NovelToon NovelToon

Jodoh Rahasia

Rasa Yang Masih Sama

Sesuai dengan janji Aksa, selama menempuh pendidikan di London dia tidak pernah pulang ke tanah air. Dan ini sudah hampir tahun ketujuhnya berada di negeri orang. Bukan tanpa alasan, inilah jalan yang sedang dia tempuh untuk melupakan seseorang. Meskipun pada nyatanya dia tidak pernah bisa melupakan orang itu.

Aksa menatap langit Kota London yang masih cerah. Terlintas siluet wajah Riana di sana.

"Apa kabar kamu, Ri? Abang di sini tidak pernah bisa melupakan kamu," gumamnya.

Ketukan pintu membuat Aksa terbangun dari lamunannya. Sang kakek datang dengan senyuman yang merekah.

"Besok kita akan kembali ke Indonesia. Dan kamu bisa melanjutkan tugas kamu di perusahaan bersama Daddy kamu." Aksa mengangguk paham dengan wajah datarnya.

Genta menghela napas kasar. Dia mendekat ke arah Aksa. "Kejarlah dia, akan Kakek beri waktu satu hari untuk kamu menemui dia."

Aksa menatap ke arah sang kakek. Dijawab senyuman hangat oleh Genta. Menandakan Genta merestui Aksa untuk mendapatkan hati Riana.

"Dia sudah berubah. Dia menjelma menjadi gadis yang sangat baik. Sama seperti Echa." Bibir Aksa pun terangkat dengan sempurna. Dan dia benar-benar bahagia mendengar penuturan sang kakek. Tidak sabar, itulah yang dirasakan oleh Aksa.

Keesokan paginya, Genta dan Aksa sudah dijemput oleh pesawat pribadi milik Genta menuju Indonesia. Dan Aksa akan mendarat di Jogja. Di mana Riana menimba ilmu di sana. Sudah hampir empat tahun Riana berada di Kota orang.

Hidup di Kota orang membuat Riana menjelma wanita yang mandiri dan baik hati. Banyak perubahan dari diri Riana. Kecuali, hatinya yang masih setia mencintai Aksa dalam diam. Perasaan untuk Aksa begitu besar sehingga dia tidak bisa melupakannya begitu saja. Banyak pria yang mendekat, tetapi hatinya dia tutup rapat.

Riana menatap langit-langit kamarnya. Bayang wajah Aksa masih selalu hinggap di kepalanya.

"Sudah hampir tujuh tahun. Tetapi, rasa ini masih tetap sama. Apa aku yang terlalu bodoh?" gumam Riana.

Riana terus menscroll akun Instagram milik Aksa. Menatap tampannya wajah Ghassan Aksara Wiguna dalam balutan baju toga. Dan bibir Riana terangkat ketika melihat laki-laki yang masih dia cintai memakai jas hitam dan celana hitam dengan sepatu pantofel hitam mengkilap yang terlihat sangat gagah dan berkharisma. Sama seperti sang Daddy-nya, Giondra Aresta Wiguna.

"Tampan sekali kamu, Bang. Sangat beruntung wanita yang akan memilikimu," lirihnya. Tangan Riana mengusap lembut foto yang berada di ponselnya.

Ketukan pintu membuat Riana yang tengah bermalasan harus bangun dari posisi rebahan. Apalagi ini sudah jam sepuluh malam. Kunci dari dalam pun dia buka, dan matanya terpaku ketika melihat seseorang yang sudah berdiri di depan matanya.

Laki-laki yang lebih dari enam tahun ini dia rindukan. Hanya bisa melihatnya di media sosial yang sedang dia lakukan. Malam ini, laki-laki itu ada tepat di depannya dengan senyum yang tidak pernah berubah dari dulu.

"A-Abang ...."

Aksa segera memeluk Riana dan membuat Riana sedikit tersentak. "Aku sangat merindukan kamu," bisik Aksa.

