..."Kemarin adalah Pelajaran...
...Hari ini adalah Ujian,...
...Esok adalah Harapan"...
..._Joevandi Prasetya Himawan_...
...-...
"Sayaannggg....." ucap Tania pada Pras yang tengah duduk di atas kursi kebesarannya.
"Haii..." Jawab Pras tersenyum padanya.
Ia melangkahkan kaki menuju kearah Pras.
Ia merangkul tubuh Pras, sang kekasihnya itu dari belakang.
"Kauu kemana saja, mengapa tidak meneleponku? Apa kau sudah melupakanku menjadi kekasihmu?" ucap Tania merajuk masih merangkul tubuh Pras.
"Kau bisa melihatnya sendiri. Aku sedang disibukkan dengan berkas-berkas ini. Lusa aku akan pergi ke Indonesia. Kakak ku melimpahkan kantor cabangnya di Indonesia padaku." jawab Pras melepaskan pelukan Tania.
"Jadii.... Kau akan pergi dariku? Hingga kapan kau disana?" Tania mengubah raut wajahnya kecewa.
"Entahlah. Aku tidak dapat memastikannya. Yang pasti untuk waktu yang akan lama!" Pras kembali menatap layar monitor laptop nya.
"Sayang! Ayoolahh.. Kau tidak akan meninggalkan aku disini sendiri kan??" Tania duduk di pangkuan Pras dan melingkarkan tangannya dileher Pras.
"Taniaaa! Kau lihat, ini di kantor! Aku tidak mau memberi contoh yang tidak pantas pada para pegawai kuu.." Pras setengah membentak pada Tania. Ia menatap tajam Tania yang berada dihadapannya.
Tania yang merasa ditatap tajam oleh Pras, kini bangun dari pangkuan Pras dan memilih untuk pergi dari hadapannya.
"Kauu jahat, Pras!" ucapnya kemudian segera berlalu dari dalam ruangan CEO milik Pras.
Pras menarik nafasnya dalam dan mengeluarkan nya secara kasar.
"Kenapa aku ini?" gumamnya kemudian.
Emosi Pras akhir-akhir ini sedikit labil.
Entah apa yang ia rasakan, sejak mendengar keputusan Manda, kakaknya. Yang memilih untuk menetap di Malaysia dan mengurus kantor cabang perusahaan nya disana.
Dan ia melimpahkan kantor cabang miliknya di Jakarta kepada Pras.
Mendengar dan membayangkan kembali ke Indonesia, membuat nya menjadi gusar.
Seolah akan kembali pada kenangan pahit di masa lalu.
-
"Pak, pesawat anda sudah siap. Mari, silakan." ucap Daniel, sekretaris juga teman kuliah Pras dulu di Singapura di fakultas yang sama
Pras yang sedang duduk di ruang tunggu dalam Changi Airport Internasional-Singapura, menarik nafas nya dalam dan mengeluarkan nya perlahan.
"Baik.." ucapnya kemudian.
Pras bangkit dari duduknya.
Ia berjalan didepan Daniel yang mengikutinya dibelakang.
Mereka berjalan menuju kedalam pesawat.
Mereka mengudara menuju Jakarta.
"Sudah kau persiapkan segala sesuatunya, kan?" tanya Pras pada Daniel yang duduk disebelahnya di kursi VIP.
"Sudah selesai, Pak. Sudah oke!"
"Kau tidak lupa kan, semua tentang saya?" tanya Pras sambil menutup matanya, mencoba untuk beristirahat.
"Tidak, Pak. Saya selalu mengingatnya." jawab Daniel mantap.
"Bagus! Teruskan mengingatnya. Jangan sampai lupa!" Pras tersenyum penuh arti.
"Baik, Pak."
Pras membuka matanya,
"Niel, sudah saya bilang jangan panggil saya Pak, jika sedang hanya ada kita berdua." tekan Pras.
"Hmm... Maaf, Saya tidak mau, Pak. Sudah sepantasnya anda, saya panggil Bapak. Sebagai bentuk rasa terimakasih saya pada anda."
"Hmmm.... Baiklah terserah kau saja!" Pras kembali menutup matanya.
Daniel hanya tersenyum melihat kelakuan sang atasan yang dulu membantunya yang sedang mencari pekerjaan untuk membayar biaya kuliahnya saat itu.
