NovelToon NovelToon

Mayang Dan Bima

Pertemuan Pertama

Pertemuan pertama Bima dan Mayang.

Namanya Pak Dibyo, gadis itu membaca nama dari name tag di kemeja batiknya. Dia mempersilahkan untuk menunggu di ruangan yang penuh piala-piala dan berbagai piagam berbingkai yang terpasang rapi di tembok berwarna putih gading.

"Bapak, mohon maaf menunggu sebentar ya. Pak Kepala Sekolah ada rapat mendadak dengan Kepala Dinas. Sebentar kok, Pak."

"Ya, Pak. Terimakasih, mohon maaf saya ingin menumpang ke kamar mandi sebentar," Papa menepuk pundak Mayang sambil berlalu.

"Mayang, Papa ke kamar mandi sebentar ya."

"Mari, Pak saya antar. Sebelah sini."

Papa mengikuti langkah Pak Dibyo menuju lorong yang asing bagi Mayang. Dia pindah sekolah lagi, lagi-lagi karena pekerjaan Papanya.

Diamatinya satu-persatu piala-piala itu. Juga foto tim paskibra yang memegang piala kemenangan, terpajang di tengah-tebgah puluhan piala mengkilat itu. Dia kurang tertarik pada eskul sekolah lamanya. Sepertinya seru, begitu ia berkata dalam benaknya ketika mengamati foto tim volley perempuan yang memegang piala.

Lamunan Mayang terhenti seketika. Di depan ruangan tempatnya menunggu terdengar keributan. Mayang memasang telinganya penasaran. Siapa gerangan? Saat ia menoleh ke belakang terlihat seorang laki-laki berseragam putih abu-abu acak-acakan mengambil ranselnya dengan kesal.

Jadi suara berisik tadi suara ransel yang dibanting ke lantai, pikir Mayang.

"Sekali ini kamu dengarkan Mama, Bim. Mama capek tiap hari ditelpon Guru kamu terus."

"Udah Bima bilang, Ma. Bima nggak mau sekolah." Bima masuk ruangan dengan kesal, lalu menjatuhkan tasnya di meja dengan kasar. Ia menarik kursi di sebelah Mayang dan duduk dengan gusar.

Perempuan yang dipanggil Mama itu masuk ruangan dengan raut wajah kesal juga, namun ekspresi mukanya berubah saat melihat Mayang duduk di ruangan itu juga. Mereka saling tatap. Mayang dengan raut wajah penuh ketidakmengertian. Mengapa mereka bertengkar, pikirnya.

"Hallo, kamu dipanggil juga oleh Kepala Sekolah?" Perempuan itu terlihat heran. Mengamati Mayang dari ujung kepala hingga ujung sepatunya. Pikirnya, anak ini terlihat seperti anak baik-baik, tidak seperti Bima dipanggil ke ruangan ini karena kebandelannya.

"Oh, saya murid pindahan Tante." Mayang menjawab cepat. Membuat raut muka perempuan itu berubah.

"Oh, begitu."

"Iya, Papa saya di kamar mandi sebentar."

Bima melirik singkat. Baginya, obrolan Mamanya dengan anak perempuan ini tidak menarik sama sekali. Di kepalanya hanya ada satu hal. Dia ingin pergi. Dia tidak mau sekolah.

"Saya Mamanya Bima." Dijulurkannya tangan itu dengan ramah. Mayang menyambutnya.

"Ini Bima anak saya. Pindah juga sejak sebulan yang lalu. Tapi dia cuma masuk sekolah 10 hari. Nggak tau kemana perginya. Kayaknya Tante harus ngikutin dia sampai gerbang sekolah biar dia nggak kabur."

Mayang hanya bisa tersenyum tipis. Bingung hendak menimpali obrolan itu. Diamatinya perempuan itu. Mungkin seusia Papanya. Dia cantik, penampilannya terlihat elegan. Bahkan Mayang pikir terlalu muda untuk menjadi Ibu dengan anak seusia Bima.

