JOVANKA POV
Jovanka Lovata Barraq adalah nama lengkap ku. Di rumah aku dipanggil Jova, begitu juga sahabat memanggilku. Karyawan ku dan orang-orang yang tidak begitu akrab denganku memanggilku Jovanka.
Umurku 22 tahun, aku mengambil jurusan Bisnis di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Bukan tanpa alasan aku mengambil bisnis, itu semua untuk menuruti kemauan Ayah yang sangat aku sayangi. Dia ingin aku berkarir seperti dia. Dan sekarang aku sudah masuk semester 7.
Ayah ku bernama Saddam Barraq, seorang pengusaha yang bergerak pada produk kecantikan. Perusahaan ayahku tidak terlalu besar tapi cukup untuk membiayai hidup kami.
Ibu ku bernama Tania Lovata, dulu beliau seorang aktris pendukung di sinetron - sinetron tahun 90 an. Semenjak menikah dengan Ayah, beliau berhenti dari dunia hiburan tanpa berat hati. Karena memang menjadi aktris bukanlah cita - citanya.
Aku juga punya seorang adik laki-laki bernama Tristan Danendra Barraq, berusia 15 tahun duduk di bangku kelas satu SMA. Bertengkar, berdebat dan saling ejek adalah kegiatan kami sehari - hari. Tapi percayalah, kami saling menyayangi.
Jika aku sedang pusing atau banyak masalah aku akan menghindarinya dan menginap di apartemen ku. Aku punya Apartemen sederhana, hadiah ulang tahunku yang ke-17 dari Ayah ku.
"Terima kasih Ayah, aku menyayangimu!"
Suatu hari Ayah ku terkena serangan jantung begitu mengetahui keuangan perusahaan merosot tajam dan orang kepercayaannya ternyata melakukan korupsi besar-besaran. Ibu ku pingsan saat melihat Ayah ku terkapar di rumah sakit. Melihat kondisi Ayah ku yang seperti itu membuat ku turun tangan ke Perusahaan tanpa diminta oleh siapapun.
Bermodal otak ku yang pas-pasan dan jurusan bisnis yang baru ku ikuti 3 semester saat itu, aku mengambil alih Perusahaan Ayah. Dengan bantuan orang-orang di Perusahaan Ayah yang masih setia pada Ayah, aku berhasil menumpas Koruptor dan mengembalikan Perusahaan seperti semula.
Meskipun butuh waktu sekitar 4 bulan. Yaa namanya juga Otak Minimalis yang tidak ada pengalaman sebelumnya, sudah pasti butuh waktu lama untuk mengatasi masalah Perusahaan serumit itu.
Aku bersyukur karena Ayah ku tertolong dan di rawat di rumah, setelah 2 minggu menginap di rumah sakit kala itu.
7 bulan kemudian ayah dinyatakan pulih meskipun masih harus rutin minum obat. Tapi Ibu ku melarang Ayah kembali bekerja. Mereka mempercayakan Perusaan kepada ku sepenuhnya.
Berat? Jangan tanya!
Tentu saja pada saat itu menurut ku sangat berat. Ditambah Perusahaan itu satu - satunya penghasil uang yang kami miliki.
Sejak hari Ayah dan Ibu memutuskan Perusahaan untuk aku kelola sepenuhnya, sekretaris Ayah memesankan papan nama bertuliskan "Jovanka Lovata Barraq" di bawahnya tertulis CEO Group B.
Dan papan nama itu saat ini masih menempel di atas meja di depanku. Ya, sekarang aku ada di kantor Ayah ku, duduk santai karena semua laporan perusahaan sudah aku baca dan ku tanda tangani.
Duduk ku memang santai kawan! tapi tidak dengan otak ku!
Sore ini aku menyenderkan kepala ku di senderan kursi kerjaku yang super nyaman menurutku. Tanganku memegang bolpoin yang baru saja aku gunakan untuk menandatangani tumpukan laporan di atas meja, aku menggigit ujung bolpoin itu, mata ku menatap langit-langit ruangan ku.
Tentu kalian tau aku sedang apa?
Yaah kalian benar! aku sedang melamun!
"Sial!" umpat ku dengan menghentakkan sebelah kanan kaki ku sambil ku hembuskan nafas sekasar mungkin.
Persaingan bisnis semakin hari semakin ketat saja. Perusahaan besar begitu mudah berkembang, sementara perusahaan kecil seperti perusahaan ku ini benar-benar di uji.
