Hai... Teman-teman terima kasih banyak buat yang udah mampir ke cerita ini. jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar positifnya biar aku makin semangat. Jaga kesehatan selalu, SALAM DARI PENULIS AMATIR.😊🤗🤗
Tanggal 18 Februari 2018 seorang bayi telah lahir kedunia, kehadirannya tidak diterima di keluarga besarnya, kakek dan neneknya pun membencinya. Sedangkan sang papa pergi meninggalkannya semenjak dia masih dalam kandungan.
Saat ini Kasya tengah berjuang hidup dan mati demi malaikat kecil yang tidak berdosa, Kasya berusaha mengatur pernafasannya, keringat sudah bercucuran," Kak aku nggak bisa kak," ucap Kasya seraya menangis sesenggukan menatap wajah sang kakak yang begitu mengkhawatirkan keadaan saat ini. Tangannya mencengkram erat tangan sang kakak," Tarik napas Kay kamu pasti bisa," Ujar Gisel menyemangati adik kesayangannya.
"Kamu pasti bisa Kay, tarik nafas panjang lalu keluarkan," instruksi Gisel.
"Kak aku nggak bisa..." suara napas Kasya melambat," Kak aku minta..." Kasya mengambil jeda.
"Iya Kay, kenapa?" Dia masih menatap Kasya dengan rasa khawatir.
"Aku... titip anak aku ... jaga dia baik-baik... Rawat dia seperti anak kandung kakak aku mohon..." Sambung Kasya yang sudah tidak memiliki tenaga lagi.
Kasya dilarikan keruang operasi, tadinya dia ingin melahirkan anaknya secara normal, tapi keadaan tak memungkinkan karena dia sudah terlalu lemah dan juga pendarahan. Demi menyelamatkan bayi yang berada diperutnya hanya bisa dengan cara operasi Caesar.
Gisel menggigit bibir bawahnya, kini dia duduk didepan ruang operasi menunggu Kasya yang sedang berada didalam. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa berharap Allah menyelamatkan mereka berdua. Sudah cukup penderita yang dialami keluarganya, Gisel dan juga Kasya diusir oleh kedua orang tuanya. Karena Gisel melarang Kasya menggugurkan kandungannya beberapa bulan lalu.
Setelah sekian lama menunggu, suara tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan operasi, dia cantik dan juga sehat, berat badannya ideal seperti bayi pada umumnya. Setelah dibersihkan dokter segera menyiapkan ruangan khusus bayi. Dokter keluar dengan peluh keringat yang membasahi keningnya, dia telah bekerja dengan keras.
"Selamat atas kelahiran bayi anda, bayi perempuan dia sehat, cantik dan tidak kekurangan satu apapun," Dokter menjelaskan.
"Bagaimana dengan Kasya? apa dia baik-baik saja dokter?" Cerocos Gisel karena terakhir kali dia melihat Kasya sudah tidak memiliki tenaga.
Tanpa menjelaskan apa yang terjadi, hanya melihat raut wajah sang dokter Gisel sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Kasya. Dia tidak bisa diselamatkan karena pendarahan hebat, nyawanya tidak tertolong.
Mendengar jika Kasya tidak bisa diselamatkan Gisel segera menelfon kedua orang tuanya, untuk memberi kabar duka dan memberi tahu jika cucu pertama mereka telah lahir kedunia.
Berulang kali Gisel mencoba menghubungi kedua orang tuanya tapi tidak ada Jawaban, Gisel terperosot jatuh dilantai bahunya gemetar, dia terisak mendalam.
"Baiklah mulai sekarang kau bukan keponakan aku, tapi kau adalah anakku. Kau tenang saja Kay aku akan merawat anakmu seperti anakku sendiri," Gisel bermonolog berjanji akan menjadi orang tua tunggal bagi bayi perempuan yang diberi nama Jung Ara Ardhiona Surya Baskara. Jung adalah marga dari seseorang yang diidolakan oleh Gisel. Boy group asal Korea Selatan dia sosok yang ceria, penyayang dan bisa mencairkan suasana yang tegang.
I am your hope
Your my hope kalimat yang sering dia ucapkan.
