Visualisasi
• Achilla Summer Adrinari (Chilla)
•Jonas Prawira (Jonas)
•Arnas Prawira (Arnas)
•Largha Adrinari (Kak Largha)
∆∆∆
Achilla Summer Adrinari dengan hati-hati menyelipkan sepucuk surat beramplop biru pada sebuah loker di lorong sekolah yang masih sepi. Setiap Senin, ini adalah rutinitasnya sejak awal semester kemarin.
"Jadi lo pengemar gila Jonas?"
Chilla otomatis berbalik mendengar tanya itu. Mendapati Arnas Prawira berdiri bersedekap di depan dada. Wajah songong manusia itu ingin sekali ia aniaya.
"Bukan urusan lo ya!" balas Chilla sewot. Setiap melihat Arnas memang seolah ia PMS dadakan. Bawaannya ingin menghancurkan peradaban. Memang hiperbolis, tapi tetap saja rasanya buruk. Walau begitu, ia selalu bisa menahannya.
"Jonas kembaran gue, ya. Gue ingetin kalo lo lupa. Jadi apapun yang berhubungan sama dia jadi urusan gue."
Itu benar. Jonas dan Arnas Prawira memang kembar, walau tak identik. Chilla lupa apa istilah ilmiahnya. Ada beberapa hal yang memang mirip pada fisik mereka. Terutama mata. Serius, mata mereka berdua agak berbeda dari kebanyakan pure bangsa Indonesia. Warna mata Jonas dan Arnas agak keabuan. Cantik—terutama milik Jonas. Ia agak tak rela memuji Arnas. Sumpah, ia benci sekali pada Arnas sampai ke tulang-tulang, jaringan-jaringan, sel-sel, even ke atom-atom. Pahamkan? Sebenci itu. Ini lebih dari 'benci yang mendarah-daging sampai sumsum tulang'.
Biar kata fisik 'agak' mirip. Sifat dan kelakuan Jonas dan Arnas itu berbeda sekali. Jonas itu—subhanallah, baik sampai bayangannya. Tampan dan pintar pula. Belum lagi sopan juga soleh naudzubilah. Sedang kembarannya itu menyebalkan naudzubilah. Walau menyebalkan bukan berarti Arnas tak berprestasi, hanya saja beda bidang dengan kembarannya. Bila Jonas dalam bidang akademik, Arnas dalam bidang fisik. Arnas adalah atlet kebanggaan sekolah. Meski kebanggaan sekolah, Arnas dengan kelakuan naudzubilah-nya itu tetaplah 'kesayangan' guru BK. Pahamkan yang dimaksud 'kesayangan' guru BK? Maklum, hobinya bolos jam pelajaran, entah karena bermain bola atau minggat keluar sekolah.
"Gak perlu lo ingetin. Mana bisa gue lupa sama saudara kembar yang satu kayak malaikat, yang sebiji lagi kayak set..." Chilla tak menyelesaikan ucapannya. Sebab Arnas mendekat dan menodongnya dengan telunjuk yang berada dalam jarak berbahaya. Bisa kecolok mata Chilla.
"Tolong ya tangan." Chilla menepis tangan Arnas kasar.
"Set... Apa?" tanya Arnas berbahaya. Telunjuknya kembali terangkat, menoyor kening Chilla pelan.
"Setan!" cetus Chilla kesal. Ia tergesa mencoba menggapai telunjuk Arnas untuk mengigitnya, namun kalah cepat dengan laki-laki itu. Arnas mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Maka Chilla mulai membabi buta. Ia mengait tengkuk Arnas sampai manusia hina satu itu terbungkuk-bungkuk sambil berteriak histeris. Lalu menggunakan tangan lainnya Chilla menangkap tangan Arnas. Mulut Chilla mangap-mangap, siap mengeksekusi.
"Eh, eh! Gila!" jerit Arnas. "Barbar banget sih lo!"
"Biarin!"
"Gue bilangin Jonas ya kelakuan lo!" ancam Arnas.
"Bilangin!" tantang Chilla, spontan. "Coba gue mau denger." Tidak mungkin kan Arnas se-kekanakkan itu mau mengadu?
"Joooooo! JONAS!" lengking Arnas, tak main-main.
What?!
Chilla yang panik membekap mulut Arnas. Lengannya yang mengunci tengkuk Arnas ia lepaskan. Ia butuh tangannya untuk membenarkan otak makhluk menyebalkan ini.
Plak!
Plak!
Tak kenal ampun Chilla mengiaya kepala Arnas. Inilah cara terbaik memperbaiki otak bobrok. Pokoknya hilang sudah pengendalian dirinya selama ini.
