Ketika mendengar kata Jakarta, yang terlintas dalam pikiran Arini adalah kota metropolitan, kota yang menyesakkan. Kota yang seolah menjadi magnet bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong mendatangi kota ini untuk mencari pekerjaan ataupun menempuh pendidikan.
Pandangan Arini mengarah pada jendela bus yang ia naiki, memandangi lingkungan sekitar. Berbagai macam kesibukan langsung terpampang di depan matanya. Jalanan padat, gedung-gedung menjulang tinggi, juga hiruk pikuk keramaian masyarakat Jakarta yang tak kenal waktu.
Yaa... Arini sekarang ada di Jakarta, untuk menempuh pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu sarjana. Arini awalnya tidak percaya kalau ia bisa kuliah di kota ini dan memasuki Universitas yang cukup bergengsi untuk kalangan atas, apalagi kalangan bawah sepertinya... itu seperti mimpi bagi seorang Arini untuk berkuliah di kampus seperti ini. Sebab ia memasuki Universitas ini hanya bermodalkan beasiswa, bermodalkan kepintaran saja. Kalau seandainya Arini bermodalkan kekuatan ekonominya, dapat dipastikan itu sungguh mustahil.
Untuk menyambung kehidupan di kampungnya saja, ibunya harus bekerja serabutan dari satu tempat ke tempat lainnya dan dia bekerja paruh waktu agar dapat membantu ibunya untuk memikul beban sebagai tulang punggung keluarga.
Ayahnya telah meninggal tiga tahun yang lalu. Awalnya ia kejang-kejang, lalu sesak napas, setelah itu pingsan. Saat itu, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membawa ayahnya ke rumah sakit, maka dari itu mereka hanya membawa ayahnya ke puskesmas.
Sesampainya di sana. Puskesmas terlihat sepi, ayah Arini di masukkan ke ruang IGD. Dari luar Arini melihat beberapa perawat menekan alat pacu jantung di dada ayahnya.
Arini hanya dapat melihat ayahnya dari balik jendela kaca ruang IGD tersebut. Ia sedih melihat ayahnya seperti itu, air matanya menggenang. Hingga suara mesin mengalihkan pandangannya, ia tertegun melihat garis lurus di mesin itu.
Air matanya yang menggenang dari tadi kini jatuh sudah, ia tak bisa menahan lagi. Sedih rasanya, sangat sedih. Ayahnya yang dulu selalu ada untuk Arini dan adiknya kini telah pergi, pergi untuk selama-lamanya.
Semenjak saat itu ibunya lah yang menjadi pengganti kepala keluarga, menjadi tulang punggung bagi keluarga kecil mereka.
Arini mempunyai seorang adik perempuan yang tentunya sangat ia sayangi, mereka hanya dua bersaudara. Namanya Arumi.
*****
Sejak pengumuman kelulusan SMA dan berita yang di sampaikan oleh gurunya kemarin, Arini terus termenung di samping jendela kamarnya. Menatap senja yang datang membawa warna jingga kemerahan. Jika saja suasana hati Arini sedang baik. Tentu saja, senja sore ini sangat indah untuk dinikmati, tapi tidak... hati Arini sekarang sedang tidak baik-baik saja.
Sudah tiga puluh menit lebih ia duduk di sini, merenung, menimbang, mengira-ngira, keputusan apa yang harus ia ambil.
Lama ia hanya diam. Tak tahu keputusan apa yang harus ia ambil, dan apakah keputusan yang ia ambil akan tepat atau malah sebaliknya? Ia bingung tentang semua yang ada di hadapannya, apakah ia harus mengejar impiannya ke kota besar dan meninggalkan ibunya yang semakin tua dan adiknya yang masih belum tahu apa-apa? Atau berdiam diri di kampung ini dan mengubur semua yang pernah ia cita- citakan selama ini?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti, berputar-putar dalam benaknya. Arini sungguh bingung saat ini, bahkan sangat bingung, dengan semua pertanyaan tersebut, hingga satu suara membuyarkan lamunannya.
"Arini." Panggil ibunya, dengan suara lembut dan meneduhkan.
Ia membalikkan kepala ke belakang. Ada seseorang yang memanggilnya, dan tentunya ia kenal suara itu berasal dari siapa.
