‘Kesulitan hidup itu memang pahit sekali rasanya. Tapi percayalah, manisnya akan segera datang menghampirimu jika kau terus bersabar.’
*****
Resti Belangi sedang fokus memacu sepeda bututnya memecah jalanan ibu kota yang padat merayap. Sepeda bekas pakai yang diberikan oleh abang tirinya itu sudah berdecit dan berkarat di bagian rantainya. Pertanda minta diganti dengan yang baru. Bahkan kalau dilihat dengan teliti, velgnya sudah agak peyot.
Gadis berumur 22 tahun itu terus mengayuh sepeda itu menuju kesebuah gedung perkantoran. Kebetulan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah mendapatkan pemberitahuan kelulusannya dalam wawancara beberapa hari yang lalu.
Padahal dia hanya tamat SMA saja. Tapi untungnya perusahaan itu tidak mementingkan pendidikan formal bagi pelamar tahun ini. Jadi Resti ikut serta mendaftar untuk mendapatkan pekerjaan itu. Pengalamannya bekerja tidak diragukan lagi. Karna sudah hampir seluruh hidupnya ia habiskan untuk bekerja. Ya walupun itu hanya pekerjaan sampingan yang sama sekali tidak sebanding dengan pekerjaan kantoran, tapi itu sangat membantu Resti untuk lulus tes wawancara.
Rambut hitam lurusnya diikat serapi mungkin. Walaupun penampilannya masih bisa dikatakan jauh dari kata rapi. Kemeja putih yang nampak agak lusuh itu adalah satu-satunya kemeja paling bagus yang dimilikinya saat ini. Warnanya sudah berubah menjadi putih gading. Padahal awalnya tidak seperti itu. Sedangkan celana hitam yang sedang ia pakai merupakan milik tetangganya yang ia pinjam kemarin.
Dengan terus mengembangkan senyumnya, Resti mengayuh sepedanya. Ia sangat bersemangat. Bagaimana tidak? Keberuntungan seperti ini tidak akan dia dapatkan untuk kedua kali. Jadi dia berjanji didalam hati untuk bekerja dengan sepenuh hati selama masa magang. Jika dia bisa bekerja dengan baik, kabarnya dia bisa diangkat menjadi karyawan tetap. Itu juga jika dia berhasil melewati tiga bulan masa training yang ditetapkan oleh perusahaan.
“Eh... Mbak,, Stop,, stop,, stop,,” ujar seorang petugas satpol-pp menghentikan Resti.
Dengan terpaksa, Resti menghentikan sepedanya. Dengan sebelah kakinya yang masih bertengger di pedal, Resti menatap heran kepada petugas laki-laki itu.
“Kenapa Pak? Saya buru-buru.” Ujar Resti.
“Maskernya mana Mbak?” Tanya petugas itu lagi.
Seketika Resti meraba bagian wajahnya. Ternyata dia lupa mengenakan masker hari ini. “Aduh, saya lupa Pak. Tadi buru-buru.” Jawab Resti beralasan.
Petugas itu hanya menghela nafas saja. Tatapannya seperti tidak percaya dengan ucapan Resti.
“Beneran Pak. Sumpah.” Ujar Resti kemudian dengan membuat tanda dengan dua jarinya. Menatap serius kepada petugas itu.
“Mbak tau kan kalau sekarang bepergian itu wajib menggunakan masker?” Tanya petugas itu lagi.
“Iya Pak. Saya tau. Biasanya juga saya pakai kok. Hari ini kebetulan saya lupa karna buru-buru. Hari ini hari pertama saya bekerja Pak.” Jelas Resti panjang lebar. Berusaha meraih simpati dari si bapak petugas agar mau melepaskannya kali ini.
Wajah Resti nampak sangat meyakinkan, jadi petugas itu hanya menegurnya saja kemudian memberikan sebuah masker kepada Resti.