"Gila ya lo... Ngaduan kayak bocah," omel Chilla. "Oh iya, gue lupa lo emang bocah." ia menggertakkan gigi. Gregetan. "Bo... cah... Ar... nas..."
Arnas tiba-tiba berdiri. Bergerak cepat mencengkram kedua pergelangan tangan Chilla erat. Mata keduanya bertemu. Iris coklat dan hitam kelabu. Bisu.
"Kalian berdua ngapain?"
Baik Chilla maupun Arnas menoleh mendengar suara itu. Menjumpai Jonas yang berdiri tegap, lengkap dengan dasi dan topi rapi siap memimpin upacara rutin hari Senin.
Buru-buru Chilla dan Arnas menjauh. Kemudian masing-masing memperbaiki penampilan usai pergulatan seru.
"Enggak ngapa-ngapain," jawab Arnas santai, kelewat santai malah. Sementara Chilla hanya menggeleng kecil.
ΔΔΔ
Kening Arnas mengernyit ketika segumpal kertas mendarat di mejanya yang terletak paling belakang. Ia yang sedang duduk santai dengan tangan bersedekap di depan dada sambil akting memperhatikan pelajaran fisika di depan, celingak-celinguk memandang sekeliling kelas mencari pelaku pelemparan.
Dan di seberang ruangan ada Chilla yang menatapnya, menantang. Jelas itu artinya dia sang pelaku.
Arnas meraih gumplan kertas itu. Meratakannya agar dapat dibaca. Ia sebetulnya malas, tapi penasaran.
AWAS YA LO BACOT KE JONAS SOAL SURAT ITU. GUE SURUH LARGHA ABISIN LO KALO SAMPE BOCOR.
Merinding. Bukan karena tulisan capslock itu, apalagi soal ancaman remeh itu, namun karena penggunaan nama 'Largha' yang notabenenya kakak Chilla serta orang paling menjijikan yang pernah ia jumpai. Jangankan berurusan dengannya, mendengar namanya saja Arnas sudah mual.
Arnas meremas kertas ancaman kembali. Membuatnya bagai bola kecil. Lalu masih ditemani perhatian Chilla, Arnas tersenyum jail dan melemparkan kertas menyeberangi ruang kelas, terus hingga melewati jendela terbuka di samping-atas Chilla.
Chilla melongo melihat kejadian itu. Wajahnya kelihatan ungu dari sini. Tampaknya ia memupuk kebencian Chilla padanya dengan sukses. Bodoh sekali.
ΔΔΔ
"Masih waras, Jo?"
Jonas tersenyum miring mendengar sindiran adiknya—beda sepuluh menit saja. Sudah biasa. Arnas memang suka nyinyir soal surat yang rutin ia dapatkan pada hari Senin di dalam loker. Entah memang khawatir atau cemburu karena tak mendapatkan hal serupa.
"Yakin lo yang ngirim surat cewek? Bisa aja kan cowok."
"Yakinlah," jawab Jonas. Dengan tenang Jonas melipat surat dan memasukannya kembali kedalam amplop biru--bahkan penggemar rahasianya tahu ia suka warna biru. "Orang setiap suratnya wangi parfum cewek," tambahnya.
"Cowok juga bisa beli parfum cewek kali," bantah Arnas.
"Memang. Tapi gue yakin ini cewek, ya. Tulisannya juga gaya tulisan cewek," Jonas tak mau menyerah meyakinkan Arnas bahwa memang perempuan tulen penggemarnya itu, bukan makhluk sejenis dengannya. Membayangkan jika laki-laki yang mengiriminya surat sewangi ini saja membuatnya merinding. Astaga! Jangan sampai dugaan Arnas itu benar.
Tak terdengar lagi suara Arnas mendebat. Barangkali menyerah meyakinkan Jonas dengan kemungkinan menggelikan semacam itu.
Sementara Jonas menata surat terbarunya di samping surat terakhir dalam kotak yang tersimpan rapi di laci meja belajar.
Kemudian ia beranjak berdiri, melenggang melewati ruang di antara kaki tempat tidur dan kursi belajar, mendekati jendela yang menampilkan panorama langit senja. Ia sempat melirik Arnas yang duduk bersila di atas tepat tidur di sisi yang lain, tengah bermain ponsel. Cukup di ketahui bahwa segala barang yang ada di kamar lantai dua rumah ini berjumlah dua. Tempat tidur dua, meja belajar dua, rak buku dua, lemari baju dua. Serba dua pokoknya. Alasannya sederhana: agar ia dan Arnas tak bertengkar. Dan itu berhasil selama belas enam belas tahun ini. Belum pernah ia dan Arnas bertengkar karena berebut sesuatu. Sama sekali, walau itu untuk hal sepele. Hubungan mereka sebagai saudara kembar benar-benar mulus sejauh ini, sejauh yang dapat diingatnya.