Pras yang sudah bekerja di kantor asuransi milik sang kakak, dan menjabat sebagai co-CEO, dengan bermurah hati membantunya dan memberikannya pekerjaan di kantornya yang berada di Singapura.
Kini, untuk pertama kalinya ia akan menginjakkan kakinya lagi di negara kelahirannya, Indonesia.
Setelah kurang lebih enam tahun ia tak kembali, dan fokus dengan kuliah juga pekerjaannya di kantor milik sang kakak yang berada di Singapura.
Kini, setengah terpaksa ia harus kembali ke Jakarta.
Yaahh selama lima tahun terakhir, Manda dan suaminya terus mengembangkan sayap perusahaannya di berbagai negara.
Sekarang, ia sudah miliki tujuh cabang perusahaan asuransi di tujuh negara berkembang.
Dan saat ini, Pras kembali ke Indonesia dengan jabatan CEO.
Ia di beri hak penuh atas perusahaan asuransi itu oleh Manda. Dan sekaligus merupakan tanggung jawab yang besar bagi Pras.
-
Pras telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta.
"Indonesia, aku kembali. Tolong beri aku takdir yang baik kali ini." Batin Pras saat sampai di depan bandara.
Mereka dijemput oleh supir perusahaan.
"Apakah sepanas ini kota Jakarta, Pak?" tanya Daniel pada Pras yang berada dikursi penumpang dibelakangnya sambil mengibas-ngibaskan kerah kemeja nya sesaat setelah masuk ke dalam mobil.
"Hmmmm..." gumam Pras tak terlalu menanggapi ocehan Daniel.
Daniel anak blasteran Indonesia-Singapura.
Ibu nya asli Indonesia dan ayahnya meninggal saat ia masuk kuliah di semester pertama.
Membuatnya menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.
Sejak ia lahir, belum pernah ia bertandang ketanah kelahiran sang ibu. Itu semua karena ekonomi keluarga yang pas-pasan dan tak ada anggaran mudik. Walaupun ada, itu hanya untuk sang ibu saja yang mudik.
Saat ini, menjadi kali pertamanya berkunjung ke sini.
Ia merasakan hawa panas di udara Jakarta setelah keluar dari dalam area bandara.
Pras menatap jalanan di jendelanya.
Seolah menapaki jejaknya enam tahun yang lalu.
Sejenak mengingatkannya pada alasan kepergiannya meninggalkan Jakarta adalah untuk meninggalkan segala kenangan pahit dalam hidupnya.
-
Pras telah sampai dihotel tempatnya menginap.
Ia lebih memilih menginap di hotel untuk sementara. Ia berniat membeli sebuah mansion didekat perusahaannya.
Ia tak ingin menempati rumah Manda yang ternyata adalah rumah masa kecilnya dulu bersama sang ayah dan ibu.
Manda telah membeli kembali rumah masa kecil mereka dengan orangtua mereka. Namun Pras enggan berada disana.
Rumah itu lebih banyak mengingatkan nya pada takdir buruknya di masa remaja daripada kenangan manisnya di masa kecilnya.
Pras merebahkan tubuhnya dikasur sesaat setelah masuk kedalam VIP suitroom miliknya.
"Pak, saya kembali ke kamar dahulu. Kamar saya di depan kamar anda. Jika ada sesuatu yang anda butuhkan segeralah hubungi saya." ucap Daniel setelah meletakkan tas kerja dan koper milik Pras di ruang tengah.
"Baik, terimakasih. segeralah istirahat Niel. Karena besok pagi kita harus segera menuju kantor." ucap Pras yang tengah mencoba memejamkan matanya.
"Baik, Pak! Selamat beristirahat." Daniel kemudian berlalu dari kamar milik Pras.
"Semoga kali ini takdir baik yang menungguku disini." gumam Pras.
"Pak, apa anda sudah siap?" tanya Daniel pada Pras.
"Sudah.. Ayo!" Pras dengan gagahnya bangun dari kursinya
dan berjalan menuju kearah pintu kamar hotelnya.
Daniel membukakan pintu untuk Pras.
Mereka pergi meninggalkan hotel menuju kantor pusat perusahaan asuransi milik Manda, yang kini telah di akusisi oleh Pras dan sepenuhnya menjadi milik Pras.
Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di kantor.
Pras. disambut oleh para manager perusahaan dari semua divisi di depan pintu masuk kedalam kantor.
Mereka menyambutnya dengan hangat dan penuh hormat.