Ingatanku kembali pada percakapan ku dengan clien ku saat kami meeting beberapa minggu yang lalu.
Flashback On . . .
"Semoga produk ini laris dipasaran." ucapku
"Anda benar Nona Jovanka, semoga saja," ucap Hasan, clien Jovanka dengan raut muka sedikit ragu. "Semenjak Perusahaan Group G dipegang oleh anaknya, banyak perusahaan kecil seperti kita kesulitan bergerak," lanjutnya.
"Maksud anda Group G punya CEO baru?" tanyaku dengan mata terbelalak, karena aku baru mendengar kabar ini.
"Iya Nona, apa anda belum mendengar kabar itu?"
"Belum Tuan Hasan, memangnya sehebat apa dia?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi. Tapi aku menutupinya dengan sikap santai ku.
"Hehm ..." Hasan menghembuskan nafasnya kasar dengan raut muka sedih dan khawatir. "Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya nona, karena identitasnya benar-benar ditutup rapat, dia hanya dikenal sebagai Putra Gibran, tentu itu bukan nama aslinya nona. Yang aku dengar dia sangat jarang mengunjungi kantornya, bahkan saat dia datang ke kantornya dia akan memakai masker dan kaca mata hitam, sehingga ribuan karyawannya di sana tidak ada yang tau seperti apa wajah aslinya. Konon katanya dilihat dari penampilannya dia sangat tampan, berwibawa dan masih cukup muda," jelas Hasan. Jova tampak mengangguk - anggukkan kepalanya.
"Yang aku dengar juga, dia baru pulang dari luar negeri. Dan belum satu tahun di Indonesia. Prestasi di kampusnya sangat bagus, dia menyelesaikan S1, S2, dan S3 hanya dalam 5 tahun saja," lanjut Hasan. Jova tampak mengangkat kepalanya membuka matanya lebar menatap Hasan.
Gila! apa isi otaknya? Batin Jova
"Lalu apa kinerja dan produk - produk barunya juga yang mempengaruhi pemasaran kita?" tanya Jova.
"Anda benar Nona!" jawab Hasan sedih. "Sangat berpengaruh!"
"Apa Tuan Hasan berniat untuk mundur dari perusahaan saya jika produk kita kali ini gagal menembus target?"
"Tentu tidak Nona, saya adalah clien Tuan Saddam yg paling setia padanya. Saya berhutang budi padanya. Jadi apapun alasannya saya tidak akan meninggalkan kerja sama kita, kalau bukan anda sendiri yang membuang saya. Kita akan berjuang bersama," jawab Hasan yakin.
"Syukurlah, Terima kasih Tuan Hasan," ucap Jova meskipun ada sedikit keraguan di wajahnya.
"Sama - sama nona. Kalau begitu saya permisi. Karena saya harus meeting dengan klien saya yang lain!" pamit Hasan dengan mengulurkan tangannya, dan di sambut Jova dengan rasa saling menghormati.
Flashback Off . . .
Sejak kepergian Hasan hari itu, Aku sering melamun setiap usai membaca laporan yang mana tidak ada kenaikan setiap harinya.
Tidak bisa di pungkiri, Group G adalah Perusahaan terbesar di negeri ini. Hampir menguasai Pasar di Negeri ini. Bersaing dengannya hanyalah khayalan bagi ku.
Tapi dulu pergerakan perusahaan Group G tidak secepat sekarang. Buktinya perusahaan Ayah masih bisa bergerak lincah selama hampir 2 tahun aku menjadi CEO. Menurutku rumor tentang CEO baru yg sangat sempurna dalam memimpin perusahaan Group G benar adanya.
Hingga aku banyak membuang waktu untuk sekedar memikirkan cara untuk menaikan omset, dan mencoba ide - ide baru ku, tapi selalu menemui jalan buntu.
Kuliahku pun sering terlambat dan terabaikan sampai aku berulang kali menerima hukuman dari dosen killer yang ku sebut Dosen Gila!
Ya! dia benar - benar gila!
Ahh! urusan kampus dan kantor benar - benar menguras isi kepala ku yang kecil ini. Aku ingin melihat mu Putra Gibran. kau tahu? aku ingin memaki mu habis - habisan. Kinerja mu benar - benar membuat perusahaan kecil ku menjadi semakin kerdil saja. Keluhku sore itu dengan menyebikkan bibir ku.
