Sepertinya aku cocok dengan untaian kata-kata qoutes ini. Dari hujan aku belajar bahasa air, bagaimana berkali-kali jatuh tanpa mengeluh pada takdir. Tegar!!. Itu yang tersemat dalam pikiranku. Aku merasa sedikit sombong ketika bisa melewati setiap cobaan yang bisa kulalui atau setiap perasaan luka yang menderaku. Semua aku terima dengan lapang dada serta berharap derita berhenti mendekatiku. Semenjak aku tahu diriku seorang anak haram dan menjadi anak angkat di keluarga kaya, hidupku berubah 180 derajat. Sikapku yang biasa manis berubah menjadi dingin. Ntah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan keluargaku sekarang ini.
Sekarang umurku sudah delapan belas tahun masih belia tentunya, kata mama sudah pantas aku mengetahui siapa sebenarnya diriku sebelum aku mendengar dari orang lain. Malam itu kami lima bersaudara berdiri mengitari mama yang sedang sakit. Mungkin mama sudah punya pirasat buruk sehingga dia membuka rahasia tentang diriku. Kami di pinggir pembaringan menunggu mama, ada 0m Herman dan Tante Yeny serta Chery sepupuku duduk di sofa menjadi saksi.
Setelah dokter pribadi kami mengatakan mama sudah siuman barulah aku mendekat dengan air mata membanjiri pipiku. Tapi air mataku tambah menganak sungai ketika mama berkata dengan terbata-bata bahwa sebenarnya aku anak angkat. Aku tadinya tidak percaya, tapi setelah semua kakakku mengangguk aku merasa kehilangan keseimbangan. Aku menatap kakak satu persatu. Aku baru merasa berbeda, mereka berambut hitam sedangkan aku agak kemerahan. Kakak Perempuanku keduanya cantik, tapi tidak bisa mengalahkan kecantikanku yang berwajah bule. Disitu aku baru merasa sangat berbeda.
Saat aku tahu bahwa diriku hanya anak angkat yang hanya menumpang seperti benalu, aku tiba-tiba merasa down dan krisis kepercayaan. Rasa sombongku sirna dan saat ini aku merasa bahwa aku tidak punya apapun selain ilmu dan wajah blasteran bule. Kata mereka aku keturunan dari papa Jepang dan ibu blasteran Inggris Indonesia. Seharusnya aku bangga dengan tubuh Sexyku yang tingginya 172 dan berat badanku 55 kg. Ntahlah....
"Tidak ada perbedaan setelah kamu tahu siapa dirimu, kita tetap menyayangimu seperti dulu dan kamu tetap bisa bermanja-manja dengan kami. " kata kakak perempuanku yang tertua mengelus rambut blondeku.
Walaupun aku tinggal di Los Angeles bila musim dingin aku pasti pulang ke Bali untuk berlibur. Hubungan kami sangat erat dan kakak selalu memanjakan aku. Bahasa sehari-hari kami di rumah adalah Inggris bercampur Indonesia. Maklumlah saudaraku semua bergelut di pariwisata yang terbiasa memakai bahasa Inggris.
"Siapa orang tuaku?" tanyaku tidak bergairah. Aku melihat tatapan mengejek dari Chery sepupuku yang selama ini merasa tersaingi oleh ke cantikanku.
"Apakah kamu ingin menemukannya?" tanya kakak hati-hati sambil menatap wajahku. Aku langsung menggeleng sambil menghapus air mataku dengan kasar.
"Tidak ada keinginanku untuk menemuinya, dari hamil orang tuaku sudah tidak mengharapkanku dan berusaha aborsi dan ingin membunuhku dengan segala cara, jadi mengapa tiba-tiba aku mencarinya?. Aku tidak mau merendahkan diriku dengan cara apapun supaya diakui oleh mereka. Tidak terbesit dalam pikiranku memohon belas kasihan mereka, sekalipun aku tidak berdaya." sahutku tegas.
"Qirrera.. ..semoga apa yang kamu ketahui saat ini tidak menyurutkan niatmu untuk menjadi orang sukses. Semua orang punya masalah, bagaimana kita menyikapi dan berusaha keluar dari masalah itu." kata Om Herman ikut perihatin.
