Budayakan like, komen, and vote supaya lebih semangat untuk up cerita. Bantu Author untuk tingkatkan cerita ini. Bila ada yang mau dibaca ceritanya, silahkan japri 😉
-oOo-
Sorot mata tajam tertuju pada mahasiswi yang sedang berbicara dengan seorang lelaki sambil tertawa dan saling bercanda. Tangan yang disembunyikan dalam saku, mengepal erat. Ingin ia bunuh lelaki yang tengah berbicara dengan wanita itu.
Rasa cemburu di hati bergejolak marah. Dia mengeluarkan ponsel dan mendekatkan ke telinga kiri. "Habisi lelaki bernama Carvino. Buat dia kecelakaan," titah pria yang sedang melihat mereka dari kejauhan. Dia menyimpan ponsel ke saku celana kembali.
Tunggu aku yang berada di hadapanmu, katanya dalam hati.
Dia berjalan melalui mereka berdua. Tatapan sinis tertuju pada wanita itu. Seketika, bibir wanita itu terdiam. Senyuman demi senyuman hilang. Tatapan itu memiliki arti tersendiri, tapi wanita itu tidak tahu. Dia agak takut saja saat melihat wajah Dosen idola para mahasiswa. Lalu, ia tidak menghiraukan tatapan itu lagi. Dia kembali berbicara dengan lelaki di hadapannya.
-oOo-
Cuaca tak seberapa cerah. Angin menghembus, membuat rambut panjang milik wanita di lorong ikut bersepoi. Di ujung sana terlihat embun menutupi sebagian bangunan. Lalu lintas tampak macet, klekson berbunyi, itu sebabnya wanita berambut hitam coklat kepirangan sederhana itu sudah sampai di kampus lebih awal-dia tidak ingin telat. Suasana kampus cukup ricuh. Ada yang duduk manis di kantin, ada yang membahas pekerjaan, dan ada juga yang bermain game online bersama temannya. Bagi wanita berumur 21 tahun sederhana itu, menyendiri adalah hal terbaik dalam hidupnya.
Semenjak kematian Carvino karena kecelakaan mobil beberapa tahun lalu, dia merasa kesepian. Carvino adalah teman baiknya dan sering mengajak bercanda. Tali tas selempang menyilang di tubuhnya. Jauh dari kericuhan dan jeritan-jeritan nyaring saat wanita melihat foto bias. Dia beda sendiri. Dia berani berdiri sendiri di lorong lantai paling atas. Lantai paling atas itu hanya terdapat satu ruangan gudang yang tidak terawat. Tidak ada tempat duduk atau kelas. Itulah kenapa tak ada orang naik ke lantai ini. Sepi senyap. Hanya terdengar angin bersepoi-sepoi riang di lantai itu.
Kedua tangannya terlipat berada di tiang penyangga. Dagunya mendarat di lipatan tangan. Matanya berkedip dan telinganya mendengar hembusan angin kencang. Untung saja, dia mengenakan jaket hijau polos kesayangannya, kaos abu-abu polos, serta celana jeans hitam ke kampus. Dia tidak suka menghabiskan uangnya untuk membeli peralatan make-up. Walau tidak pakai make-up, dia juga terlihat cantik. Baginya, sederhana itu indah. Dengan pakaian seperti itu, dia tidak dingin dan tidak mengundang pria-pria dekat dengannya. Dia baru saja absen semalam karena demam. Saat ini, badannya juga hangat.
Wanita sederhana itu, Nara. Si wanita yang terkenal pendiam, polos, dan sederhana di Kampus Ochado. Dia salah satu yang terancam di-bully. Dia kuliah sambil bekerja. Di kerjanya pun hanya dua teman yang sangat dia kenal dekat. Yang satu Malvin dan yang satu lagi Arna. Dia jarang bergaul atau berkomunikasi dengan orang lain. Bukannya dia takut, tapi ia tidak nyaman dengan orang-orang di luar sana. Malangnya, wanita ini kehilangan orang tuanya saat ia masih kecil. Dan sekarang begitu terpukul karena kematian Carvino.
Hari ini, hati Nara tampak gusar. Entah apa saja yang ada dalam hatinya, tapi rasanya... dia ingin menangis. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara dalam kampus ini. Ia pendam sendiri rasa itu, berharap sebentar lagi akan baik-baik saja.