Gisel seorang wanita berzodiak libra, berprofesi sebagai penulis novel, penulis buku dan scenario film. Di usianya yang baru genap 21 tahun dia sudah hidup mandiri, terpisah dari kedua orang tuanya. Gisel tinggal sendiri dirumah yang dia beli dengan kerja kerasnya selama ini, rumah tidak terlalu besar berlantai dua kini menjadi tempat tinggalnya bersama Ara, malaikat kecil yang baru saja lahir.
***
Empat bulan yang lalu. Ayah dan ibunya menentang Gisel yang bersikeras ingin membesarkan anak yang sedang dikandung Kasya.
"Aku akan membesarnya sendiri, jangan membunuhnya dia tidak salah sama sekali." Gisel yang tak berani menatap mata sang ayah, tangannya gemetar, tidak ada hal yang lebih menakutkan di dunia ini kecuali amarah kedua orang tuanya.
Selama ini Gisel adalah anak yang patuh pada kedua orang tuanya, tidak pernah membantah, tapi malam ini ia benar-benar membuat murka.
"Apa!"
"Apa yang kau katakan! Apa ibu tidak salah mendengarnya, kau ingin membesarkan anak itu sendiri!" Ibu menekan disetiap kata-katanya menandakan dia benar-benar murka.
"Ibu, aku akan membesarnya." Gisel menjawab dengan penuh keyakinan.
"Kemana pria brengsek itu! yang tidak mau bertanggung jawab, jika dia muncul dihadapan ku saat ini aku akan langsung membunuhnya." Ayah yang sedari tadi diam pun ikut berbicara, guratan amarah terlihat jelas diwajahnya.
"Ayah maafkan aku, kali ini aku tidak patuh dengan kata-katamu, aku akan tetap membesarnya. Bahkan jika perlu aku tidak perlu menikah, aku akan membesarnya dia tidak salah Ayah, ibu." Gisel yang tak berani memandang wajah kedua orang tuanya, walaupun disetiap kata yang ia katakan dengan penuh keyakinan.
Plak...! Plak...! Tamparan keras bolak-balik dipimpinnya, ada cairan merah disudut bibirnya karena tamparan dari sang Ibu.
"Apa kau sudah tidak waras lagi! Kau pikir membesarkan seorang anak sendirian itu mudah! Apa yang dikatakan orang-orang nanti, kau belum menikah tapi sudah menggendong bayi! kau benar-benar membuat kami malu Gisel. Kami malu punya anak sepertimu." Lanjutnya lagi kali ini diiringi dengan suara tangisan. Gisel bersujud memohon ampun sampai mencium kaki kedua orang tuanya.
Tapi tak membawa perubahan sama sekali, Ayah menghempaskan tubuhnya sampai Gisel terjatuh dan terbentur tembok dengan cukup kerasa, ibu tidak perduli sama sekali bahkan hanya untuk menatapnya.
"Mulai hari ini! Detik ini juga kita putus hubungan, kau bukan anakku lagi." Ibu yang mendengarnya sedikit merasa syok tapi dia sama saja tak membela Gisel.
"Jangan pernah datang lagi, atau menginjakkan kaki di rumah ini!" Ayah berdiri dia tidak Sudi melihat wajah Putri sulungnya.
Gisel bangkit menyeka air matanya yang mengalir begitu deras, seperti jatuh didasar jurang yang terjal, kakinya tak mampu menahan lagi bagai diterpa badai dahsyat.
"Pintu terbuka lebar, Aku tidak perlu mengantarmu pergi!" Kalimat yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
"Ayah..." Ibu ingin mengejar Gisel tapi langsung ditahan oleh Ayah, bagaimana dia tidak bisa membohongi perasaannya dia adalah seorang ibu, yang sudah susah payah mengandung dan membesarkannya.
***
Setelah beberapa hari dirumah sakit, Gisel segera membawa Ara kerumah. Gisel sudah menyiapkan segala keperluan Ara dari kasur bayi, baju, boneka dan perlengkapan bayi lainnya sudah disiapkan jauh" hari sebelum kelahiran Ara.
Gisel resmi menyandang gelar sebagai mama muda tanpa suami! bahkan dia belum menikah dengan pria mana pun, entah apa pendapat orang-orang nanti menilainya sebagai wanita murahan.
