Kazuki tidak dapat membaca satupun gerakannya. Wanita itu menghajarnya tanpa ampun. Pukulannya sangat cepat dan menyakitkan hingga Kazuki tak dapat mundur ataupun menghindarinya. Dan pada akhirnya wanita itu meluncurkan serangan terakhirnya. Ia menendang Kazuki hingga Kazuki jatuh terperosok di atas tanah.
"Cihh! Lemah! Dimana jiwa lelakimu bocah?" wanita itu bertanya dengan nada mengejek.
"Sial! Sakit sekali! Ternyata aku memang lemah, ya? Dia itu cuma wanita lho, apa aku tak sanggup menghadapinya? Tapi, aku harus tetap bangkit demi ayah dan ibu!" lirihnya sambil mengusap lebam-lebam yang ada di wajahnya.
Kazuki kembali bangkit berdiri dan berlari ke arah pintu gerbang. Namun, ia terjatuh lagi karena tak kuat menahan rasa sakit luka yang ada di sekujur tubuhnya sehingga keseimbangannya tergoyahkan. Lalu ia melihat ke depan, dua wanita paruh baya yang sepertinya ia kenali sedang berdiri di depan gerbang dengan wajah gembira.
"Kalian kan pembantu yang dulu bekerja di rumahku! Mau apa kalian ke sini? Setelah mencuri barang-barang berharga dari rumah kami lalu kabur begitu saja, kalian masih saja berani menampakkan diri di hadapanku!"
"Hahaha! Ampuni kami tuan. Kami mengaku bersalah, hahahaha!" Mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Hei-hei? Apa kamu tak melihat bagaimana kondisimu sekarang? Dengan tubuh seperti itu memangnya kau bisa apa? Hahaha!" Mereka kembali tertawa terbahak-bahak.
"Beritahu aku! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
"Hahaha! habisnya, orangtuamu terlalu pelit saat memberikan gaji pada kami. Jadi kami memberitahu mereka tentang keberadaan, tata letak, juga isi dari rumah ini. Mulai dari berapa orang yang tinggal di rumah ini, hingga saat kapan saja rumah ini kosong. Tak hanya itu saja sih, mungkin semua yang kami tahu tentang rumah ini sudah kami bongkar pada mereka. Lagipula mereka menawarkan pada kami keuntungan yang sangat besar. Hihihihi!" jelas salah seorang dari dua mantan pembantu rumah Kazuki.
"Dasar kalian pengkhianat !" Kazuki kembali bangkit sambil menatap mereka dengan ekspresi jengkel. Spontan ia terbawa emosi, Ia mengepalkan kedua tangannya sambil mendekati dua wanita paruh baya itu karena hendak menghajar mereka.
Sontak wanita yang mirip anggota mafia itu mengambil penjepit rambut yang mirip seperti jarum dari kepalanya lalu membidiknya ke arah punggung Kazuki dengan cekatan. Tindakan Kazuki yang hendak menghajar dua wanita paruh baya itu pun terhentikan. Mendadak tubuh Kazuki serasa seperti tersetrum setelah jarum itu mengenai punggungnya. Ia pun kembali terjatuh tengkurap di hadapan dua wanita paruh baya itu.
"Ini bukan jarum biasa. Ini adalah Stun Dart! Sialan! Aku kalah lagi darinya!" Keluh Kazuki sambil sedikit merintih kesakitan.
"Jadi ternyata benar? Mereka adalah sekelompok pembunuh bayaran. Tapi jumlah mereka hanya dua. Tidak! Jumlah mereka ada tiga! Pasti wanita itu juga termasuk bagian dari mereka." gumam Kazuki sambil terus memikirkan cara untuk berhasil lolos dan kabur dari mereka semua.
Wanita itu berjalan lambat menuju ke arah tempat Kazuki terjatuh. Lalu wanita itu mengangkat kerah baju Kazuki.