Ketukan tapak sepatu kantor menggema di lorong terbuka. Sudah tiga semester Nara suka berada di lorong ini, tapi baru kali ini ia mendengar orang datang. Walau dia dengar suara itu, dia tidak menoleh untuk melihat siapa orang itu. Dipejamkan matanya, jantungnya langsung menyusut, dan berdetak kencang. Tubuhnya melemas. Harapannya, semua akan baik-baik saja.
"Kamu baik-baik saja?" suara maskulin yang sangat ia kenal dan sangat terkenal di kampus ini, menggema di telinganya. Percis dengan suara dosen idola, Pak Adam. Tatapan mata sinis yang dulu pernah ia lihat, mengusik jiwanya. Nara berusaha tidak menghiraukan tatapan itu. Dosen idola yang mengajar di bidang management itu, menggemparkan seluruh masyarakat.
Pemilik mata amber, hidung mancung bagai paruh beo, bibir tidak tipis tidak tebal, brewok tipis, rambutnya hitam keemasan, dan badannya tegap. Dia tak percaya suara milik dosen idola para kaum wanita yang awalnya killer, dingin, masih anak muda, dan sifat lainnya yang membuat dia istimewa di kampus ini, dapat mengetahui di mana Nara berada. Ditambah parfum jantan yang terbawa angin ke hidung Nara, membuat Nara memastikan bahwa pria itu adalah dosen idola itu.
Sayangnya, Nara bukan wanita yang ingin dekat dengan dosen itu, melainkan ia takut. Walaupun tampan seperti model-model pria barat, Nara terus menjauh. Saat dia mencium wangi parfum jantan khas dosen itu saja, dia sudah lari seratus meter dari kampus. Perasaan Nara, dosennya bagai pria yang ingin menculiknya. Nara tak berani menatap atau berbincang dengannya.
"Hei?" pria itu melambaikan tangannya di hadapan Nara, "Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?"
Nara mundur satu langkah tergesa-gesa, membalikkan badannya ke kanan untuk menghormat si dosen, dan menunduk. Tinggi Nara baru sampai ujung dagu pria itu. Dia berada di hadapan dosen. Kedua tangannya mengerat di ujung jaket. Jantungnya mulai berdetak cepat. Kakinya lemas. Pertama kalinya Nara berbincang dengan si dosen. Tak berani dia naikkan kepalanya.
"I-iya, Pak. Ss-saya baik," jawabnya dengan gugup.
"Semalam, kamu nggak datang, ya? Soalnya nggak kelihatan," kata dosennya dengan intonasi bahagia. Nara meneguk ludah. Pikirnya, mana ada dosen yang kepo sampai tahu Nara tidak datang semalam. Menurut jadwal, Pak Adam tidak masuk ke kelasnya semalam. Lalu, bagaimana dia bisa tahu kalau Nara tidak datang semalam?
"I-iya, Pak," jawab Nara singkat dan gugup walau ada pertanyaan di benaknya. Dia tersenyum sedikit saat menjawab untuk menghargai dosennya. Nara tetap menunduk.
Telapak tangan pria itu langsung mendarat di kening Nara. Tanpa sebab apa pun, tanpa izin dari Nara, pria itu bisa menyentuh Nara seenaknya. "Kamu demam, Nara. Kenapa kamu datang? Istirahat saja di rumah. Kamu nggak rasa badanmu panas? Udah makan obat, belum? Atau kamu belum ke dokter?" Nara terkejut mendengar berbagai pertanyaan yang menunjukkan perhatian dosennya
"Udah, Pak," jawab Nara singkat. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi.
"Kamu nggak boleh kena angin. Masuk ke kelas, lagipula sebentar lagi udah mau masuk. Saya takut kondisimu tambah parah," nasihat pria itu dan menjauhkan tangannya dari kening Nara. Tapi Nara keras kepala. Dia tidak ingin masuk ke ruangannya karena dia benci mahasiswi yang terlalu tinggi gayanya.
"Hei, kamu nggak dengar? Masuk," spontan Nara menggeleng kaku. Ini membuat dosennya tersenyum mulus akan keras kepala Nara. Dia bertanya lagi, "Kenapa kamu nggak pulang saja?"