Ara sudah tertidur pulas, karena habis minum asi pemberian dari sahabatnya, yang sedang menyusui juga dia adalah Devi sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dan baru bertemu lagi akhir-akhir ini, dia tidak pernah berubah bahkan Devi rela menjadi ibu susu untuk Ara.
"Jangan nangis Ara," Gisel menggendongnya hati-hati. Gisel mengamati tangan Ara yang mengepal." Ara apa kau haus? baiklah mama akan membuatkan susu. Jangan nangis ya, sayang." Gisel membuka, mengeluarkan susu dari kulkas, Menghangatkannya sebentar didalam microwave, lalu memberikan susu itu untuk Ara.
🌻🌻🌻 **HAPPY READING🌻🌻🌻**
Malam ini hujan turun begitu deras suara petir menggelegar, angin bertiup kencang dari tadi sore, Korden dikamar Gisel terombang ambing kesana-kemari karena tertiup angin. Ia berlari segera menutup jendela karena air hujan masuk kedalam kamar.
Ara yang sedari tadi rewel, Gisel berusaha menenangkan Ara. Suara petir menggelegar diatas cakrawala lampu langsung padam pada saat itu , secara bersamaan Ara pun kembali menangis, ditengah suara tangisan Ara Gisel mendengar suara ketukan pintu. Tok...Tok...Tok." Siapa yang datang?malam-malam seperti ini bertamu kerumah orang?" Tanya Gisel pada dirinya sendiri dan akhirnya ia mengangkat kakinya menuju ruang tamu, menyingkap korden melihat dari balik jendela kaca. Ada seorang pria yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya mengenakan seragam keamanan. karena Gisel merasa kenal dengan orang itu maka dia langsung membukakan pintu.
"Ada apa pak?" Tanya Gisel kepada pak Slamet petugas keamanan kompleks perumahan yang dia tempati."Kenapa lampunya padam ya, pak?" tanya Gisel lagi.
"Oiya. Mbak Gisel gardu listriknya tersambar petir jadi ada perbaikan. Kira-kira besok baru bisa nyala kembali." Ucapnya menjelaskan pria berkumis tebal itu memang sangat ramah dengan penghuni kompleks tempat Gisel tinggal. Dia selalu menawarkan bantuan pada semua penghuni kompleks perumahan mewah tersebut.
"Kalau Mbak Gisel membutuhkan bantuan jangan sungkan, saya dan petugas keamanan lainnya akan membantu mbak Gisel. Apa mbak Gisel membutuhkan Senter atau lilin biar saya ambilkan dari post."
"Terima kasih atas bantuannya tapi saya rasa itu tidak perlu." Tolak Gisel dengan halus karena dia tidak ingin memiliki masalah dengan isteri pak Slamet yang begitu cemburuan.
"Oh iya gak papa mbak Gisel. Oiya ini anak mbak Gisel pantes cantik kaya mamanya, siapa namanya mbak?"
"Jung Ara Ardhiona Surya Baskara pak. Panggil aja Ara." Jawab Gisel seadanya.
"Nangis dari tadi, emang suaminya kemana mbak? kok gak mau bantuin jagain anak. Oh mungkin suami mbak Gisel sangat sibuk ya, saya belum pernah ketemu soalnya." Pertanyaan itu membuat Gisel merasa tidak nyaman." Maaf pak saya harus masuk kedalam takutnya Ara sakit gara-gara kelamaan diluar." Gisel tak menjawab pertanyaan pak Slamet dia segera masuk kedalam rumah lalu mengunci pintunya kembali.
***
Waktu menunjukkan pukul 00:00 WIB hujan masih menjatuhkan dirinya ke bumi, lampu belum nyala sampai sekarang. Ara kembali menangis, Gisel segera menggendong Ara menenangkannya sambil bersholawat tapi Ara masih tetap menangis.
Gisel menempelkan punggung tangannya dikening Ara." Ya Allah Ara kamu demam nak? Ara maafin mama karena baru tahu Ara demam, kita kerumah sakit sekarang ya nak?" Bibirnya memucat karena khawatir. Gisel segera mengambil tas dan kunci mobil yang berada disofa.
Gisel mempercepat langkah kakinya lalu mengunci pintu rumahnya. Dia segera masuk kedalam mobil duduk dibalik setir mobil, menginjak pedal gas menuju rumah sakit terdekat, sesekali pandangannya beralih ke kursi disebelahnya, disana terdapat Ara yang sedang tertidur di kursi sebelah supir yang sengaja dengan disain khusus untuk bayi.