"Pasti kamu kelas 10. Kamu kayak masih SMP ya, masih kecil banget kelihatannya pakai seragam SMA," ujar perempuan itu sembari menarik kursi di samping Bima dan duduk dengan menyilangkan kakinya ke samping dengan anggun. Matanya menghadap Mayang dengan wajah tertarik.

"Enggak, Tante. Saya kelas 12."

Perempuan itu menatap heran, antara kagum dan penuh tanya dalam benaknya.

"Saya14 tahun, Tante. Ikut kelas akselerasi semenjak Sekolah Dasar. Jadi saya lebih cepat naik kelasnya.

Perempuan itu makin mencondongkan kepalanya ke arah Mayang. Terlihat kagum dan tertarik untuk mengobrol lebih jauh.

"Ya ampun, kamu masih muda, cantik, pintar lagi."

Tak berapa lama kemudian Papa Mayang kembali dari toilet. Terdengar suara langkah pelan menuju ruangan.

"Oh, ini Papa kamu," perempuan itu menoleh ke belakang. Berdiri dari duduknya dan bersiap menjabat tangan Papa Mayang.

Papa Mayang terlihat heran, namun menjabat tangan perempuan itu. "Oh iya, saya Papanya Mayang."

"Oh, namanya Mayang. Cantik sekali putrinya. Saya Mamanya Bima. Ini Bima anak saya, " katanya sembari menunjuk Bima yang duduk dengan cuek.

Bertepatan dengan momen perkenalan singkat itu, Pak Kepala Sekolah datang dan dengan ramah, meminta maaf karena mereka harus menunggu dikarenakan rapat mendadak yang harus ia hadiri, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk ke ruangannya.

Sepanjang percakapan dengan Kepala Sekolah, Mayang beberapa kali melirik ke arah Bima. Mengamati anak lelaki itu. Terlihat dingin, tatapannya tajam, kurang ramah dan sedikit menyeramkan.

Dari percakapan itu pula Mayang tahu. Bima membolos sepanjang minggu. Yang Mamanya tahu, dia pergi ke sekolah, berangkat dari rumah dengan seragamnya, pulang saat jam pulang sekolah. Entah kemana perginya anak itu. Dia tidak bergeming saat ditanya, hanya menatap kosong ke depan. Mamanya berjanji akan meluangkan waktunya setiap pagi untuk mengantar Bima, sampai ia yakin Bima masuk ke sekolah dan tidak membolos.

Mama Bima mengucapkan terimakasih berkali-kali. Dia tahu, kesalahan Bima sudah fatal. Sulit sekali menemukan sekolah baru yang mau menerima Bima, mengingat track record kelakuan Bima selama dia sekolah. Entah sudah berapa ruangan Kepala Sekolah yang Mamanya sambangi sepanjang tahun, entah sudah berapa banyak keluh kesahnya mengahadapi tingkah Bima.

"Terimakasih, Pak atas bantuannya.Terimakasih sudah memberi Bima kesempatan. Saya sudah berusaha sejauh ini dengan bersusah payah sampai dia kelas 12. Saya cuma ingin anak saya lulus sekolah. Saya janji, saya akan bekerja sama dengan baik untuk Bima, demi Bima sekolah dengan benar." Raut wajahnya terlihat serius namun menyimpan kekhawatiran yang besar.

Dari pertemuan itu, disimpulkan bahwa Mayang dan Bima akan ditempatkan di satu kelas. Karena untuk mempermudah administrasi sekolah karena dokumen murid pindahan harus segera disusun menjelang semester terakhir menuju Ujian Kelulusan nanti.

"Bima dan Mayang bisa masuk sekolah mulai Senin nanti ya. Sabtu ini jam pelajaran dipersingkat karena jam 11 nanti akan ada pembersihan di keseluruhan area sekolah oleh Dinas Kesehatan setempat. Jadi anak-anak akan pulang lebih cepat.".