"Terus terang aku merasa down dan malu kepada diriku. Aku banyak berhutang budi kepada keluarga ini. Kalian sangat baik, terutama mama. Kalian tidak pernah mengeluh akan sikapku yang kadang-kadang konyol." kataku lirih.
"Makanya jangan banyak bertingkah, ingat dari mana asalmu." celetuk Chery membuat aku kesal. Mata coklatku menatap tajam menembus jantung Chery. Dia menjebikan bibirnya tanda mengejek.
"Chery, I don't feel ashamed of being an illegitimate child. My destiny is like this. I would be ashamed if I became a bad boy." sahutku memakai bahasa Inggris. Aku memang agak susah memakai bahasa Indonesia disaat marah, karena dari kecil aku tinggal di Luar Negeri dan hidup dengan mama Stevany.
"Elehh... You bad boy, hidup di barat dengan pergaulan bebas." sahut Chery tidak mau kalah.
"Apa yang kalian bicarakan, setiap bertemu pasti kalian berdebat. Tidak adakah perbincangan lain yang membuat hati kami sejuk mendengarnya." kata Om Herman memandang kami silih berganti.
"Sudah-sudah... kalian itu bersaudara, Chery tidak boleh ngebuly Qirrera.." kata kak Maya memandang Chery.
"Itu kenyataan kak Maya, dia itu anak haram yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Bisa saja Tante sakit gara-gara dia yang membawa karma buruk." sahut Chery tidak mau mengalah. Dia sangat benci melihatku yang sangat cantik dan pintar. Apalagi semua orang selalu memuji dan mengagumiku. Dasar landak. bathinku kesal.
"Aku tidak butuh belas kasihanmu kalau kamu benci padaku silahkan. Semua orang bebas bersikap. Aku senang atas sikapmu yang terus terang membenciku, daripada kamu baik di depanku tapi di belakangku menusuk." kataku tenang menatap Chery.
"Kalian berdua tidak punya rasa impaty sedikitpun atas musibah yang kita alami saat ini. Mama tergeletak sakit, kalian disini saling menyebarkan kebencian. Apa kalian tahu bencana apa yang kita hadapi kedepannya?, kita ini sudah bangkrut. Mama sakit karena kena tipu." kak Leon yiba-tiba mendelik berkata gusar. Dia kakakku yang paling keras dan sering marah padaku.
Kami semua diam, aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku bicarakan. Disamping aku belum tahu pasti kondisi ekonomi orang tuaku, aku juga baru kemarin datang dari Los Angeles. Aku meraba pikiran kakakku bahwa dia ingin supaya aku atau kakak lainnya membantu ekonomi keluarga.
"Qirrera... kamu adalah anak bungsu mama, menurut peraturan adat, kamulah yang harus mengajak mama dan bertanggung jawab terhadap semua kewajiban keluarga." tiba-tiba Tante Yeny ikut berkomentar. Aku terperangah dibuatnya. Tidak tetlintas sedikitpun dalam benakku kewajiban apa yang di maksud.
Tante Yeny adik Mama ku satu-satunya yang super cerewet dan judes. Sebagai adik yang sudah menikah sering sekali dia ikut campur urusan keluarga besar kami. Apalagi mama sekarang sakit dan sulit bicara, Tante Yeny pasti menjadi diktator di keluarga kami. Kakak lelakiku paling hormat dan menuruti semua kemauan Tante Yeny. Kadang kami sebal dibuatnya.
"Maaf Tante, Qirrera anak perempuan, mana ada aturan begitu. Yang harus mengajak mama dan bertanggung jawab semuanya adalah Leopard, karena dia satu-satunya anak lelaki." tungkas kakak Selvi memandang Tante Yeny. Kakak keduaku ini sangat tegas dan keras. Bicaranya kadang menohok.
"Semasih mama Jaya kalian semua seperti benalu, ketika mama bangkrut semua tanggung jawab kalian serahkan kepada aku. Aku baru menikah dan tidak mau mengurus semua ini, kemampuanku tidak ada. Tapi kalau mengurus mama, aku bersedia asal semua biaya dilimpahkan kepada Qirrera." sahut kak Leon tegas.