Jonas duduk bersila pada bingkai jendela. Menyandarkan punggung santai walau tak lupa menjaga keseimbangan. Salah-salah ia bisa oleng dan menghantam atap teras sebelum berdebam ke lantai aspal di bawah. Kan sakit. Sudah cukup dengan pengalaman berguling-guling di tangga saat kelas dua SD hingga harus dirawat di rumah sakit karena patah tulang.
"Lo gak mau cari tahu siapa yang ngirimin lo surat, Jo?" suara Arnas kembali terdengar.
"Belum," jawab Jonas santai. Matanya menatap balkon rumah seberang. Memandang gadis cantik yang sedang mengeringkan rambut ikal basahnya dengan sehelai handuk biru. Dia Achilla, tetangga sekaligus teman sekelas Arnas. "Kalo masih diem-diem, berarti dia belum mau gue tahu."
Arnas mendengus. "Dia diem-diem karena berharap lo suka dan nemuin dia duluan, 'Abang'." Ditekankannya salah satu panggilan untuk kakak laki-laki itu.
Jonas tergesa membuang pandang ketika Chilla menoleh padanya, barangkali menyadiri sedang diperhatikan.
"Yang artinya dia gak cukup percaya diri. Mikir dong, Bambwang. Otak lo kan encer kayak susu Frisian Flag."
Jonas mengernyit menatap Arnas. Kenapa adiknya jadi emosi?
"Gue gak emosi, gue greget."
Kernyitan di dahi Jonas kian dalam. Sejak kapan Arnas bisa membaca pikiran?
ΔΔΔ
Lewat jendela kaca yang terkatup, Chilla memandangi Jonas yang tengah menjelaskan sekelumit soal ruwet dengan banyak kata log pada papan tulis di depan kelas. Dia yang selalu berpenampilan rapi terlihat sangat kharismatik. Walau sayup-sayup, suara lembut dan manis Jonas tetaplah terdengar memesona. Nikmat Tuhan mana coba yang engkau dustai?
Chilla mendelik pada dua laki-laki yang duduk di tengah barisan kedua dari pintu. Bisa-bisanya makhluk itu malah mengobrol. Ingin rasanya Chilla masuk ke kelas dan menjambak rambut mereka. Sayangnya kelas guru matematika bukalah sesuatu yang bisa ia recoki, bahkan walau hanya dalam bayangan. Sungguh, guru matematika itu sungguh berbahaya. Separuh masyarakat kelasnya saja bisa tiba-tiba terserang diare akut bila dia menginjakkan kakinya memasuki kelas. Ini serius.
"Basah itu makalah sama ences lo."
Chilla melirik setumpuk makalah di lengannya sebelum mendelik pada manusia songong di sampingnya. Lagipula heran sekali, kenapa sih Arnas jadi hobi sekali ikut campur urusannya.
"Bisa gak sih lo kalo liat gue bawaannya gak usah gatel pengen nyapa?" balas Chilla ketus. "Suka lo sama gue?"
Chilla menoleh mendengar langkah Arnas menjauh. Tumben. Biasanya dia akan memperpanjang kata.
Alangkah geramnya Chilla saat tahu apa yang dilakukan Arnas. Manusia itu sungguh tahu cara membuat Chilla merasa terhina.
"Amit-amit, amit-amit," rapal Arnas seraya mengetukkan buku jarinya pada kening kemudian dinding.
Naik darah, Chilla mendatangi Arnas dan menjambak rambut bagian belakang kepala laki-laki itu dengan satu tangan. Memangnya ia senajis itu sampai harus di-amit-amit-kan? Kakak-kakak kelas saja bergerilya mendekatinya dan mahkluk hina dina ini malah memperoloknya.
"Gak kepala lo aja yang sekalian lo jedukin ke tembok," Chilla berucap dengan gigi terkatup rapat. Satu tangannya yang bebas dari kewajiban pada rambut Arnas masih setia memeluk sekumpulan makalah sejarah. "Biar gue bantuin kalo lo gak bisa."
"Eh, cewek gila lepasin gue," bisik Arnas. Barangkali sama seperti Chilla, ia berpikiran bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk bersuara besar. Jam pelajaran tengah berlangsung. Mereka bisa berakhir di ruang BK bila ketahuan bertengkar dan menyebabkan kericuhan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Chilla tak paham bagaimana prosesnya atau bagaimana cara Arnas melakukannya, tahu-tahu laki-laki itu berputar, lalu ia merasa ada yang mendorong satu tumitnya hingga ia oleng. Refleks Chilla meraih bagian depan kerah baju Arnas, dan...