Tanpa banyak kata-kata, pria itu membuka jasnya dan meletakkan jas itu ke punggung Nara. Dosennnya merapikan jas itu untuk melindungi Nara dari angin-angin. Wangi parfum maskulin begitu menyeruak. Tinggal kemeja putih lengan panjang dengan dasi biru dan celana kantor menempel di tubuh dosen. Otot di bahu Dosen sangat terlihat. Nara tak percaya Dosen yang satu ini begitu peduli padanya, tapi Nara geli sendiri. Dia menganggap Dosennya pedofil. Masa bisa-bisanya seorang Dosen peduli dengan mahasiswinya tanpa alasan yang jelas? Guru-guru di luar sana yang Nara kenal dekat saja tidak seperti ini.
"Kamu keras kepala. Saya takut kamu tambah parah. Jaketmu tipis. Jadi, saya tambahkan pelindung untukmu," ujar Dosennya dengan cukup perhatian.
Nara tak sanggup berbicara lagi. Baru ia maju satu langkah untuk mengembalikan jasnya, dosennya itu langsung memeluknya. Membiarkan kepala Nara berbaring di dada kekarnya.
"EH!" seru Nara terkejut.
"Naraku haruslah sehat. Dia tidak boleh sakit dan absen," kata pria itu. Naraku? Nara bukan miliknya. Kenapa dia bisa menyebut seperti itu?
Nara mulai berpikiran negatif. Dia tidak nyaman dalam dekapan Dosennya. Dia berekspektasi. Apa yang harus dia katakan jika ada yang tahu soal pelukan ini? Pastinya, dia akan dicemooh.
Lamanya Nara berada di dekapan dosen sampai langit mulai gelap. Tak berani Nara meronta. Matahari tenggelam. terlihat lampu-lampu kerlap-kerlip dari atas sana. Saatnya masuk ke ruangannya. Nara mendorong halus dada pria itu, membuat lilitan di tubuh Nara terlepas. Nara mengembalikan jas milik Dosennya. Setelah Dosennya menerima jas itu, Nara angkat suara.
"Terima kasih, Pak," kata Nara sambil menunduk.
"Sama-sama," jawab Dosennya. Senyuman tergambar di wajah pria itu saat Nara membalikkan tubuh dan meninggalkannya. Wangi parfum pria itu menempel di jaket Nara. Saat Nara berjalan, wangi parfum itu mengikuti angin. Kadang, Nara merasa kesal mencium aroma parfum itu. Pasti akan ditanya-tanya para mahasiswi atau lainnya.
Di sisi lain, pria itu tersenyum halus. Mata amber tajam itu seperti menyampaikan maksud. Dia tahu wangi parfum akan bertahan lama. Jadi ini adalah jebakan. Siapa yang terkena parfum itu, maka ia akan menjadi milik pria itu selamanya. Selamanya.
Nara, aku tidak suka melihat ada pria lain yang mendekatimu. Kau adalah milikku, Nara. Lihat saja, milikku, batin pria itu.
-oOo-
Menghayal punya devil dosen kayak gitu :)
Kampus tampak ricuh. Cuaca tak mendukung mahasiswa-mahasiswi pulang dari kampus. Hujan turun dari awan. Petir mengisi ketegangan cuaca. Lalu lintas sana, tampak macet dari lorong lantai paling atas. Suhunya beranjak dingin, membuat Nara memeluk dirinya sendiri. Setelah lonceng pulang, ia tak berani menginjakkan kaki di gerbang kampus. Dia trauma atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di kelas tadi. Hampir saja, Nara menangis mendengar pertanyaan tidak benar itu seperti, "Sudah jadian sama Pak Adam? Cari perhatian sama Pak Adam? Kok wangi parfum Pak Adam? Jadi wanita bayarannya? Udah mau nikah?"
Dan berbagai ejekan kasar, "Rupanya cewek pendiam sepertinya, muka dua. Nggak nyangka ada yang bisa dekat. Mungkin dia ngajak Pak Adam satu ranjang? Biasalah ... cewek nggak tahu diri, yang jelek, sok polos, sok sederhana ... eh ternyata nusuk dari belakang." Dan lain sebagainya yang bersifat menusuk perasaan Nara. Para mahasiswi tampaknya iri karena parfum milik Dosen idola mereka menempel di jaket Nara.
Nara menitikkan air mata. Dia tahu bahwa dirinya tidak bersalah. Dia bukan apa yang dimaksud teman satu kelas. Padahal, Dosennya yang ingin dekat dengan dirinya bukan sebaliknya. Dia tak sadar di belakang terdapat seorang pria yang lebih tinggi darinya. Kepala Nara hanya mencapai ujung dagunya. Tatapannya tertuju pada kepala Nara. Pria itu tersenyum miring atas keberhasilannya. Pria itu tahu Nara menangis.