"Qirrera masih muda, dia baru lulus kuliah. Rencananya minggu depan dia harus ke Abu Dhabi UEA, untuk melanjutkan treaningnya. Mama sudah menyiapkan semua biayanya." kak Maya membelaku.
"Bacalah ini, semua yang tertulis disini adalah persetujuan mama. Ini ada tanda tangan perangkat Desa sampai pengacara." sahut kak Leon menyodorkan sebuah map biru yang berisi tiga lembar kertas.
"Bacalah, anggap itu surat wasiat dari mama." sahut Tante Yeny tersenyum.
Kakak selalu di bela oleh Tante, karena dia satu-satunya anak lelaki. Di lingkungan kami anak lelaki adalah raja dan penerus trah dari marga kami. Kebetulan kami dari keluarga ningrat yang menjunjung tinggi adat istiadat dan gugon tuwon tentang leluhurku.
Kak Maya dan kak Selvi mulai membaca sambil mengerutkan keningnya. Dia seolah tidak percaya dengan tulisan yang dibacanya. Isi surat itu adalah pembagian waris, hak dan kewajiban. Itu lebih tepatnya. Disini ditulis kak Maya mendapat rumah mewah dan satu mobil Portuner yang berada di Legian. Kak Selvi juga satu rumah mewah dan mobil Freed di Kuta. Sedangkan Kak Leon mendapat rumah mewah dan sebuah mobil Alphard di Seminyak. Aku mendapat rumah tua yang berada di Denpasar dan mobil Mini cooper.
Sedangkan Hotel, Villa, kost-kost-an dan tiga aset yang berbentuk tanah di tiga tempat menjadi milik kakak Leon. Sedangkan utang di tanggung bersama, tapi kewajiban bermasyarakat dan beryadnya adalah tanggung jawabku. Atas biayaku karena aku mendapat warisan rumah di atas tanah warisan leluhur.
Aku jadi berpikir ada kelicikan disini, sepanjang aku mengenal Mama, tidak pernah dia berbicara tentang masalah ini. Seolah ada campur tangan tante Yeny disini. Tapi aku diam, sekarang mulutku rajin tertutup setelah tahu statusku sebagai anak haram.
Di kertas ini dicantumkan Qirrera berhak mendapatkan sebuah rumah di atas sebidang tanah yang berukuran 100 are atau satu hektar. Bangunan utama yang berdiri di atas tanah itu sekitar lima ratus meter persegi, isinya lengkap kolam renang, tempat nge gym, tempat yoga. Bangunan kecil ada lima buah, garasi untuk lima mobil, Tempat suci. Pokoknya, sangat lengkap dan mewah. Rumah berbentuk Spanyol dan memakai konsep arsitektur yang paling modern.
*****
QI
QIRRERA BINAR KENZO
Aku memeluk mama sambil menangis, dalam doaku jangan sampai mama pergi meninggalkan aku. Apapun tanggung jawab yang dilimpahkan padaku aku terima dengan ikhlas, tidak ada alasan untuk menolak. Selama ini Mereka sangat baik padaku, rasanya aku tidak tahu diri apabila aku mecampakkan harapan kakak. Aku punya modal ilmu dan akal, aku akan mulai dari bawah untuk melakukan sesuatu dengan pertimbangan yang matang.
"Mama, aku sangat sayang padamu, cepatlah sembuh." bisikku sambil mencium pipi mama. Aku menghapus air mata yang mengalir dari sudut mata mama. Saat ini mama mengalami stroke dan tidak bisa berbicara. Aku hanya bisa menangis dan berdoa, sedangkan uang yang disiapkan untuk treaning ke Abu Dhabi sebanyak seratus lima puluh juta aku akan masukan ke kas perusahaan, untuk mengumpulkan uang dua puluh miliar ( 20 M ) bagiku sangat sulit.
"Jangan hanya menangis sedih, kamu harus bergerak dan berpikir untuk melunasi hutang mama. Kakak capek tiap hari di telepon dan di maki oleh Om Brata yang dipinjami uang oleh mama." kata kak Leon tiba-tiba nongol di kamar.