"Dan untuk Bima, saya akan memberitahukan pada wali kelas kalau kamu mendapat perhatian khusus sepanjang semester ini. Kamu diwajibkan duduk sebangku dengan Mayang di barisan depan. Agar Guru menaruh perhatian lebih pada perkembangan kamu. Dan mungkin dengan adanya Mayang akan terbantu. Mayang siswa yang cerdas dan berprestasi. Selamat bergabung dengan sekolah kami ya, Mayang."

Pak Kepala Sekolah menjabat tangan semua dengan ramah dan mempersilahkan kembali. Mama Bima dan Papa Mayang terlihat asyik mengobrol di sepanjang lorong menuju tempat parkir. Mayang dan Bima mengikuti langkah mereka di belakang. Sesekali Mayang melirik Bima. Bima tetap dingin dan menatap tajam ke depan.

Sebelum memasuki mobil masing-masing, terlihat kedua orang tua itu saling bertukar nomer ponsel. Mereka terlihat akrab sekali, cukup akrab untuk orang yang baru pertama kali bertemu.

"Maafin Papa yang, Mayang. Sayang sekali kamu harus ikut Papa. Tapi kamu lihat sendiri kan, sekolah ini lumayan bagus, walaupun bukan sekolah favorit seperti sekolah lamamu. Semoga Mayang betah dan punya banyak teman. Oke?"

Mayang hanya diam, menatap jalanan di depannya yang berkelok-kelok. Sambil sesekali menimpali obrolan papanya dengan jawaban singkat.

Mayang tahu. Ia tergolong sulit mempunyai teman. Kepindahannya membuatnya khawatir. Sekolah ini berbeda, berada di daerah pinggiran yang jauh dari Kota Kabupaten sekalipun. Jauh berbeda dengan sekolahnya di Ibukota sana. Daerah sini benar-benar jauh dari kehidupan kota. Di belakang rumah barunya, pepohonan rindang dengan background gunung menjulang tinggi. Ia bisa melihat sawah dan jalanan berkelok-kelok dari halaman rumahnya. Seperti lukisan, begitu batin Mayang saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu.

Mobil melaju. Sementara Mayang larut dalam pikirannya sendiri. Sebentar lagi ulang tahunnya yang ke 15. Harusnya dia bahagia. Tapi semenjak ia paham, ulang tahun adalah hal paling menyedihkan baginya.

"Nah sudah sampai. Ayo turun," perkataan Papanya membuyarkan lamunan Mayang.

Mayang menghembuskan nafas panjang dan menutup pintu mobil. Udara di sini terlalu sejuk, lebih ke dingin yang menusuk hidungnya. Dia melihat ke arah pohon kapuk di samping rumahnya. Tinggi, menjulang dan rindang sekali.

"Pohon itu rumah Mama. Di setiap pohon di dunia, ada Mama kamu," begitu kata-kata yang ia cerna semenjak kecil. Papanya yang bilang.

Namanya Bimantara

"Bimantara Arya Nugraha."

Begitu iya menatap lekat name tag di kemeja sekolah anak laki-laki itu. Namanya bagus, batin Mayang.

"Kenapa?" Bima menatap dingin dan berbicara ketus padanya.

"Nggak papa," jawab Mayang dengan gugup.

"Namanya bagus," kata-kata itu terlontar begitu saja. Mayang ragu akan kata-katanya, dan melirik reaksi Bima.

Tak disangka Bima menatapnya. Tetap dingin, lalu tersenyum sinis. Manis juga senyumnya, pikir Mayang.

"Aku nggak suka. Papaku yang ngasih nama."

"Kenapa?"

"Papaku pilot. Makannya namaku Bimantara. Bimantara itu artinya penguasa udara."

"Tapi kenapa nggak suka?"

"Soalnya aku benci Papaku. Aku nggak punya Papa. Anggap aja dia nggak ada. Dia ninggalin Mama, bikin Mama sakit. Nggak ngurusin aku sejak kecil. Buat apa punya Papa."

Bima berkata dengan cuek, tapi Mayang tahu, ada dendam dalam kata-katanya. Bima benci Papanya.