"Keras kepala," kata pria itu dan kedua tangannya langsung memeluk Nara dari belakang seperti memeluk boneka, "kalau udah tahu dingin, jangan cari mati di sini. Saya khawatir kamu akan tambah parah."
Nara terkejut merasakan pelukan hangat itu dan suara Dosennya. Kedua kali pria itu menyentuh Nara tanpa izin. Sekarang bagi Nara, pria itu seperti ingin melecehnya. Nara baru mencondongkan badannya ke depan— hendak pergi—tapi pria itu memeluknya lebih erat lagi.
"Saya tahu kamu nangis karena mereka. Pertanyaan dan omongan mereka memang menyakiti perasaanmu, tapi saya bakal mengobati rasa sakit itu. Saya tahu kamu juga takut dicelakai karena kamu itu dekat dengan saya. Tenang saja, mereka bakal dapat akibatnya," kata pria itu. "Kamu nggak bisa pulang kalau hujannya deras seperti ini. Ini sudah malam, saya nggak berani kasih kamu pulang sendiri. Lebih baik saya antar."
Nara terkesiap. Nara pikir, setelah diantar dia mau diapain nantinya. Nara mengehentikan tangisannya. "Oh, enggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," kata Nara dan brrusaha menepis lilitan di tubuh.
Pria itu mengeratkan pelukan, membuat Mara tegang setengah mati.
"Jangan membantah. Saya tidak suka. Naraku harus menerima semua tawaran saya." Sekali lagi, Naraku. Nara bukan miliknya.
"Pa-pak, tapi saya bukan siapa-siapa Bapak." Nara menepis tangan pria itu. Di belakamg sana, pria itu menyeringai. Bukan siapa-siapa kata Nara? Dia akan membuat Nara menjadi siapa-siapanya hari ini juga.
Tak lama kemudian, pelukannya terlepas. Mata Nara langsung ditutupi kain putih. Tangan Nara langsung diikat dengan tali tambang. Ini menyebabkan Nara heboh. Dia tidak bisa melihat apa pun yang terjadi.
"Pak? PAK?! Lepaskan aku! Lepas!" pekik Nara sambil meronta. Dia berusaha mengeluarkan tangannya dari ikatan tali, tapi tidak bisa.
Tidak terlihat apa pun di mata Nara. Pria yang membuat Nara seperti ini hanya tersenyum. Dia langsung memanggul Nara, tak peduli punggungnya terus dipukul keras-keras. Dia membawa Nara pergi ke suatu tempat yang ia sukai.
"LEPAS! LEPAS! PAK! TOLONG! TOLONG!" pekik Nara dengan suara lengkingnya. Sialnya, pria itu tak peduli banyak dengan pekikan Nara. Pria itu tahu jika tidak ada seorang pun dapat menolong Nara.
Rupanya di saat hujan deras seperti ini, pria itu membawa Nara ke ruang gudang di sebelah lorong. Pria itu membuka pintu gudang dengan kunci yang ia miliki. Dia berjalan masuk, meletakkan Nara di lantai. Dia menekan tombol lampu agar lampu di tengah langit-langit bersinar. Mata Nara mulai merasakan sinar yang sangat terang.
"Pak! Pak! Lepaskan! Lepaskan aku, PAK!" jerit Nara sampai gelombang suaranya menyentuh uvula. Nara menggoyang-goyangkan tubuhnya kasar. Pria itu benar-benar tuli. Dia tak terusik dengan jeritan Nara.
Suara pintu terkunci terdengar. Nara mulai heboh. Nara menggerak-gerakkan tangannya dengan kuat, berharap dia bisa lolos dari ikatan tali tambang. Nara menendang-nendang udara. Lima detik kemudian, pria itu membuka kain yang menutup mata Nara. Dia juga membuka ikatan tali. Terlihat ruangan serba putih ini. Terlihat juga mata amber milik pria itu bersinar.
"Ada apa Nara?" tanya pria itu. Saat tangan pria itu ingin menyentuh bahu Nara, Nara menyeret dirinya mundur lalu berdiri. Nara membenarkan pakaiannya. Dia melihat ruangan gudang tampak bersih dan terawat. Hanya tersisa dua perabot di tengah ruangan, yaitu meja dan kursi. Rupanya, ini tidak digunakan sebagai gudang. Tapi ruangan yang aneh.