Brukkk!
Arnas jatuh menimpa Chilla, bersama makalah yang berserakan.
Awalnya Chilla kira kilat cahaya yang dilihatnya adalah efek dramatis dalam kepalanya. Namun, subhahanallah... warga kelas yang mengapit lorong ini ternyata tengah melongok dari jendela-jendela juga pintu-pintu, mengabadikan satu lagi momen memalukan dalam hidup Chilla.
Tuhan! Tolong tenggelamkan ia ke kedalaman neraka jahanam sekarang juga. Ia tidak sanggup lagi hidup, apalagi dengan Jonas menatapnya tak percaya dari ambang pintu sana.
Tamat sudah.
ΔΔΔ
"Ngapain kalian berdua ada di lorong pas jam pelajaran?"
Baik Arnas maupun Chilla berdiri tertunduk dihadapan Pak Supri, guru BK.
"Saya mau nganterin makalah Sejarah, Pak," jawab Chilla. Suaranya bergetar, membuat Arnas mau tak mau menoleh memandangnya. Benar saja, mata gadis barbar itu nampak berkaca-kaca, hampir tumpah. Sungguh, Arnas kesal karena keanarkisan Chilla ia harus berakhir di sini sekarang, tapi ia juga tidak bisa tak merasa iba pada gadis itu. Mata besar gadis itu yang biasa berbinar ceria—apalagi saat menatap Jonas, kini terlihat ketakutan.
"Kamu Arnas?!"
"Saya mau ke toilet, Pak," jawab Arnas. Sudah kembali menunduk hikmat.
"Satu orang mau ke ruang guru, yang satu mau ke toilet, terus berakhir tiduran di lorong?" Pak Supri sangsi.
Arnas yang pertama kali angkat suara untuk menjawab bahkan sebelum Chilla sempat membuka mulut.
"Saya niatnya bercada, Pak. Saya nyandung Chilla terus dia refleks narik saya. Ya... jadi kita jatoh bareng-bareng."
"Benar itu Chilla?" Pak Supri beralih pada Chilla.
Seraya menghitung jumlah lubang sepatunya, Arnas menanti Achilla mengiyakan. Ia bukannya bermaksud sok pahlawan, hanya saja... ia merasa kasihan. Lihatlah bagaimana gadis itu mulai bercucuran air mata. Lagipula Chilla sudah cukup malu. Itu sudah merupakan hukuman yang berat.
"Enggak."
Arnas menggerakkan kepalanya. Memastikan bahwa tak ada yang tersumbat. Dan rasanya normal saja. Jadi betulan Chilla tak menerima kemurahan hatinya? Wah! Ini bocah berjiwa suci atau memang bodoh?!
Arnas memandang tak percaya pada Chilla. Melihat ada air mata yang menggantung di ujung dagu gadis itu.
"Arnas ngejekin saya, Pak. Makanya saya kesel." Chilla mendelik pada Arnas. Suara sudah tidak lagi gemetar seperti tadi. Kelihatannya ia betul-betul merasa terhina menerima kebaikan Arnas. "Jadi saya jambak rambutnya. Terus masa dia nyandung saya sampe jatoh. Refleks kan saya nyari pegangan, ya saya tarik aja kerah bajunya."
Pak Supri yang tadi bersandar pada sandaran kursi, kini menegakkan punggung. Melirik bergantian dua tersangka kekacauan hari ini. Satu tangannya terangkat untuk mengurut batang hidungnya.
"Ini siapa yang benar?"
"Saya!" jawab Chilla semangat.
"Dia." Arnas menunjuk Chilla.
Alis Pak Supri terangkat. Matanya menatap Arnas penuh tanya.
"Tadinya saya mau berbaik hati sama Achilla kerena dia mau nangis—udah nangis malah. Tapi dia malah gak tahu diri," Arnas mencebik.
"Gak sudi saya dikasihanin sama dia!"
"Ya udah sih kalo gak mau gak usah ngegas!"
"DIAM!"
ΔΔΔ
Jonas bersandar pada dinding di samping pintu ruang BK seraya mengetuk-ngetuk lantai menggunakan ujung sepatunya demi membunuh bosan sebab lorong ini tak ramai dikunjungi. Dari posisinya, ia dapat mendengar samar dari dalam, terutama teriakan Pak Supri. Suaranya tak main-main. Wajar sih, Pak Supri memang punya background militer. Meski begitu ia sungguh berharap bahwa suara sekeras itu tak perlu digunakan di depan perempuan. Kan kasihan.