Matahari semakin turun ke barat dan Jakarta hampir gelap. Aku berdiri mengambil tas dan berjalan kearah pintu, kubuka pintu dan aku masih melihat sekretaris ku yang masih setia menunggu ku di meja kerjanya.
"Kenapa kamu belum pulang?" tanyaku.
"Saya menunggu nona keluar dari ruangan nona," jawab Mira.
"Hemmh, ya sudah ayo kita pulang," ajak ku padanya.
"Iya nona," jawab Mira.
Kami menuruni Lift bersama, Keluar dari Lobby bersama, dan berpisah diparkiran. Karena aku CEO aku punya tempat parkir khusus untuk mobil ku.
Aku masuk ke mobil ku yang tidak begitu mewah, dan aku melajukan mobilku meninggalkan gedung 30 lantai itu. Tentu saja gedung itu bukan punya Ayah ku. Ayah ku hanya menyewa 4 Lantai di sana.
Begitu sampai di lampu merah, mobil ku berhenti paling depan. Mata ku terbuka lebar saat melihat sesosok manusia yang sangat aku benci sedang berada di sebelah gerobak penjual kaki lima, siapa lagi kalau bukan si Dosen Gila.
"Apa yang dia lakukan?" tanyaku pada diriku sendiri. "Apa mungkin dia mau makan makanan dipinggir jalan seperti itu, dari penampilannya sehari - hari dia terlihat kaya raya, aku tidak percaya kalau dia mau makanan pinggir jalan. eh, mataku tidak salah lihat kan?" Aku masih melihatnya dengan mengerutkan kedua alisku.
Tiinn tiinn tiinn Tiinn Tiinn
Suara klakson mobil - mobil di belakang ku membuyarkan rasa penasaran ku, tentang apa yang dilakukan dosen gila itu di sana. Cepat - cepat aku melajukan mobil ku menuju rumah Ayah, melewati lampu yang tanpa kusadari sudah berubah hijau.
Dan inilah aku, Jova!
🪴🪴🪴
Selamat membaca novel pertama ku ini teman - teman.
Jangan lupa tinggalkan Like dan Komentar kalian ya.
Dukungan teman - teman sangat berharga bagi kamis, si Author receh! 🤭🥰
Terima kasih,
Salam Lovallena.
*Rumah Keluarga Saddam Barraq*
Hari sudah mulai gelap, Matahari sudah meninggalkan Bumi bagian Jakarta dan sekitarnya. Jova sampai di rumahnya dan segera masuk ke kamarnya di lantai dua.
Sebuah kamar yang di dominasi warna biru & putih pada dinding, langit - langit kamar, serta tempat tidur dan benda - benda disekitarnya.
Ya, warna biru dan putih adalah warna favoritnya.
Setelah mandi Jova mengganti bajunya dengan baju rumahan, kemudian menyisir rambutnya dan mengikatnya asal. Lalu dia keluar kamar, menuruni tangga, menuju meja makan yang sudah ada Ayah, Ibu, dan adiknya Tristan.
"Selamat malam, Ayah, Ibu!" sapa Jova.
"Malam, sayang!" jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
"Kenapa mukamu kusut sekali kak?" tanya Tristan.
Jova tidak menjawab, dia menyebikkan bibirnya, tanda malas menjawab pertanyaan adiknya.
"Apa kau sedang jatuh cinta dan bingung dengan perasaan jatuh cinta yang tidak pernah kakak alami?" tanya Tristan lagi, dengan senyum meledek.
Jova hanya melirik sekilas Tristan yang duduk disebelah kirinya. Ayah dan Ibunya hanya memperhatikan tingkah mereka berdua.
"Ah! sepertinya kakakku sudah berubah jadi batu gara - gara terlalu lama menjomblo!" ejek Tristan dengan mengetukkan jari telunjuknya dimeja makan dengan cepat sambil melirik Jova.
"DIAM!" tanpa aba - aba Jova membentak adiknya itu sambil menginjak kuat kaki kanan Tristan.
"Aduuuhh!" Tristan mengaduh dan reflek mengangkat cepat kaki kanannya di bawah meja makan. Karena lupa kaki nya di bawah meja makan, refleknya menambah sialnya malam itu. Lututnya membentur pinggiran meja makan bagian bawah. "Aduuuuhhhh!"Jerit Tristan lagi.
"Ups! Hahahaha!" Jova terbahak - bahak melihat kesialan adiknya.