"Kalau bisa aku mau ganti nama hahaha," tawa Bima memecah lamunan Mayang tentang obrolan itu. Dia bisa juga tertawa, Mayang tersenyum dalam hatinya.

"Emang mau ganti nama siapa?" Mayang menopangkan dagunya menghadap Bima.

"John Lennon?" Bima tertawa pelan.

"Kamu suka The Beatles?" Sontak Mayang begitu mendengar nama vokalis legendaris itu disebut oleh Bima.

"Ya. Kamu juga?" Mata Bima berbinar, terlihat antusias. Jarang sekali dia menemui teman yang satu selera musik dengannya. Tatapan matanya mulai ramah dan penuh perhatian pada lawan bicaranya.

"Papaku paling suka. Beatles itu favoritnya. Dia punya banyak koleksi official merchandisenya, kaos band, poster, piringan hitam juga. Aku hafal banyak lagunya, karena Papa selalu dengerin itu di mobil, di rumah, di mana aja yang bisa muterin musik. Itu sejak aku kecil. Bayangin aja. Ya lama-lama aku jadi suka juga."

Bima menatapnya dengan sebongkah senyum. Hendak dimulainya percakapan lagi namun terhenti karena Guru memasuki ruangan.

Senin yang membosankan bagi Bima. Setelah perkenalan singkat tentang Mayang di kelas, pelajaran dimulai. Bima menguap sepanjang pelajaran berlangsung. Menatap tanpa minat ke arah papan tulis.

Begitu jam istirahat berbunyi, Mayang mengajak Bima ke kantin. Bima satu-satunya yang ia kenal di kelas itu. Bima asyik dengan ponselnya.

Mayang menoleh ke belakang. Sekumpulan anak perempuan berkerumun di meja belakang, terkikik sambil sesekali meliriknya. Mayang tahu, di sekolah lamanya, iapun tak punya banyak teman. Temannya cuma Tisya, kutu buku yang sering menjadi bahan bully karena badannya yang gemuk.

Mayang cantik, mungil. Umurnya 14. Wajahnya kekanakan tetapi paras cantiknya tak kalah seperti remaja sebaya di sekolahnya. Ibunya warga negara Jepang. Ayahnya Jawa asli. Mereka bertemu saat Papanya sedang menyelesaikan studi di Nagoya University. Papanya cerdas, berprestasi, sehingga sebelum kelulusannya dia sudah diincar berbagai perusahaan untuk bekerja. Papanya mengawali karirnya setelah menikahi Keiko, Mamanya Mayang. Namun usia pernikahannya tak lama. Keiko meninggal ketika melahirkan Mayang ke dunia.

"Banyak yang nggak suka kamu karena kamu cantik. Dan pintar," begitu kata Tisya suatu hari.

"Tapi yang cewek-cewek aja yang nggak suka sama aku, Sya. Yang cowok-cowok biasa aja kok," kata Mayang polos.

"Biasa gimana? Tuh," Tisya berkata sembari menunjuk dengan dagunya. Sekumpulan anak laki-laki meliriknya lalu pura-pura melihat ke arah lain saat Mayang melihat mereka.

"Yang cewek-cewek tambah nggak suka, karena cowok-cowok incaran mereka pada suka sama kamu," Tisya kembali menimpali.

Mayang jadi rindu Tisya, sahabatnya. Temannya ke kantin, perpustakaan, dan kemanapun selalu ada Tisya, Mayang tak pernah kesepian di sekolah. Tapi sekarang dia lapar, tadi pagi sarapannya terburu-buru karena Papanya harus segera ke kantor. Dan Bima satu-satunya yang ia kenal.

"Kamu laper? Makanan di kantin nggak enak. Kamu suka soto nggak?"

"Soto?" Mayang mengernyit heran.

"Iya, tapi di luar sekolah."

"Emang boleh ya kita keluar gerbang pas istirahat?"

"Boleh lah." Bima berkata enteng. Lalu beranjak dari kursi.