Lebih dari itu, Jonas sangat mengkhawatirkan Arnas. Ia yakin Arnas tak akan ciut oleh Pak Supri, tapi akan panjang masalahnya bila ada laporan ke orang tua. Ayah tak akan senang mendengarnya. Jonas tak ingin ada perselisihan lagi. Ia ingin rumah tetap tenang.
Segera Jonas menoleh mendengar suara pintu dibuka. Munculah Chila dari sana dengan mata yang basah. Gadis itu nampak sedikit terkejut melihatnya.
"Arnas mana?" tanya Jonas ketika Chilla menutup kembali pintu tanpa Arnas mengekor di belakangnya.
"Pak Supri masih mau ngomong sama dia," jawab Chilla pelan.
Apa yang dibicarakan oleh Pak Supri lebih lama dengan Arnas. Ia hanya berharap bukan sesuatu yang buruk. Ya, bukan rahasia lagi bila Arnas memang hobi masuk ke ruangan di sampingnya ini. Semoga saja Pak Supri masih mau berbaik hati.
Jonas memandang Achilla yang tertunduk di hadapannya. Rambut ikal-panjang gadis itu agak berantakan. Lengan seragamnya juga kotor berdebu. Ia tak tahu apa yang terjadi antara Arnas dan Chilla hingga bisa terjebak dalam situasi dan posisi seperti tadi. Ia agak penasaran. Tapi ia kira ini bukanlah waktu yang tepat untuk menginterogasi.
"Kamu gak pa-pa?" tanya Jonas lembut. Dirapikannya rambut Chilla yang berada pada posisi yang kurang tepat.
Chilla mengangguk.
"Pasti serem diteriakin di dalem?"
"Sedikit," cicit Chilla. Suaranya membuat Jonas tersenyum.
Jonas menurunkan tangannya. Ganti merogoh saku celananya. Kemudian mengeluarkan sebuah permen loli stroberi.
"Mau permen gak?" Ia menyuluhkannya pada Chilla. "Makanan manis bisa bikin mood lebih baik."
Pada akhirnya Chilla mengangkat wajahnya. Menatapnya sebelum menerima permen di tangannya.
"Makasih," ucap Chilla. Kini suara terdengar lebih baik.
"Sama-sama," balas Jonas. Menyimpan kedua tangannya ke saku. "Buruan ke kantin gih, makan dulu. Biar semangat lagi."
Chilla tersenyum cerah sebelum pamit untuk pergi. Menurutnya Chilla terlihat sangat menggemaskan. Dengan mata besar dan rambutnya yang ikal panjang.
"Ngapain lo ngeliat Achilla begitu?"
"Astagfirullah!" Jonas terkejut mendapati Arnas sudah berdiri di sebelahnya. Sungguh ia tak mendengar suara pintu ditutup dan dibuka. "Kapan lo keluar?"
"Budek lo gak denger?" cela Arnas. "Lagian ngapain coba ngeliatin Chilla fokus banget."
"Lucu aja," jawab Jonas sederhana.
"Lucu?! Cewek anarkis begitu?"
Jonas mengernyit. Anarkis? Mana ada Chilla pernah bertingkah anarkis.
"Nganco lo," Jonas membantah. "Dia baik gitu lo bilang anarkis."
"Jangan ketipu sama aktingnya. Lo gak pernah lihat kelakuan dia sama gue," balas Arnas sewot. "Barbar."
"Lo yang bikin dia marah kali."
"Terserahlah—tapi ngapain sih lo sebenernya di sini?" Arnas tiba-tiba mengalihkan topik.
"Buat mastiin gak ada perang lagi di rumah. Gue butuh ketenangan buat belajar."
Arnas berdecih. "Bilang aja lo khawatir gue kena damprat lagi sama Ayah."
Jonas tak merespon. Cuma menunggu Arnas melanjutkan.
"Tenang aja, gue sama Pak Supri udah gini, " Arnas mengaitkan dua telunjuknya, "best friend. Dia gak akan nelepon rumah. Lagian ini cuma masalah kecil."
Jonas mengangguk puas. Bagus. Masalah clear. Cuma tinggal satu hal mengganjal.
"Jadi sebenernya lo ngapain sih sama Chilla di koridor?"
"Gulat," kata Arnas singkat. Ia mulai melangkah, diekori Jonas yang makin penasaran. Gulat bukanlah jawaban yang diharapkan Jonas.
"Kalian berdua gak pacaran, kan?"
"Najis gue pacaran sama Chilla."
