"Aliya, baik-baik yah di rumah, mami sama papi pergi dulu".
Aliya mencebikan bibirnya, kalimat bernada pesan dari sang mami masih terngiang di telinganya. Entah mengapa kalimat itu sangat terdengar menyebalkan untuknya, bukan kali ini saja sang mami meninggalkannya bersama dengan para pelayan di rumahnya, tapi entah sudah ke berapa kalinya ia di tinggalkan.
Hidup bergelimang harta nyatanya tak cukup membuat gadis itu bahagia. Sepi, itulah yang selalu di rasakannya.
Ingin sekedar menghamburkan uang untuk membalas segala kekesalannya pada kedua orang tuanya pun sangat malas ia lakukan.
Uang, uang dan uang, motto hidup yang jadi tujuan dalam hidup ke dua orang tuanya. Dengan dalih untuk kebaikan sang putri, mereka bahkan tega meninggalkan Aliya berbulan-bulan lamanya.
"Pak Jaka, boleh gak aku bolos sekolah aja?".
Pak Jaka, supir pribadi yang di tugaskan mengantar kemana pun ia pergi itu telah bekerja dengan keluarganya sejak ia belum terlahir, pria tua itu sudah Aliya anggap sebagai keluarganya sendiri.
"Jangan atu Non, pak Jaka bisa di gorok sama tuan besar loh".
Aliya mendelik, "Gak mungkin papi tau lah pak, papi tuh mana mau tau sih urusan aku, papi lebih sayang uangnya hilang dari pada aku yang hilang."
Pak Jaka tersenyum lucu, bukan kali ini saja nona mudanya ini menggerutu, sudah jadi makanan pak Jaka melihat putri tuannya itu bersedih lalu mengomel.
Pria tua itu tak pernah tersinggung, ia sangat tau dan mengerti, jika nona mudanya butuh perhatian dan kasih sayang, bukan hanya materi berupa uang saja.
"Papi pasti sangat menyayangi non Aliya, papi non itu bekerja juga buat masa depan non Aliya".
Aliya tersenyum hambar, selalu kata-kata itu yang ia dengar dari sang sopir, mungkin di tujukan untuk menenangkannya, namun ia justru merasa lucu.
"Uang papi tuh udah meluber pak, harusnya papi bisa sedikit membagi waktunya buat aku".
Hening, pak Jaka tak lagi menjawab. Merasa iba dengan sang nona muda yang sejak kecil hidup dan besar dengan para pelayan di istananya.
Aliya menatap ke luar kaca jendela mobil, hatinya yang galau kini berbunga. Pria tampan yang selalu jadi pelipur laranya baru saja memarkirkan mobil tepat di sebelah mobilnya. Gadis itu bergegas mengambil tas gendong yang tergeletak di sisinya, berpamitan pada sang sopir kemudian memulai aksinya.
"Pagi kak Radit". Senyum terbaik ia berikan.
"Hemmm". Kata itulah yang Radit berikan ketika gadis berisik itu menyapanya.
"Benci deh sama kata HEMMM, padahal aku bukan vokalis lagu religi itu loh kak".
Radit memutar bola matanya, menoyor pipi gadis di depannya agar tak menghalangi langkahnya.
"Lah, aku di tinggal". Aliya berlari, mengejar langkah lebar dari kaki panjang pemuda idamannya, dan menubruk punggung kerasnya saat dengan tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkahnya. Aliya mengaduh, mengusap kening yang terasa sedikit pening dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang oleng. "Kalo ngerem itu pake aba-aba dong kak, kejedot kan aku nya".
"Siapa suruh ngikutin gue??".
"Gak ada yang nyuruh, kak Radit tuh kaya permen".
"Permen??".
Aliya mengangguk, "Iya permen, bikin semut imut kaya aku maunya nempel terus".
Belum sempat menanggapi, Ujil sahabat dari pemuda itu menyambar dengan berisik. "Yaaahh babang Radit di gombalin bocah".
"Eh ada kak Upil". Aliya melambaikan tangannya pada pemuda berambut kribo di hadapannya.
"Somplak ni bocah, nama gue Ujil, bukan upil".