Bulir bening meluncur begitu saja. Hati Riana menghangat kembali. Bertemu dengan sosok yang dia rindukan setiap hari. Dan ketika malam tiba dia berharap agar bisa memimpikan laki-laki yang tengah memeluknya.

Riana menyuruh Aksa masuk tanpa menutup pintu. "Ri, buatin minum untuk Abang dulu." Namun, Aksa kembali menarik tangan Riana hingga Riana masuk ke dalam dekapan hangat Aksa yang tengah terduduk. "Dahagaku seketika hilang karena melihat wajahmu."

Blushing. Wajah Riana merah seketika. Dadanya bergemuruh tak karuhan. Apalagi aroma maskulin dari parfum yang dipakai oleh Aksa membuat Riana semakin terbuai.

"Ikut Abang ke Jakarta. Abang ingin meminta restu kepada kedua orang tua kita."

Deg.

Jantung Riana berhenti berdetak seketika. Dia belum bisa mencerna ucapan yang dikatakan oleh Aksa. Ucapan yang terdengar tidak main-main. Riana pun hanya terdiam.

"Abang ingin menikah dengan kamu, Riana."

Riana semakin membeku, mulutnya sangat kelu. "Riana," panggil Aksa.

"Ta-tapi ... Ri masih menyelesaikan skripsi dulu, Bang. Dua bulan lagi Ri lulus kuliah," jawabnya hati-hati.

"Apa selama itu?" tanya Aksa dengan nada cukup kecewa. Hanya anggukan yang menjadi jawaban.

"Jika, Abang tidak mau menunggu juga tidak apa-apa," jawab Riana dengan senyum hambar.

"Sampai kapan pun Abang akan tetap menunggu kamu. Karena Abang sayang sama kamu. Hampir tujuh tahun Abang tersiksa dengan perasaan ini. Hanya ada nama kamu di hati dan pikiran Abang."

Terharu, itulah yang dirasakan Riana. Riana mengeratkan pelukannya. Seakan menumpahkan semua perasaan dan rindunya kepada Aksa.

"Abang janji, akan menjemput kamu dua bulan lagi." Jari kelingking mereka pun bertautan menandakan sebuah perjanjian. Hanya berpelukan yang mereka lakukan. Hampir tujuh tahun, ternyata tidak bisa membuat Riana maupun Aksa mampu menghilangkan perasaan mereka masing-masing.

Di awali rasa canggung dan kini berubah semakin dekat. Aksa terus memeluk tubuh Riana seakan dia tidak ingin berpisah kembali dengan wanita yang sangat dia sayangi ini.

"Kamu masih mencintai, Abang?" Pertanyaan yang tiba-tiba Aksa lontarkan kepada Riana.

"Apa perlu Ri jawab?" Riana menatap dalam manik mata Aksa. Aksa membalasnya hanya dengan seulas senyum. Kemudian, dia mencium kening Riana sangat dalam.

"I Love You, Sayang."

"Love You, too," balas Riana yang kini mengeratkan pelukannya kepada Aksa.

Malam ini, Aksa bermalam di kostan Riana. Terlebih dahulu meminta izin kepada sang pemilik kostan. Dan si pemilik pun mengijinkan.

"Gak apa-apa 'kan Abang tidur cuma pake kasur tipis begitu," tanya Riana.

"Gak apa-apa, Sayang." Aksa menarik kembali tangan Riana agar duduk di samping Aksa.

"Asal bersama kamu, Abang rela," ujarnya sambil melayangkan gombalan. Riana hanya tersenyum tipis.

"Abang tidur ya, besok kan harus terbang pagi ke Jakarta," imbuh Riana.

"Cium dulu," pinta Aksa sambil menunjuk keningnya.

Riana mencium kening Aksa sangat dalam hingga Aksa memejamkan matanya sejenak. Menikmati sentuhan hangat bibir Riana di keningnya.

"Good night, Abang."

"Night, Sayang."

Pagi hari, Riana menyiapkan sarapan untuk Aksa. Ketika Aksa selesai mandi sudah ada nasi goreng di atas karpet.