“Nanti jangan diulangi lagi ya Mbak. Sediakan terus masker di dalam tas. Biar kalau keluar sewaktu-waktu tidak repot.” Jelas petugas itu lagi.
“Iya pak. Iya. Saya janji.” Ujar Resti lagi. Tersenyum senang karna petugas itu akhirnya membiarkannya pergi. “Terimakasih pak.” Imbuhnya sambil mengenakan masker ke mulut dan hidungnya.
Resti kembali mengayuh sepedanya. Kali ini dengan lebih cepat. Karna waktunya sudah terpotong beberapa menit karna perihal masker tadi. Sedikit merepotkan memang. Gara-gara pandemi virus membuat semua orang harus menjaga diri, dan salah satunya dengan menggunakan masker.
Tidak biasanya juga Resti lupa mengenakan masker. Mungkin saking bahagianya mendapat pekerjaan, jadi sampai lupa semuanya. Ia bahkan tidak memperhatikan jalan dengan teliti, sampai,
BRAK.!!!!!!
Karna kurang memperhatikan jalan yang ada didepannya, sepeda Resti menabrak sebuah mobil yang sedang terparkir dipingging jalan. Karna benturan yang sangat keras itu membuat Resti hampir terpental kedepan. Dia mengaduh saat dadanya terantuk stang sepeda dengan keras. Menimbulkan rasa nyeri disana.
Belum sadar dengan akibat kecelakaan kecil itu, Resti masih memegangi dadanya saat seorang pria mendekat dan menatap Resti dan mobil itu dengan tatapan dingin secara bergantian.
Pria dengan penampakan gagah itu terus saja mendekat kepada Resti sambil terus meletakkan sebelah tangannya di kantung celananya.
Setelah sampai di belakang mobil, pria itu kemudian berjongkok dan melihat bemper mobil yang sudah sedikit penyok itu dengan teliti.
Resti yang juga sedang memperhatikan ban sepedanya yang penyok tidak tau kalau ada manusia dibelakangnya yang sedang menatapnya dengan tatapan dingin yang mematikan.
“Astaga.!!” Pekik Resti saat ia menoleh dan mendapati seonggok pria sedang berdiri dibelakangnya. Dari jarak satu meter, Resti bisa mencium aroma wangi maskulin dari pria itu.
“Apa yang sudah kau lakukan kepada mobilku?” Tanya pria itu dengan intonasi yang terdengar dingin dan menyebalkan.
“Ha?? Ehm,, itu,, aku,,, maaf, aku tidak sengaja menabraknya. Aku sungguh minta maaf tuan. Tapi sepedaku juga ringsek.” Jelas Resti dengan terbata. Karna aura pria itu sangat tidak biasa. Apalagi tatapannya, membuat Resti mati kutu.
“Apa salah mobilku kalau sepeda busukmu ikut ringsek?” Tanya pria itu lagi.
Sangat menyebalkan!. Astaga, aku sudah hampir terlambat. Bathin Resti dengan wajah yang khawatir.
Padahal jarak gedung kantor yang akan dia tuju hanya seratus meter didepan sana. Tapi ada saja yang menghalangi. Benar-benar sial.
“Tuan, maafkan saya. Saya berjanji akan membayar semua biaya perbaikannya.” Ujar Resti mencoba meyakinkan pria pemilik mobil itu. Kemudian ia segera mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dan menuliskan nomor ponselnya disana. “Ini nomor ponsel saya. Tuan bisa mengirimkan biaya tagihan perbaikan mobil tuan kenomor itu. Dan saya berjanji akan membayarnya untuk anda.”
“Apa?!” Tanya pria itu dengan penekanan. Menatap Resti dengan dahi yang berkerut. Ia tidak kunjung meraih kertas yang disodorkan oleh Resti.
“Saya tau sekarang ini tuan pasti menganggap saya aneh, tapi saya benar-benar tidak punya waktu lagi tuan. Hari ini adalah hari pertama saya bekerja. Saya tidak ingin terlambat. Jadi tolong lepaskan saya, dan saya berjanji akan membayarnya. Ini nomor ponsel saya, tolong terimalah.” Mohon Resti lagi.
