NovelToon NovelToon

Hasrat Tuan Anderson

HASRAT ANDERSON

Tarik napas keluarkan ...!

Tarik napas keluarkan!

Adalah hal yang terus dilakukan oleh Melia saat ia menghadapi bosnya kali ini.

"Ya Tuhan, tidak! Dia melakukannya lagi!"

"Mau sampai kapan anda seperti ini, Pak?"

"Oh, maaf. Maafkan aku." Anderson mengendipkan sebelah matanya saat ia menoleh ke arah Melia.

Anderson baru sadar bahwa sedari tadi ia bertelanjang dada. Memamerkan bentuk tubuh bidangnya ke hadapan Melia hingga Melia menahan napas walau hanya sesaat. Bahkan, saat Melia ingin menjauh dari sisi Anderson, Anderson malah semakin melangkahkan kaki ke hadapan Melia hingga membuat Melia terjebak, terapit di dinding dan tidak mampu membuat Melia bergerak lagi.

"Owh, maaf. Aku membuatmu lama menunggu."

"Bisa kah anda selangkah mundur ke belakang hingga saya bisa keluar dari sini?"

"Astaga. Apakah aku menjepitmu?"

Yang dilakukan Anderson saat ini malah semakin memajukan tubuh bidangnya. Sungguh. Kaki Melia tidak bisa bergerak lagi, ia benar-benar terhimpit oleh Anderson yang terus menerus menghimpit tubuhnya. Bahkan, tubuh bidangnya kini berada tepat di depan wajah Melia hingga jantung Melia berdetak dengan lebih kencang.

Melia, sang sekretaris pribadi Anderson benar-benar dibuat kelimpungan jika bosnya selalu seperti ini.

"Maaf, Melia. Aku selalu suka memamerkan bentuk tubuhku jika berada di sampingmu." Perlahan, Anderson mundur setelah ia menyingkap anak-anak rambut Melia ke belakang telinga Melia.

"Maaf, Pak. Tapi ini ... emm ... sedikit tidak sopan."

"Ya ya. Aku tahu. Maaf."

Setelah Anderson mulai mundur, Melia segera melangkah pergi ketika mendapatkan kesempatan.

"Maaf, tapi dokumennya harus anda tanda tangani, Pak."

"Oh, ya. Astaga. Aku sampai lupa."

Melia memutar mata. Astaga! Kenapa dia terus menerus berlagak bodoh?!

"Saya mohon segera tanda tangani itu, Pak. Ini sudah hampir tengah malam dan saya harus pulang."

Sejenak, Anderson berpikir.

"Pulang?"

"Ya. Saya harus pulang."

"Kenapa harus pulang? Padahal aku dengan sengaja tampil bodoh seperti ini agar kamu bisa berlama-lama di sini bersamaku."

"Eh?"

"Di sini sebentar lagi, saja, Melia."

Perlahan-lahan, Anderson melangkah lagi ke arah sekretarisnya itu. Menarik tangan Melia dengan cukup keras dan membantingnya ke arah sofa panjang.

"Tidak kah kamu tahu kalau aku memancingmu selalu berada di sini dan berlama-lama denganku?"

"Emm, Pak. Apa-apaan ini?! Lepas!"

"Tidur denganku, Melia! Kamu benar-benar membuatku tergila-gila!"

Mendengar hal itu, mata Melia melotot tajam.

"APA?!" Teriak Melia karena masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh bosnya itu.

"Lepaskan saya!"

Tapi sepertinya, Anderson semakin mengunci tangan dan kaki Melia dengan sangat rapat. Ia benar-benar tidak dapat membiarkan Melia pergi dari sini untuk yang ke sekian kalinya.

"Lepaskan saya!"

Tapi sepertinya, Anderson tidak tega. Ia kemudian melepaskan Melia sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Maaf, sepertinya aku membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk merayumu."

Melia hampir menangis dibuatnya. Sungguh. Sudah sejak lama ia sudah mengira kalau bosnya ini benar-benar tidak bermoral.

