Aku terbangun dari tidurku. Namun, hanya gelap yang kurasakan. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku tak bisa bersuara. Lalu, aku mencoba menggerakkan tanganku, tapi tetap tak bisa, sepertinya tanganku terikat dengan kuat. Kenapa aku ini? Apa aku diculik.
"Ehhhh … ehhh …." Aku berusaha berteriak.
"Diamlah, Nona. Sebentar lagi kita akan sampai." Kudengar suara laki-laki yang berada tepat di sampingku.
Jangan-jangan, aku benar-benar diculik. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Seingatku, tadi aku sedang menunggu bus sendirian. Kenapa sekarang aku ada di sini? Apa tadi aku pingsan?
Saat ini, sepertinya aku sedang berada di sebuah mobil, karena aroma khas yang ku hirup ini sangat familier. Mobil siapa ini? Kenapa rasanya seperti mobil murahan? Kursinya sama sekali tak nyaman.
Aku terus menggeliat, meronta-ronta ingin lepas. Siapa sih mereka? Berani sekali menculikku, mengikat tanganku dengan begitu kuat.
Ckiittt….
Mobil butut ini berhenti juga. Aku sangat ingin teriak rasanya.
"Nona, bekerjasamalah dengan kami, agar kami tidak perlu menyakiti Nona Kimmora," kata laki-laki di sebelahku.
Jadi, mereka mengenalku. Lalu, kenapa berani sekali mereka memperlakukanku seperti ini? Awas saja, aku akan laporkan mereka pada kakakku nanti!
Aku merasakan tangan besar yang menarikku keluar.
"Ayo Nona, kita sudah sampai." Laki-laki itu memaksaku turun dari mobil.
Tanganku masih diikat, mulutku masih dibekap, dan mataku juga masih ditutupi kain hitam.
Di mana aku?
Dua tangan besar menuntun langkahku, mereka masih tak ingin melepaskan tanganku. Aku tak sanggup melawan dua tangan kekar itu, dan akhirnya aku pasrah.
Sekarang, aku telah didudukan di sofa. Rasanya lebih lembut dari kursi mobil butut tadi.
"Tuan, Nona Kimmora sudah aman." Kudengar suara laki-laki yang tadi duduk di sebelahku saat di mobil.
"Bagus. Buka penutup mata dan mulutnya! Dia akan segera dirias," perintah seorang yang menjadi lawan bicaranya.
Tunggu, bukankah itu suara Papa. Untuk apa aku dirias? Apa Papa juga yang menculikku?
"Baik, Tuan," jawab laki-laki di sebelahku dengan patuh.
"Jangan biarkan dia kabur, aku akan mengurus yang di bawah." Suara yang mirip Papa itu perlahan menghilang.
Akhirnya, penutup mataku dibuka. Aku dapat melihat dua orang bertubuh besar yang tadi hanya bisa kudengar suaranya. Salah satu dari mereka lalu membuka kain yang menutup mulutku. Kini, mata dan mulutku terbebas.
"Apa yang kalian lakukan?" teriakku dengan kencang.
Aku sungguh kesal karena diperlakukan dengan kasar. Kemudian, aku melihat sekeliling ruangan, ini ... ini kan salah satu kamar di rumahku!
"Apa beneran Papa yang culik aku?" teriakku semakin kencang.
"Nona, berhentilah berteriak, atau kami akan membekap mulut Nona lagi," kata laki-laki dengan kepala botak itu.
Aku begitu kesal, tapi herannya aku hanya menurut. Mungkin karena aku takut jika mereka melukaiku. Lihat saja, otot dan tubuh mereka yang sangat besar, begitu menyeramkan.
"Apa sih maunya Papa, kenapa juga menculikku?" gumamku dengan kesal.
"Maaf Nona, saya akan mulai merias wajah Nona," kata seorang penata rias yang sedari tadi hanya diam.
Aku berpikir keras, untuk apa aku dirias? Apa Papa memberiku kejutan ulang tahun? Yang benar saja, ini bukan hari ulang tahunku.
Hampir satu jam aku dirias, dan akhirnya riasanku pun selesai.
"Sekarang tinggal pakai baju pengantinnya," kata perias.
Deg.
Aku kaget setengah mati, baju pengantin? Siapa yang menikah? Apakah aku dirias karena akan dinikahkan?