Pria itu menerima kertas yang berisi nomor ponsel Resti. Tapi tidak serta merta mempercayai ucapan gadis itu. Karna ia segera mengetik nomor itu diponselnya dan menelfonnya. Ia ingin memastikan kalau nomor itu benar nomor gadis yang sudah merusak mobilnya.
Setelah memastikan kalau nomor itu adalah benar nomor Resti, pria itu kemudian mengangguk percaya sambil meremas kertas berisi nomor yang Resti berikan tadi, kemudian membuangnya ketempat sampah yang berada tidak jauh dari mereka.
Resti tersinggung? Tentu saja. Sikap pria itu sangat menyebalkan. Kalau Resti tidak merasa bersalah, ia pasti sudah memaki pria itu. Tapi sekarang Resti menahan diri karna disini dialah yang bersalah sudah merusak mobil pria itu.
“Oke. Aku akan mengirimkan biaya perbaikannya padamu. Aku harap kau tidak terlalu terkejut.”
‘Tidak perlu mengasihaniku. Lagipula setiap orang harus berjuang untuk hidupnya masing-masing.’
*****
Dengan susah payah, Resti menuntun sepedanya yang sudah ringsek ban depannya menuju ke sebuah gedung kantor tepatnya bekerja mulai hari ini. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan aneh, ada juga yang kasihan. Walaupun Resti berusaha untuk tidak mempedulikannya, tapi wajahnya tetap memerah karna malu.
Kesialannya pagi ini lengkap sudah. Ban depan sepedanya yang peyot seolah menunjang penampilannya yang sedikit kumal itu untuk mempermalukannya.
Resti memarkirkan sepedanya ditempat khusus sepeda yang tersedia dilahan parkir gedung berlantai 28 itu. Hanya ada sepedanya saja yang diparkir disana. Setelah selesai, dia kembali merapikan pakaiannya yang entah kenapa tidak bisa terlihat rapi. Tapi Resti tidak peduli. Ia melangkahkan kakinya dengan mantap masuk kedalam lobi gedung. Ini adalah saatnya ia menjemput keberuntungan rezeki yang sudah lama ia impikan.
Saat masuk, Resti langsung disambut dengan pemandangan interior lobi yang sangat mewah. Seperti di lobi hotel yang pernah ia lihat di tv. Ada sofa mewah yang bertengger di beberapa sudut lobi. Lantai marmer yang mengkilat dengan corak yang unik. Dan juga orang-orang yang berlalu lalang dengan pakaian mereka yang indah dan rapi.
Resti sempat minder saat melihat para karyawan yang berlalu lalang dengan penampilan mereka yang nampak sangat anggun dan cantik. Kemudian memandangi penampilanya sendiri. Jauh, tapi tidak terlalu jauh. Karna pada dasarnya, wajahnya sudah nampak cantik secara alami. Hanya pakaiannya saja yang kurang menunjang penampilannya itu.
Resti melanjutkan perjalanannya menuju ke meja resepsionis. Dengan sopan dia bertanya kepada pria dan wanita yang berdiri dibalik meja itu. Penampilan mereka tidak kalah rapi. Cantik, dan tampan.
“Em,, permisi Mbak.”
“Ya Mbak ada yang bisa saya bantu?” Jawab resepsionis wanita itu dengan ramah.
“Em,, saya karyawan magang baru..” Kata Resti kemudian menyodorkan kartu tanda pengenalnya kepada resepsionis itu.
Dengan seksama resepsionis wanita itu memperhatikan kartu itu, kemudian mengetik sesuatu di komputernya, lantas mengangguk seraya menyerahkan kartu itu kembali kepada Resti.
“Mari ikut saya Mbak.” Kata repsionis wanita itu keluar dari balik mejanya dan berjalan menuju ke pintu lift yang berada di bagian dalam.