"Mulai sekarang, saya ingin keluar dari perusahaan ini."

Ha ha ha. Anderson tertawa lepas.

"Kalau begitu, bayar ganti ruginya Melia. Kamu tahu kalau kamu harus mengganti rugi dengan uang yang aku yakin tidak mungkin kamu bisa bayarkan."

Tangan Melia mengepal kuat.

"Dasar kurang ajar ..."

"Aku sudah sering mendengar umpatanmu dari belakang. Dan ouh, tapi ini pertama kalinya aku mendengarnya secara langsung di depan mukaku!"

"Kenapa anda selalu mengganggu saya?!"

"Karena aku menginginkanmu, Melia!"

GANTI RUGI

Melia ingin pergi. Tapi Anderson lagi-lagi menarik tangannya.

"Mau ke mana? Kamu wajib di sini bersamaku."

"Lepaskan saya!"

"Tidak sebelum kamu berjanji akan menjadi milikku!"

"Pak! Lepaskan saya!"

Tapi Anderson malah menyondongkan tubuhnya. Niatnya ingin menyium bibir itu tapi Melia dengan sekuat tenaga menghindar dari sisi Anderson. Melia mendorong kuat-kuat tubuh Anderson hingga Anderson hampir terjatuh.

Ha ha ha. Anderson malah tertawa dengan sangat kencang. "Aku memuji semua pertahanan kamu Melia. Tapi lihat lah, suatu saat nanti aku pasti akan mendapatkanmu!"

"Saya tidak sudi tidur dengan anda!"

"Well, aku cukup tahu kamu memang mempunyai harga diri setinggi langit!"

"Apa bapak tidak pernah takut dengan dosa?! Yang bapak lakukan itu benar-benar dosa besar."

Anderson mengernyit. Perempuan ini memang seseorang yang agamis, sosok orang yang memang sangat menjauhi kemaksiatan hingga membuat Anderson malah semakin penasaran.

"Well, ya. Maaf. Sepertinya tidak sekarang. Tapi suatu saat, aku pasti akan membuatmu datang untuk datang ke tempat tidurku!"

"Tidak akan pernah saya lakukan!"

Ha ha ha. Anderson tertawa lagi.

"Lihat saja nanti!"

"Saya ingin keluar dari perusahaan ini!"

"Ya, tapi bayar dulu seratus juta."

"Apa?"

"Apa kamu tidak tahu berkas yang sudah kamu tanda tangani sebulan yang lalu? Jelas-jelas di dalam dokumen itu jika kamu keluar sebelum masa kontrak habis kamu siap membayar ganti rugi."

"Dasar penipu!"

Ha ha ha. Anderson tertawa lagi dengan sangat keras.

"Menyerah saja, Melia. Semua orang menginginkanku. Semua wanita saling berebut tempat di hatiku. Apa kamu tidak tahu aku? Aku kaya, aku tampan dan aku mempunyai segala-galanya. Aku bisa memberimu banyak hal di hidupmu asal kamu tahu?"

Tapi Melia menggeleng keras.

"Saya tidak pernah berminat dengan anda!"

Brak!

Setelah mengucapkan hal itu, Melia segera keluar dari ruangan Anderson dengan menggebrak pintu itu keras-keras.

Tapi di dalam, Anderson hanya mengentikan dahi. Mengangkat sebelah bibirnya dengan sinis setelah kepergian Melia.

Tidak kah Melia tahu dia begitu terobsesi dengan dirinya?

***

Melia berlari secepat kilat keluar dari ruangan Anderson dengan napas yang terengah-engah. Jantungnya berdegup kencang, seluruh kakinya lemas tidak bertenaga karena ia baru menyadari bahwa beberapa menit yang lalu Melia dengan beraninya mengumpati bosnya itu.

Sial! Sial! Sial!

Melia butuh uang. Tapi Anderson bos gila! Walau Melia menggantungkan hidupnya dengan gaji perusahaan itu, Melia benar-benar menolak keras jika Anderson menghina harga dirinya.