"Maaf kak, kenapa selama ini aku tidak tahu mama punya hutang sebanyak itu? biasanya mama selalu terus terang. Aku tidak percaya mama punya hutang, selama ini mama bukanlah orang gegabah. Setidaknya kita pasti dikasitahu." sahutku sambil menghapus air mataku.
"Mungkin karena kamu anak haram jadi tidak dikasitahu, sekarang saatnya kamu membalas hutang budi kepada keluarga kami. Kita harus menjaga nama baik keluarga." kata kak Leon memandang keluar jendela. Aku tidak tersinggung dikatakan anak haram, karena itu sebuah kenyataan. Malah aku merasa iba kepada kak Leon, dia adalah anak laki-laki satu-satunya, yang biasanya manja dan serba ada, sekarang menerima kabar buruk ini dia merasa tertekan.
"Aku akan berusaha membantu mama dengan ilmuku, dengan cara bekerja di sebuah hotel. Atau aku bisa bekerja di konsulat Jepang atau Amerika."
"Mencari uang dua puluh miliar sangat sulit dalam waktu cepat, kecuali kamu mau menikah dengan seorang konglomerat tajir. Atau meloby Om Brata, siapa tahu dia tergoda denganmu. Di Bali banyak Crazy Rich, pilih salah satu dari mereka dan menikahlah."
"Kakak, aku merasa terhina kalau kamu mengatakan itu. Aku akan membantu kalian dengan caraku sendiri." kataku meninggalkan kak Leon dengan kesal.
Mulai sejak itu perubahan sikap kak Leon yang biasanya manis menjadi kasar, dia mulai gampang main tangan dan mencarikan aku seorang jodoh. Kakak perempuanku mulai jarang datang karena kak Leon selalu minta uang kepada mereka. Tinggalah aku memeras otak untuk mencari uang.
Aku menghubungi mama Stevany di Los Angeles minta pertimbangan dan apa yang aku harus lakukan. Tapi usulnya kembali membuat aku menggeleng cepat, karena dia menyarankan aku menerima tawaran sebuah agency model di Los Angeles.
"Aku tidak mau meninggalkan mamaku, saat ini beliau dalam keadaan sakit."
"Aku tidak bisa memberi saran yang lebih bagus, pulanglah ke Los Angeles, disini kamu akan lebih baik. Aku juga Ibumu yang memeliharamu dari umur 3 tahun."
"Jangan mengacaukan pikiranku, kalian berdua adalah mamaku dan aku sangat menyayangi kalian, tapi saat ini aku tidak akan pergi dari mamaku ini, aku harus melakukan sesuatu supaya bisa meringankan beban orang keluarga disini."
"Aku tidak bisa memberi masukan lagi, berusahalah sesuai keinginanmu. Semoga Tuhan selalu memberkatimu." kata Mama Stevany istri kedua Papaku yang mengajak aku tinggal di Los Angeles.
Otakku terasa mumet memikirkan solusi yang paling cepat untuk mendapatkan uang. Umurku baru 18 tahun tidak mungkin aku di terima di sebuah perusahaan. Tapi aku lulusan terbaik dari sekolah Luar Negeri dan aku punya skill. Dan aku juga mempunyai sedikit modal bisnis, karena aku kuliah dibiayai pemerintah dan dikasi uang saku. Selama ini uang saku tidak pernah aku sentuh karena aku invest saham.
Matahari sudah condong ke barat ketika aku turun ke lantai bawah untuk menengok mama. Di ruang keluarga aku melihat kak Leon sedang berbincang-bintang dengan seorang wanita setengah baya dan seorang pemuda yang matanya berbinar melihat kedatanganku.
"Qirrera ini tante Lina dan ini Agung Mahesa." kata kak Leon memandangku dengan senang. Hatiku mulai tidak enak dengan situasi ini. Tante Lina menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Senang bertemu dengan kalian, bagaimana kabarnya tante?" tanya ku memakai bahasa Indonesia patah-patah.
"Baik sayank, katanya kamu akan menetap di Bali dan bekerja di Hotel, benarkah itu?" tanya tante Lina dengan gaya ramah yang dibuat-buat. Otakku menangkap persekongkolan maut untuk menjebakku. Seketika aku muak dengan tingkah tante Lina dan anaknya yang terus menatapku.