Ayah dan Ibu hanya tersenyum lucu melihat Tristan yang masih menahan sakit.
"Siapa suruh mengejekku! Lagian kau ini laki - laki, begitu saja sakit!" ejek Jova.
"Dasar cewek bar - bar, pantas saja kau tidak pernah punya pacar. Laki - laki pasti takut membuat mu jatuh cinta pada mereka!"ucap Tristan dengan memegang lututnya.
Jova mengangkat tangan kirinya, hendak menoyor kepala adiknya itu, tapi Ibu lebih dulu menyela perdebatan mereka.
"Sudah, ayo makan. Kamu Tristan jaga ucapan mu itu. Jangan meledek kakakmu terus - terusan!" ucap Ibu.
"Heem, baiklah baiklah!" jawab Tristan.
Mereka semua mengambil menu makanan yang ingin mereka makan untuk malam ini. Ibu meletakkan nasi dan lauk di piring Ayah.
Sepanjang makan malam tidak ada yang berbicara. Hanya Jova dan Tristan yang masih saling melirik dengan sorot mata tajam masing - masing, dan sesekali saling memanyunkan bibirnya. Hanya mereka yang tau apa artinya. Ibu yang melihat hanya menggeleng - gelengkan kepalanya.
Setelah sesi makan malam selesai. Tristan berdiri berbisik pada telinga Jova disampingnya.
"Jomblo Akut!" dengan cepat Tristan berdiri sambil menahan tawa dan mengambil langkah seribu sebelum dimangsa Serigala betina batinnya.
Jova seketika menatap tajam pada adiknya yang sudah sampai di ruang keluarga, tangannya terkepal kuat.
Lalu berdiri, berjalan santai bersama Ayah dan Ibunya pindah ke ruang keluarga. Itu adalah kebiasaan keluarga ini. Setelah makan malam mereka segera pindah ke ruang keluarga untuk mengobrol atau bercerita.
"Cerita lah kak, kenapa wajahmu sangat masam?" Ibu membuka obrolan.
Tatapan Jova masih tertuju pada Tristan, dengan mengerucutkan bibirnya. Otaknya masih pada kata yang di bisikkan Tristan di telinganya. Ibu menyadari tatapan Jova.
"Sudahlah kak, ayo cerita!" tambah Ibu.
"Keuangan perusahaan tidak mengalami peningkatan bu. Aku hanya khawatir keadaan ini akan memperburuk perusahaan. Berbagai cara aku lakukan untuk meningkatkan penjualan, tetap saja tidak ada peningkatan. Semua produk kita, bahkan produk dari perusahaan kecil lainnya tersaingi oleh produk yang dikeluarkan perusahaan sebesar Group G. Apa Ayah dan Ibu tahu? Group G hampir mengeluarkan semua jenis produk untuk menyaingi produk standar seperti perusahaan kita. Group G benar - benar menguasai pasar beberapa bulan terakhir. Kalau bukan karena client - client yang setia pada Ayah, mereka pasti sudah kabur dan mungkin akan berusaha untuk bisa bekerja sama dengan Group G. Dan sudah hampir dua bulan ini tidak ada peningkatan omset di perusahaan kita!" jelas Jova panjang lebar.
"Sebenarnya Ayah sudah mendengar keadaan ini dari sahabat - sahabat Ayah. Group G punya CEO baru, yang hasil kerjanya benar - benar mempengaruhi kemajuan Group G." terang Ayah.
"Jadi Ayah sudah tau tentang CEO baru itu?" tanya Jova sedikit kaget.
"Iya," jawab Ayah singkat.
"Kenapa Ayah tidak cerita?" tanya Jova kecewa. "Aku bahkan baru tau beberapa minggu lalu dari Tuan Hasan!" lanjut Jova.
"Ayah ingin melihat kinerja mu sayang," jawab Ayah. "Ayah tau beberapa hari terakhir ini kamu pusing karena hal itu. Tapi Ayah juga tidak tau harus berbuat apa. Dari dulu Ayah juga tidak sanggup menandingi Group G," jelas ayah.
"heehmm, aku ingin tahu seperti apa wajahnya, dia benar - benar misterius!" ucap Jova sembari melirik keatas, membayangkan wajah misterius itu.
"Memangnya kalau kau sudah melihat wajahnya, kau mau apa kak?" tanya Tristan dengan senyum misteriusnya. "Kau mau membuatnya jatuh cinta padamu?" godanya lagi.