"Selamat datang kembali, Pak!" sahut seorang pria paruh baya di hadapan Pras dengan sedikit membungkuk kan badannya. Ia mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah.
Pras menerima uluran tangan para manager.
"Mohon kerja samanya." ucap Pras dan dengan segera masuk kedalam kantor.
Semua para pegawai menundukkan kepalanya tanda memberi hormat pada Pras sang CEO baru di Insurance Life, Corp.
-
"Dir.. Indiraaa!" teriak Lani pada temannya, Indira. Yang baru saja datang.
Indira tersenyum.
"Ada apa?" tanya nya heran pada Lani yang terlihat antusias.
Lani menghampirinya setengah berlari.
Lani mengatur nafas nya.
"Dirrr... Dengerin gue baik-baik. Kiiitaaa berduaa di mutasi ke kantor pusat. Hebat kann kita, Dir?" ucap Lani sumringah.
"Apaaa? Kantor pusat?" tanya Indira terkejut.
"Hmmmm..." Lani menganggukkan kepalanya tersenyum.
"Di Jakartaa kan?" tanya Indira lagi meyakinkan.
"Iyaaa... Kita bakal ke ibu kotaa.." Lani mengoyang-goyangkan bahu Indira yang terlihat ambigu.
"Terusss, ibu guee gimana?" gumam nya bertanya entah pada siapa.
Lani menatap nya bingung.
"Kann ada kakak lu Dir?" ucap Lani.
"Hmmm.. Ada siihh.. Cuma, lu tahu sendiri gimana kakak gue. Dia selalu gak ada dirumah."
Indira melanjutkan langkah kakinya menuju meja kerjanya.
"Hmmm iyaa sih.. Tapi kan sayang, Dir. Kalo gak kita ambil. Kapan lagi kita bisa masuk ke kantor pusat. Gaji kita pun naik lagi. Semua akomodasi ditanggung perusahaan. Pokoknya kita tinggal berangkat Dir." rayu Lani yang ikut duduk disampingnya.
"Hmmm.. Iyaa sihh Lan.. Coba nanti gue bicarain sama ibu dulu dehh.. Mudah-mudahan ibu kasih izin.." ucap Indira penuh harap disorot matanya.
"Okee.. Baiklah. Semoga saja begituu.. Ini kesempatan emas buat kita naik jabatan, Dir." Ucap Lani kembali menyemangati Indira.
"Hmmm.." Indira tersenyum.
-
Setelah mendapatkan izin dari sang ibu untuk pergi merantau. Akhirnya Indira dan Lani berangkat menuju ibukota dari kota Surabaya.
Mereka berangkat menggunakan kereta api.
Setelah tiba diibukota, mereka di jemput oleh seorang supir dari perusahaan dan mengantarkan mereka menuju hotel, tempat mereka menginap sementara.
Mereka diperkenankan mencari sebuah rumah kontrakan untuk mereka tinggali dan nanti dibayar oleh pihak perusahaan.
Mereka menginap di hotel yang tak jauh dari kantor pusat perusahaannya.
Mereka telah sampai di kamar hotel.
"Waaahh kamarnya bagus yak, Dir? Walau disuruh tinggal selamanya disini pun gue gak akan nolak kayaknya." ucap Lani berseloroh sambil merebahkan badannya diatas kasur yang empuk.
Indira yang melihatnya, tersenyum.
"Siapa yang mau bayarin luu selamanya? Ema bapak lu?" Sahut Indira tertawa.
"Hmmmm... Iyaa jugaa yakk.." Lani pun ikut tertawa.
Indira segera mengeluarkan kebutuhan mandinya.
Ia merasa sangat lengket setelah seharian berada di perjalanan. Ia memilih membersihkan diri terlebih dahulu.
Sedangkan Lani yang sangat kelelahan langsung tertidur setelah ditinggal Indira ke kamar mandi.
Indira yang baru saja keluar dari kamar mandi, menggelengkan kepalanya melihat Lani yang mendengkur dengan posisi tidur tangan terlentang memenuhi seluruh permukaan kasur.
"Lann... Bangun.." ucapnya perlahan membangunkan Lani.
Lani tidak bergeming.
"Laaannn... Banguunn.. Lann.. Sudah malam.." ucap nya agak keras.
Masih belum juga ada tanda-tanda kehidupan dari Lani.
Dan akhirnya, Indira memukulnya dengan handuk ditangannya.
"Wooooiii banguunn.. Kebakaran... Kebakaraannn... Kebakaraaannn..." Indira meneriaki Lani tepat ditelinganya.