"Sama aja, cuma beda satu huruf doang". Aliya menjawab polos, kembali menoleh pada sang pujaan hati yang terlihat diam saja.
"Kak Radit jangan cemburu yah, aku padamu kok, bukan padanya".
Radit dan Ujil kompak menggelengkan kepalanya, gadis berisik ini benar-benar membuat mereka heran, kenapa gadis itu se percaya diri dan seberisik itu??
CERITA BARU EMAK, SEMOGA KALIAN SUKA💜💜💜
Aliya memasuki kelasnya, suitan-suitan yang berasal dari mulut para fansnya mulai terdengar gaduh. Seperti biasa, Aliya hanya menanggapinya dengan senyum kecil.
Rara sang sahabat terkikik geli melihat kelakuan Aliya yang sangat bertolak belakang dengan yang selalu gadis itu tunjukan di hadapannya juga di hadapan Radit, sedikit urakan dan berisik.
"Ngapa Lo ngikik??". Aliya mencebikan bibirnya sebal, sahabatnya itu selalu menghancurkan image anggun yang dengan susah payah ia bangun dan ia mainkan perannya.
"Najis banget sih, so kalem deh, padahal gerusukan". Sindirnya
"Ck, gak bisa banget yah Lo dukung gue?".
"Tergantung". Rara memberikan negosiasi.
"Maksud Lo??". Aliya mulai curiga, permintaan sang sahabat kerap kali membuatnya merasa bodoh. Entah memang dia yang bodoh, atau kah sahabatnya terlalu pintar hingga mampu membodohi Aliya yang sangat pintar di kelasnya itu.
"Tergantung seberapa giatnya Lo ngasih gue contekan ulangan matematika". Rara berbisik, kemudian tertawa jahat bak seorang monster yang mendapatkan mangsanya. Gadis itu memang merasa takluk jika di hadapkan dengan soal matematika yang menurutnya, melihat soalnya saja ia merasa mual lalu muntah, Rara selalu berfikir jika angka-angka dalam soal matematika itu menari mengejek kebodohannya, maka darinya ia kerap kali merasakan mual hanya dengan menatap angka-angka yang berjejer di sana.
"Mikir, nyontek mulu hobi Lo". Aliya menoyor pipi sang sahabat, melenggang pergi ke luar kelas seraya menunggu bel masuk berbunyi.
Aliya mengernyit saat dengan tumbennya, Radit bermain basket di lapangan yang terletak di tengah-tengah gedung sekolahan yang berdiri kokoh mengelilingi lapang itu.
Radit memang terkenal dengan ketampanannya juga kecerdasannya, namun sayangnya, pemuda itu enggan mengikuti organisasi apapun di sekolahnya, baik itu OSIS, basket, atau kegiatan lainnya. Namun justru Aliya anggap itu keuntungannya, apa lagi jika bukan karena ketampanan yang pemuda itu punya? Jika pemuda itu aktif dan bergaul, sudah dapat di pastikan seberapa jumlah para gadis yang akan mengejarnya.
Sekarang saja pemuda itu menjadi idola, apalagi jika Radit benar-benar mengikuti kegiatan di sana yang akan membuatnya semakin sohor.
Tanpa pikir panjang, Aliya melenggang menuju kantin, berniat membelikan satu botol air mineral untuk sang pujaan hati. "masih ada waktu". Gumamnya.
"Hai kakak tamvan, mau minum gak?".
Kalimat pertama yang Aliya lontarkan saat Radit menghentikan permainannya dan berjalan ke pinggir lapangan.
"Lo gak bosen yah ngikutin gue?".
Aliya menggeleng semangat, "Enggak".
Radit berdecak kesal, kadang perlakuan Aliya membuatnya risih, kasihan juga pada gadis itu karena kegigihannya mengejar Radit hanya di anggap hiburan semata oleh pemuda itu.
"Kan aku udah bilang, kalo aku tuh.."
"Semut". Potong Radit, Aliya jadi tertawa.
"Nih minumnya". Aliya menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja ia beli, berniat membukakan tutupnya namun Radit mencegahnya.
"Gak usah di buka". Pintanya
Aliya mengangguk, membiarkan pria itu membawa botol airnya. Namun suara teman-teman Radit membuat Aliya yang hendak berlalu kembali menoleh.