Dengan patuh Resti mengikuti resepsionis itu. Sambil sesekali melirik pantulan si resepsionis dari dinding lift yang terbuat dari kaca. Resepsonis itu nampak terus menyunggingkan senyum. Tidak ada yang bicara. Mereka berdua sibuk dengan fikirannya masing-masing.
Apa tidak capek senyum terus begitu? Seloroh Resti dalam hati masih dengan memperhatikan si resepsionis dari pantulan kaca.
Lift berhenti di lantai 9. Dan resepsionis wanita itu mempersilahkan Resti untuk keluar dan mengarahkannya ke sebuah ruangan. Disana sudah ada tiga orang yang sedang berdiri. Sepertinya mereka adalah karyawan magang sama seperti dirinya.
Resti mengikuti instruksi resepsionis wanita itu dengan ikut berdiri dibarisan. Sebelumnya ia mengangguk kepada tiga orang yang juga sedang berdiri dengan ramah.
Setelah berbicara sesuatu kepada seorang pria berkemeja dibalik meja yang paling lebar diantara meja-meja yang ada diruangan itu, resepsionis itu mengangguk kepada Resti kemudian pergi dari sana.
“Baiklah. Sepertinya sudah semua hadir.” Ujar pria berdasi itu. Masih muda. Umurnya mungkin sekitar 26 atau 27 tahun.tapi pembawaannya bijaksana. “ Perkenalkan, nama saya, Khofid. Saya adalah manajer di tim ini.” Jelas pria itu lagi.
Xixixixixix...
Sontak semua tatapan mengarah kepada Resti yang sedang cekikikan. Dia sedang mentertawai nama Pak Khofid yang entah kenapa ditelinganya malah terdengar seperti nama virus. Covid.
“Ehem.!” Pak Khofid pun berdehem dengan sengaja.
Menyadari dirinya sedang menjadi perhatian, Restipun langsung menghentikan aksinya dengan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menahan diri sekuat tenaga agar tidak tertawa.
“Silahkan perkenalkan diri kalian.” Ujar Pak Khofid memberi komando pertamanya.
“Nama saya Mayang Pak,” jelas wanita pertama yang ada diujung.
“Saya Dimas Pak.” Jelas pria yang berdiri di deretan kedua.
“SayaTeguh Pak.” Jelas pria berkaca mata yang ada ditengah.
“Saya Resti pak.” Jelas Resti dengan masih menahan tawa.
“Baiklah, saya akan menunjukkan meja kalian masing-masing. Ikuti saya.” Jelas Pak Khofid kemudian berjalan memimpin kelima karyawan baru itu.
Sementara Resti masih terus menahan tawanya dengan sekuat tenaga.
Pak Covid. Hahahahahahaha. Tawanya dalam hati.
Hari pertama bekerja dihabiskan dengan berkeliling kantor dengan Pak Khofid sendiri yang memandu mereka. Mengenalkan mereka kepada job desk masing-masing.
Diantara ke empat karyawan baru itu, Restilah yang paling antusias. Dia selalu mengangguk dengan mantap saat Pak Khofid menjelaskan sesuatu.
Saat hendak pulang karna jam kantor telah selesai, Resti berjalan gontai menyusuri lobi gedung. Hari ini dia merasa sangat lelah. Ditambah dengan dadanya yang terus terasa nyeri. Saat dia melihatnya dikamar mandi tadi, ada luka lebam disana. Mungkin karna terbentur swpeda tadi, dan semakin lama semakin terasa sakit. Membuatnya sedikit merasa sesak untuk bernafas.
Disela pandangannya yang mulai kabur, Resti menangkap sosok seorang pria yang sedang berjalan memasuki lobi. Ia terbelalak saat mengetahui kalau pria itu adalah si pemilik mobil yang ia rusak tadi pagi.
Dengan segera Resti mempercepat langkahnya sambil mengerutkan dahinya mendekati pria itu dan membelalak kepadanya.