"Iya, Bu?" Jawabnya, sambil menatap mata Ibu yang telah melahirkannya itu, mata yang sayu, letih, meneduhkan yang juga sedang menatap manik mata Arini.
"Kamu lagi mikirin apa?" Tanya ibunya dengan suara lembut, sambil mendekati dan duduk disebelah anaknya itu.
"Aku nggak mikirin apa-apa. Hanya menikmati suasana senja ini.” Jawabnya dengan sedikit berbohong.
"Kamu nggak usah berbohong sama ibu, ibu sudah tahu sifat kamu itu bagaimana. Jadi nggak usah berbohong sama ibu!" jawab ibunya pada Arini, dengan suara yang masih lembut.
"A... a... aku jadi lulusan terbaik di sekolah, Bu." Jawab Arini dengan sedikit gugup, karena ibunya tahu bahwa ia sedang berbohong.
"Alhamdulillah, bagus dong kalau begitu. Terus kenapa Arin bingung dan terlihat sedih?" Jawab ibu senang dan sekaligus bertanya pada Arini kenapa ia bingung dan raut wajahnya yang terlihat sedang bersedih.
"Sebenarnya bukan hanya itu Bu, Arin juga dapat beasiswa buat kuliah di universitas yang berada di Jakarta. Dan itu berarti, Arin bakalan ninggalin ibu sama adek sendirian di sini.” Jawab Arini dengan raut wajah yang semakin sedih, menandakan ia tak ingin dan tak bisa berpisah dengan ibu dan adik kesayangannya itu.
Ibunya terdiam, beberapa menit, lalu menarik napas panjang. Mengusap rambut Arini.
"Arin. Ibu sama adek nggak sendirian kok di sini, masih ada paman Joni, bibi Anum, dan tentunya ada Allah SWT yang selalu menjaga ibu sama adek. Jadi kamu nggak usah khawatir kalau masalah itu, yang harus kamu khawatirkan itu kamu sendiri nak... karena kamu hanya sendiri di sana, apalagi itu kota besar.” Jawab ibunya, dengan menyebutkan satu persatu nama tetangga yang memang baik kepada mereka.
"Tapi....” Kata Arini menggantung, karena ia bingung apakah ia harus senang? Dengan ibunya yang mengizinkan untuk pergi. Dan itu berarti, ia harus meninggalkan ibu beserta adiknya.
"Ibu mendukung mu nak, kejarlah cita- citamu sampai kau mendapatkannya. Memang semuanya tak mudah, tetapi, tak ada yang tak mungkin, kan?" Kata ibunya, menghilangkan keraguan pada diri Arini.
"Kejarlah cita-citamu!" Ia memeluk Arini. Air matanya mengalir begitu saja, ada perasaan sedih, senang untuk putrinya. Sedih karena sebentar lagi ia harus berpisah dengan putrinya, dan senang karena putrinya bisa kuliah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. "Kamu harus sukses, nak!" Lirihnya lagi.
Mendengar penuturan ibunya, Arini sekarang yakin, akan keputusan apa yang harus ia ambil. Dan sebenarnya keputusan ini jugalah yang Arini inginkan, ia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi serta mengejar semua impian yang telah ia cita-citakan selama ini.
Sore itu menjadi sore yang paling berarti bagi Arini. Ibunya mengizinkannya untuk merantau mengejar cita-cita. Berbekal dari uang hasil kerja kerasnya dan dari uang saku yang di berikan oleh ibunya, ia berangkat ke Jakarta. Ibu kota yang terkenal tak ramah. Namun, Arini bukanlah perempuan yang lemah untuk menghadapi semua itu. Ia perempuan yang kuat dan tangguh.
*****
Bersambung...
Arini tiba di kota Jakarta jam dua belas lewat, ia turun dari bus dan langsung menuju alamat kampus yang sudah tersedia di sebuah kertas hasil pengumuman penerimaan beasiswanya kemarin, yang telah diberikan oleh gurunya. Ia pergi menggunakan ojek pangkalan yang terparkir di dekat terminal bus tersebut.