"Mau nggak?" Dia tidak menunggu jawaban Mayang, tapi langsung berjalan cepat menuruni tangga dan berjalan menuju gerbang. Mayang mengikutinya dengan langkah terburu-buru.

Bima berbadan tinggi tegap, langkahnya lebar-lebar.

"Bima, tunggu Bim."

"Pak saya mau makan ya. Enggak bolos kok. Beneran. Ini temen saya ikut."

Mayang hanya menatap bingung sambil menyimak percakapan antara Satpam berwajah seram itu dengan Bima. Tapi wajah seram Satpam itu berubah ramah ketika berbicara dengan Bima.

"Oke," dibukanya gerbang sekolah itu lalu mereka berdua berjalan menyusuri pagar sekolah. Di samping kanan-kiri jalan itu ditumbuhi pohon flamboyan yang sedang rontok daunnya.

"Emang jauh ya, Bim?"

"Enggak sih, itu di depan tendanya kelihatan. Biasanya aku naik motor sih. Tapi kan kamu tahu sekarang aku berangkat sekolah diantar Mamaku. Kayak anak TK," Bima tertawa pelan di akhir kalimatnya. Mentertawakan dirinya sendiri.

Mayang membalas dengan senyum. Tak disangka Bima melihat senyumnya saat menoleh ke belakang.

"Kenapa senyum? Ayo cepat," katanya sambil menarik tangan Mayang agar berjalan sejajar dengannya.

Warung tenda yang sotonya enak. Mayang menyeka keringat di dahinya setelah selesai makan. Tempatnya tak begitu ramai, hanya beberapa yang silih berganti membeli tapi dibungkus, tidak dimakan di tempat.

"Enak kan? Ramenya bentar lagi kalau jam makan siang kantor di seberang itu," ucap Bima sembari menunjuk sebuah Gedung Kedinasan wilayah itu.

"Udah yuk, aku yang bayarin," Bima tanpa menunggu rekasi Mayang bergegas membayar dan mengobrol akrab dengan Pak Slamet, nama penjual soto itu. Di spanduk warung tendanya tertulis besar-besar 'Soto Pak Slamet.'

Bima sepertinya tidak sedingin itu. Dia hanya dingin saat Mayang bertemu dengannya dan Mamanya tempo hari. Dia tampak ramah saat mengobrol dengan satpam sekolah dan Bapak penjual soto ini.

Mereka berjalan pelan beriringan menyusuri pagar sekolah kembali. Daun-daun kecil berguguran tertiup angin sepoi-sepoi.

"Makasih ya, Bim. Tadi udah dibayarin."

"Siapa bilang itu dibayarin. Nanti kamu gantian bayarin kalau makan di situ lagi."

"Hah?" Mayang nampak bingung. Bima tertawa pelan.

"Aku cuma bercanda," sambungya.

"Oh...," Mayang tampak seperti orang bodoh di hadapan Bima. Ia tak tau harus memulai obrolan apalagi. Ia kikuk. Pandangannya tentang Bima ternyata salah. Bima tidak sedingin itu.

"Tadi Bima bilang biasanya naik motor. Emang boleh ya bawa motor ke sekolah?"

"Boleh kok. Banyak yang bawa motor."

"Siapa? Anak-anak banyak yang bawa motor?"

"Bukan. Pak Kepala Sekolah yang bawa motor hahahahaha."

Mayang nampak semakin bingung.

"Ya banyak kok murid yang bawa motor ke sekolah."

"Ooh..., tapi Bima kan belum punya SIM."

"Punya. Siapa bilang nggak punya."

"Hah, emang iya?"

Bima menghentikan langkahnya lalu menatap Mayang agak menunduk. Bima memang tinggi, Mayang mungil sekali badannya.

"Kemarin pas ngobrol sama Mama kamu bilang kamu 14 tahun?"

"Iya..."

"Bima udah 19 tahun. Udah mau 20 malah."

Mayang tak berkedip. Lalu hanya terdengar bunyi Ooh panjang yang keluar dari mulutnya.