"Berasa punya istri," ucap Aksa yang sudah mencium kening Riana. Lagi-lagi Riana hanya tersenyum.

"Kamu gak makan, Yang?" tanya Aksa karena memang hanya ada satu piring nasi goreng.

"Aku gak bisa makan berat," jawab Riana yang sudah meletakkan teh hangat untuk Aksa.

"Temani aku makan, ya." Riana pun duduk di samping Aksa. Tangan Riana mulai merangkul lengan Aksa dan meletakkan kepalanya di bahu bidang sang kekasih. Aksa tersenyum bahagia melihatnya.

Setelah selesai makan, Riana yang hendak menaruh piring bekas makan Aksa dilarang oleh Aksa.

"Kamu kenapa?" tanya Aksa yang kini sudah menatap Riana.

"Jangan nakal." Dua kata yang terucap dari bibir Riana.

Aksa menarik tangan Riana ke dalam pelukannya. "Aku gak akan pernah nakal, Sayang. Buktinya selama enam tahun lebih ini hanya kamu yang ada di hati aku," ucap Aksa.

Mereka berpelukan sangat lama. Dan akhirnya, mereka harus berpisah. "Aku pergi, ya. Nanti aku akan sering jenguk kamu di sini." Riana mengangguk.

Setelah kepergian Aksa, Riana merasa ini semua hanya mimpi. Bertemu dalam waktu sekejap dan sekarang harus terpisah lagi.

Dan ternyata, ini bukanlah hanya sekedar mimpi. Aksa selalu memberikan kabar kepada Riana. Menelpon atau melakukan sambungan video call membuat Riana semakin merasakan jatuh cinta. Namun, sudah beberapa hari ini Aksa sudah tidak bisa dihubungi. Nomornya selalu saja mati.

Riana selalu berpositif thinking. Dan hari ini sudah seminggu Aksa tidak menghubunginya dan juga sulit dihubungi.

"Kemana kamu, Bang?"

...****************...

Kalo love ❤️ atau favorit lebih dari 100 dalam sehari. Besok akan aku UP lagi ya ...

Jangan lupa komen dong, biar rame...

Ingin Egois

Sepuluh hari sudah, Riana tidak mendapat kabar dari Aksa. Mencari tahu lewat akun media sosial yang Aksa miliki pun sudah Riana lakukan, Namun, hasilnya nihil. Postingan terakhir yaitu tentang perasaannya kepada Riana. Dan hanya ada foto mereka berdua di sana.

Riana hanya menghela napas kasar. "Mungkin dia sibuk," gumamnya.

Ketukan pintu membuat Riana terdiam sejenak. Suara ketukan itu terus terdengar membuat Riana menyunggingkan senyum. Dia berharap yang datang itu adalah Aksa. Pintu kostan pun Riana buka dan matanya melebar ketika di depan kostannya adalah sang kakak.

"Kenapa ke sini gak bilang dulu?" tanya Riana.

"Kita pulang, Ri."

Riana tercengang mendengar ucapan Echa. Pikirannya sudah berkelana ke sana ke mari.

"Ada apa, Kak? Ayah gak apa-apa 'kan?" Panik, itulah yang Riana rasakan sekarang. Echa pun menggeleng.

Kemudian, dia memberikan surat undangan kepada Riana. Dengan ragu Riana menerimanya.

"Undangan siapa?" Tangan Riana terus membukanya dan matanya membola. Dadanya sangat sesak membaca dua nama yang tertera di surat undangan tersebut. Surat di tangannya terlepas begitu saja. Dan tubuhnya mematung dengan tatapan kosong.

"Mommy dan Daddy menyuruh kamu untuk pulang," lirih Echa.

Riana menatap nanar pada undangan yang sudah berada di ujung kakinya. Sakit, kecewa jadi satu. Air matanya sudah menganak. Namun, seolah ada bendungan besar yang mampu membendung air mata Riana.

"Ri ...."