"Silahkan Nona ganti baju di kamar mandi! Kami akan mengawasi Nona disini. Jadi, jangan coba-coba kabur." Laki-laki itu melepas ikatan di tanganku.
"Apa aku akan menikah?" tanyaku pada mereka bertiga.
Namun, mulut-mulut yang patuh dengan perintah Papa itu hanya membisu. Membuatku semakin kesal.
Menikah dengan siapa? Papa benar-benar tidak waras.
Akhirnya, wanita yang meriasku tadi mengantarku ke kamar mandi, menggantikan pakaianku dengan kebaya putih.
Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini? Lihat saja aku akan balas perbuatan Papa!
Setelah selesai berganti baju, aku dituntun dengan paksa oleh dua laki-laki kekar itu meninggalkan ruangan. Kami berjalan menuju ruang keluarga yang tak ada hiasan apapun. Masih seperti biasa, tak ada tanda-tanda akan adanya pesta pernikahan.
Di ruang keluarga itu, sudah ada Papa, sopir Papa, dan seorang laki-laki yang memakai peci hitam, aku yakin dia penghulu yang akan menikahkanku. Namun, laki-laki yang menjadi calon suamiku tak ada di sana. Ke mana dia?
Aku menghampiri Papa, meminta penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa sih ini, Pa? Kenapa tiba-tiba aku harus menikah?" tanyaku sedikit kesal.
Dua laki-laki kekar itu tetap berjaga di belakangku.
"Tidak tiba-tiba, ini seperti yang papa bilang dua bulan lalu, papa akan menikahkanmu hari ini." Papa menjawab dengan santai.
"Aku kan tidak setuju." Aku meneriaki Papa di depan orang-orang itu.
"Kita sudah bicara Kimmora, lagi pula calon suamimu itu laki-laki terbaik yang papa kenal," jawab Papa yang kini berdiri di hadapanku.
"Siapa laki-laki itu?" tanyaku masih berteriak.
"Dia, calon suamimu." Papa menunjuk laki-laki yang baru keluar dari kamar mandi.
"Kimmy."
"Kamu …."
To be Continued.
Visual bisa cek di ig @ittaharuka atau fb Itta Haruka
Hai, aku Itta Haruka 🤗 gimana ceritanya? Semoga suka ya dengan karya baruku ini.
Sekedar mengingatkan, sifat dan karakter Kimmora mungkin bukan cewek lemah lembut seperti kebanyakan novel, karena othor emang mau kasih yang beda di novel ini. Satu lagi, novel ini babnya banyak, karena othor kasihnya emang nggak panjang ya tiap babnya.. cukup lolipop aja yang panjang, dan pasti bikin sesek. siapa lolipop, kepo ya kepo ya, yuk lanjutin bacanya 😉😉😉
klik ❤ juga untuk dapat info updatenya 🤗
Terima kasih 🤗🤗🤗
"Dia, calon suamimu." Papa menunjuk laki-laki yang baru keluar dari kamar mandi.
"Kimmy."
"Kamu …." Aku benar-benar tak percaya.
Dia adalah Arsen, laki-laki yang kukenal beberapa minggu yang lalu.
"Papa kenal dia?" tanyaku pada Papa.
"Iya, dia Arsen, yang akan menjadi suamimu." Papa tersenyum dengan bangga pada laki-laki yang juga mengenakan baju pengantin itu.
Aku benar-benar tak mengerti, bagaimana bisa Papa mengenal Arsen?
"Aku nggak mau nikah, Pa. Apalagi sama dia, aku masih muda, aku masih ingin kuliah," protesku setelah melihat Arsen.
"Kamu sudah memilih kuliah daripada masuk pesantren, 'kan? Jadi, terimalah konsekuensinya." Papa berkata dengan egoisnya.
Aku merasa Papa berniat membuangku, Papa sangat jahat, egois, Papa tidak peduli dengan perasaanku.
"Papa jahat." Aku berusaha lari dari ruang keluarga. Namun, karena memakai kebaya, aku pun kesusahan dan hampir saja jatuh. Untung saja, Arsen menangkapku dengan sigap, kalau tidak, aku pasti akan jatuh tersungkur.
"Non Kimmy, kamu baik-baik saja." Arsen masih memegang tanganku, yang kemudian kulepaskan dengan kasar.
Aku juga membenci Arsen, laki-laki yang aku kenal saat berkunjung ke sebuah kafe. Dia bukan pemilik kafe, dia hanya pekerja paruh waktu yang sangat disukai Nana, sahabatku. Hari ini, bagaimana bisa dia menjadi calon suamiku?