"Kebetulan gue aus". Ucap salah satu teman Radit yang bernama Bary. Dan Radit tak bisa menolaknya.
Aliya menatap nanar botol air mineral yang kini telah berpindah tangan itu, rasanya sedikit tidak ikhlas, bukan karena harganya, karena terbilang sangat murah, tapi karena ia peruntukan khusus minuman itu untuk sang pujaan hati yang kini tampak menatapnya seraya mengerikan bahunya. Mirissss...
Aliya berbalik, memutuskan untuk pergi dari pada semakin merana. Kadang ia merasa lelah mengejar cinta Radit yang ia tekuni sejak pertama masuk sekolahan itu, namun sisi lain hatinya yakin, jika Radit akan luluh oleh kegigihannya, meski keyakinan itu hanya sebesar 0,00001% saja. Menyedihkan...
Sampai di kelas, bibir yang telah maju semakin maju saat mendapati Rangga, salah satu teman kelasnya menghampirinya. Seperti biasa, pemuda itu menunjukan kebolehannya dalam menggoda gadis cantik itu.
"Hai neng cantik". Rangga menyapa, menggerakkan ke dua alisnya naik turun seraya menampilkan senyum terbaiknya.
"Minggir, gue lagi gak mood Lo godain".
"Galaknya, tapi anehnya Lo jadi tambah cantik kalo jutek gini".
"Isshhhh minggir Ga".
Rangga menyingkir, memberikan jalan pada sang gadis kemudian berjalan mengekorinya. Yang mana membuat gadis cantik itu kembali mengomel.
"Ngapain ngikutin gue? Duduk Sono ke habitat Lo". Aliya menghela nafas berat, "Hilang sudah ke anggunan gue gara-gara Lo".
Rangga tergelak, mencubit pipi gadis itu kemudian meninggalkannya.
Ada rasa tak suka di hati Radit saat melihat keakraban yang terjalin antara Aliya dan Rangga, dan dia tak tau alasannya apa. Yah, Radit sengaja menyambangi kelas adik kelasnya itu untuk meminta maaf perihal botol air minum itu.
💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
Jam istirahat tiba, waktunya untuk seluruh penghuni sekolah itu bernafas lega dan berhamburan ke luar kelas masing-masing.
Ada yang mengobrol di dalam kelas, di luar kelas, dan makan di kantin kesayangan mereka, tempat yang paling banyak di tuju dan menjadi area favorit mereka.
Begitupun dengan dua sekawan Aliya dan Rara. Duo gadis itu berjalan dengan saling tertawa menuju tempat teramai di area sekolah itu, kantin.
"Makan apa Al??". Rara bertanya.
"Males gue".
"Yakin?? Astagaa, bakso pedas itu kayanya enak banget, ah mie ayam juga mantap. Lah batagor lebih nikmat.."
"Stop, bakso aja".
Rara tertawa lepas, melihat raut kesal sang sahabat membuatnya merasa puas, ia kembali berhasil menggagalkan aksi diet sahabatnya. Padahal tubuh Aliya sudah ideal untuk ukurannya, meski tidak terlalu tinggi namun pas dengan bentuk yang molek.
Jangan tanya alasan gadis itu melakukan diet, tentu saja untuk terlihat sempurna di mata pujaan hatinya, Radit.
Rara melenggang pergi, meninggalkan Aliya yang menenggelamkan wajah kusutnya pada meja dengan beralaskan kedua lengannya. Namun suara bariton seseorang membuatnya menengadah.
"Tumben gak berisik". Ucap sang pemuda.
"Ngapain kakak kesini?". Aliya kembali menelungkup kan wajah kusutnya, entah kenapa semangat menggombali pemuda itu sedikit sirna.
"Cieee ngambek". Radit, pemuda tampan itu mencolek pundak Aliya kemudian duduk di sebelah gadis itu.
"Siapa yang ngambek? Gak ada alasan yang bikin aku harus ngambek". Bibir boleh berucap demikian, namun hati dag dig dug serasa mau meledak, berada sedekat ini dengan Radit membuatnya berdebar, di tambah lagi wangi parfum pemuda itu menusuk hidungnya dan semakin membuat Aliya meleleh.