"Ri, baik-baik saja, Kak." Seulas senyum Riana tunjukkan kepada Echa. Senyum penuh kepalsuan.

"Bilang ke Mommy dan Daddy, Ri sibuk dengan skripsi," ujar Riana yang berniat tidak akan datang. Echa menggenggam tangan Riana. "Maafkan Kakak, Ri," sesal Echa.

Dahi Riana mengkerut mendengar ucapan Echa. Dia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Echa.

"Jika, dia tidak me ...."

"Dia bukan jodoh Ri, Kak," jawab Riana dengan suara berat.

Echa berhambur memeluk tubuh Riana. Dan dia menangis seraya mendekap tubuh adiknya. "Pulang Ri, agar semua tidak khawatir dengan kondisi kamu," pinta Echa dengan derai air mata.

Serba salah, itulah yang Riana rasakan. Apa dia harus menyaksikan orang yang dia cintai menikah dengan wanita lain?

"Kakak mohon, Ri." Lagi-lagi Echa memohon kepada sang adik. Dan akhirnya, Riana menyetujuinya.

Selama diperjalanan menuju Jakarta. Riana hanya terdiam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Dua nama masih terngiang-ngiang di kepala Riana.

"Kenapa kamu bohong, Bang?" batinnya lirih.

Mata Riana terpejam merasakan kesakitan luar biasa yang sedang dia rasakan. Riana berharap ini hanya prank belaka.

Sesampainya di rumah, dia disambut oleh sang ayah dengan wajah sendu. Menatap sang ayah membuat hati Riana benar-benar hancur. Pertahanannya roboh. Apalagi Rion sudah merentangkan kedua tangannya dan disambut oleh Riana.

"Ini bohong 'kan?" Satu pertanyaan yang terlontar dari mulut Riana.

Rion semakin mengeratkan pelukannya dan menggelengkan kepala. "Aksa akan menikah dengan Ziva."

Air mata Riana lolos begitu saja. Hatinya semakin sakit ketika mendengar kenyataan yang sesungguhnya yang harus dia hadapi.

"Kenapa dia harus bohongi Ri, Ayah? Dia bilang ingin membawa Ri ke hadapan orang tuanya untuk meminta restu. Tapi, kenapa sekarang seperti ini? Malah wanita yang lain yang akan dia persunting?" Pertanyaan Riana begitu lirih, dan tidak ada seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan Riana.

Riana melonggarkan pelukannya, dia menatap manik mata sang ayah dengan penuh kesakitan. "Ri, berharap dia berjodoh dengan RI, tapi ...." Senyum penuh kesakitan pun terukir di bibirnya.

"Dia bukanlah jodoh, Ri," lanjutnya yang kini menunduk dalam. Echa memeluk tubuh sang adik dan dia juga tak henti menangis. Dia dapat merasakan kesakitan yang Riana rasakan.

"Aunty,"panggil Aleesa.

Anak berusia tujuh tahun itu memeluk tubuh Riana dan menghapus air mata Riana.

"Jangan bersedih. Aunty berjodoh kok dengan Uncle," ujarnya dengan seulas senyum yang membuat hati Riana tenang.

Sebagai seorang ayah, Rion merasakan kesakitan yang luar biasa yang putrinya rasakan, Rencana Aksa yang ingin melamar Riana sudah terdengar hingga telinga Rion. Awalnya, Rion sangat bahagia. Akan tetapi, tidak ada angin tidak ada hujan sebuah kabar pernikahan dadakan bagai petir di siang bolong. Bukan hanya Rion yang kecewa, Echa pun ikut kecewa. Namun, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Karena surat undangan sudah tersebar.

Riana duduk termenung di kamarnya. Jangan ditanya bagaimana hatinya sekarang ini. Hanya kepiluan yang dia rasakan.

"Kenapa kamu harus mengucapkan janji manis? Jika, pada akhirnya hanya kesedihan lagi yang harus aku terima." Riana menunduk dalam.

Tidak kuat rasanya menahan segala kesakitan seorang diri. Menahan sesak di dadanya yang semakin membuat oksigen di dalam paru-parunya semakin menipis.