"Mungkin saya menetap di Bali untuk sementara, setelah mama sembuh saya mungkin balik ke Los Angeles, disana mama sendiri tidak ada yang menjaga."
"Lebih baik kamu di Bali saja, bekarir di Bali, sekalian belajar bermasyarakat. Apalagi kamu sudah dibagikan warisan, kamu tidak bisa pindah. Berani menerima warisan berarti sudah siap bertanggung jawab. Ada hak dan kewajiban. Tapi Kamu termasuk anak beruntung, semua sayang padamu dan mendapatkan warisan. Kalau gadis lain belum tentu dikasi warisan sama keluarganya." ucap tante Lina.
"Aku bertrimakasih sama mamaku dan keluarga disini, cuma kalau warisan aku sepertinya kurang pantas menerimanya. Aku ingin supaya kakak Leon mengambil warisanku."
"Jangan takut menerima warisan, asal kamu mengelola tanggung jawab keluarga dengan ikhlas dan lapang dada. Makanya tante mengajak Agung kesini sebagai teman sharing. Berdua kalian belajar mandiri." celetuk tante Lina menatapku.
"Tante, Qirrera baru datang dari Los Angeles, aku merasa dia harus banyak belajar tentang adat istiadat, atitude dan kewajiban yang di bebankan kepadanya. Aku sebagai kakaknya akan mengajarkan seluk beluk apa yang seharusnya dia tahu." kakak Maya tiba-tiba nongol menolongku dari tekanan tante Lina.
"Kak Maya jangan selalu membelanya, biarkan dia membalas budi, mama sudah capek membiayainya dari bayi."
"Leon, berbicaralah seperti orang ninggrat yang beradab, simpan pikiran busukmu itu. Tunjukan bahwa kamu pernah mengenyam bangku kuliah yang punya pikiran bijak."
"Terserahlah, asal ingat bayar utang mama." sahut Leon ketus.
"Aku mau menemani mama malam ini." ucapku lalu masuk ke kamar utama. Perasaanku teriris melihat mama tergolek di tempat tidur. Wajahnya terlihat sangat tua dengan garis-garis keriput yang nyata. Aku sangat bangga kepada mama, dia sangat ulet dan tabah ketika diselingkuhi oleh papa. Begitu pahit hidupnya sampai aku sangat mencintainya.
"Mama I love you, get well soon." bisikku di telinga mama. Tidak ada reaksi apapun dari mama, dia terdiam dengan mata tertutup. Sesekali aku melirik selang infus yang menempel di tangan mama, takut infusnya sudah kosong. Kakak Maya masuk ke kamar diikuti oleh tante Lina dan Agung Mahesa.
"Qirrera, kakak mau pulang, kamu jaga mama malam ini, gantian dengan kak Leon besok kakak Selvi. Ingat infus cepat diganti kalau sudah kosong. Kabari kakak kalau terjadi sesuatu, kita sama-sama berdoa semoga mama cepat sembuh." kata kak Maya menepuk pundakku. Dia lalu mencium pipi mama lalu keluar dari kamar.
"Siap kak... " sahutku pendek.
"Tante juga mau pulang, nanti Agung akan menemanimu begadang disini. Itung-itung kalian saling mempererat hubungan." kata tante Lina membuat hatiku tidak enak.
Aku memang dibesarkan di luar Negeri, tapi hidupku berkutat dengan buku dan selalu bersekolah yang ada asrama putrinya. Jadi aku jarang berinteraksi dengan teman lelaki. Lagi pula aku di dokterin oleh mamaku supaya bisa menjaga diri. Disamping itu aku mengambil kelas Wushu untuk prisai diri.
"Qirrera tante pamit ya, titip Agung." sambung tante Lina mencoel tanganku.
"Ya tante, trimakasih atas kunjungan tante." sahutku kurang gairah.
Aku melihat kilatan mata Agung, tante Lina berniat bermanis-manis padaku, supaya anaknya yang bernama Agung bisa membuat hatiku berpihak.