“Tuan? Apa yang anda lakukan disini? Apa anda mengikutiku kemari? Aku kan sudah bilang kalau aku pasti akan membayar biaya perbaikannya.” Ujar Resti dengan mengeratkan giginya. Ia merasa tidak nyaman karna orang-orang disekeliling mereka melihatnya.
Pria itu hanya mengernyitkan dahi saja. Menatap aneh kepada Resti yang terus mengoceh entah apa.
“Jun.!!” Panggil seorang wanita dengan gaya yang sangat anggun mendekat kearah mereka.
Pria itu dan juga Resti langsung menoleh kearah datangnya suara.
“Sedang apa kau disini?” Tanya wanita itu lagi.
“Tidak ada apa-apa.” Jawab Jun santai.
Resti memandangi wajah wanita itu sambil mengingat-ingat, kalau sepertinya ia pernah bertemu dengannya.
“Oh, Bu wakil Direktur. Maaf Bu, ini teman saya datang kemari untuk menemui saya.” Ujar Resti mencoba menjelaskan kedatangan pria asing itu kepada Ana, wakil direktur perusahaan GD Group tempatnya bekerja. Resti mengingat wanita itu, karna tadi Pak Khofid sempat mengenalkan mereka sekilas.
“Hah??” Ana yang masih belum mengerti jalan ceritanya mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Ia menatap Jun seperti sedang meminta penjelasan.
“Maaf Bu, kami permisi dulu.” Ujar Resti keburu menarik tangan pria itu keluar dari lobi. Bahkan Jun belum sempat membuka mulutnya untuk menjawab situasi aneh itu.
Ana hanya terbengong saja melihat hal paling tidak biasa itu. Jun yang tidak suka disentuh oleh wanita manapun itu, benar-benar menurut saat Resti menariknya begitu saja. Dan itu benar-benar terjadi didepan mata Ana.
“Apa itu? Apa dia benar-benar Jun yang kukenal?” Ujar Ana dengan dirinya sendiri. Karna biasanya Jun akan langsung menepis tangan wnaita manapun yang berani menyentuhnya. “Waaww! Aku harus segera memberitahu Papa dan Mama.” Imbuhnya berniat memberitahu keanehan Jun kepada Gama dan Ayyara.
‘Benarkah rencana Tuhan itu lebih indah?’
*****
Resti terus saja menarik lengan Jun keluar dari dalam gedung. Setelah sampai di samping gedung yang tidak ada orang disana, Resti melepaskan lengan Jun dan langsung memelototinya.
“Tuan, kenapa anda mengikutiku sampai kesini? Kalau atasanku tau, aku bisa kena masalah.” Ujar Resti dengan penekanan.
“Kenapa juga aku harus mengikutimu?” Balas Jun.
“Itulah yang aku tanyakan tuan, kenapa anda mengikutiku? Apa anda tidak percaya kalau aku akan membayar semua biaya perbaikannya? Astaga, tuan.” Dengus Resti merasa frustasi. Ditambah dengan dadanya yang semakin terasa nyeri. “Aku kan sudah memberikan nomor ponselku padamu. Dan kau juga sudah mengonfirmasinya.”
Pria itu sungguh menyebalkan. Dihari pertamanya bekerja, ia sudah terlibat dengan banyak masalah. Entah kenapa pria itu terus saja mengikutinya, padahal ia sudah berjanji akan membayarnya. Apa pria itu tidak mempercayainya? Kalau untuk biaya perbaikan mobil saja, yang rusaknya juga tidak parah-parah amat, Resti masih punya sedikit sisa uang di rekeningnya. Ya walaupun uang itu ia kumpulkan untuk membeli sepeda yang baru. Tapi itu hanyalah sebuah rencana. Selebihnya, takdir yang punya kendali.
“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya.....” Jun bahkan tidak bisa meneruskan kalimatnya karna Resti menatapnya dengan tajam. Entah kenapa dia harus menjelaskan situasinya kepada gadis yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya itu.