"Aku ingin pergi!" pekik Nara sambil menatap tajam pria itu. Nara sudah menghilangkan rasa takutnya karena dia merasa ingin dilecehkan si dosen.
"Pergi? Pergi ke mana?" Pria itu melangkah maju, membuat Nara mundur. "Nara, kamu hanyalah milik Bapak. Bapak boleh menyentuhmu kapan saja dan di mana saja. Ingat, setelah hari ini, Bapak tidak mau kamu pergi bersama pria lain.
Pria itu tersenyum ketika Nara memekik ketakutan. "MENJAUH! JANGAN MENDEKAT!" Nara memekik berulang kali, tapi pria itu tetap berjalan maju. Dia tak peduli perkataan Nara.
Kaki pria itu terus maju, Nara harus mundur. Saat tangan pria itu ingin menyentuh pipi Nara, Nara menangkisnya. Tangan kanan pria itu langsung menahan tembok. Nara baru sadar kini dia sudah berada di ujung tanduk. Saat itu juga mata Amber pria itu berubah tajam. Bibirnya mengecil. Alisnya berkerut. Nara menunduk malu. Dia takut melihat tatapan tajam itu.
"Cantik," puji pria itu. Tangan kirinya menyentuh pipi Nara. "Bermalaman di sini?" Pertanyaan itu membangkitkan ketakutan Nara. Nara menggeleng cepat. Dia ingin menangis. Nara mendorong bidang dadanya.
Saat Nara beranjak berlari, tangan kiri pria itu mendorong tubuh Nara. Membuat tubuh Nara menghantam tembok cat putih. Tangan kiri itu mencekam bahu dilapisi jaket milik Nara.
"Diam di sini," titah pria itu. "Saya sarankan kamu tidak memberi tahu siapa pun tentang hal ini, Nara. Jika kamu memberi tahu seseorang, saya akan membuat oramg itu menderita. Percayalah ... saya bisa melakukan apa pun yang saya mau. Termasuk, memilikimu. Terakhir, kamu akan berurusan dengan saya tiap harinya."
"PERGILAH! PERGI!" Nara meronta. Dia asyik mendorong badan tegap. Melawan badan tegap dengan mungil, tentu saja Nara kalah.
Sudah hilang kesabaran. Pria itu mendekatkan tubuhnya ke Nara hingga tak ada sisa satu centimeter pun. Batang hidung mereka bersentuhan. Pria itu menyeringai.
"Sampai saya puas di sini bersamamu, Nara. Saya tahu kamu takut, tapi biarkan rasa takut itu berlalu. Saya akan memilikimu" Tangannya membenarkan helai rambut-rambut Nara yang berserakan di leher. "Saya khawatir terhadap wanita cantik sepertimu."
"Aku BUKAN MILIK BAPAK! HENTIKAN!" Nara memekik. Tak ada yang peduli dengan jeritan itu.
Sang dosen mencekam batin Nara. Tidak ia sangka bahwa dosen semuda, setampan, seterkenal di kampusnya, bisa melakukan hal ini. Dipikiran Nara saat pertama kali pertemuan, Dosennya itu adalah orang yang baik. Tapi sekarang, Dosennya itu sudah gila atau dia sedang terobsesi padanya.
"Saya khawatir." Pria itu langsung mengecup leher milik Nara. Nara mendongak, merasakan tingkat menjijikkan ini. Matanya berair. Diteteskannya air mata. "Khawatir terhadapmu ...." Pria itu menjauhkan kecupannya.
Perlahan, mata Amber pria itu meredup. Tangan yang menahan tembok menjadi lemas. Tubuhnya mulai berat. Tiba-tiba saja kakinya tak bisa berdiri dengan baik. Nara yang sadar akan hal itu, langsung memeluk pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya ke lantai putih kilat. Nara mencari kunci di jas pria itu. Merogoh saku-saku jasnya dan juga celana. Setelah dapat, Nara langsung berlari kencang sambil menutup mulutnya yang terisi cairan menjijikkan, dan membuka pintu tergesa-gesa. Setelah keluar, dia membuang kunci itu ke sembarang arah. Dengan secepat mungkin, Nara berlari menuruni anak tangga dan mencari toilet terdekat.
Di sisi lain, pria itu tersenyum halus. Katup matanya terbuka setelah Nara pergi. Perlahan-lahan, ia berdiri. Membenarkan jas hitam beliris-lirisnya. Tidak dia rasakan sedikit pusing pun, melainkan senang bisa dekat dengan Nara dan mengecupnya. Besok, dia rencanakan akan minta maaf kepada Nara dan memberikannya sebungkus cokelat. Dia akan beralasan bahwa semalam dia hanya kehilangan kesadaran.