"Kamu harus tabah sayank, semua akan baik-baik saja. Tante dan Agung akan selalu menemanimu."
"Trimakasih tante atas perhatiannya." sahutku pendek. Ntah kenapa aku merasa tante Lina sengaja mendekatiku karena aku banyak punya warisan. Semoga pikiran burukku tidak menjadi kenyataan.
Sebenarnya aku belum banyak mengenal keluarga besar papaku, setiap berlibur ke Bali aku malah menemani mama di Hotel sekalian belajar bekerja, hitung-hitung menambah ilmu.
Sepeninggal tante Lina, aku mulai berpikir untuk mencari kerja. Tentu aku akan mencari hotel lain untuk memulai debutku. Aku tidak mau berkecimpung di hotel keluarga karena aku merasa ilmuku kurang. Paling banter aku akan mencari hotel bintang empat.
Sedang asyik-asyiknya aku mencari lowongan kerja Agung tiba-tiba duduk di sampingku. Sangat pongah tidak tahu aturan. pikirku.
"Sibuk mencari berita apa?" tanyanya ketika aku tidak merespon dirinya. Aku malas menoleh dan juga malas menjawab.
*****
Kini aku mulai merasakan menjadi seorang gadis yang sesungguhnya, dimana ada seorang pemuda duduk disampingku dengan rayuan mautnya yang tertata. Aku berpikir haruskah rayuan itu dia lontarkan, sedangkan kenyataannya berbeda atau malah tidak benar. Misalnya,
"Kamu bagaikan sinar mentari di hatiku, selalu menyinari jiwaku. Tanpa dirimu hidupku menjadi layu." ini salah satu rayuannya, bohong banget. Ingin aku membalas dengan kata-kata berbeda, tapi aku tidak mengerti berandai-andai.
"Kita sepertinya berjodoh, kamu dari seberang lautan bertemu dengan aku yang berada disini, tidak terbayangkan." rayu Agung semakin membuatku mengantuk. Kalau bisa muntah, aku sudah muntah permanen.
Banyak sekali dia mengeluarkan rayuan, tapi satupun tidak membuatku tersentuh. Aku menjadi kasihan karenanya dan memutuskan supaya mulutnya berhenti berbunyi.
"Agung, aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan dari tadi. Silahkan minum kalau kamu haus, saat ini aku tidak ingin berbicara denganmu. Maaf aku tidak bisa membalas kata-katamu, karena aku belum mengerti cara membalasnya. Aku masih sibuk mencari lowongan kerja." kataku tanpa menatap wajahnya, aku yakin wajahnya berubah merah. Aku mendengar dia mendengus, mungkin dia kesal. Masa bodolah.
"Kenapa kamu baru bilang bahwa kamu tidak mengerti, mulutku sampai berbusa berbicara dari tadi." sahutnya dengan suara tinggi. Aku menatapnya, menaruh telunjuk di bibir supaya tidak berisik.
"Pelan, mamaku sakit, bila perlu keluarlah." kataku kesal. Matanya melotot tidak senang, mungkin dia tidak menyangka aku mengusirnya.
"Kamu tidak tahu siapa aku dan seberapa kekuatanku. Jangan coba-coba mau melepaskan diri dari genggamanku. Belum pernah ada wanita yang berani menolak keinginanku."
"Aku tidak peduli denganmu, kamu juga tidak tahu siapa aku dan kekuatanku. Kita berarti balance. Berarti wanita itu goblok mau aja dirayu sama kamu, udah jelas semua omonganmu ngibul."
"Tidak apa-apa, aku terima penghinaanmu saat ini. Tapi ingat!!, semua ini ada harganya, kamu akan membayar dua kali lipat beserta bunganya."
"Rentenir donk." sahutku asal dan berdiri.
"Rupanya kamu mengerti omonganku, buktinya kamu bilang aku ngibul."
"Mengertilah, makanya aku mengusirmu keluar dari sini, karena nalarku menolak rayuanmu."
"Dasar gadis aneh." celetuknya gusar.9
Aku tidak menggubris omongannya lagi, bagiku percuma berdebat dengan Agung. Dia terlalu percaya diri dan merasa aku akan terpesona dengannya. Dari tadi aku mencoba senang dengan kehadirannya, tapi untunglah perasaan suka tidak muncul, malah ada rasa muak melihat tingkahnya yang tengik.