ΔΔΔ
Aneh sekali. Arnas bahkan sempat su'udzon bila Chilla sedang mabuk. Soalnya tingkah Chilla seperti orang yang hilang akal—senyum-senyum sendiri. Dan gadis barbar itu sama sekali tidak menghiraukannya. Nih, ya, berdasarkan pengalaman saja, saat semester lalu ia dan Chilla berbagi jadwal piket kelas bersama, Chilla selalu berusaha merebut sapu yang dipilihnya. Belum lagi segala tingkah gila yang membuat Arnas naik darah karena harus mulai bersih-bersih dari awal. Pokoknya Chilla sukses sekali membuat Arnas minta perubahan jadwal piket pada sekretaris kelas sampai harus memohon-mohon. Sial sekali kejadian itu.
Dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya, siapa coba yang tidak akan su'udzon melihat kini Chilla mengambil sapu lidi dan pengki butut yang tersisa tanpa protes dan tindak anarkis?
Tapi ya sudahlah. Kan bagus hukuman ini dapat berlalu dengan tenang.
Arnas mengambil posisi di bagian halaman yang sudah disepakatinya dengan Chilla sebagai teritorialnya. Seketika itu juga ia tersadar betapa luas halaman sekolah ini. Sungguh mulia memang tugas tukang kebun sekolah. Untunglah cuma hari ini saja masa hukumannya menyapu bersih seluruh sampah yang didominasi dedaunan kering berlaku. Ia mau resign sekolah saja bila harus melakukannya setiap hari selama sisa semester ini—seperti tadi sempat ia khawtirkan.
Lama Arnas fokus menyapu. Ia bahkan hampir lupa bahwa ia tak sendiri. Ada gadis barbar yang bertugas bersamanya, walau entah gadis itu berada di bagian halaman yang mana.
Hari sudah mulai gelap. Syukurlah bagian halaman yang menjadi tugas pembersihannya sudah terjajah sapu semua. Ia harap Chilla juga mengerjakan tugasnya dengan baik. Sebab mereka tak akan bisa pulang sebelum halaman bersih. Dan Pak Suprilah yang akan memeriksa sendiri seberapa baik pekerjaan mereka saat mereka laporan nanti.
Arnas menyandarkan sapu ke dinding tembok pembatas sekolah. Ia menyatukan tangan lalu melakukan peregangan yang menimbulkan bunyi derak mengkhawatirkan.
"Gila tulang gue," gumam Arnas sendiri.
Baru saja ia meraih sapunya untuk dikembalikan ke tempatkan semulai ketika, "Aaaaaaa!" suara teriakan membuat bulu kuduknya meremang.
Tanpa perlu berpikir lebih dulu, Arnas menjatuhkan sapu di tangannya dan langsung berlari ke sumber suara. Ia tahu benar itu suara Chilla. Dan menyadari bahwa sekolah sudah begitu sepi dan hari sudah mulai gelap membuatnya sangat khawatir.
Lari Arnas seketika terhenti ketika melihat sesosok gadis yang rambutnya dikuncir satu nan tinggi di ubun-ubun, berjongkok di depan tumpukan daun kering, membelakanginya.
Jadi jutaan keadaan darurat yang tadi melintas dalam benar Arnas tak ada?
Sial.
Tapi untuk lebih memastikan, Arnas melangkah mendekati gadis yang sempat dikhawatirkannya. Yang ternyata sedang mengorek-ngorek sampah.
"Ngapain sih lo teriak-teriak?" tanya Arnas, masih terengah.
Tubuh Chilla sedikit bergetar sebelum menoleh dan mendongak menatapnya. Gadis itu pasti terkejut mendengar suaranya.
"Ngagetin sih lo," omel Chilla. Alisnya berkerut sinis.
"Gue nanya, ngapain lo tadi teriak?" Arnas mengabaikan kekesalan Chilla. Bukankah ia yang seharusnya lebih kesal setelah dibuat khawatir sedemikian rupa? Bukan apa-apa ya, kalo Chilla terluka atau apapun, ialah yang paling mungkin dicurigai dan disalahkan.
"Barang gue ilang," jawab Chilla, sudah sibuk lagi mengorek di antara tumpukan sampah.
"Barang apaan?"
"Permen."
Ia tidak salah dengarkan? Permen? Cuma permen? Ia nyaris jantungan hanya karena permen?
"Apaan?"
"Permen, budek," balas Chilla. Kata 'budek'-nya itu loh, santai sekali terlontar. Seolah penghinaan adalah nama sapaan Arnas.
"Lo ngorek-ngorek sampah buat nyari permen?" tanya Arnas tak percaya. "Lo **** apa gimana?"
"Udah deh gak usah bacot," balas Chilla. Nadanya sudah agak naik, sesuatu yang terdengar normal sekali. Ternyata Chilla sudah sadar.