Dia berjalan menuju pintu yang terbuka lebar. Mengambil kunci yang tergeletak di lantai. Badannya berdiri tegak. Tatapannya tegas. Dia memasukkan benda sejenis headset bluetooth di telinga kirinya.
"Cari tahu apa yang terjadi. Jangan sampai dia lepas," titahnya.
Dia keluar dari ruangan ini. Pintu ruangan dia kunci. Langkah besar mengambarkan sifat laki-lakinya. Bukannya dia pulang dari kampus, melainkan singgah di lorong kesayangan Nara. Dia tahu Nara takkan singgah ke tempat ini lagi setelah kejadian yang dibuatnya. Nara pasti akan mencari tempat baru untuk menyendiri. Dan sebentar saja, dia akan tahu di mana Nara berada.
Matanya melihat ke bangunan tinggi dengan cahaya berkerlap-kerlip. Kedua tangan dimasukkan ke saku celananya. Satu telinganya menyerap informasi dari alat itu. Senyuman halus tak kunjung menghilang. Dan terakhir, dia berkata dalam hati, *K*au takkan bisa lari lagi dariku.
-oOo-
Ciri-ciri posesif, ada yang mau menambahkan?
Setelah Nara pulang kerja jam 5, dia langsung menuju kampus dengan menggunakan ojek jalanan. Jaket hijau polos yang semalam dipakainya, menutupi kaos merah bertulisan. Wangi parfum Dosen masih menempel di jaketnya, membuatnya merasa kesal sewaktu berjalan. Nara sudah sembuh dari demam. Dia tetap memakai celana panjang hitam ke mana-mana karena dia tak ingin mengundang tatapan para pria. Kini, dia tengah berjalan menuju pintu kampus yang terbuka lebar. Tangannya meggenggam erat tali tas selempangnya. Rambut hitam pirang kecoklatanya bersepoi-sepoi karena angin gembira datang. Matanya mentap kosong lantai beton bercorak batu. Banyak juga mahasiswa-mahasiswi yang berjalan di sini. Mereka yang mencium aroma parfum dari jaket Nara, merasa iri dengan Nara karena mengira, dia punya parfum yang sama dengan Pak Adam. Jarak pagar ke pintu, sekitar 20 meter. Pendiri kampus memang pandai. Dia ingin mahasiswa dan mahasiswinya berjalan agar sehat.
Sebenarnya, hatinya itu tidak enak menuju kampus. Berawal dari kejadian semalam membuatnya trauma dan berasumsi bahwa tak ada Dosen yang baik. Terlintas kejadian semalam di benaknya, sekarang dia ingin memuntahkan cairan dalam perut sekali lagi.
"Uhuk-uhuk," Nara batuk untuk menghilangkan rasa mualnya.
Tiba-tiba saja seorang pria datang ke hadapannya. Nara yang melihat ujung sepatu hitam seseorang, langsung berhenti, dan menaikkan tatapan. Kemeja putih berlengan panjang dan celana panjang hitam, dikenakan pria itu. Dia adalah seorang SOS yang bertugas membersihkan kampus. Pria itu langsung menyodorkan sebuah kertas kecil dilipat kepada Nara, lalu dia pergi untuk membereskan tugasnya.
Nara membuka lipatan itu ditengah keramaian. Mahasiswi yang melihat hal itu, mulai berbisik yang tidak-tidak tentang Nara. Nara berpaling ke kanan untuk melihat para wanita lalu kembali melihat lipatan kertasnya. Nara berjalan seiring membuka lipatan kertas. Dia melihat tulisan tangan yang mirip sekali dengan tulisan Pak Adam. Nara berhenti berjalan setelah membaca tulisan itu. Dia takut ancaman dari pria itu.
Kertasnya tertulis, Datang ke kantor sekarang dan lihat ke jendela lantai 5, temukan di mana saya. Jika kamu tidak datang, penderitaanmu akan berjalan.
Nara melihat ke jendela-jendela kampus. Matanya hampir meneteskan air mata. Ketakutan tak bisa dijelaskan. Jantung berdegap begitu cepat. Tangan memucat dan dingin. Terlihat juga tangan gemetar dari cara dia memegang kertas kecil. Semua wanita yang sedang berjalan, melihatnya dengan tatapan meremehkan. Mereka mengira bahwa SOS itu memberikan surat cinta kepada Nara.