"Papa, pernikahan yang dipaksakan itu tidak akan sah, dan aku tidak mau menikah dengan dia." Aku menunjuk wajah Arsen dengan telunjuk kananku.
Arsen terdiam, sama seperti biasa saat Nana menggodanya di kafe. Yang membuatku tidak habis pikir adalah, kenapa dia mau menikahiku?
Aku terus menatap Arsen, dan ia pun membalas tatapan mataku.
"Bisa kita bicara sebentar, Nona Kimmy." Arsen menatapku dengan tatapan tajam, aku tak bisa mengartikan tatapan itu.
Dengan kesal aku menurut, berharap dia akan memberiku penjelasan. Aku berjalan meninggalkan ruang keluarga, menuju pintu samping yang diikuti oleh Arsen.
"Apa?" tanyaku pada Arsen saat kami sudah menjauh dari mereka yang ada di ruang keluarga.
"Aku tau ini tidak adil untukmu, tapi dengan pernikahan ini, aku bisa membalas budiku kepada Tuan. Beri aku waktu sampai Non Kimmy lulus, setelah itu terserah apa yang akan Non Kimmy lakukan," kata Arsen yang sepertinya bersungguh-sungguh.
"Sampai aku lulus itu butuh waktu empat tahun. Apa kamu yakin, kamu tidak akan menyentuhku selama itu?" tanyaku dengan mata melotot.
"Aku janji, aku tidak akan menyentuhmu tanpa cinta, dan aku tidak akan meminta hakku, sampai kamu benar-benar menerimaku sebagai suamimu." Arsen berkata dengan wajah serius, entah apa yang dimaksud balas budi olehnya, tapi sepertinya, dia begitu mengharapkan pernikahan ini.
Aku mulai berpikir keras, aku butuh kuliah, dan Papa tidak akan melepasku begitu saja.
Jika kuliah nanti, aku bisa bebas, dan jika aku dimasukkan pesantren, apa aku bisa bebas juga?
"Apa kamu bisa merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun termasuk temanmu dan temanku?" tanyaku serius, lalu Arsen dengan mantap menganggukkan kepala. "Setelah aku wisuda, aku akan menceraikanmu."
Aku berlalu meninggalkan Arsen sendirian, berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri orang-orang yang terlihat cemas menanti pernikahan konyol ini.
Baiklah, aku ikuti saja permainan Papa kali ini. Setelah lulus kuliah dan mendapatkan hak di perusahaan, aku akan menceraikan Arsen, dan Papa tidak akan bisa mengatur hidupku lagi.
"Oke, aku setuju menikah dengan Arsen, asal Papa jangan mengganggu hidupku lagi, apalagi mengusik masa-masa kuliahku." Aku menghempaskan bokong di sofa. Lalu, Arsen pun ikut duduk di sampingku, sepertinya dia sudah siap menjadi suamiku.
"Jadi, apakah pernikahan ini sebuah paksaan?" Penghulu di hadapanku bertanya.
"Tidak," jawabku cepat, entah kenapa tapi rasanya aku akan membutuhkan Arsen untuk keuntunganku.
Lalu, setelah memberi ceramah singkat, penghulu itu segera menjabat tangan Arsen, karena Papa telah mewakilkan kepadanya.
Arsen pun resmi menjadi suamiku.
Kalau ditanya bagaimana perasaanku sekarang, aku akan jawab, biasa saja, aku sudah merencanakan perceraian bahkan sebelum Arsen menjadi suamiku.
Hanya dengan uang seratus ribu rupiah, Arsen membayarku tunai. Lalu ia memasangkan cincin emas yang sangat pas di jari manisku. Dengan terpaksa aku mencium tangannya sesuai kata penghulu.
Arsen mencium keningku, membuatku langsung mendongak karena reflek dan melotot kepadanya.
"Selamat ya, sekarang kalian telah menjadi suami istri, semoga rumah tangga kalian langgeng selamanya." Papa mengatakan itu dengan senyum bahagia. Yang bisa aku artikan, Papa sedang tertawa mengejek karena kekalahanku.
"Tolong jaga Kimmora ya, dia sedikit manja dan rewel, tapi papa yakin, dia bisa menjadi istri yang baik," pesan Papa kepada Arsen.