"Bima bohong ya?"

Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil KTPnya. Menunjukkannya pada Mayang.

"Bima harusnya udah kuliah. Ya karena DO beberapa kali, ganti sekolah, pindah lagi, ngulang lagi dari kelas 10."

"Kenapa?"

"Nggak suka sekolah. Bikin onar terus biar Mama dipanggil ke sekolah, biar dikeluarin. Biar Mama nyerah terus nerima aja kalau aku nggak mau sekolah. Tapi Mama nggak gampang nyerah sih. Hahaha."

Bima mengulurkan kartu itu ke tangan Mayang. Seukuran ATM, dia pernah lihat punya Papanya.

"Bimantara Arya. Lahir di Medan, tanggal..." Mayang membaca dalam hati lalu terhenti. Pandangannya tertuju pada tanggal dan bulan kelahiran Bima yang sama dengan tanggal kelahiran mendiang Ibnya. Tanggal yang setiap tahun ia rayakan bersama papanya dengan membeli mawar putih dan menaburkannya di bawah pohon. Mendiang Mamanya dikuburkan di pemakaman keluarga jauh di negeri seberang sana. Kata Papa, Mamanya suka sekali mawar putih. Dan Mamanya suka sekali dengan pohon. "Di setiap pohon di dunia ada Mamamu," begitu kata Papanya.

Tiba-tiba Mayang ingin menangis. Semenjak lahir dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang Mamanya. Hanya mengenalnya lewat foto-foto lama, diary lama Mamanya dan video singkat pernikahan Mama dan Papanya. Tapi dia seperti mengenal Mamanya lewat Papa. Papa menceritakan semua hal tentang mamanya seolah-olah mereka selalu bersama.

"Mayang? Mayang?" Bima berseru membuyarkan lamunan Mayang. Mengambil KTPnya lagi dari tangan Mayang dan memasukkannya ke dompet.

"Mayang nangis? Mayang????" Air mata Mayang terlanjur menggenang. Bima kebingungan.

"Mayang kenapa?" Digoyang-goyangkannya bahu Mayang dengan panik.

Surat Dari Kamayang

Bel masuk berbunyi. Mayang menyeka air matanya. Bima menggandeng tangannya memasuki gerbang, melewati lapangan basket menuju kelasnya. Dimana tatapan-tatapan aneh dan penuh penasaran menghakimi mereka.

Murid baru yang cantik, menangis dengan Bima murid paling bandel sedang menggandeng tangannya cepat-cepat.

"Mayang kenapa?" Anak laki-laki bertubuh tinggi dan tampan itu menghadang langkah mereka di depan pintu kelas.

"Bukan urusan lu," Bima berkata ketus sembari menerobos tangan anak itu dan berjalan cepat membawa Mayang duduk di kursinya.

"Lu apain?" Nadanya meninggi. Seakan tak terima. Dari name tag seragamnya, Mayang tahu kalau namanya Bagas.

"Gue Bagas, Ketua kelas sekaligus Ketua OSIS periode lalu. Kalau ada apa-apa lu bisa bilang ke gue." Bagas berkata serius ke arah Mayang sambil mendelik kesal pada Bima yang berdiri di antara mereka.

Mayang hanya mengangguk pelan sambil menyeka sisa air matanya. Bodoh sekali, kenapa harus menangis. Hal sentimental tentang Mamanya memang selalu membuatnya mudah menangis. Tanggal lahir yang sama, membuat Bima salah paham. Mayang hendak menjelaskan, tapi Guru datang ke kelas untuk memulai pelajaran.

Sepanjang sisa jam pelajaran, Mayang menyadari kalau Bima sering meliriknya berkali-kali. Tatapannya penuh tanya dan mungkin sedikit rasa bersalah. Apa yang membuat Mayang menangis. Apa salah Bima?

Di sela-sela menuju jam pulang, Mayang dengan cepat menyelesaikan mencatat tugasnya. Lalu berbaik ke buku kosong halaman belakang, dan menulis pesan singkat dengan cepat.