"Mulutmu bisa diam tidak!" bentak Jova seketika.
"Sudahlah kak, dari pada kau pusing memikirkan perusahaan, coba saja dekati CEO itu. Kalau dia suka padamu, dia pasti akan membantumu menaikkan omset!" lanjut Tristan masih dengan senyum liciknya.
"Kau pikir aku semurah itu. Dasar bocah ingusan!" jawab Jova berapi - rapi. "Kalau aku bertemu dengannya, aku ingin memaki dia habis - habisan. Aku akan memukul kepalanya, dan melihat apa isi kepalanya. Bagaimana bisa otaknya secerdas itu," lanjut Jova penuh ambisi dengan tangannya yang digerakkan seolah sedang memukul lawan.
"Iiiisshh! aku tidak yakin kalau kakak akan melakukan itu. Justru feeling ku mengatakan kalau kakak akan jatuh cinta saat melihatnya pertama kali!" ledek Tristan dengan senyum misterius sambil menaik turunkan alisnya beberapa kali.
Jova sangat malas mendengar ledekan adiknya itu. Dia hanya menjawab dengan tatapan tajam yg seolah siap menerkam adik kandungnya itu. Hembusan nafas kasarnya tidak membuat Tristan takut, justru dia semakin meledek kakaknya itu.
"Kak, kau ini sudah 22 tahun. Dan belum pernah berpacaran, alias jomblo akut. Jadi kau coba saja mendekatinya. Lumayan kan, CEO sekaya dia sudah pasti tampan sepertiku!" lanjut Tristan mengangkat pundaknya dengan gaya sok cool nya.
"Aku tidak mungkin jatuh cinta pada orang yang berusaha mengalahkan perusahaan kecil kita", jawab Jova dengan mengangkat sebelah sudut bibirnya malas. "Bayu juga tampan dan kaya, tapi tidak sedikitpun aku jatuh cinta padanya," lanjut Jova.
"Aku curiga kau tidak normal kak," ledek Tristan santai seperti tak berdosa.
"Rasanya aku ingin membombardir mulutmu itu Tris!" Jova melempar bantal sofa, dan mendarat sempurna di muka Tristan. Tristan tidak marah justru tertawa dengan tingkah kakaknya itu.
"Kak, kurangi keras kepalamu itu kak!" sahut ibu.
"Jangan terlalu membenci seseorang, bagaimana kalau kau malah jatuh cinta padanya?" nasehat ayah.
Jova menarik nafas dan membuangnya kasar.
"Umurmu semakin tua kak, apa kau tidak takut jadi perawan tua?" ucap Tristan yang tidak bosan meledek kakaknya.
Kali ini Jova berdiri, berjalan kearah Tristan dan menoyor kepala Tristan.
"Bocah ingusan sepertimu tau apa tentang prawan tua!" bentak Jova sambil menyilangkan tangan di dadanya. Kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di sofa tempat dia duduk semula.
"5 tahun lagi kalau kakak tidak menikah juga, kakak akan jadi prawan tua!" Tristan cekikikan sendiri melihat ekspresi Jova yang cemberut.
"Aku mau tidur saja!" jova berdiri dan meninggalkan ruang keluarga. Menaiki tangga, berjalan ke arah kamarnya.
Tristan semakin tertawa melihat kekalahan Jova berdebat dengannya. Ayah dan Ibu geleng - geleng dengan tingkah mereka.
Dikamar Jova merebahkan badannya di tempat tidurnya yang nyaman. Matanya menatap langit - langit kamarnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
Jovanka adalah gadis yang cantik dan apa adanya. Dia selalu serius dalam bekerja meskipun prestasinya biasa - biasa saja. Karate dan memanah adalah hobinya. Kuliah adalah hal yang membosankan menurutnya. Tapi dia tetap harus kuliah, karena dia memang harus melanjutkan perusahaan Ayahnya.
Setelah satu jam dia berbaring dengan pikiran yang entah kemana. Dia bangun menuju meja belajarnya. Mengambil tumpukan kertas yang terdapat tulisan tangannya sebanyak 10 lembar. bertuliskan lirik lagu Indonesia Raya, yang tak lain adalah hukumannya karena terlambat 5 menit masuk di mata kuliah dosen killer nya kemarin.