Karena Gisel selalu membawa Ara kemanapun dia pergi, mobil Mazda CX-5 melintasi jalanan yang sedang ramai oleh pengendara lain. Gisel merasa aneh dengan mobilnya." Sial! kenapa harus ban kempes segala." Gisel segera meminggirkan mobilnya ke bahu jalan lalu menelpon temannya yang bekerja di bengkel.
Tidak ada cara lain Gisel segera turun dari mobil, jika memesan taksi akan memakan waktu lebih lama. Banyak pengendara berlalu lalang tapi apa peduli mereka, Gisel harus melakukannya sendiri karena dia tidak memiliki orang yang bisa dia andalkan.
***
Gisel berlari sembari menggendong Ara, menerobos derasnya hujan, perjalanan yang tidak jauh tapi cukup membuatnya basah kuyup, tubuhnya menggigil, bibirnya bergetar demi melindungi bayinya.
Setelah sampai dirumah sakit Gisel berlari menuju resepsionis untuk mengisi pendaftaran pasien. Agar Ara segera diperiksa oleh dokter, Gisel menunggu didepan ruang UGD berjalan ke sana kemari sembari menggigit kuku jari telunjuknya. Rambutnya yang setengah basah kini mulai kering dengan sendirinya.
Seorang dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah datarnya." Gimana keadaan Ara dok? apa dia baik-baik aja dok?" Tanya Gisel.
"Ara tidak ada yang harus dikawatirkan dia baik-baik saja. Ara alergi susu sapi jadi jangan berikan dia susu sapi ganti susunya dengan soya susu dari sari kedelai." Kata dokter Dina spesialis anak.
"Tapi saya tidak alergi susu sapi dok?"
"Mbak Gisel, alergi bisa disebabkan oleh genetik atau keturunan, mungkin mbak Gisel tidak memiliki alergi mungkin suami mbak papanya Ara?" Dokter Dina menjelaskan.
Ah. aku tidak tau bajing**n itu punya alergi atau tidak jika ia, itu wajar karena Ara darah dagingnya. Aku tidak habis pikir Ara punya papa yang pengecut seperti dia yang tidak mau bertanggung jawab memilih pergi begitu saja. Gumam Gisel yang masih ingat betul seorang pria yang meninggalkan Ara pada saat masih didalam perut.
"Oh, baik dokter saya mengerti. Saya akan lebih berhati-hati lagi."
"Ini resep obat yang harus mbak tebus," sambil memberikan selembar kertas yang berisi tentang resep obat Ara yang harus segera ditebus di apotik.
"Oh, iya terima kasih dokter kalau gitu saya pergi dulu." Pamit Gisel karena tak ingin meninggalkan Ara terlalu lama.
Ditengah perjalanan Gisel bertemu dengan suster." Dengan mbak Gisel?" Tanya suster dengan sopan.
"Iya benar, ada apa ya, suster?"
"Ini mbak Gisel harus segera melunasi biaya administrasi atas nama pasien Jung Ara Ardhiona Surya Baskara." sembari memberikan dokumen perincian biaya rawat inap Ara.
Gisel membaca dengan saksama. selembar kertas perincian biaya rawat inap Ara, cukup mahal baginya, apa lagi bulan ini banyak pengeluaran, Gisel menarik napasnya dalam berat memang tapi ini baru awal.
"Baiklah, saya akan segera melunasinya."
Pengeluaran bulan ini begitu banyak. Apalagi Gisel sudah lama tidak menulis novel online lagi, kebutuhannya semakin banyak terutama dengan Ara." Apa aku harus menjual mobil? Ah, tidak-tidak mobil itu adalah kerja kerasku menjadi penulis. Mobil penuh kenangan dan kerja kerasku aku tidak akan menjualnya." Kata Gisel bermonolog.
Gisel memberikan kartu kredit miliknya untuk melunasi biaya rawat inap Ara, saldo rekeningnya kian menipis. Gisel segera menuju apotik untuk menebus obat, dia berlari rambutnya terombang ambing kesana-kemari ketika ia berlari deru napas mengiri langkahnya.