Resti mendengus sambil menahan sakit didadanya yang semakin menjadi-jadi. Ia bahkan tidak bisa lagi mendengar kalimat terusan yang diucapkan oleh pria dihadapannya. Pandangannya mulai menghitam. Nafasnya mulai tersendat-sendat. Dadanya terasa seolah sedang ada sebuah batu besar yang menindihnya. Sesak.
Tidak mau berlama-lama berurusan dengan pria menyebalkan itu, Resti berbalik dan berniat hendak meninggalkan pria itu.
Bruk!
Resti tidak sanggup lagi menahan beban tubuhnya sendiri. Dan akhirnya ia jatuh terjerembab menghantam hamparan rumput dibawahnya.
Jun yang melihat itu langsung berlari mendekat. “Hei! Kau kenapa?!” Teriak Jun. Ia panik karna gadis itu tiba-tiba pingsan dihadapannya.
Beberapa orang yang berada tidak jauh dari mereka juga segera mendekat dan membantu Jun untuk membangukan gadis itu. Tapi Resti tetap tidak bergeming.
Dengan sigap Jun langsung membopong tubuh lemah Resti kearah tempat parkir dimana mobilnya berada. Ia segera membaringkan gadis itu di jok belakang mobil sedan mewahnya dan segera tancap gas menuju kerumah sakit terdekat. Dan rumah sakit itu adalah rumah sakit milik keluarganya.
Setelah sampai dirumah sakit, Resti langsung ditangani oleh dokter di UGD. Jun mengusap ujung hidungnya untuk mengalihkan rasa panik dan khawatir.
“Tuan muda?” Tanya seorang wanita yang datang dari arah belakangnya.
“Tante Dewi.”
“Ada apa? Siapa yang sakit?” Tanya Dewi langsung menginterogasi.
“Itu, ehm, entahlah. Aku juga tidak tau. Gadis itu tiba-tiba saja pingsan dihadapanku.” Jelas Jun terbata.
“Gadis?” Tanya Dewi yang memang belum tau siapa pasien yang baru saja dibawa oleh Jun.
Tumben sekali. Biasanya dia tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bathin Dewi.
“Tunggu disini, aku akan segera kembali.” Ujar Dewi. Istri Arfan yang memang seorang dokter itu kemudian masuk kedalam ruangan tindakan.
*********
Jun memperhatikan wajah pucat Resti yang masih terlelap diatas ranjang rumah sakit dengan selang infus yang terpasang dilengan kanannya. Sudah hampir satu jam, tapi gadis itu belum menampakkan tanda-tanda akan sadar.
Jun duduk disofa dengan bersedekap dan menyilangkan kaki. Dan entah kenapa dia harus menungguinya selama itu.
Perlahan kesadaran Resti kembali. Ia mulai bisa membuka matanya sedikit. Dan dengan mata yang sedikit terbuka itu, ia bisa melihat Jun yang sedang menatapnya tanpa ekspresi. Resti berusaha hendak bangun, tapi dadanya masih terasa sangat sakit. Sakitnya luar biasa. Ia meraba dadanya, dan ia bisa merasakan kalau dadanya sudah diberi sesuatu, entah apa itu, Resti tidak yakin.
“Kau sudah bangun?” Tanya Jun masih di posisinya duduk dan tanpa ekspresi.
“Apa kau membawaku kemari tuan?” Tanya Resti. Dia tau kalau sedang berada dirumah sakit dari selang infus yang terpasang dan dari model ranjang yang ia tiduri. Dikamar itu hanya ada dua ranjang saja. Satu yang ia tempati,dan satunya lagi kosong.
“Kalau kau sudah bangun. Aku pergi dulu.” Ujar Jun acuh-tak acuh. Ia bahkan tidak mempedulikan pertanyaan dari Resti.
“Tuan. Tunggu!” Pekik Resti dengan suara yang tertahan karna dadanya sakit.