Melia kemudian berlari sekuat tenaga sampai ke sisi halte. Niatnya ingin segera mencari taksi atau bus yang masih lewat, tapi mobil porsche hitam tiba-tiba muncul dari arah belakang.

"Hei Melia."

"Pak Anderson?"

"Naik lah, aku akan mengantarmu."

Sial! Mau sampai kapan dia menganggunya?

"Em, tidak. Terima kasih."

Untung saja, ada taksi yang lewat dari sisi seberang. Membuat Melia segera melambaikan tangannya dan segera menghindar dari Anderson.

"Melia!"

Terlambat. Melia sudah naik ke atas taksi dan meninggalkan Anderson yang meneriaki namanya.

***

Malam telah larut, dan Melia hanya bisa beristirahat seorang diri di dalam kamar. Ya, Melia memang sebatang kara. Setelah orang tuanya meninggal, dia harus hidup nomaden dengan rumah kontrakan yang ia sewa selama perbulan.

Melia menutup mata rapat-rapat. Sudah sebulan ini ia diteror oleh Anderson yang benar-benar membuatnya hampir gila.

"Tidur lah, Melia. Tidur. Kamu butuh istirahat." Berulang kali Melia mengatakan itu di dalam hati. Sampai suatu saat, ia benar-benar tertidur dengan sangat lelap.

Namun, tanpa Melia sadari, ada seseorang yang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Menggunakan hoddir berwarna hitam, sosok bayangan itu tengah membuka kunci rumah yang entah ia dapat dari mana.

Lalu, bayangan itu berjalan. Melewati lorong demi lorong rumah ini dan masuk ke dalam kamar Melia dengan lampu yang sudah padam.

"Hei, Melia. Izinkan aku tidur bersamamu karena tadi kamu menolakku."

Tanpa Melia sadari, bayangan itu sudah merangkul Melia dari belakang. Membuat Melia sedikit terusik dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki itu.

Melia mengerjap-erjap, sebuah tangan yang melingkar di tubuhnya sungguh mengusik tidurnya.

Mata Melia membelalak hebat. Ia kaget bukan kepalang saat ada seseorang yang merengkuhnya dari belakang.

"Si-siapa kamu?"

Melia menoleh, dan laki-laki itu tersenyum senang.

"Pak Anderson?!"

"Hai Melia?"

Tapi belum sempat Melia berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba Anderson sudah membungkam mulut Melia dengan sebuah kain yang berbau dengan sangat menyengat.

Dan bau itu, berhasil membuat Melia tidak sadarkan diri.

MIMPI?

Melia mengerjap-erjap, cahaya matahari yang tidak sengaja masuk melalui jendela kaca, tanpa sengaja membuat Melia bangun dari tidur lelapnya.

Melia berusaha membuka mata, saat ia berhasil membuka mata lebar-lebar, ia langsung terperanjat kaget dan segera bangkit dari ranjang.

"Astaga."

Melia menahan napas seper sekian detik. Buru-buru ia bangkit dari ranjang dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan tapi semuanya masih tampak normal.

"Semalam apa aku bermimpi?" Melia menelan salivanya pasrah. Ia memeluk dirinya sendiri sambil mengerjap-erjap.

Apa memang benar kalau semalam Melia hanya sedang bermimpi? Tapi, mimpi itu sangat jelas, Melia ingat betul saat tadi malam ia menatap wajah Anderson di sisi ranjangnya, pun saat ia merasakan Anderson memeluk tubuhnya dari belakang.

Tapi tidak.

Ini tidak mungkin, kan?

Buru-buru Melia mengecek ke seluruh penjuru rumah. Semuanya tampak normal dan semua kunci tertutup rapat.

Tidak. Ini pasti salah.

Lagi pula, bagaimana mungkin Anderson bisa masuk ke dalam rumah ini?

Ya, Melia. Ini pasti mimpi.