Bruuk...! Gisel menabrak seorang pria didepannya. Pria bertubuh tegap, proposal dan wajah rupawan dengan gaya rambut two block seperti aktor drama Korea, mereka saling berpandangan." Mas Andre... Kenapa ada disini?" Tanya Gisel.
"Kau sendiri kenapa ada disini? kau sakit Gi?"
Semua orang menghujat, menghukumnya dan mereka juga menghakiminya, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Egois memang tapi biarlah begitu, Gisel membaca komentar hujatan di kolom komentar di platform dimana ia menulis novel online.
"Gak nyangka ternyata mbak Gisel yang kita kenal baik-baik ternyata hamil diluar nikah."
"Benar, saya kira juga mbak Gisel wanita baik-baik eh ternyata munafik."
"Diem dirumah ternyata lagi bikin anak haram." sahut yang lain.
"Saya gak Sudi baca novel mbak Gisel lagi, buat apa baca karya sampah dan membantu dia membesarkan anak haramnya." Ucap seorang Readers setianya, yang tidak lain adalah tetangganya yang paling loyal.
Komentar kebencian pun memenuhi kolom komentar yang dulunya selalu dipenuhi dengan dukungan dan pujian. Tapi bagaikan roda yang selalu berputar kemarin Gisel berasa diatas awan dan sekarang ia jatuh kedalam jurang yang terdalam.
"Gak Sudi baca novel wanita ******." Tulis salah satu Readers.
"Apa lagi buat menghidupi anak haramnya, dari luar terlihat baik eh aslinya kaya pelacur." Tulis yang lain.
"Mbak Gisel yang gak punya bakat dan wanita munafik berhenti saja menulis novel gak ada lagi readers yang mau baca novel mbak Gisel setelah ini!"
Dadanya terasa sesak, berulang kali ia menghirup napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri, tapi sayang dia terlalu lemah dengan semua ini. Gisel merasa tidak sanggup membaca semua komentar negatif itu. Dia menutup laptopnya kembali berusaha melupakan semua yang terjadi. Jika dia harus berhenti menulis itu artinya dia harus mencari pekerjaan lain.
Gisel segera menghapus air matanya kasar lalu berjalan ketempat Ara, yang sedang terlelap dalam tidurnya. Rasa sakit yang dia rasakan seolah hilang begitu saja ketika ia melihat Ara yang menjadi sumber kebahagiaan bagi Gisel saat ini.
Aku harus kuat, demi Ara aku harus kuat . Jangan dengarkan mereka yang gak tau permasalahannya bisa menghakimiku semau mereka. Aku gak seburuk yang kalian kira aku bukan wanita ******. Tenang Gisel roda berputar kemarin kamu masih diatas sekarang Allah sedang mengujimu tenanglah Allah selalu bersama orang-orang yang selalu sabar. Batin Gisel menguatkan hati sendiri.
Gak! aku gak boleh rapuh, aku harus kuat. Ini semua demi Ara, gak boleh ngeluh aku pasti bisa melewati semua ini. Ucap Gisel dengan penuh keyakinan.
***
Tok...Tok...Tok... Suara ketukan pintu yang cukup keras, seperti seseorang yang ingin menagih hutang. Gisel segera membukakan pintu dengan langkah tergopoh-gopoh dia segera membuka pintu dan menampakkan dua pria bertubuh besar terdapat tato naga dilehernya. Dan otot lengan yang terbentuk sempurna , Gisel mengambil jarak dengan mereka berdua.
"Ada apa ini?" Tanya Gisel yang tak mampu menyembunyikan rasa paniknya. Keringat dingin membasahi keningnya tangannya gemetar.
"Maaf Mbak Gisel ada harus segera mengosongkan rumah ini. Anda telah menunggak pembayaran selama empat bulan, jadi saya mohon kerja samanya. Sebelum kami menyeret mbak Gisel secara paksa!" Kata seorang pria yang memiliki tato naga dilehernya.
"Saya janji. Saya akan membayar tunggakan pembayaran cicilan rumah, tapi saya mohon minta pengertiannya saya akan berusaha secepat mungkin saya akan membayarnya." Janji Gisel bahkan dia tidak tau bagaimana caranya nanti membesarkan Ara. Gisel hanya seorang wanita pengangguran saat ini, dia tidak mungkin menulis novel online lagi setelah semua yang terjadi.