"Tentu, Tuan. Saya akan berusaha membahagiakan Nona Kimmora," kata Arsen.
Tunggu, Arsen panggil Papa dengan 'Tuan'? Kenapa aku baru menyadarinya?
"Selamat ya, Nak. Jaga Non Kimmy, jangan sampai kamu buat Non Kimmy menangis," kata Pak Aji, sopir papa.
"Terima kasih Pak, insya Allah Arsen tidak akan menyakiti Non Kimmy."
Apa Pak Aji juga mengenal Arsen? Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Entahlah, aku malas memikirkan semuanya.
"Aku mau ke kamar, capek," kataku pada Arsen. "Oh ya, Arsen kamu ke dapur ya, suruh Bi Sri masak dan anter ke kamarku, aku lapar." Aku berlalu meninggalkan Arsen dan mereka semua.
Kudengar Papa mengomel karena ulahku, tapi aku tak peduli. Aku sudah sangat merindukan kamarku di rumah ini.
***
Di kamar yang sudah lumayan lama aku tinggalkan ini, aku duduk melamun di hadapan meja rias. Menatap wajahku yang cantik dengan polesan make-up natural.
Aku tidak menyangka bahwa aku secantik ini di hari pernikahanku. Oh, masa lajang, kenapa kau cepat berlalu?
Aku sedang menghapus riasan di wajahku, saat Arsen masuk ke kamar. Langsung saja aku berkacak pinggang padanya. Kepalaku mendadak panas melihat wajahnya itu. Enak saja, dia masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Apa dia akan tidur di sini juga?
"Jangan mentang-mentang kamu udah jadi suamiku ya, kamu bisa masuk ke kamarku. Sana, cari kamar lain!" usirku yang tak ingin tidur satu kamar dengan Arsen.
"Aku cuma mau bilang, kalau Tuan akan pergi, apa Non Kimmy tidak ingin menemui Tuan?" Arsen tak menghiraukan kata-kataku, dia melangkah masuk dan mendekatiku.
"Bodo amat … tapi tunggu, kenapa kamu memanggil Tuan pada Papa? Memangnya kamu anak buah Papa?" tanyaku setengah mengejek.
Aku tahu Arsen pasti membutuhkan uang sehingga mau menikah denganku. Papa nemu dia di mana sih? Ganteng emang iya, tapi buat apa bayar orang cuma buat jadi mantu?
"Tuan adalah majikan bapakku, Pak Aji."
"Apaaa?"
🌹🌹🌹
Tinggalkan like dan komennya.
Sampai jumpa lagi 😘
Arsen adalah anak Pak Aji? Artinya, Pak Aji sekarang mertuaku? Lalu Bi Sri, ibu mertuaku? Oh tidak, aku pasti sudah gila, kenapa aku menerima Arsen? Oh, sungguh aku sudah tidak waras.
"Nona, kau baik-baik saja?" Arsen mengguncang tubuhku dengan pelan.
Seketika aku tersadar, wajah Arsen begitu dekat dengan wajahku. Laki-laki ini memang benar-benar tampan. Ya Tuhan, bicara apa sih aku ini?
Ayolah Kimmy, kendalikan dirimu, Arsen tidak setampan itu. Tarik napas, embuskan, tarik napas, embuskan. Oke. Fine!
"Kamu beneran anak Pak Aji?" tanyaku sambil menepis tangan Arsen di pundakku.
Kumohon Arsen, jangan katakan ya!
"Benar, aku anak Pak Aji." Arsen menjawab dengan mantap, wajahnya yang tampan menampilkan senyum menawannya. Oh, Arsen benar-benar tampan saat ini.
Tidak, dia anak Pak Aji, sopir Papa.
"Kenapa kamu tidak bilang?" Aku berteriak, aku benar-benar marah pada Arsen.
"Kamu tidak tanya Nona," jawab Arsen yang mungkin saja bingung melihat reaksiku.
"Keluar … keluar dari kamarku … cepat keluar …." Aku mendorong tubuh Arsen menuju pintu.
Sebelum Arsen benar-benar keluar dari kamarku, Bi Sri datang membawa makanan, ada Papa juga yang telah siap dengan pakaian kerjanya.
"Non Kimmy, ini makanannya." Bi Sri menyerahkan nampan berisi makanan, dan jus itu kepada Arsen, sambil memberi kode yang tak bisa aku pahami.