Sesampainya di alamat tersebut, Arini turun dan membayar ongkos ojek pangkalan yang ia naiki. Ia tak bermaksud untuk masuk ke kampus tersebut, ia hanya memandanginya dan begitu takjub akan besar, luas, dan tingginya gedung-gedung yang berada dalam kampus tersebut. "Dilihat dari jauh saja sudah sangat mengagumkan, apalagi di lihat dari dekat." Gumam Arini.
Arini mencari kos terdekat dengan kampusnya. Kos yang bisa ia tinggali selama berada di sini di kota Jakarta, kota yang terkenal dengan kemetropolitanannya. Lama ia mencari. Namun, ia tak kunjung mendapatkan kos yang sesuai dengan dirinya. Bukan tak sesuai dirinya, tapi tak sesuai dengan kondisi keuangannya.
Hari semakin sore Arini belum juga mendapatkan kos yang ia cari, tapi ia tak pernah putus asa. Hingga hari menjelang magrib ia baru mendapatkan kos yang ia cari. Kos yang cukup layak untuk ditinggali oleh orang sepertinya, dan tentunya kos tersebut sesuai dengan kondisi keuangannya saat ini. Ya... walaupun kos yang ia dapatkan sekarang ini cukup jauh dengan kampusnya, kurang lebih membutuhkan setengah jam jika berjalan kaki. Namun, itu tak masalah bagi Arini. Selama harga sewa kos tersebut sesuai dengan isi kantongnya.
Kos tersebut cukup luas bagi Arini, satu kamar mandi, satu dapur mini, dan satu kamar untuk tidur yang langsung tersambung dengan ruang tamu.
Di dalam kos tersebut terdapat tempat tidur dan kasur mini serta satu bangku untuk duduk, tetapi tidak tersedia perabotan untuk memasak, mungkin Arini akan membelinya sepulang dari kampus besok.
Azan magrib terdengar sayup-sayup di ujung sana, menghentikan kegiatan yang tengah Arini lakukan yaitu memberikan kos tersebut hingga layak untuk ditempati.
Arini menghentikan pekerjaannya dan menuaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Setelah ia salat magrib, ia lanjutkan dengan berdoa dan bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya hingga saat ini. Lalu ia lanjutkan dengan mengaji hingga azan isya berkumandang.
Setelah selesai salat isya, Arini menyiapkan kembali segala berkas dan keperluannya untuk di kampus besok, agar ia tidak perlu terburu-buru untuk esok harinya.
Setelah semuanya selesai, Arini naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya yang lelah seharian ini. Tak butuh waktu lama Arini terlelap di atas kasur yang cukup empuk baginya, namun tidak untuk orang lain.
*****
Hari ini adalah hari pertama Arini masuk kampus dan menyerahkan segalanya berkas-berkas yang dibutuhkan oleh pihak kampus yang telah ia siapkan semalam.
Arini pergi ke kampus dengan berjalan kaki untuk menghemat biaya pengeluarannya, selama ia belum mendapatkan pekerjaan sampingan atau pekerjaan paruh waktu.
Tiba di kampus, Arini masuk dalam sebuah ruangan yang telah diberitahukan oleh salah satu anak yang ada di kampus ini. Dan tak butuh waktu lama untuk Arini menyerahkan segalanya berkasnya, lalu ia pun keluar dan tak sengaja menabrak seseorang hingga mereka berdua pun terjatuh.
"Eh... aduh... maaf, maaf." Kata Arini sambil membantu gadis itu untuk berdiri, setelah ia sendiri berdiri.
"Iyah, nggak papa, lagi pula aku yang salah... main lewat aja." Jawab gadis tersebut, sopan.
Dilihat dari bodinya gadis tersebut sama dengan Arini dan umur mereka pun mungkin hampir sama. Setelah berdiri kokoh, gadis tersebut tersenyum dan mengulurkan tangan pada Arini tanda ingin saling mengenal.
"Dian Stabita Wahyu." Gadis itu memperkenalkan namanya. "Bisa di panggil, Dian.” Lanjutnya lagi.
Arini menatapnya sebentar... lalu, "Arini Putri Kurniawan, bisa di panggil Arini." Jawab Arini dan menerima uluran tangan gadis tersebut.
"Kamu mahasiswa baru ya...?" tanya gadis itu yang mengaku namanya Dian pada Arini.
"I... iya." Jawab Arini singkat dan sedikit gugup, karena ia masih canggung dengan lingkungan baru dan suasana baru.