Nara menangkap sesosok pria itu di jendela dari kejauhan. Lalu, gorden jendela itu tertutup. Nara menurunkan tatapan lalu berjalan lebih cepat di antara mahasiswi. Tangannya meremas kertas kecil itu. Dia mengusap air mata yang hampir terjatuh dari kantung mata. Dia naik lift menuju lantai 5. Di dalam lift, berbagai bisikan tentangnya mulai beredar. Dari sini, Nara semakin marah. Kedua tangannya mengerat. Suhu badannya memanas.
Pintu lift terbuka saat mencapai lantai-lantai, membuat mahasiswi satu per satu keluar dari lift. Tinggal dia sendiri saat naik ke lantai 5. Saat pintu lift terbuka, dia berjalan pergi. Di lorong kantor dosen sebelah kiri, sangatlah sepi seperti tak ada dosen yang keluar. Nara berjalan sambil melihat ruangan para dosen. Tidak ada dosen di dalam ruangan. Ini tampak aneh di mata Nara.
Nara berjalan dengan begitu tegas ke ruangan kedua yang dihitung dari ujung. Pintu besi warna putih yang terdapat jendela kecil di atas berada di hadapan Nara. Tanpa mengetuk pintu, Nara langsung masuk ke ruangan pria itu dan menutup pintu dengan kesal. Nara melihat bangku kerja menghadap ke jendela.
Sampai di ruangan ini, semuanya menjadi dingin. Angin AC meraba kulit wajah Nara dan membawa parfum milik dosennya menuju lubang hidung. Meja hitam yang terisi buku-buku disusun rapi, terdapat di depan bangku. Lemari hitam berada di sisi kiri ruangan kecil ini dan rak buku di sebelah kanan. Bibirnya tak berani berkata sepatah kata pun, padahal dalam hatinya ingin memaki Dosen tersebut.
"Nara," pria itu memutar kursinya dan mata Amber unik itu langsung menatap Nara. Nara menunduk setelah menangkap mata dosennya.
"Saya ingin minta maaf tentang apa yang saya lakukan semalam." Dari kata maaf dan suara Dosen-nya itu, dapat membuat hati Nara luluh dan tidak berniat memaki dosennya lagi. Entah jurus apa yang dipakai.
Pria itu bangkit dari bangku kesayangannya. Dia berjalan melawati jalan kecil yang tersisa ke hadapan Nara. "Saya kehilangan kesadaran semalam. Sekali lagi, maafkan saya," kata Dosen-nya. Tiba-tiba saja kedua tangan menggenggam pergelangan tangan Nara.
"Nara, kamu dengar saya?" tanya pria itu dengan intonasi sedih. Padahal, dia hanya bersandiwara. "Nara?"
Pria itu bingung melihat Nara yang tidak kunjung menajawabnya. Nara hanya menunduk malu dan air matanya hampir menetes.
"Ayolah, Nara.... Bapak tidak tahu hal itu akan terjadi. Semalam, Bapak terlalu banyak pikiran. Nara... maafkan saya yang tidak berguna ini," pria itu memohon lagi dengan intonasi sedihnya. Dia melihat Nara mulai terisak-isak. Tak lama kemudian, dia langsung memeluk Nara dengan begitu erat. Dia membiarkan pipi kanan Nara mendarat di bidang dada. Tangan kanannya menepuk punggung Nara.
"Sudahlah ... jangan menangis," kata pria itu. Dia tersenyum licik saat merasakan isakan Nara lebih cepat. Lebih licik dan lebih penuh lagi rasa senangnya melihat semua ini.
Di dalam pelukan erat ini, Nara berpikir luas. Nara tak tahu bagaimana cara menjauh dari Dosen-nya. Bisikan tentang dia menerima surat dari SOS, mulai beredar. Ini bisa membuat reputasinya hancur. Nara berpikir lagi tentang bagaimana bila mahasiswi tahu bahwa dia dan Dosen populer berpelukan seperti ini. Nara pasti akan disakiti mereka. Dan Nara berpikir juga, bagaimana bila dosennya ini melecehkannya suatu hari nanti?
"Dosen mana yang tak peduli mahasiswinya? Saya berjanji akan menjaga utuh reputasimu di kampus ini. Saya minta maaf, Nara," katanya. Nara tidak semudah itu memaafkan Dosen-nya. Lama tak lama, Nara akan menjauh dari Dosen itu.