Melia pada akhirnya bisa bernapas lega. Paling tidak, ini semua memang mimpi kan?

Ia kemudian menatap ke arah jam yang ada di dinding kamar. Sudah pukul tujuh tepat dan ia harus segera pergi ke kantor.

"Ya, ampun. Kenapa waktu terasa sebentar sekali? Aku benci melihatnya setiap waktu." Kutuk Melia pada diri sendiri.

Tapi baru saja Melia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia dikejutkan dengan bekas sikat gigi yang tergeletak di tepi wastafel.

Deg.

Jantung Melia seperti berhenti untuk berdetak.

Kenapa sikat gigi ada di sini? Bahkan, Melia ingat betul bahwa setiap ia selesai menggosok giginya, ia selalu menggantungkan sikat gigi itu di rak tempatnya berada.

Melia menahan napas seper sekian detik. Tiba-tiba ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Mulai menyermati keadaan sekitar dan mulai menemukan kejanggalan di sini.

Kenapa kamar mandi ini tampak basah? Cipratan-cipratan air di dinding kamar mandi seperti menandakan bahwa kamar mandi ini baru saja dipakai oleh seseorang.

***

"Mel? Are you oke?" Salah satu teman kantor yang mendapati Melia tampak murung di meja pantry mampu membuat Melia kaget bukan kepalang.

"Astaga."

"Hei? Kamu melamun?"

Buru-buru Melia menggeleng. "Ah, maaf. Aku tadi memikirkan sesuatu."

Rosa mengangkat sedikit alisnya kemudian tersenyum. "Kamu dipanggil Tuan Anderson ke ruangannya."

"Eh?"

"Ya, Mel." Rosa mendelik. "Hey, apa kamu sedang terlibat masalah dengan Tuan Anderson?"

"Apa?"

"Ya. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Jangan macam-macam dengan Tuan Anderson. Kamu tahu kan nasib orang jika berurusan dengan Tuan Anderson? Kamu sudah lihat begitu banyak orang yang dibuat menderita, hanya karena masalah sepele dan dia dipecat dari perusahaan ini. Mereka sangat sulit lagi mencari pekerjaan."

Melia menelan salivanya pasrah.

"Maaf, aku hanya khawatir. Sepertinya Tuan Anderson sering memanggilmu. Apa laporan yang kamu berikan kepadanya terlalu banyak revisi?"

Lagi-lagi Melia menghela napas.

Jadi, ini alasan yang selalu digunakan Anderson untuk memanggilku ke kantornya? Alih-alih merevisi laporan, tapi sebenarnya Melia selalu dilecehkan oleh sosok itu.

"Emm, ya. Aku akan ke ruangannya."

***

Dan selalu seperti ini,

Anderson selalu tampak menggoda saat Melia datang ke dalam ruangannya.

"Selamat pagi, Melia."

Tapi baru satu langkah Melia masuk ke dalam ruangan Anderson, Melia seperti menghirup sesuatu. Saat ia melangkah semakin mendekat ke arah Anderson, Melia semakin yakin bau yang ia hirup adalah aroma yang benar-benar tidak salah lagi.

Deg.

Dan hal ini semakin membuat jantung Melia berdegup dengan sangat kencang. Baru saja tadi pagi ia memikirkannya, tapi kenapa ia dihadapkan fakta yang mungkin membuat pikirannya semakin buruk?

"Pak, maaf. Sampo apa yang bapak gunakan?"

Anderson mengernyit saat mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa, Melia?"

"Kenapa aromanya seperti kepunyaan saya? Maaf, tapi kulit kepala saya sangat sensitif dan sampo yang saya gunakan adalah sampo yang diracik khusus dan hanya bisa dipesan melewati online shop."

Jantung yang tadi berdetak kini semakin bergemuruh hebat. Sedangkan di sana, Melia semakin berdiri kaku dengan tangan yang bergetar.

Astaga. Kejadian tadi malam?

Ya Tuhan, jangan-jangan ....!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!