"Bunda ... Ri, kangen Bunda," lirih Riana. Ketika kesakitan menghampirinya, hanya seorang ibu yang Riana rindukan.

Riana mencuci wajahnya. Dan bergegas keluar kamar. Meminta Pak Mat untuk mengantarnya ke makam sang bunda. Sejahat-jahatnya sang bunda, tidak akan membuat Riana membenci sang bunda untuk selamanya.

Riana membawa mawar putih dan menaburkannya di pusara sang bunda yang terlihat sangat terawat. Riana mengusap lembut nisan sang bunda dengan air mata yang mulai menetes.

"Bunda, Ri dibohongi lagi. Apa Ri ini wanita bodoh?" ucap Riana seraya terisak.

"Tujuh tahun, perasaan Ri terhadapnya masih tetap sama. Semakin Ri melupakannya, semakin Ri menyayanginya. Tapi, dia akan menikah dengan orang lain, Bun. Padahal dia janji ingin menikahi Ri, tapi kenapa kenyataannya seperti ini, Bun?"

"Sakit hati Ri, Bun. Ri, marah ... tapi apakah kemarahan Ri akan mengembalikan dia kepada Ri?" Riana semakin menunduk dalam. Air matanya tak henti menetes. Menandakan betapa sakit hatinya sekarang ini.

"Apa Ri sanggup menyaksikan dia menikah dengan orang lain? Apa Ri, pura-pura saja sakit? Supaya Ri tidak merasakan kesakitan yang semakin mendalam."

Usapan lembut di pundak Riana membuatnya semakin menjatuhkan air mata. Terlebih dia melihat sosok pria paruh baya yang menatapnya penuh kesedihan. "Hati Ri, sangat sakit, Ayah." Rion memeluk tubuh putrinya. Sebagai seorang ayah dia tidak bisa melakukan apapun sekarang ini. Melihat putrinya menangis tersedu seperti ini membuat hatinya terasa sakit.

"Kamu pasti akan mendapat pengganti lebih dari dia, Ri. Dia bukan yang terbaik untuk kamu," ujar Rion.

"Tapi, Ri hanya mencintainya Ayah. Ri, masih terus berdoa agar dia menjadi jodoh Ri," tutur Riana dengan suara berat.

"Sekarang, Ri ingin menjadi manusia egois, Ayah. Agar Ri bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan malah mendapatkan kesedihan yang tidak ada ujungnya."

Hati orang tua mana yang tidak teriris mendengar penuturan sang putri kesayangan. Setiap lelehan air mata Riana adalah kesakitan luar biasa untuk Rion.

"Andai Ayah bisa bantu kamu."

...****************...

Jangan lupa komen dan kasih hadiah ya, semakin banyak komen dan hadiah semakin aku rajin UP.

Goody Bag

Tibanya Riana di rumah, Echa menyambut Riana dengan wajah sendu. Dia tahu apa yang adiknya lakukan. Dan ke mana adiknya pergi. Hingga sang ayah khawatir dan menyusulnya.

"Ini." Sebuah goody bag Echa serahkan kepada Riana.

"Ini apa?" tanya Riana yang enggan melihat isi dari goody bag tersebut.

"Gaun untuk menjadi bridesmaid." Mata Riana seketika terpejam. Tubuhnya dia hempasan ke atas sofa.

"Apa harus aku menjadi pengiring pengantin? Apa aku akan baik-baik saja?" batin Riana lirih.

Ingin rasanya Riana menolak. Namun, sudah sangat dipastikan itu tidak akan mungkin bisa. Dan gaun ini sudah pasti dari sang Mommy.

"Jika, kamu tidak sanggup. Jangan dipaksa. Nanti akan Kakak bilang ke Mamah," ucap Echa yang merasa sangat tidak enak hati.

Riana menatap sendu ke arah sang kakak. Sorot mata Riana tidak bisa membohongi Echa. Penuh kesakitan dan juga kehancuran yang Riana tunjukkan.