Sontak membuat Lani terbangun meloncat dan berlari kesembarang arah.
"Dimanaaa... Dimanaa.. Kebakarann.... Kebakarann..." teriaknya sambil berlari-lari.
"Hahhahahaaahhhaaa..." Indira tertawa keras.. Ia benar-benar tak menyangka harus membangunkan temannya itu dengan cara yang seperti itu.
Setelah capek berlari mengitari isi kamar. Lani baru tersadar bahwa dirinya dikerjai oleh Indira yang saat ini sedang menertawakan kekonyolannya.
Lani menghampiri Indira dengan wajah yang ditekuk sempurna.
Ia malu betul, sekaligus geram pada Indira yang sampai hati mengerjainya seperti itu.
"Dirrrrraaaa.... Luu tegaa banget. Jantung gue mau copot inii..." teriaknya memukul lengan Indira.
Indira yang lemas sebab tertawa, kesulitan mengatur nafasnya. Bahkan ia sampai mengeluarkan airmatanya.
"Hahhaahha.. Lagiann luu dibangunin dari tadii gak bangun bangun.. Jadi gue teriakin dehh..." ucap Indira menahan tawanya yang belum mereda.
"Massssaaa? Emang iyaa?" Lani bertanya tak percaya.
"Tau ahh.. Udah sono mandi. Kita turun makan malam. Perut gue udah keroncongan nih!" Indira memdorong Lani dari atas kasur.
"Iyaaa.. Iyaaa.." Lani beranjak dari kasur menuju kamar mandi.
Indira tersenyum. Ia masih teringat ekspresi Lani saat tadi berlarian dengan mata terpejam.
Lani masuk kedalam kamar mandi.
"Emang iyaa Dira bangunin gue dari tadi?" gumamnya.
Setelah selesai mandi, Indira bersama Lani turun menuju restoran hotel.
"Waaahh makanannya enak-enak kayaknya yahh Dir.. Gue udah gak sabar buat nyicipin nihh.." ucap Lani yang tak sabar menunggu makanan yang telah mereka pesan tadi.
Setelah makanan tersaji di meja mereka, Lani terbengong tak percaya dengan makanan di atas mejanya.
Ia kalap melihat beef steak dihadapannya.
Baru kali pertama, Ia melihat dan akan mencicipi daging panggang itu.
Dengan cepat ia mengambil sendok dan garpu.
Di gototnya daging dipiringnya dengan sendok.
Indira menggelengkan kepalanya seraya menahan tawa melihat kelakuan sang kawan yang norak.
"Lan, kok gitu makannya? Lu jangan malu-maluin donggg..." sahut Indira berbisik dengan nada jahilnya.
"Hmmm.. Emang gimana, Dir? Gue bingung. Soalnya sendok ma garpu nya banyak banget!"
"Hmmm..." Indira menggelengkan kepalanya.
Diambilnya piring Lani, lalu ia mengambil pisau dan garpu.
"Beginii, Lan... Kali-kali lu harus belajar makan di restoran lahhh.. Biar gak terlalu norak! Hahahahh.." Indira tertawa mengejek Lani yang terlihat antusias memperhatikan nya memotong daging.
"Okeee.. Kayaknya gue bisa." Diambilnya lagi piringnya dari Indira.
Indira melanjutkan makannya dengan santai sambil menatap sekeliling dalam restoran.
Ada seorang pria yang sedang makan malam disudut ruangan. Ia tengah menatap ke arah pantai.
Wajahnya terlihat dingin.
Indira kembali melanjutkan makannya.
Dilihatnya lagi pria tadi bangun dari kursinya. Ia hendak menuju kearah lift.
Tiba-tiba seorang anak kecil keluar dari lift dan berlari menuju kearahnya.
Sang pria yang sedang memainkan ponselnya, tak melihat anak tersebut.
Buggggggghhh...
Craaackkkkk....
Si anak jatuh.
Si pria tadi menginjak coklat yang sedang dipegang oleh si anak.
"Coklatkuuuu...." gumam si anak.
Indira terus memperhatikan mereka.
Si pria hanya diam menatap wajah si anak.
Si anak pun menangis.
"Maaf!" ucap si pria dan berlalu begitu saja.
Si anak masih menangis. Dan datanglah sang pengasuh anak tersebut.
Indira yang geram melihat tingkah si pria. Mencoba mengejar nya.