Jun menghentikan langkahnya dan memalingkan wajahnya kepada Resti.
“Tunggu aku. Aku juga harus pergi.” Ujar Resti kembali.
Jun mengerutkan alisnya. Heran dengan ucapan gadis itu. Dia bahkan bisa melihat kalau gadis itu menahan rasa sakit yang luar biasa saat mencoba untuk bangun.
“Kau mau kemana?” Tanya Jun pada akhirnya.
“Aku harus pulang. Karna besok aku harus pergi bekerja.” Jelas Resti yang berusaha untuk berjalan walau membungkuk dan tertatih.
“Apa pekerjaan lebih penting dari tubuhmu?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Jun sangat melukai hati Resti. Ia menghentikan langkahnya dan menatap Jun dengan jengah. “Ya.” Jawabnya tegas.
“Kenapa?”
“Karna aku membutuhkan uangnya.”
“Apa uang sepenting itu sampai kau rela mengorbankan tubuh dan kesehatanmu?” Entah kenapa Jun harus menanyakan hal itu.
“Maaf ya tuan. Mungkin hidup anda terlalu nyaman, jadi tidak perlu mengkhawatirkan masalah uang. Tapi berbeda denganku. Aku mengerahkan seluruh kemampuan dan sisa-sisa keberuntunganku pada pekerjaan ini.” Jelas Resti berapi-api. Ucapan Jun sangat menyinggungnya. Pria itu tidak tau kalau hidup itu tidak mudah tanpa adanya uang.
“Terserah kau saja.” Ujar Jun kemudian meraih jas yang tersampir di sandaran sofa dan pergi meninggalkan Resti yang masih menatap bekas Jun dengan dada yang bergemuruh.
“Dasar arogan. Sepertinya dia hidup dengan berkecukupan, sehingga dia bisa bicara seperti itu. Dia belum sadar betapa beruntungnya dia karna memiliki orang tua yang mampu menghidupinya seperti itu.” Dengus Resti pada dirinya sendiri. Ia berusaha berjalan keluar dari ruangan itu.
Dengan tertatih ia berjalan menuju ke meja perawat. Salah seorang perawat yang melihatnya langsung menghentikannya.
“Mbak mau kemana?” Tanya perawat wanita itu.
“Saya harus pulang suster.” Jawab Resti.
“Mbak masih butuh perawatan intensif mbak. Tulang rusuk mbak ada yang retak sedikit. Mbak belum diperbolehkan untuk pulang.” Tegas perawat itu.
Oh, pantas saja dadanya sakit luar biasa. “Jadi berapa lama saya harus dirawat disini suster?”
“Paling tidak seminggu setelah dokter memperbolehkan mbak untuk pulang.” Jelas perawat itu lagi.
“Apa?! Seminggu? Saya tidak akan punya biaya untuk menginap selama itu.” Jujur Resti.
“Mbak tidak perlu khawatir masalah biaya. Karna suami mbak sudah melunasi semua biayanya.”
Penjelasan terakhir itu sungguh membuat mata Resti terbelalak. Dan membuat suaranya tercekat ditenggorokan.
Suami? Siapa yang dia maksud? Apa pria arogan itu? Tidak mungkin... Teriak Resti dalam hati.
Hari ini benar-benar hari sial baginya. Dia fikir setelah ia diterima diperusahaan itu, semua akan berjalan seperti yang direncanakan dan diharapkannya. Tapi nyatanya tidak semudah itu.
Ia ingin protes, tapi pada siapa? Resti tidak tau harus menyalahkan siapa atas jalan hidupnya yang menyedihkan itu. Ia terus berharap bahwa tuhan akan memberinya sedikit saja keberuntungan lain didalam hidupnya.
Memang benar, dia sudah mendapatkan pekerjaan yang hampir mustahil ia dapatkan. Tapi hanya sampai disitu. Disaat dia mulai menyusun rencana-rencana indahnya, ada saja hal yang menghalanginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!