"Kakak tidak ingin membuat kamu semakin terluka," tambah Echa dengan suara yang bergetar.

Bagaimana pun, Echa sudah menganggap Riana seperti anaknya sendiri. Bukan tanpa alasan, Riana sering berkeluh kesah terhadap Echa. Dan segala rasa yang Riana rasakan selalu dicurahkan kepada Echa. Karena Riana pun sudah menganggap Echa seperti ibu kandungnya sendiri.

Hanya helaan napas berat yang menjadi jawaban dari Riana. Tidak bisa berkata, hati Riana benar-benar gundah gulana sekarang ini.

"Beri waktu Ri untuk memikirkannya," sahut Riana lesu.

Dia bangun dari duduknya dan membawa goody bag tersebut. Hanya kepiluan yang Riana rasakan. Riana duduk di tepian tempat tidur. Menatap nanar goody bag yang dia bawa masuk ke kamarnya.

"Apa aku sanggup mendampingi kamu di hari bahagiamu?" gumam Riana.

Tes.

Air matanya menetes begitu saja. Riana sudah memimpikan jika suatu saat nanti dia dan Aksa yang akan berada di atas pelaminan. Tersenyum bahagia menyambut tamu undangan. Namun, pada kenyataannya itu hanyalah mimpi belaka. Tanpa bisa menjadi sebuah kenyataan yang membuatnya bahagia.

"Sampai kapan air mata ini harus terus menetes?" Riana menundukkan kepalanya lebih dalam lagi. Merasakan kesakitan yang luar biasa yang dia terima.

Di luar kamar Riana, Echa memeluk tubuh sang ayah dengan lelehan air mata yang tidak bisa dibendung. Rion mengeratkan pelukannya terhadap sang putri sulung. Bukan hanya Echa yang merasakan kesakitan yang Riana rasakan. Sebagai seorang ayah pun Rion merasakan hal yang sama.

Riana sama seperti Echa. Hanya pura-pura menjadi manusia yang kuat. Padahal aslinya mereka itu sangat rapuh. Apalagi, Riana sudah tidak memiliki sosok yang bisa dia ajak berkeluh kesah lebih dalam.

"Jangan nangis terus, Dek," larang Rion.

Echa menatap sang ayah dengan deraian air mata. "Echa tahu bagaimana sakitnya menjadi Riana. Echa saja yang melihatnya tidak kuat, Ayah. Bagaimana dengan Riana?"

"Pasti hatinya sangat hancur, Ayah," lirih Echa.

Rion mengeratkan pelukannya terhadap Echa. Sebagai seorang pria, Rion tidak terlalu peka terhadap perasaan sang putri kedua. Tetapi, Echa dan Riana sama-sama wanita. Jadi, dia tahu bagaimana perasaan Riana yang sesungguhnya.

Pagi menjelang, Riana tak kunjung keluar kamar membuat semua orang khawatir.

"Kak Ri akan baik-baik saja. Kalian tenang saja," kata Iyan sambil mengunyah roti bakar.

Semua orang menatap aneh terhadap Iyan. Bocah laki-laki yang sebentar lagi lulus sekolah dasar ini tidak ada wajah khawatir sama sekali kepada Riana.

"Kakak hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Lagi pula nanti Kakak ...." Echa menajamkan matanya ketika Iyan menjeda ucapanya.

"Nanti Kakak kenapa?" tanya Echa penasaran.

Iyan hanya menggedikkan bahunya. "Iyan bukan peramal," katanya yang seolah tidak tahu. Padahal jelas-jelas dia yang ingin memberitahu.

"Bocah gemblung," ucap Radit yang selalu seperti Tom and Jerry dengan Iyan.

"Abang sableng," ejek balik Iyan.

Jika, sudah begini Rion dan Echa memilih untuk pergi dari meja makan membawa si triplets menjauhi ayah mereka dan juga Om kecil mereka.