"Soal air mineral itu..."
"Gak usah di pikirin, lagian cuma tiga rebuan, gak masalah kok. Aku juga udah biasa di gituin". Aliya masih dalam posisi yang sama.
Radit terpaku, merasa tertohok dengan ucapan gadis yang duduk di sebelahnya. Seburuk itukah perlakuannya pada gadis baik itu? Apa karena itu juga Aliya merasa lelah mengejarnya dan kini berpaling pada teman sekelasnya sendiri? Begitu kira-kira pertanyaan dalam hatinya.
"Aku beliin ini buat kamu, sebagai permintaan maaf aku soal tadi". Bahkan tanpa sadar, Radit mengubah panggilannya menjadi 'aku-kamu', bukan 'gue-elo' seperti biasanya.
Aliya mengangkat kepalanya, menoleh pada Radit yang ternyata berjarak sangat dekat dengannya, dia menjadi gugup.
"Ekhemmm, ak..aku bilang aku gak papa kak". Aliya tergagap, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga untuk menghilangkan kegugupannya.
"Aku maksa". Radit menyimpan coklat yang ia bawa ke hadapan gadis itu, kemudian beranjak untuk kembali ke tempatnya dan teman-temannya. Namun ucapan Aliya lagi-lagi membuatnya terdiam.
"Jangan baik-baik sama aku kalo kakak belum jatuh cinta sama aku, karena aku bisa salah faham. Aku mending di cuekin kaya biasanya. Karena saat aku tau kakak baik sama aku cuma karena kasihan, akan lebih sakit lagi buat aku".
Radit menoleh, tanpa menjawab pemuda itu malah tersenyum. Entah apa arti dari senyuman itu, yang pasti hati gadis itu semakin terobrak-abrik di buatnya.
Aliya yang merasa bosan saat salah satu jam mata pelajaran yang kurang ia sukai beberapa kali tampak menguap, mengusap air bening yang keluar dari ujung matanya akibat rasa kantuk.
Satu tangannya menopang dagu, satu tangannya yang lain mencorat-coret apa saja di atas buku kosong hingga membentuk pola tak beraturan, Satu jam rasanya lama bagi gadis itu.
Rara, sang sahabat yang duduk di sebelahnya menyikut lengan gadis itu, hingga tangannya yang tengah memegang pulpen itu bergeser dan tanpa sengaja mencoret buku yang lainnya, Aliya jadi mengomel.
"Apa sih Lo? ke coret kan??".
"Jangan ngomel, noh liat, pangeran Lo lewat". Bisik Rara.
Aliya menoleh, mengikuti arah pandang sang sahabat ke luar kelas mereka. Bak adegan slow motion dalam film-film, di luar sana Radit dan teman-temannya melewati kelas Aliya.
Meleleh, itulah yang tengah Aliya rasakan sekarang. Dengan hati berdebar Aliya terus menatap sang pangeran, dan secara otomatis tubuhnya mengikuti gerak pemuda itu.
Radit tampak lebih cool dari teman-temannya yang lain. Pemuda itu bahkan hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan dari teman-temannya. Dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya, pemuda itu lebih tampak menawan. Ah ya ampun, rasanya seperti menemukan genangan air jernih di tengah gurun, segarnyaaaa. Dan kantuk pun sirna.
"Aliya Fakhira!!".
"Iya kak Radit".
"Huuuuuuuuu". Sorak Sorai dari semua teman-temannya terdengar menggema, menyadarkan Aliya jika ia salah menyebutkan nama.
Gadis itu meringis, mendapatkan tatapan tajam dari guru di depan sana membuatnya mengacungkan dua jari membentuk huruf V. "Damai pak".
"Siapa Radit??". Tanya sang guru. "Jelas-jelas nama saya Tono!! Bukan Radit. Apa perlu kita perkenalan ulang??". Guru bernama Tono itu membenarkan letak kaca matanya, kemudian melorotkan sedikit untuk menatap gadis nakal yang tampak cengengesan di tempatnya.
"Maaf pak, saya.. saya..."
"Saya apa?? Sini kamu, di jam pelajaran malah ngelamun, tuman!!".