"Udahlah, beli aja lagi. Permen doang. Kalo gak biar gue beliin. Sepuluh dah," bujuk Arnas. "Gue mau pulang."
Chilla berdiri, berbalik menghadap Arnas. Wajahnya keliatan frustrasi—mungkin memang frustrasi sebab nada suaranya rendah kembali, bukan bertambah tinggi seperti normalnya.
"Itu permen penting," rengeknya. Baru kali ini Arnas merasa bahwa Chilla memang remaja enam belas tahun, bukan nenek lampir. "Terus kalo lo pengen pulang ya pulang aja. Gak usah sok mau ngajak bareng, gue dijemput Kak Largha. Najis gue pulang sama lo." Kemudian Chilla mulai melangkah kecil, menyusuri halaman rumput secara perlanan.
"Dih!" Arnas memasang ekspresi tak percaya. "Jangan kepedean, pe'a. Sedetik pun gue gak pernah kepikiran mau ngajakin lo pulang bareng. Gue itu mau ngajakin lo laporan kalo tugas kita udah selesai ke Pak Supri. Soalnya gue gak bisa pulang kalo gak laporan bareng lo."
Tak ada respon dari Chilla. Gadis itu sudah melangkah lebih jauh. Mau tak mau Arnas menyusulnya.
"Lo dengerin gue gak, sih?!"
"Gue gak budek kayak lo, ya," balas Chilla. Untung tidak nyolot.
Arnas menghentikan langkahnya. "Gue mau pulang Achila!" teriaknya.
Chilla berhenti. Ia berbalik, lalu balas berteriak, "Gue juga mau pulang Arnas!!" lebih kencang. "Tapi gue butuh permen gue!!!" Setelah itu Chilla berputar, melanjutkan pencarian.
Aishh!
Arnas mengacak rambutnya. Malah ia ikut frustrasi. Dasar Achilla! Menyusahkan saja.
"Permen apa?!" tanya Arnas pada akhirnya. Tak punya pilihan.
"Stroberi!"
ΔΔΔ
"Udah solat?" tanya Jonas yang baru menggantung sajadahnya.
"Udah," balas Arnas seraya menutup pintu kamar. Kemudian ia langsung menghempaskan diri ke kasur dalam posisi tengkurap. Nampak kelelahan.
Jonas melangkah mendekati meja belajar. Ditariknya kursi mundur lalu duduk. Selagi memilih apa yang akan dipelajarinya karena tugas sekolah sudah tuntas semua, Jonas bertanya, "Kok pulang malem banget?"
"Gara-gara tetangga anarkis kita," keluh Arnas. Hal itu membuat Jonas mengubah posisi, menghadap pada adiknya yang terpejam.
"Kenapa lagi?"
Jonas heran, kenapa Arnas dan Chilla kedengaran tidak akur sekali dari setiap cerita Arnas. Seolah Chilla benci sekali pada Arnas, dan sebaliknya.
"Dia ngotot banget nyariin permennya yang jatoh. Gak mau pulang sebelum itu permen sialan ketemu."
Jonas mengernyit heran. "Permen?"
"Iya. Permen loli stroberi."
Hei, itu bukan permen pemberiannya siang tadi, kan?
Arnas membuka mata, berguling menatap kakaknya, mencari dukungan. "Gak masuk akal banget, kan? Emang dasar gak waras itu orang," ujarnya dongkol. "Awas aja lo suka sama dia. Gak setuju gue."
Jonas tertawa. "Apaan sih lo, tiba-tiba ke arah sana."
"Inget aja gue gak setuju," gumam Arnas sebelum terpejam lagi.
Jonas hanya diam saja. Ia tak pernah berpikir ke arah sana. Toh, dari sejak SD bertetangga dengan Chilla, mereka tak pernah betul-betul berkawan. Tahu kan yang ia maksud? Berkunjung ke rumah satu sama lain atau hangout bersama, semacam itulah. Baik Jonas maupun Arnas dari dulu memang agak takut bergaul dengar Chilla, sebab kakaknya—Largha—terkenal sangat protektif. Seakan Largha merasa bahwa orang-orang di lingkungan ini tak cukup bisa dipercaya untuk berteman dengan adiknya. Ya memang sih, yang seusia mereka di lingkungan ini mayoritas laki-laki.
Tapi meski tak dekat, mereka tetap saling menyapa ketika berpapasan. Setidaknya ia begitu, walau Arnas sudah tidak lagi. Adiknya membenci Largha karena persoalan perekrutan anggota tim futsal—kalau tak salah. Dan Arnas dengan Chilla, tahu sendirilah, tak begitu baik juga. Nah, perkara Arnas dan Chilla, Jonas tak tahu kenapa.