Aku mengambil infus dan mengganti infus mama yang sudah kosong. Mulutku sudah mulai menguap, ngantuk. Aku berharap kak Leon datang dan mengajak Agung keluar dari kamar. Aku ingin tidur dengan mama, aku risih ada Agung disini. Matanya terus menatapku, seperti kucing mengintip ikan.0
Harapanku tidak tercapai, kak Leon tidak nongol batang hidungnya, mungkin kakak sengaja menyuruh Agung menjaga mama supaya Agung berpeluang banyak bersamaku. Agung sekarang malah berani merebahkan tubuhnya di sofa panjang, mungkin dia juga mengantuk.
Sedangkan aku tidur disamping mama. Tidak lupa aku menyetel alarm jam tangan, supaya aku tepat waktu mengganti infus. Sebenarnya aku was-was ada laki-laki asing di satu kamar, walaupun berjahuan. Seandainya Agung berbuat aneh aku bisa memukul atau menendangnya, aku bersyukur mempunyai keahlian bela diri.
***
Aku menggeliat bangun ketika bibik mengoyangkan tubuhku. Mataku masih berat terasa.
"Sudah jam berapa bik?" tanyaku sambil melihat infus mama.
"Sudah pukul 05.00 wita, air hangat sudah siap di Bathtub dan sudah berisi esential. Habis mandi Nona sembahyang, nanti Nona breakfast harus tepat waktu supaya kakak Nona tidak marah." kata bibik lagi.
"Trimakasih bik, aku mau naik ke kamarku." sahutku. Aku mencium pipi mama, terus turun dari pembaringan. Mataku melirik Agung yang masih tidur pulas. Aku mengecek infus mama, masih setengah, jadi aku bisa santai kalau mandi.
Sampai di kamar aku membuka ponselku dan melihat twitter, ada beberapa sapaan dari mama Evelyn dan teman-temanku. Kemudian aku membuka ponsel mama yang sekarang ini menjadi milikku, karena sudah diserahkan kepadaku oleh kak Leon. Banyak sekali panggilan dan beberapa whatsapp yang rata-rata menyangkut masalah bisnis. Aku belum berani menjawab, karena aku belum mempelajari bisnis mama. Tapi ada satu SMS yang membuat darahku bergolak.
"Nyonya Capela, cepat bayar utangmu. Kalau tidak bisa membayar dalam tempo dua bulan ini, aku akan mengeksekusi hotelmu. Jangan kamu pura-oura sakit." tulis Om Brata.
Aku sebenarnya tidak mengenal Om Brata atau benar tidaknya mama berhutang padanya. feelingku mengatakan mama ditipu.
"Pagi Om, ini aku Qirrera anak mama Capela, mamaku tidak mungkin pura-pura sakit dan buat apa dia pura-pura. Mulai sekarang ponsel mama, aku yang pegang, jadi Om akan selalu berhubungan denganku, aku ingin bertemu empat mata dengan Om Brata dan membicarakan utang mama. Jangan sampai mamaku tertipu." tulisku kesal.
Emosiku akhir-akhir ini cepat terpancing. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Untuk apa mamaku meminjam uang sebanyak itu, aku yakin sekali mama ditipu. WA ku belum dibalas, masih pagi juga. Bos-bos pasti masih tidur jam segini. Lebih baik aku mandi dulu.
Aku menyetel lagu dari playlist ponselku, terdengar suara Lewis Capaldi, dengan lagu Before you go. Aku memang lebih senang lagu-lagu melow dari pada musik cadas. Barangkali pengaruh mama Evelyn yang selalu mendengar lagu sedih setelah papa meninggal. Musik adalah wakil dari perasaanku. Ntah mengapa rasa euforiaku lenyap setelah masalah keluarga bergulir menindih perasaanku setiap saat.
Selesai mandi aku melanjutkan rutinitas seperti sembahyang dan sarapan. Setelah itu melihat mama di kamar, dokter pribadi kami sedang memeriksa mama. Ada kak Leon dan istrinya sedang berbincang-bincang dengan dokter.