Kedua tangan Nara yang mengerat dan bergetar, mulai naik. Dia mendorong lengan si Dosen. Tangannya terus bergetar, seakan tak sanggup mendorong Dosen itu. Harapannya adalah bisa lari dan masuk kelas. Saat Nara ingin keluar dari pelukan dosennya, dosennya itu mengeratkan pelukannya. Nara tidak bisa lari. Bibirnya bergetar.
Terakhir, Nara mendorong Dosen-nya dengan sekuat tenaga hingga dosennya melepaskan pelukan. Tanpa menatap mata Dosen-nya, Nara langsung membuka pintu ruangan dan menutupnya dengan kuat. Nara berlari sambil menyeka air mata yang menetes ke pipi. Tidak ada dosen yang berlalu lalang di lorong. Nara mulai menaiki lift dan turun ke ruang kelas di lantai tiga.
Di ruangan dosen, pria itu tersenyum penuh atas kemenangannya. Ponsel berdering. Dia mengambil ponsel dari saku celana. Dia menggeser tombol hijau ke atas. Di dekatkan ke telinganya.
"Tuan, informasinya sudah sampai," kata pria di seberang sana.
"Bagus," katanya. Lalu dia menutup telepon. Dia keluar dari kantor dengan penuh semangat.
Di sisi lain, Nara duduk sambil melipat tangan di atas meja. Direbahkan keningnya di atas lipatan tangan. Matanya berair. Dia terisak-isak. Rasanya, reputasinya telah diinjak-injak. Dia mendengar bisikan-bisikan mahasiswi dari belakang. Nara duduk di meja yang berhadapan dengan Dosen. Hari ini, yang masuk adalah Dosen yang ingin dia hindari, Pak Adam. Ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu mahasiswi untuk melihat Dosen Idola mereka. Saat Dosen itu mengajar, mahasiswi bukannya menyerap pelajaran yang disampaikan, melainkan berbunga-bunga.
Suara ketukan sepatu mulai menggema di ruangan. Semuanya menjadi dingin. Bisikan-bisikan tentang Nara langsung meredup. Mereka semua berdiri sesuai perintah ketua, begitu juga Nara. Nara berdiri menunduk. Rambutnya berserakan. Dia tidak memiliki semangat belajar jika melihat wajah Dosen itu. Mereka semua menunduk 45 derajat, kecuali Nara. Dia tidak ingin memberikan hormat. Setelah si Dosen mengangguk, mereka semua duduk.
Nara menatap tepi meja. Dosen mulai menulis sesuatu di papan. Nara mengeluarkan buku dan pulpen-nya. Tangan kanannya menggenggam pulpen. Tangan kirinya menopang kepalanya agar tidak terjatuh. Sesekali dia melihat Dosen dan sesekali tangannya mencatat.
Setelah dua jam berlalu, kini saatnya kelas bubar. Mereka memberi hormat, baru Dosen itu meninggalkan ruangan termasuk mereka. Nara bergegas turun dari tangga, melewati jalanan sempit, dan menyelip ke sana kemari. Para mahasiswi berbisik tentangnya. Dia mulai terkenal di kampus ini.
Hari ini, dia ingin cepat pulang dari kampus. Dia tidak ingin bertemu Pak Adam dan diajak pulang lagi. Tapi... saat dia menginjakkan lantai setelah anak tangga terakhir, dia melihat Dosen itu sedang berbicara dengan Dosen lain. Sesekali bibir pria itu tersenyum dan sesekali matanya melihat Nara. Kaki kanan Nara melangkah lambat untuk menginjak lantai. Dia disenggol oleh mahasiswa lain yang terburu-buru. Jantungnya berdegap begitu cepat. Dia menundukkan kepala, tak sengaja terlihat ada kertas koyakan yang dilipat. Dia tahu, itu pasti dari Pak Adam. Dia takut si Dosen akan cari masalah jika dia tidak mengambil kertas itu.
Dia mulai bercangkung. Diambil kertas itu. Dia berdiri kembali. Dibuka lipatan kertas. Tertulis, saya akan mengantarmu pulang. Tunggu saya di pintu belakang.
Nara menaikkan tatapan. Dia melihat pria itu tersenyum kepadanya, lalu dia berjalan ke arah kanan.
Sial, aku tak bisa lari darinya, batin Nara.
-oOo-
Masihkah menunggu cerita ini?
Hati-hati, Nara mau diapain?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!