"Ar?" panggil Jonas.
"Mm?"
"Masalah lo sama Chilla apaan, sih? Kayaknya lo benci banget sama dia."
"Bukan gue yang benci, dia yang benci sama gue."
"Karena?"
"Lo gak inget?" Arnas melek lagi.
"Apa?"
"Tragedi berdarah."
"Seriously?" tanya Jonas tak percaya. Maksudnya, itu sudah lama. Ia kira Chilla sudah melupakan dan maafkan Arnas. Memang sih itu pasti sangat memalukan, tapi kan—ya ampun, ternyata masih karena itu?
"Cewek," ujar Arnas terdengar sok bijak, "kalo udah benci mendarah daging banget."
Jonas hanya bergeming untuk sejenak. Sebelum melanjutkan, "Lo minta maafnya kurang bener kali."
"Kurang bener apa lagi, Jo... Cuma belum bersujud aja gue di depan dia."
Jonas menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya, siap belajar. Sudah diputuskan, ia akan belajar sosiologi saja. Mendalami materi tentang interaksi makhluk sosial.
"Minta maaf lagi aja," ujar Jonas, sebelum membuka buku bacaannya. "Kan gak enak satu kelas tapi musuhan."
"Gue juga ogah gini mulu. Masih gue pikirin apa yang bisa gue lakuin buat bikin dia mau maafin gue—walaupun gue sebenernya gak sengaja dulu," Arnas membela diri. "Belakangan ini gue bahkan udah nyoba buat sok asik sama dia, tapi dia malah jadi barbar sama gue. Memang mending kayak sebelumnya. Seenggaknya badan gue gak bakal sakit semua."
"Tapi lo gak enak, kan?"
"Siapa sih yang gak merasa bersalah kalo dilihatin seakan lo abis ngehancurin hidup seseorang? Abis itu kalo ngomong digas mulu?" tanya Arbas retoris. "Lo harus lihat gimana cara dia ngeliat gue."
Jonas menghela napas. Serumit ini hidup makhluk sosial.
"Mungkin strategi sok akrab lo salah," cetus Jonas.
"Salah bagian mana lagi?" tanya Arnas lelah. Nadanya itu loh, membuat Jonas tertawa. Semenderita itu adiknya. Ya memang sih tidak enak merasa bersalah pada orang lain.
"Lo bilang lo jadi sok asik sama dia," Jonas mengangkat wajah, memfokuskan pandang pada objek yang tak ada di depannya. "Gue bisa bayangin 'sok asik' lo yang gak asik sama sekali buat sebagian orang itu."
"Maksud lo?"
"Ar, sadar gak kalo lo sok asik sama orang, lo cenderung suka ngehina?"
Ini serius. Enam belas tahun jadi saudara kembar Arnas, Jonas tahu betul bahwa adiknya memang cenderung suka menjatuhkan seseorang saat sedang bercanda atau mencoba sok asik. Tentu Arnas tak bermaksud betulan menghina, dia hanya bergurau, mencairkan suasana, mencipta tawa.
"Gak semua paham kalo lo becanda, Ar. Apalagi cewek kan lebih sensitif."
ΔΔΔ
Achilla duduk bertopang dagu dengan sebelah tangan di depan cermin rias. Memandangi sebuah permen loli stoberi yang ia tempalkan di permukaan kaca menggunakan stiker bergambar hati. Bibir Chilla tak dapat berhenti tersenyum memandang makanan kecil itu. Benaknya belum juga bisa move on membayangkan bagaimana tadi Jonas menyentuh rambutnya.
Chilla menutup wajah menggunakan dua tangan. Ia menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang kehilangan akal. Persis.
Setelah agak pusing, Chilla berhenti dan kembali memangku wajah, namun kali ini dengan kedua tangan. Terus dipandanginya permen stroberi yang normalnya bukanlah hal indah untuk dipandangi. Hanya karena ini dari Jonas Prawira. Jonas guys, Jo...nas!
"Achilla tiduurrr!"
Tedengar suara teriakan Kak Largha dari bawah. Chilla yang biasanya kesal lalu menggerutu, kali ini hanya menghela napas ringan. Ia memandang ke arah balkon, terus menyeberangi jalan dan tiba pada jendela rumah seberang—kegiatan rutin sebelum tidur. Kemudian ia membungkuk lebih rapat ke arah cermin untuk mengecup permen loli stroberi—kegiatan rutin yang baru.
"Good night, Jojo," bisiknya usai menjauhkan diri. "Mimpiin aku, ya."
ΔΔΔ
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!