"Kamu nggak usah gugup gitu sama aku... santai aja.” Kata Dian pada Arini. "Kita ngobrol di sana, yuk.” Tunjuk Dian pada sebuah bangku yang berada di koridor.
"Iya." Jawab Arini, sambil mengikuti langkah Dian dari belakang menuju bangku yang di tunjuk tadi.
Mereka sampai di bangku koridor dan duduk berdampingan. Dian mulai bertanya tentang Arini, Arini menjawab dan bertanya balik tentang Dian. Sekarang ia tak gugup dan canggung lagi seperti tadi. Ia merasa Dian adalah orang yang baik, begitu juga sebaliknya. Dian juga merasa, Arini adalah orang yang baik dan enak untuk diajak mengobrol.
Lalu mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing, bercanda gurau, dan saling bertukar informasi penting yang berada di kampus baru mereka.
Entah takdir atau apa yang mempertemukan mereka berdua. Keduanya ternyata satu fakultas, satu jurusan, dan juga satu kelas. Arini maupun Dian sangat bahagia bisa berkenalan satu sama lain dan menjadi teman kelas. Tidak hanya itu mereka berdua menjadi teman satu kerja, sebab Dian menawari Arini untuk kerja di sebuah kafe tempat ia juga bekerja, dan kebetulan di sana sedang membutuhkan tambahan pegawai sebagai cleaning servis.
Arini sangat senang ketika ia diterima kerja di kafe tersebut walaupun hanya sebagai cleaning servis yang penting pekerjaannya halal, Arini bersyukur kepada Allah dan mengucapkan terima kasih pada Dian yang telah membantu mencarikannya pekerjaan. Dian mengucapkan sama-sama dan ikut senang untuk teman barunya itu.
Semenjak saat itu Arini dan Dian menjadi teman yang baik, menjadi teman yang akrab, bahkan sudah seperti saudara. Mereka berdua saling bahu-membahu, saling melengkapi, membantu semampunya ketika salah satu dari mereka terkena masalah atau musibah.
Dian merupakan anak yang menerima beasiswa sama seperti Arini, ia juga berasal dari keluarga yang tak berada, ia datang merantau di Jakarta untuk menempuh pendidikan dan mencoba bertukar nasib di kota ini.
*****
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini kuliah Arini sudah memasuki semester akhir dan sebentar lagi ia akan wisuda, itu artinya Arini akan segera menyelesaikan kuliahnya di kota Jakarta ini.
Setiap bulan ia mengirim Ibu dan adiknya uang seadanya saja. Uang dari hasil kerja paruh waktunya. Kini ia semakin paham arti kehidupan, bahwa tak ada yang mudah untuk orang sepertinya.
Namun, itu semua tidak membuat Arini putus asa. Ia yakin akan satu hal bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Satu hal yang tak pernah pudar dari dalam hatinya, bahwa ia ingin meraih cita-citanya. Ia yakin kesempatan itu pasti datang, dan kini sudah dekat. Cita-citanya akan tercapai sebentar lagi. Ia setia mengikuti proses.
*****
Bersambung...
Akhir-akhir ini pikiran Arini sedang terganggu oleh kabar yang diberitahukan oleh adiknya di kampung, ibunya sedang sakit.
Berita itu sukses membuat Arini tidak konsentrasi dalam kuliah, sehingga ia dipanggil oleh dosen pembimbingnya.
Arini baru saja keluar dari ruangan dosen pembimbingnya dengan wajah yang sayu. Tersirat kesedihan di wajahnya. Ia menarik napas dalam, lalu duduk disalah satu bangku yang ada di sana. Menundukkan kepala dengan pikiran yang berkecamuk.
"Arini." Panggil seseorang, sambil menepuk bahunya pelan. Arini mendongak, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya. Yaa... itu adalah Dian teman yang sudah menjadi sahabat bahkan sudah seperti saudara bagi Arini.
"Ada apa?" tanya Dian pada Arini melihat ekspresi wajah sahabatnya itu. Arini memberikan senyuman.
"Nggak papa." Jawabnya masih dengan senyuman.
"Terus apa yang dibilang sama Pak Gunawan?" tanya Dian lagi pada Arini, dan menyebutkan nama dosen pembimbingnya.