Aku segera naik ke lantai atas dan masuk kamar. Aku mengambil ponselku, aku buka twitter serta membalas chat mama Evelyn, yang lain aku abaikan. Setelah itu aku buka ponsel mama. Satu persatu aku balas WA dari orang-orang itu.
"Maaf Bu/Pak...ini ponsel mama saya, tapi mulai hari ini saya membawanya. Saat ini mama lagi sakit, untuk selanjutnya Bu/Pak bisa menghubungi saya dan mulai dengan permasalahannya. trimakasih!" tulisku ke semua teman mama.
Banyak balasan dari mereka yang rata-rata mendoakan mama supaya cepat sembuh selebihnya mereka minta pekerjaan apa saja. Aku abaikan dulu untuk membalas mereka dan aku fokus membaca balasan dari Om Brata sebagai momok yang membuat aku terjebak di Bali dan tidak jadi treaning ke Abu Dhabi. Bisa jadi mama sakit gara-gara Om Brata ini.
"Siapapun kamu, aku tidak peduli. Suruh mamamu membayar hutangnya, kalau tidak membayar utang hotelnya aku sita." balas Om Brata.
"Jangan main sita begitu, tunjukin dulu bukti-bukti mamaku meminjam uang. Bila perlu kita bertemu, aku ingin transparan." tulisku.
"Hahaha...beraninya kamu menantang aku, jangan banyak ngeles. Ini biasa terjadi di dunia nyata, bahwa yang ngutang lebih galak. Aku terima tantanganmu, datang kamu ke jalan Taman Anyar no. 20x, aku menunggumu, jangan lupa bawa pengawal." balas Om Brata mengejek.
Aku tidak perlu pengawal, tanganku sendiri yang akan mencekik leher orang yang mencoba menipu mamaku." tulisku emosi.
"Hahaha...curut sok belagu, kamu baru melek ya, siapa yang kamu lawan." balasnya. Aku tahu pasti orang ini emosi sepertiku.
"Aku bukan curut, tapi semut yang mau membunuh gajah." tulisku.
"Kesini kau sekarang aku tunggu." balasnya kasar.
Aku menutup ponselku dan membuka almari. Aku memilih celana panjang Jean dan T-shirt hitam. Rambut di kuncir kuda. Aku merias wajahku natural. Tidak lupa kaca mata hitam dan jam tangan Rolex menghiasi tanganku. Aku berdandan sopan supaya Om Brata tidak menganggap aku murahan. Sebuah tas ransel dari Hilde Palladino, menyimpan ketiga ponselku. dan sebuah dompet.
Turun dari tangga kak Leon menghadangku ada kakak Maya juga. Mereka menatap heran kepadaku.
"Mau kemana kamu?" kakak Leon bertanya curiga. Aku membuka kacamataku.
"Maaf kak, aku mau melamar kerja." sahutku ringan.
"Bekerja apa, jangan aneh-aneh, kamu belum tahu Bali sepenuhnya. Tenang dulu, nanti kita bicarakan lagi." kak Maya cepat menyambar omonganku. Terlihat ke khawatiran di wajahnya.
"Kak..aku cuma ingin melamar kerja supaya hutang mama cepat terbayar, kita hanya punya waktu dua bulan. Kalau tidak bisa membayar hotel kita dilelang." sahutku membuat kakakku diam.
"Aku harus cepat bertindak dan berpikir, saat ini tidak ada kata santai. Aku harap kakak mengerti. Sebenarnya masalah ini sangat menyita pikiranku, apalagi semua utang ini di bebankan kepadaku. Aku tidak mungkin melacurkan diriku untuk membayar hutang, tenang saja kak." sambungku lagi membuat kakakku semakin diam.
"Sayank, ingatlah bahwa kita dari keluarga ninggrat, jangan sampai kamu berbuat nekad, mempertaruhkan nama keluarga." kata kak Maya memandangku.
"Tenang kak, aku akan melakukan apa yang kalian mau." sahutku mohon diri dan keluar dari pandangan mereka. Ada rasa ngilu dihatiku, status anak pungut seolah menari di otakku.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!