Aku sibuk menyusun kata-kata untuk meluapkan emosiku kepada Papa, yang dengan seenaknya menikahkanku dengan anak sopirnya. Papa itu pengusaha sukses, apa tidak malu menikahkan putri satu-satunya dengan anak sopir yang tidak jelas?
"Kimmy, Papa akan ke luar negeri beberapa hari ini, kakakmu juga akan pulang bersama Papa nanti. Selama Papa tinggal, jangan main ke club lagi. Ingat! Kamu sudah mempunyai suami." Papa mengomel padaku, aku benci saat papa hanya berceramah tanpa peduli bagaimana perasaanku.
"Aku tidak mau kalau kakak sampai tahu aku sudah menikah. Kalau Papa tidak bisa jaga rahasia, aku akan ceraikan Arsen." Aku mengambil nampan makananku, lalu masuk ke dalam kamar meninggalkan mereka.
Kudengar Bi Sri pamit meninggalkan kamarku, sementara Papa dan Arsen masih betah saja berdiri di pintu.
"Arsen, Kimmy akan menjadi juniormu, jadi tolong jaga dia di kampus juga ya! Oh iya, mulai sekarang kamu tinggal di sini saja," kata papa.
Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Papa.
"Apa dia seniorku di kampus?" tanyaku setengah berteriak, aku baru saja meletakkan makananku di meja, dan aku berharap saat ini telingaku sedang bermasalah.
"Iya, dan kamu harus bangga, suamimu ini mahasiswa paling cerdas di kampus," kata Papa yang kemudian berlalu meninggalkan kamarku.
"Arsen, tunggu!" perintahku saat melihat Arsen akan meninggalkan kamarku.
"Apa? Tadi katanya suruh pergi." Arsen berjalan mendekatiku yang duduk di sofa.
"Arsen, kamu beneran seniorku di kampus?" tanyaku dengan tak semangat, bagaimana kalau teman-temanku tahu aku sudah menikah, apalagi dengan Arsen.
"Iya, dua hari lagi sudah mulai ospek, Non Kimmy siap-siap ya." Arsen masih berdiri di sampingku.
Dia ini aneh juga, ada sofa empuk dan bisa dipakai duduk, kenapa dia hanya berdiri?
"Duduklah, dan jangan panggil aku Non, aku bukan majikanmu," kataku dengan malas. Namun, aku harus bekerjasama dengan Arsen, supaya Arsen tidak membongkar pernikahan ini.
"Iya, Kimmy sekarang udah jadi istriku, ya 'kan?" Arsen mengerlingkan mata kirinya, membuatku muak saja.
"Jangan mentang-mentang ya kamu!" Aku menatap matanya tajam, aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak bercanda dengannya.
"Makan dulu, marah-marah juga butuh tenaga, tadi katanya lapar." Arsen membuka penutup makananku, lalu meletakkan sendok dan garpu di tanganku.
Aku belum pernah diperlakukan seperti itu, Arsen menunjuk makananku dengan matanya, memberikan isyarat agar aku segera makan.
Akhirnya, aku makan ditemani Arsen. Semenjak kakakku sibuk, aku selalu makan sendirian, dan Arsen membuatku merasakan bahagia itu lagi.
"Makan, makan aja, jangan sambil melamun, nanti salah-salah masuk ke hidung loh," kata Arsen.
"Bodo amat." Aku menyuap lagi makanan ke mulutku.
"Nanti sore, aku harus kerja. Aku harap, kamu tidak akan keluyuran saat aku pulang, selama Pak Ardi pergi, aku akan tinggal di sini." Suara Arsen begitu tenang, dia seperti sedang menasehatiku agar aku patuh.
"Kamu kuliah sambil kerja?" tanyaku sambil mengunyah nasi di mulutku.
"Iya, aku harus mandiri, apalagi sekarang ada kamu, tanggung jawab aku jadi bertambah, bisa nggak bisa aku harus segera lulus dan cari kerja yang lebih mapan." Arsen tiba-tiba memegang wajahku, jari telunjuknya mengusap bibirku dengan lembut.
Apa yang dilakukan Arsen? Apa dia benar-benar menganggapku istrinya?
🌹🌹🌹
Hai gaesss, gimana?seru nggak?
Non Kimmy bisa luluh nggak ya😄😄😄
Tinggalkan like dan komennya ya 😊😊
Sampai ketemu lagi….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!