"Kau kira jumlah kami hanya tiga? Kau salah besar! Apa kau tidak melihat di atas atap itu, itu, dan itu?" Ucap Wanita itu sembari menunjuk ke tiga atap yang di setiap atap terlihat ada dua penembak jitu yang siap membidik dengan sniper mereka.
"Apa? Banyak sekali! Ini sudah seperti malaikat penjaga neraka saja! Cihh!" Kazuki menendangkan kakinya ke belakang sehingga mengenai perut wanita itu. Wanita itu pun terjatuh sehingga Kazuki terbebas darinya. Kazuki langsung berlari ke arah gerbang sambil mengepalkan tangannya. Ia berlagak seperti akan memukul dua wanita mantan pembantunya itu. Karena mereka takut terkena pukulannya, mereka menyingkir dari jalannya.
"Percuma kau mau lari dariku! Masih ada beberapa petarung kami yang bersembunyi di sekitar sini! Apa kau tak takut jika para penembak jitu itu menekan pelatuk dari sniper mereka?" ucap wanita itu hendak menghentikan Kazuki. Namun, sama seperti sebelumnya, Kazuki tak menghiraukan perkataannya dan tetap berlari sekuat tenaga sembari membuka satu pintu gerbang rumahnya agar bisa keluar.
"Ternyata kau memang keras kepala, ya? Kalau begitu..." ia terdiam sejenak sambil menarik nafas.
"System Fight, actived! Tempest!"
Fyuuss! Wanita itu menghilang secepat angin hingga sampai tepat di belakang Kazuki. "Duak!" Wanita itu memukul punggung Kazuki hingga ia terdorong jauh dan menabrak tembok. Kazuki pun kehilangan kesadarannya.
Kedua pria yang tadinya masih berada di dalam rumah, akhirnya tiba di halaman rumah (tempat insiden pertarungan Kazuki terjadi).
"Yoo! Rinn-san, bagaimana keadaan bocah yang telah kabur tadi? Apa kau berhasil mengatasinya?" Tanya si jubah hitam
"Ia telah pingsan." wanita itu menjawabnya dengan ekspresi datar sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah Kazuki.
"Oh, ayolah! Kau tak perlu jutek seperti itu padaku" Kata si jubah hitam dengan nada merayu sambil menyentuh bahu wanita itu.
"Sudah kubilang! Jangan pernah sentuh aku, bodoh!" Wanita itu memukulnya hingga terpental ke udara, lalu kembali jatuh ke daratan. Ia tak sengaja melakukannya.
"Ternyata energi tempest masih tersisa di dalam tubuhku" lirih Wanita itu sambil menekuk tangannya.
"Uhh! Sakit banget. Tega sekali sih, kamu..." ucap si jubah hitam yang langsung kembali bangkit setelah jatuh. Ia menahan rasa sakit lukanya agar tetap terlihat keren di mata Rinn.
"Maaf" Rinn menjawabnya dengan singkat lagi.
"Oh ya, lalu bagaimana dengan bocah itu? Mau kita apakan dia?" tanya si jubah hitam.
"Serahkan saja dia padaku. Aku akan menyuntikkan cairan penghilang ingatan padanya, lalu aku akan membuangnya ke tempat pembuangan kota." Jawab Rinn dengan cepat, padat, ringkas, dan tanpa ekspresi.
"Baiklah ! Ku serahkan dia padamu!" Ucap si jubah hitam sambil cengar-cengir.
Rinn pun mengangkat Kazuki dan menggendongnya di atas pundak. Lalu Rinn melompat ke atas atap bangunan yang ada di dekatnya. Dengan sangat cepat ia melompat dari bangunan ke bangunan. Dan para anggota yang lain juga segera meninggalkan tempat kejadian. Mayat dari ayah dan Ibu Kazuki di biarkan begitu saja tanpa di kuburkan maupun diawetkan. Kedua pria itu lupa untuk mengurusi mayatnya karena mereka terlalu fokus ketika mengejar Kazuki yang berusaha melarikan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!