Aliya melangkah ragu, sekilas menatap tajam pada sang sahabat yang justru tertawa cekikikan. "Sialan". Batinnya
"Berdiri kamu disini, sampai jam pelajaran saya habis!!".
Aliya membulatkan matanya, apa katanya? sampai jam pelajarannya habis? Itu masih empat puluh menit lagi. Mati aja lah!!
Meski mengomel dalam hati, namun ia tetap menurut. Berdiri di sebelah meja sang guru dengan kedua tangan menjewer telinganya sendiri, sesuai titah dari sang guru.
Radit yang tengah berjalan perlahan menoleh, merasa ada seseorang yang menyebut namanya, ia pun berbalik badan sepenuhnya, menatap ke dalam kelas yang menampilkan wajah gadis yang sangat ia kenali tengah berdiri di depan kelas dengan kedua tangan terangkat menjewer telinganya sendiri.
Radit menggelengkan kepalanya saat tatapan mereka tanpa sengaja bertemu, dan gadis itu mengedipkan sebelah matanya. Nyaris membuat tubuh jangkung Radit oleng, bukan karena terpesona mendapatkan kedipan mata, namun karena merasa aneh telah menemukan gadis sebebal Aliya. "Gadis gila". Gumamnya. Ia pun berlalu, kembali melanjutkan langkahnya mengejar teman-temannya yang berjalan beberapa langkah di depannya.
Aliya terkikik, melihat ekspresi Radit ketika ia mengedipkan matanya terlihat sangat lucu, dan Aliya suka. Apa sih yang Aliya tidak suka dari Radit, bahkan suara kentut pemuda itu pun sepertinya Aliya suka, akan terdengar merdu mengalun mendayu-dayu dengan wangi semeriwing bak parfum import.
💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
Bel istirahat terdengar nyaring berbunyi, kemenangan bagi Aliya, ia bisa bernafas lega karena hukumannya berakhir. Senyum kemenangan gadis itu di balas tatapan sengit oleh pak Tono, sepertinya, mulai saat ini pak Tono akan menganggap Aliya musuh bebuyutannya, di hukum gak ada sedih-sedihnya. Mungkin begitu pikirnya.
"Sana kamu, jangan halangi jalan saya, saya mau lewat!!" Pak Tono membenarkan kaca matanya, entah berapa kali pria itu melakukan hal demikian, mungkin karena tulang hidungnya yang terlalu melesak ke dalam hingga kaca mata itu tak mau diam bertengger manis di tempatnya.
Aliya mengerjap, "Jangan marah-marah lah pak". Ucapnya, merasa tak kuasa menahan tawa karena menatap lubang hidung pria itu yang kembang kempis menahan emosi membuat Aliya memutuskan segera beranjak. Takut keceplosan dan akan menimbulkan masalah baru lagi.
Pak Tono berlalu, lagi-lagi dengan membenarkan letak kacamatanya yang kembali merosot.
Aliya melangkah menuju bangkunya, mendelikan matanya pada sang sahabat yang terlihat bahagia atas hukuman yang Aliya terima. "Kampret Lo, gue kena hukum malah ketawa".
"Gimana deket-deket sama pak Tono Al?? Wangi parfumnya kecium gak??".
Aliya baru menyadari, sejak ia berdiri di depan kelas di sebelah meja guru, ia memang mencium sesuatu yang aneh, lebih ke minyak melati yang membuatnya sedikit merinding. Aliya tidak mengira, jika itu berasal dari sang guru, untung saja Aliya tidak keceplosan berucap. Sudah dapat di pastikan, jika itu terjadi maka lubang hidung itu akan semakin melebar karena amarah.
"Astaghfirullah". Aliya mengusap wajahnya, menyadari sesuatu yang salah.
"Kenapa Lo??".
"Dosa Ra ngomongin pak Tono. Tuman kalo kata beliau mah".
"Tumben eling??".
"Gue gak selamanya sableng ya Ra, adakalanya gue juga sadar".
Dan tawa Rara pecah seketika, sahabatnya ini benar-benar ajaib.
Yang belum tau siapa Radit, Alula dan Raka, mari mampir dulu ke novel sebelumnya. judulnya MY CRAZY BOSS IS MY HUSBAND. MAKASIH DEAR🙏🙏💜💜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!