"Bima, aku minta maaf tadi menangis dan membuat khawatir. Maaf cengeng dan kekanakan. Aku cuma teringat mendiang Mamaku. Tanggal lahirnya sama denganmu."

Lalu kertas berisi pesan itu disobeknya, dilipat cepat dan ditinggalkan di depan meja Bima. Saat hendak keluar kelas, Mayang berjalan cepat, mungkin setengah berlari. Bisa ia rasakan banyak pandangan mata tertuju padanya. Hampir semua teman sekelasnya melihatnya menangis tadi. Mereka pasti berpikir kalau aku kekanak-kanakan dan cengeng, batinnya.

Sementara Bima memandangi surat di depan mejanya dengan tertegun. Kertas yang ditinggalkan Mayang begitu saja, ia baca sambil berjalan menuruni tangga. Langkahnya terhenti, kini ia mengerti mengapa gadis itu menangis.

***

Sementara itu Mayang berlari cepat menuju mobil Papanya. Papanya melambaikan tangan dari jauh dengan raut wajah ceria. Sementara itu Mayang menyadari, Papanya tak sendiri. Di sampingnya ada Mamanya Bima.

"Hai, Mayang. Gimana sekolah hari ini? Bima mana?" Mama Bima menyapa ramah.

"Itu di belakang Tante. Tadi Mayang buru-buru." Mayang buru-buru menggandeng Papanya masuk ke mobil. Dia benar-benar malu dan tidak ingin terlibat obrolan dengan Bima dan Mamanya.

Mayang menghembuskan nafas lega, dipasangnya seat belt sambil menyamankan posisi duduknya. Dari kaca depan terlihat Mama Bima melambaikan tangan ke arah mereka, Papa Mayang membalas lambaian perpisahan itu. Dan terlihat Bima berjalan ke arah Mamanya, Mayang menunduk.

"Ayo, Pa. Cepetan."

"Mayang kenapa buru-buru?"

"Laper, Pa," Mayang tertawa diikuti Papanya. Berbohong agar tidak terlihat panik karena tidak mau bertegur dengan Bima.

"Ya ampun. Kasihan anak Papa. Ayo pulang. Tadi Papa udah minta Mbok Jum masak makanan favorit kamu."

Sementara mobil melaju dan meninggalkan area sekolah, Mayang kembali pada lamunanya.

"Mayang tau nggak. Rumah Tante Asti itu deket rumah kita loh?"

"Tante Asti?"

"Iya, Mamanya Bisma itu loh."

"Oh, Bima maksud Papa?"

"Eh iya Bima ya, bukan Bisma."

"Dimana sih Pa. Bukannya rumah kita paling ujung?"

"Iya emang nggak searah jalannya. Tapi kata Pak Baron, dari bukit yang di samping rumah itu ada jalan setapak yang biasa dilewatin petani. Nah, nanti nembus ke rumah Tante Asti. Jadi nggak bisa dilewatin kendaraan. Katanya bagus loh pemandangan dari atas situ."

"Nah, Pak Baron itu siapa, Pa?"

"Satpam sekolah kamu yang tadi. Istrinya kerja bantu-bantu di rumah Tante Asti. Nah, kalau malam sebelum rumah itu biasa ditempatin, Pak Baron yang jaga. Rumah itu bangunan lama ternyata. Villa punya keluarga, jarang ditempati. Nah, kebetulan rumah Pak Baron nggak terlalu jauh dari villa itu."

Kota kecil yang sejuk itu memang di ujung pegunungan. Masyarakatnya mayoritas petani sayuran dan buah. Banyak villa yang yang disewakan karena jarang ditempati pemiliknya di kota. Bangunannya unik, khas pedesaan tapi lebih modern tata ruang dan furnitirnya. Tempat melepas stress di tengah hiruk-pikuknya kehidupan di kota besar.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya Mayang akan benar-benar ikut Papanya. Pekerjaan Papanya benar-benar tidak bisa ditangani dari jauh lagi seperti biasa. Harus langsung ke lapangan. Sebuah pabrik gula dibangun di ujung desa sana. Semua atas kendali dan tanggung jawab Papanya.