"Dirrr... Mau kemana Lu?" tanya Lani heran melihat Indira yang bangkit dari kursinya tiba-tiba.
"Tungguuu gue, sebentar!" teriak Indira.
Pria tadi menuju lift.
Indira mengejarnya. Melewati si anak tadi.
"Haiiii.. Tunggu." teriaknya. Ia menahan pintu lift dan ikut masuk kedalam lift.
Pria tadi hanya diam. Mengabaikannya.
"Maaf, tuan. Seperti itukah cara anda meminta maaf pada anak kecil yang coklatnya anda injak?" Ucap Indira to the point.
Pria tadi hanya terdiam tak menghiraukannya.
"Heiii. Tuan. Saya sedang berbicara dengan anda. Apa anda tidak diajari sopan santun oleh ibu anda?" teriak Indira lagi.
Pria tadi merasa geram mendengar Indira menyebut sosok ibu dalam ucapan nya.
Didorongnya Indira kesudut ruangan lift.
Di kukungnya tubuh Indira hingga tak mampu bergerak.
Indira yang merasa takut, wajah nya berubah menjadi pucat setelah bertatap wajah dengan pria tadi sebegitu dekatnya.
"Jangan ikut campur urusanku. Lagi pula aku telah meminta maaf." bisik sang pria tadi di telinga Indira dengan tajam.
"Taaa pii aa nakk taa ta di mass sih mee naang ngisss.." ucap Indira terbata.
"Lalu akuu harus apa, haaahh?" ucap sang pria lagi.
"Hhhhmm.. Setidaknya kau hampiri dulu anak itu hingga ia tidak menangis lagi." ucap Indira yang sudah berhasil menguasai emosi dan rasa takutnya.
Sang pria tadi semakin mendekatkan wajah mereka.
Indira yang melihat wajah tampan sang pria, tiba-tiba menelan salivanya.
'Tampan sekalii....' batin Indira.
"Kenapa kau repot sekali mengurusi ku? Apa kau ibu dari anak itu?" tanya sang pria menatap Indira dari atas sampai kebawah.
"Enak saja! Memang aku kelihatan seperti ibu-ibu yang sudah memiliki anak?" oceh Indira
Ting...
Pintu lift akan terbuka, Namun sang pria tadi menekan tombolnya kembali, dan menekan tombol lantai paling atas.
Alhasil pintu lift kembali menutup.
"Heii tuan. Apa yang anda lakukan? Mengapa anda menutup pintunya kembali?" ucap Indira setengah berteriak.
"Karena urusan kita belum selesai." bisik sang pria, membuat Indira melotot.
Indira mulai gusar, apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
Ia mulai memikirkan yang tidak-tidak tentang pria yang ada dihadapannya itu.
Ia menggelengkan kepalanya. Ia mendorong tubuh si pria dengan sekuat tenaga. Namun hasilnya nihil.
Ia terus memberontak hingga akhirnya ia akan jatuh dan si pria dengan cepat mengambil tubuhnya. Dan.....
Cupppp...
Bibir mereka bertemu sekilas.
Indira melotot terkejut. Begitupun dengan pria dihadapannya yang sama terkejutnya.
Indira yang malu betul, segera melepaskan dirinya dari tangan si pria.
Si pria pun hanya bisa terdiam menatap Indira.
"Kaaauuu..." gumam si Pria. Terlihat amarah di matanya.
Ting..
Pintu lift kembali terbuka. Indira segera berlari keluar meninggalkan si pria yang masih menatapnya dari dalam lift.
'Kauu.. Menyentuh bibirku tanpa seizinku. Tak akan kubiarkan kau...' gumam si pria.
Indira terus berlari dan bersembunyi di sudut koridor hotel.
'Sialll.. Apa sihh yang gue lakukan? Gueee... Inii... Yang pertama. Nggakk.. Bukaann.. Tadi itu hanya sebuah accident.' batin Indira sambil memegangi sudut bibirnya.
Ia terus bergulat dengan segala pemikirannya.
Setelah dirasa cukup waktu untuk menghindari pria tadi, ia akhirnya kembali menuju lift dan kembali turun ke restoran tempatnya makan malam bersama Lani.
Ia kembali bergabung bersama Lani yang terus bertanya, dari mana saja dirinya tadi.
Indira yang masih shock atas kejadian tadi, hanya menggelengkan kepalanya dan tak menghiraukan ocehan Lani.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!