Di kamar, Riana menatap langit yang cerah. Tidak secerah hatinya yang tertutup kabut kesedihan luar biasa.

"Besok," gumam Riana.

Ya, besok adalah hari kebahagiaan bagi Aksa dan juga Ziva. Tetapi, tidak dengan Riana. Esok adalah hari yang pastinya akan sangat menyakitkan dan menyedihkan bagi dirinya.

"Pasti banyak orang yang mengasihaniku," lirih Riana.

Dia tatap kembali goody bag yang dia letakkan di atas meja belajar. Dia berjalan ke arah meja belajar, tangannya perlahan memgambil isi dari goody bag tersebut. Sebuah gaun cantik berwarna baby blue.

Warna yang sangat kamu sukai 'kan.

Isi dari selembar kartu yang Riana ambil dan juga baca. Dadanya mulai sesak kembali. Air matanya ingin menetes lagi. Dia sudah tidak mampu menopang tubuhnya yang rapuh ini. Rapuh karena sebuah kenyataan menyakitkan yang harus dia hadapi. Ditinggalkan pas sedang sayang-sayanganya amatlah menyakitkan.

Riana meletakkan kembali gaun yang dia ambil ke dalam goody bag. Helaan nafas kasar dan berat yang keluar dari mulut Riana.

"Kuatkan aku Tuhan," pintanya.

Ketukan pintu membuat Riana menyeka air matanya yang masih menetes. Enggan bagi Riana untuk keluar dari kamar. Namun, ketukan pintu semakin nyaring terdengar.

Dengan langkah gontai, Riana membuka pintu. Dan matanya kembali nanar ketika melihat seseorang yang sangat mirip dengan orang yang sangat dia cintai.

"Maafkan si Abang, Ri," sesal laki-laki itu.

Hanya sebuah senyum hambar yang Riana tunjukkan. Ditambah air mata yang mulai menggenang.

"Aku sudah berusaha menjaga hatiku hanya untuknya. Jika, Tuhan mengatakan aku bukan jodohnya. Aku bisa apa?" lirih Riana yang kini menunduk dalam.

Aska memeluk tubuh rapuh Riana. Membiarkan Riana menumpahkan segala tangis pedihnya di dalam dekapan Aska.

"Ri terlalu bodoh karena telah mencintainya. Harusnya Ri sadar, siapa Ri? Pasti kedua orang tuanya sudah menyiapkan jodoh yang terbaik untuk dia," ujar Riana dengan suara yang terdengar sangat bergetar.

Aska mengurai pelukannya. Menangkup wajah wanita yang dulu dia sukai. "Orang tua kami tidak seperti itu, Ri. Mereka sangat menyayangi kamu," tutur Aska.

"Abang bilang, jangan menangisinya terus. Dia tidak pantas untuk ditangisi. Harusnya kamu membencinya bukan malah menangisinya," terang Aska.

"Terlalu sulit untuk membencinya, Kak. Semakin Ri membencinya, semakin sakit hati, Ri," sahut Riana masih dengan genangan air mata.

Aska tersenyum ke arah Riana dan mengusap lembut puncak kepala Riana.

Seharian Aska menemani Riana. Dia melihat jelas bagaimana kacaunya Riana sekarang ini. Ketika Riana mulai terlelap, barulah Aska pergi meninggalkan Riana.

"Maafkan Abang ku, Ri. Aku tahu cinta kalian sangatlah kuat."

------

Berada di sebuah hotel mewah dengan dekorasi yang sangat cantik membuat semua orang terkagum-. Apalagi mempelai pria terlihat sangat tampan dengan pakaian serba putih. Sedangkan pengantin wanita masih belum keluar juga.

Dengan wajah yang masih terlihat sendu, mata yang masih membengkak membuat Aksa menatap Riana dengan penuh iba.

Aksa menghampiri Riana lalu bersimpuh dihadapannya. Menggenggam tangan Riana dengan begitu erat.

"Kamu yang akan aku nikahi."

...----------------...

Tembus komen 100 aku up lagi hari ini

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!