"Entah ini hukuman ku yang ke berapa?" keluhnya menatap lembaran kertas. "Dosen itu suka sekali menghukum ku. Lagu Garuda Pancasila dan Proklamasi sudah pernah ku tulis sebelumnya." meletakkan kembali lembaran itu. "Semoga besok aku tidak terlambat. Sebaiknya sekarang aku tidur."
Dia beranjak dari kursi belajarnya dan naik ke atas tempat tidur lagi, kemudian tertidur dengan cepat.
# # # # # #
Seorang Pria yang dijuluki sebagai Putra Gibran, sedang duduk di kursi balkon Apartemennya. Pandangannya menatap ke arah langit yang penuh bintang malam ini, namun bulan tak terlihat dari balkonnya.
Pikirannya mengarah pada sesosok gadis yang selalu mencuri pandangannya. Padahal gadis itu tidak pernah mencari perhatian padanya, ataupun tebar pesona padanya maupun pria lain. Dan dia menyadari banyak pria yang mencuri pandang ke arah gadis itu.
"Kenapa gadis itu selalu melintas di kepalaku?" gumamnya pelan. "Aku tidak tau, aku membencimu atau menyukaimu. Gerak gerik mu begitu menarik pandanganku."
Tangan kirinya memegang sebatang rokok dan menghisap kembali rokok itu. Setelah hisapan itu dia menekan dan memutar rokok itu pada asbak di meja depannya. Dia berdiri berjalan mendekati dinding kaca balkon, meletakkan kedua tangannya di sana.
"Aaaakkkhhh!!!" teriaknya singkat, kedua tangannya menggaruk kasar rambutnya. "Baru kali ini ada gadis yang masuk dalam kepalaku. Dan mengganggu sistem kerja otak ku!" ucapnya.
Hembusan nafas kasarnya mengakhiri kegiatannya di balkon. Dia masuk ke kamar, mengambil ponselnya di atas nakas.
📨 Jemput aku besok pagi di apartemen!
Pesannya pada asistennya.
Jam 8 Pagi Jovanka sudah berada di ruang kerjanya yang berada dilantai 15. Dia menyandarkan kepalanya di kursi kebesarannya. Pikirannya masih tertuju pada perdebatannya dengan Tristan semalam.
"Tristan benar! sudah 22 tahun aku hidup masih saja jomblo. Aku normal, tapi aku tidak pernah jatuh cinta. Apa julukan yang pantas untuk ku?" gumam Jova pelan.
Tangan kanannya memutar bolpoin, dan jari telunjuk tangan kirinya bermain di pipinya yang mulus. Kemudian dia membuka tasnya dan mengambil cermin. Dan menghadapkan cermin itu ke wajahnya.
"Wahai cermin ku, aku tidak jelek - jelek amat kan?" tanyanya pada cermin kecil seolah - olah cermin nya bisa mendengar dan menjawab pertanyaan. "Kenapa aku jadi bodoh bertanya pada cermin, haha!" Jova tertawa menyadari kebodohannya.
Tok tok tok
"Masuk!" ujar Jova mendengar pintu ruangannya diketuk.
"Maaf nona, 5 menit lagi kita meeting dengan Tuan Hasan dan nyonya Maira!" ucap Mira yang masih berdiri di dekat pintu.
"Baiklah, sekarang saja! ayo!" ajak Jova. Mereka meninggalkan ruangan Jova, menuju ruang rapat di lantai 14.
Mereka keluar dari ruang rapat setelah 3 jam kemudian. Karena terjadi perdebatan yang cukup alot dengan nyonya Maira. Jova & Mira menaiki lift menuju lantai 15, Jova melihat jam di tangannya.
"Busseett!!!" teriak Jova yang mengagetkan Mira di sebelahnya. "Sudah jam 11 lebih, aku telat lagi ke kampus!" keluh Jova dengan raut muka paniknya. Mira hanya melihat sekilas.
Lift terbuka, Jova berlari ke ruangannya mengambil lembaran hukuman dan tasnya. Dan kembali berlari menuju lift. Mira dan beberapa karyawan yang satu lantai dengannya melihat heran atasannya lari bolak balik.
"Aaahh! Dosen gila itu pasti memberi ku hukuman lagi. Apes atau sial sih aku hari ini," Jova ngedumel setelah masuk ke dalam lift.
Setelah lift sampai di lantai dasar dia segera berlari keluar gedung menuju jalan raya depan gedung. Menyebrang jalan dan kembali berlari ke gerbang kampus. Berlari lagi agar segera sampai di kelasnya.