"Pak Gunawan bilang," Arini menjeda kalimatnya sesaat, lalu menarik napas dan menghembuskan perlahan, setelah itu melanjutkan kalimatnya "beasiswa aku terancam akan dicabut." Ujar Arini memberitahu masalah yang mengganggu pikirannya sejak tadi.
Benar, beasiswa Arini akan terancam di cabut sebab nilainya akhir-akhir ini menurun. Keadaan sang Ibu yang sakit-sakitan menyebabkannya kepikiran sehingga berimbas pada nilainya.
"Arin, mending kita bicaranya di kantin aja. Aku lihat kamu kaya kelelahan gitu, ayo!" ajak Dian pada Arini. Arini mengangguk, tanda setuju dengan ajakan Dian. Ia bangkit dan berjalan beriringan dengan sang sahabat menuju kantin.
Sesampainya di kantin mereka duduk di bangku yang kosong, berada di tengah kantin. Arini memesan es jeruk dan Dian memesan es tebu.
"Jadi, bagaimana Rin?" tanya Dian memulai pembicaraan.
Arini menunduk, bingung, bagaimana cara ia memulai menceritakan masalahnya.
Dian menghela napas, saat Arini belum juga menceritakan masalahnya. Padahal mereka berdua sahabatan bahkan sudah seperti saudara sendiri. Dian hanya ingin Arini menceritakan masalahnya agar sedikit tidaknya dapat mengurangi beban dari sahabatnya ini. Ya... siapa tahu ia bisa membatu, walaupun tak seberapa. Tapi sekedar dapat meringankan beban pikiran dari sahabatnya.
"Aku bingung Din---" kalimat Arini tertahan oleh teriakan histeris para perempuan ketika melihat tiga pemuda yang masuk ke dalam kantin. Semua mata tertuju pada mereka bertiga termaksud Dian dan Arini, Arini memutar jengah bola matanya, mendengar teriakan histeris para perempuan dan melihat tiga pemuda yang masuk ke dalam kantin.
Bagaimana mereka semua tidak berteriak histeris, ketika melihat ketiga pemuda itu. Apalagi yang berada di tengah, Bian Andi Pratama. Putra dari tuan Dean Pratama, sang pengusaha terkenal. Pemilik dari Pratama Group yang merupakan perusahaan nomor satu di Indonesia yang terkenal di mancanegara. Hal itulah yang membuat Bian menjadi idola para perempuan selain karena ketampanannya.
Ketiganya masih berjalan dengan angkuhnya, mengabaikan teriakan histeris dari para perempuan yang mereka lewati. Hingga pada saat mereka melewati meja Arini dan juga Dian.
Byyuur...
Dian yang melamun sejak tadi, tidak sengaja menumpahkan es tebunya yang ia pegang dan mengenai tepat sepatu Bian. Ketiga lelaki itu berhenti. Seisi kanti kini berpusat pada meja Arini dan juga Dian, mereka kaget akan perlakuan Dian yang ceroboh, serta menunggu apa yang akan dilakukan oleh Bian karena ada yang telah mengganggu ketenangannya.
Dian juga sama kagetnya dengan pengunjung kantin yang lainnya. Tanpa disuruh, Dian langsung membungkuk di hadapan Bian dan mengelap sepatunya yang basah akibat perlakuannya. Sedangkan Arini refleks berdiri, melihat Dian yang membungkuk di hadapan Bian dan mengelap sepatunya.
"Ma... maaf... maaf, a... aku benar-benar nggak sengaja.” Kata Dian meminta maaf dengan suara yang kecil dan gugup setengah mati, sambil terus mengelap sepatu Bian yang basah.
"Dasar orang kampung, sikap kalian memang tidak akan pernah bisa berubah walau masuk di kampus ternama dan elite seperti ini." Kata Bian marah pada Dian, Dian hanya mengangguk pasrah mendengar semua perkataan Bian yang menyayat hati.
"Ya... memang, dasar kampungan.” Ucap sebagian pengunjung yang lain, membenarkan apa yang di katakan oleh Bian.
"Dasarnya memang orang kampung, pasti sikap mereka juga kam---" kata-kata Bian penuh ejekan, sambil menunjuk Dian yang masih mengelap sepatunya yang basah tertahan oleh teriakan marah dari Arini.