Beberapa bulan sebelumnya, Papanya membangun rumah mungil itu untuk mereka tempati. Setelah sebelumnya Mayang menolak untuk tinggal di apartemen ditemani asisten Papanya sampai dia lulus. Bagaimanapun Mayang masih 14 tahun, dan dia tahu Asisten Papanya menaruh hati pada Papanya. Bisa dirasakannya gelagat dari Tante Erika. Dia memang baik, tapi Mayang kurang menyukainya. Dia sadar betul Tante Erika berusaha mengambil hatinya. Untuk itu Mayang menolak tawaran Papanya yang berjanji akan pulang setiap Minggu. Ia lebih memilih pindah sekolah lagi, di tempat yang sebelumnya bahkan ia tak tahu itu dimana.

Akhirnya mobil itu sampai di depan rumah mereka. Rumah mungil yang cantik di tengah-tengah rimbun pepohonan di pinggir hutan.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu.

"Oh iya, kata Tante Asti kita diundang ke rumahnya untuk makan malam. Nggak tau tapi kapan ya, Papa lupa nanya. Nanti Papa tanya lagi."

Mayang merasakan sesuatu. Apakah mereka sedekat itu? Papa dan Tante Asti, Mamanya Bima. Seingatnya, semenjak kecil hanya ada Papa, dia dan Mamanya. Yang selalu dihidupkan Papanya lewat cerita-cerita, lagu dan foto-foto kenangan. Bahkan Mayang merasa, selama ini Tante Erika sekalipun tak menarik perhatian Papanya. Ada setitik kecemburuan dalam hatinya.

"Kalau nggak salah nanti pas ulang tahunnya Bima deh."

Deg.

Mayang menghentikan langkahnya.

Ulang tahun Bima? Berarti bersamaan dengan ulang tahun Mamanya.

***

Bima duduk di depan jendela kamarnya. Mengamati semburat matahari yang menuju tenggelam di ujung sana. Pemandangan yang sempurna, bak lukisan. Di balik keengganannya untuk pindah sekolah, sebenarnya ia menyukai tempat ini.

Di tangannya ada selembar kertas, yang dari ujungnya jelas terlihat disobek dengan buru-buru.

Surat dari Mayang.

Ia tersenyum kecil. Anak itu mengganggu pikirannya. Umurnya 14, seusia adiknya. Ah, tidak. Bahkan dia lebih muda lagi. Selisih 5 tahun dengan umurnya.

Umurnya hampir 20. Terlalu tua untuk mengenakan seragam SMA. Kalau bukan atas keinginan Mamanya, mana dia mau.

Bima pernah vakum sekolah selama setahun penuh. Diambilnya cuti karena kecelakaan motor membuat tulangnya patah. Dan recovery setahun sebenarnya cukup lama. Alasan Bima saja sebenarnya untuk menunda sekolahnya. Beberapa kali pindah sekolah karena berkelahi dengan temannya. Akal-akalannya juga agar Mamanya menyerah dan membiarkannya tak melanjutkan sekolah.

"Sekolah itu nggak penting, Ma. Buat apa juga. Bima mau ke Bali. Ikut Om Wira. Di sana Bima bisa belajar apa aja yang Bima mau."

Itu obrolan disertai amarah Mamanya yang sedang menyetir. Entah itu perjalanan dari ruangan Kepala Sekolah yang mana. Saking banyaknya Bima berulah dan membuat masalah, sampai dia sendiri lupa berapa ruangan Kepala Sekolah yang ia dan Mamanya sambangi.

Bima dan dunianya sendiri. Mama dan kemauannya dan pantang menyerahnya.

Bima menghembuskan nafas panjang. Ia pandangi lagi surat itu.

"Anak ini. 14 tahun tapi sudah mau kuliah. Apa sih enaknya sekolah?"

Ia tersenyum-senyum sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!