Kampus Jova berada tepat di depan gedung perkantoran yang Ayah Jova sewa. Tapi jika membawa mobil akan memakan waktu yang lebih lama, karena harus putar balik.
Dulu Ayahnya sengaja memasukkan Jova di kampus itu agar dekat dengan kantornya. Lagi pula kampus itu salah satu kampus terbaik di Jakarta.
Setelah berlarian, akhirnya Jova sampai di depan pintu kelasnya dengan nafas ngos - ngosan tentu saja.
Tok tok tok
Jova mengetuk pintu. Dan seorang dosen yang tengah memberi mata kuliah menoleh dengan tatapan yang sulit di artikan. Tentu saja Jova merinding melihat tatapan itu.
"Masuk!" perintah sang Dosen dingin.
"Maaf pak, saya terlambat," Jova berjalan masuk menghadap dosennya. "Ini hukuman saya kemarin." Meletakkan hukumannya menulis lirik lagu Indonesia Raya 10 lembar di meja dosen.
"Ambil!" dosen itu menggeser lembaran hukuman Jova menggunakan bolpoin. "Bawa dan temui saya di ruangan saya setelah mata kuliah ini selesai!" ucap dosennya pelan dan penuh penekanan.
"Baik pak," jawab Jova sembari kembali mengambil lembaran hukumannya, lalu berbalik menuju kursinya.
Pasti di hukum lagi, sial! kenapa harus telat lagi sih.
Batin Jova setelah duduk di kursinya.
Jovanka mengikuti mata kuliah dengan serius, dia tidak mau hukumannya bertambah. Karena dia merasa dialah di kelas yang paling sering di hukum.
Karena memang semenjak bekerja, hampir setiap hari terlambat. Tapi dosen sebelumnya hanya akan menghukum jika terlambat di atas sepuluh menit. Bukan satu menit, atau dua menit seperti dosen baru ini.
Setelah mata kuliah berakhir, sang dosen keluar menuju ruangannya. Jova keluar dengan muka yang di tekuk sampai di depan pintu ruangan dosennya.
Tok tok tok
"Masuk!" terdengar suara dari dalam yang memintanya untuk masuk. Jova membuka pintu ruangan itu.
"Duduk!" perintah dosennya.
Jova duduk tanpa bicara apapun. Dia masih menundukkan kepalanya.
"Kau tau telat berapa menit?"
"20 menit pak," jawab Jova.
"Tulis Pancasila 20 lembar"
"Eh Busseet! 20 lembar," ucap Jova reflek menatap wajah dosennya. Dia segera menutup mulutnya saat menyadari ucapannya yang tidak sopan. "Maaf pak," kembali menunduk dan memanyunkan bibirnya.
"Berikan padaku besok pagi!" perintah dosennya lagi.
Jova menelan saliva nya dengan sangat susah.
"Hampir setiap mata kuliah saya kamu selalu terlambat," ucap sang dosen, "apa kau sengaja? supaya kau bisa berulang kali masuk ke ruangan saya?"
"Apa!!" Jova kaget dengan kelanjutan kalimat dosennya. "Apa saya sebodoh itu melakukan hal konyol seperti ini?" jawab Jova tidak habis pikir dengan pikiran buruk dosennya. Bahkan dia lupa dengan sopan santun yang harus di jaga berhadapan dengan dosennya.
"Kau kan memang bodoh," sahut dosennya dengan santai.
"Yaa ampun pak, saya tau prestasi saya biasa - biasa saja. Tapi jangan terang - terangan mengatai saya bodoh dong!" bantah Jova menyebikkan bibirnya.
"Apa kau sudah lupa dengan sopan santun?" terlihat sang dosen menahan senyum sinis nya.
Oh my God, aku bisa di telan hidup hidup setelah ini. Lihat wajahnya, misterius sekali.
Batin Jova bingung harus menjawab apa.
"Maaf pak," akhirnya hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya.
"Keluar kamu!" perintah sang dosen. "Ingat! sekali lagi kamu terlambat, hukuman mu 2x lipat dari waktu yang kau lewatkan."
Jova kaget, dia membuka mulutnya dan membuka lebar matanya. Tampak sang dosen menaikkan sebelah alisnya. Seolah bertanya, apa? mau protes?