"Tolong, cukup!!" teriak Arini yang tahu akan kelanjutan dari perkataan Bian.
"Wow... bravo! ternyata temannya mau jadi pahlawan." Ujar teman Bian dengan kekehan yang malah mengundang banyak tawa dari seisi kanti.
"Lo bisa kulian di sini cuma karena beasiswa. Jadi, nggak usah mau jadi pahlawan dan sok berani Lo sama gue." Kata Bian memandang rendah pada Arini.
"Memang dasarnya orang miskin, kelakuan mereka yaa... kampungan, tidak beretika. Belagu karena bisa kuliah di sini, padahal cuman karena beasiswa." Timpal teman Bian satunya.
Napas Arini memburu, wajahnya merah padam mendengar hinaan demi hinaan yang terlontar dari mulut ketiga pemuda itu.
"Kami memang orang miskin, anak beasiswa, anak kampungan. Tapi, bukan berarti kalian bisa seenaknya pada kami. Kami juga mempunyai kelebihan yaitu kecerdasan. Dan masalah beretika, kami tahu cara beretika yang baik dan benar." Kata Arini. "Mulut kami, kami gunakan untuk berbicara hal yang baik-baik saja. Bukan untuk menghina, mencaci, apalagi sampai menyakiti hati orang. Jadi siapa yang tidak beretika di sini?" lanjut Arini, dengan bertanya kepada ketiga pemuda itu.
Ketiga pemuda itu terdiam, mereka tercengang mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Arini.
Dian panik, melihat Arini yang terlihat emosi. Ia berusaha menghentikan Arini agar tidak melontarkan kata-kata lagi dan mengajaknya untuk keluar dari kantin.
"Arin, udah. Kita pergi aja yuk...." Ajak Dian pada Arini sambil menarik pergelangan tangannya. Arini mengangguk lalu pergi keluar kantin bersama Dian. Dari pada berlama-lama di kantin dengan emosi seperti ini dan menambah masalah serta beban, mendingan keluar dan menjauh saja. Pikir Arini.
"Urusan kita belum selesai." Ujar Bian dengan kata demi kata penuh dengan penekanan, mengepalkan satu tangannya menahan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun, baru kali ini ada orang yang berani melawannya dan itu adalah gadis kampung yang tidak ada apa-apanya bagi Bian. “Gue bakal bikin perhitungan sama lo.” Batin Bian dalam hati. Lalu melangkah mendekati tempat yang biasa mereka duduki.
Arini dan Dian tak menggubris perkataan Bian dan terus berjalan keluar.
*****
Arini duduk di kursi taman. Menghela napas, berusaha meredakan emosinya yang sempat memuncak akibat perkataan Bian dan teman-temannya. Dian duduk di sebelah Arini merasa bersalah, karena kecerobohannya Arini jadi kena masalah dengan Bian sang penguasa kampus.
"Rin, aku minta maaf ya. Gara-gara aku, kamu jadi kena masalah sama Bian." Ucap Dian penuh sesal, ia benar-benar menyesal atas perbuatannya tadi.
Arini menghadap ke Dian, ia tersenyum dan berkata, "Udah nggak usah dipikirkan. Ini juga bukan salah kamu kok, lagi pula kamu kan nggak sengaja, seharusnya mereka tidak berkata seperti itu pada kita." Ucap Arini berusaha menenangkan Dian dari rasa penyesalannya.
"Tapi Rin, aku udah tambah beban masalah buat kamu. Belum Ibu kamu yang sakit, sekarang masalah dengan Bian. Aku benar-benar minta maaf Rin." Kata Dian menunduk masih tidak enak hati pada Arini. Ya, Dian tahu kalau ibunya Arini sedang sakit. Karena tidak ada yang mereka berdua saling rahasiakan.
"Iya nggak papa, masalah Ibu aku kamu bantu do'ain ya, semoga Ibu aku cepat sembuh." Lirih Arini.
"Pasti Rin, aku bakalan do'ain Ibu kamu semoga cepat sembuh." Do'a Dian dengan tulus untuk ibu dari sahabatnya itu.
"Aamiin. Makasih ya, Din." Ucap Arini dan memeluk sahabatnya.
"Sama-sama." Jawab Dian membalas pelukan Arini.
*****
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!