"Tidak bisa. Anda harus segera meninggalkan rumah ini." Sahut yang lainnya seraya menarik Gisel keluar.
" Tolong, beri saya waktu untuk mengemasi barang-barang saya." Pinta Gisel pada mereka berdua. Dirinya segera mengemasi barang-barangnya dan milik Ara, kedalam koper besar miliknya, sedangkan mereka berdua menunggu didepan.
Dengan hati-hati Gisel menggendong Ara yang sedang terlelap tidur diatas kasur bayinya, melangkahkan dengan terpaksa menarik kopernya berjalan keluar rumah dengan rasa yang begitu berat.
Rumah ini adalah hasil kerja kerasnya. Keringat dan air mata! hasil kerja keras sebagai penulis yang dia tabungkan bertahun-tahun, tapi belum melunasi cicilan rumah dengan terpaksa dia harus mengangkat kakinya dari rumah ini.
Cuaca yang begitu terik matahari begitu menyekat tubuh siang ini. Gisel yang sedang berdiri di pinggir jalan menunggu pesanan taksinya datang. Gisel mengarah kipas kecil yang dia bawa kearah Ara agar dia tidak merasa kepanasan.
Tak lama yang ditunggu pun datang taksi mengantar Gisel kesebuah rumah. Seseorang yang selalu membantunya dikala dia dalam masalah." Makasih pak." Ucap Gisel pada seorang supir taksi yang mengantarkannya.
Menarik kopernya lalu mengetuk pintu rumah Diva sahabatnya, Tok...Tok...Tok." Diva..." Panggil Gisel dari balik pintu tak lama seseorang seumur dengannya menggendong anak laki-laki setahun lebih tua daripada Ara.
"Hai... Ada apa Gi?" Tanya Devi yang melihat Gisel membawa koper besarnya.
"Aku..." Tak melanjutkan perkataannya.
"Ya sudah ayo masuk kasihan Ara diluar kepanasan." Ajak Devi mereka pun segera masuk kedalam rumah.
Gisel menceritakan semua permasalahannya yang sedang dihadapinya sekarang, hanya Devi yang selalu mengerti Gisel dan selalu menerima keadaannya dalam hal apapun.
"Ya udah. Gi sementara kamu sama Ara tinggal disini dulu aja." seraya menepuk-nepuk pundak Gisel.
"Makasih ya Dev, kamu selalu bantuin aku maaf aku selalu ngerepotin kamu."
"Ah, nggak ngerepotin sama sekali justru aku malah senang bisa membantumu. Ara nanti main sama kak Kevin ya." Kevin adalah putra sulungnya Devi sudah menikah dengan Darren yang bekerja disebuah perusahaan yang bekerja sama dengan Korea Selatan.
"Aku harus masak buat makan malam . Mas Darren pulang lebih awal nanti," lalu menidurkan Kevin dikamarnya begitupun dengan Ara yang sedang tertidur dikamar tamu.
Mereka berdua sedang berkutat didapur memasak untuk makan malam, banyak menu yang harus dimasak karena Devi lebih suka menyuguhkan berbagai menu makanan yang beragam.
"Gi, kamu udah bisa lupain dia?" Tanya Devi seraya menumis brokoli kesukaan Darren.
"Dia siapa?" Tanya Gisel berpura-pura lupa karena sampai sekarang hatinya masih untuk dia.
Irisan bawang merah membuatnya perih Gisel segera mengambil tissue untuk mengelap air matanya." Aku belum bisa Dev. Melupakan dia aku udah berusaha tapi ini begitu sulit."
Menit demi menit berlalu semua menu sudah tersaji dimeja makan. Suara klakson mobil Darren didepan rumah menandakan dia baru pulang kerja. Devi segera menyambut kepulangan Darren yang baru pulang kerja.
Setelah menyambut suaminya, Devi membawakan tas kerja milik Darren didalam kamar mandi dia sudah menyiapkan perlengkapan mandi dan baju ganti yang biasa dipakai Darren ketika ia dirumah, kaos oblong dan celana pendek.
" Mas, sementara Gisel tinggal dirumah kita ya, dia lagi ada masalah bolehkan?"
"Haaa?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!