"Baik pak, saya permisi," Jova meletakkan hukuman sebelumnya, kemudian berdiri dari duduknya membalikkan badannya menuju pintu.
"Niat sekali menghukum ku," gumam Jova pelan, tapi masih bisa di dengar dosennya. Sang dosen tidak berniat untuk menjawab.
Sampai di pintu dia memegang handle pintu, sebelum membuka pintu dia menoleh kebelakang, mencoba melihat ekspresi sang dosen. Apa si dosen bahagia menghukumnya.
"Apa!" bentak dosennya. "Masih kurang hukumannya?" lanjutnya, bahkan Jova belum sempat menoleh sepenuhnya, membuat dia tersentak kaget.
"Tidak pak Alex, permisi!" Jova membuka pintu, mengambil langkah seribu meninggalkan ruangan Alex. Alex masih melihat ke arah pintu sampai pintu itu tertutup kembali, kemudian menggelengkan kepalanya pelan lalu bersandar di kursi kerjanya.
Dosen yang di anggap Jova dosen gila itu bernama Alexander. Mahasiswa dan dosen lainnya memanggilnya pak Alex. Selain Tampan dia sangat Jenius, bahkan dia menyelesaikan pendidikannya hingga S3 dengan sangat singkat.
Kabar yang beredar dia belum menikah. Banyak mahasiswi yang curi - curi pandang saat beliau memberi mata kuliah ataupun saat berjalan di area kampus.
Tapi tidak ada satupun mahasiswi yang berani mendekati. Jangankan mendekati, mencari perhatian saja tidak berani. Alex tidak segan menegur siapapun yang melakukan hal yang tidak disukainya. Termasuk mencoba mencari perhatiannya.
Dosen Tampan adalah julukan dari mahasiswi di sana untuknya. Hanya Jova yang menyebutnya dosen gila. Bukan tanpa alasan, awalnya dia juga menyebut dosen itu dosen tampan. Tapi dua bulan kemudian dia merasa, dia yang paling sering di hukum karena telat. Sejak itu Jova menyebutnya dosen gila.
Dosen Alexander
Jovanka Lovata Barraq
Setelah Jova pergi dari ruangan dosen Alex, dia berniat langsung kembali ke kantornya. Menyebrang jalanan yang lengah karena jam istirahat makan siang sudah lewat.
Jova memasuki Lobby menuju lift dan masuk, lalu menekan angka 15. Setelah sampai di lantai 15, dia menuju ruangannya.
"Mira, apa laporan hari ini sudah kamu rekap?" tanya Jova pada Mira yang meja kerja nya berada di depan pintu ruangan Jova.
"Sudah nona," jawab Mira.
"Bawa ke ruangan saya sekarang!" perintah Jova.
"Siap nona."
Jova membuka pintu dan langsung mendudukkan dirinya dengan malas di kursi kebesarannya.
Tok tok tok
"Masuk!" sahut Jova dari dalam.
Mira masuk dan meletakkan laporan di meja kerja Jova.
"Duduklah!" ucap Jova.
Jova segera membuka laporan satu persatu. Setelah merasa laporan itu benar dia menandatangi yang perlu untuk di tandatangani. Meskipun dengan menghembuskan nafas kasar. Karena tidak ada perkembangan di bagian pemasaran maupun keuangan.
Jova memberikan tumpukan laporan itu kembali pada Mira.
"Kau boleh keluar!" ucap Jova.
"Baik nona, saya permisi," ucap Mira.
"Hemm," jawab Jova.
Jova kembali menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Pikirannya berantakan tidak karuan.
"Putra Gibran sialan!" umpat Jova sedikit berteriak.
"Satu lagi, Dosen gila!" umpatnya pada orang - orang yang membuatnya pusing.
Dia kembali teringat ucapan Tristan juga.
"Haaaahh! menyebalkan semuanya, huuh!" Jova mendesah sebal.
# # # # # #
Sore hari di gedung yang menjulang tinggi, dimana seluruh lantainya di gunakan oleh satu perusahaan saja. Tepat dilantai teratas seorang pria berusia 29 tahun tengah duduk di singgasananya yang berada di lantai teratas gedung ini.
Di meja kerjanya sudah ada tumpukan laporan perusahaan hari ini. Di meja itu terdapat papan nama tanpa nama lengkap, hanya bertuliskan CEO GROUP G.
"Masuk!" ucap pria itu setelah mendengar pintu ruangannya di ketuk.
🪴🪴🪴
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!