Sinta melangkahkan kakinya gontai ke arah bangku panjang, tidak ada semangat. Wajahnya lesu seperti tidak bertenaga. Di tangannya ada dua kertas, kertas putih dan kertas kuning. Kertas kuning untuk mata kuliah yang harus dijalaninya di semester dua dan kertas putih formulir pengajuan cuti semester.
Pilihan yang sulit bagi Sinta untuk memilih kedua kertas tersebut. Sinta ingin memilih kertas kuning itu, tapi keuangannya saat ini betul betul kurang. Uang yang dikirim emak bapaknya tidak cukup untuk uang kuliah, untuk makan saja kurang. Ketika Sinta komplain ke emaknya, jawabannya karena gagal panen. Sinta pun akhir tidak bisa berkata apa apa lagi.
Sinta kini sudah duduk di bangku panjang. Tempat ini, kurang diminati mahasiswa karena letaknya di ujung Fakultas ekonomi dan dekat kamar mandi. Bau yang menyengat dari arah kamar mandi membuat tempat ini sering kosong. Sinta pun terpaksa ke tempat ini untuk menghindari para sahabatnya. Sinta tidak mau para sahabatnya kuatir. Dan tentu saja Sinta merasa minder. Para sahabatnya itu asli orang kota dan tidak pernah mengeluh tentang keuangan. Sedangkan dirinya hampir setiap hari harus berpikir keras untuk menghemat uang yang tidak seberapa yang dimilikinya.
Sinta memandangi kedua kertas itu bergantian, berat rasanya mengisi formulir pengajuan cuti itu. Tapi mau tidak mau, dengan berat hati Sinta mengisi formulir tersebut. Rencananya Sinta mau mencari kerja dan mengumpulkan uang.
Sinta gadis desa berumur 18 tahun itu kini memutuskan berjuang di kota besar ini. Mencari pekerjaan untuk menopang hidup dan syukur bisa sekalian kuliah. Jika tidak, Sinta berencana untuk bekerja terlebih dahulu dan mengumpulkan uang. Baru kemudian melanjutkan kuliah. Rencana itu sudah satu minggu ini bersarang di otaknya. Bekerja dan cuti lebih baik daripada menyerah dan pulang kampung. Demi pendidikan dan perbaikan kehidupan. Sinta rela menderita terlebih dahulu. Pepatah yang mengatakan Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian. Menjadi motto Sinta saat ini. Sinta percaya, setelah perjuangannya. Sinta bahkan bisa hidup enak dan membahagiakan keluarganya terutama kedua orangtuanya.
Entah kapan datangnya tiba tiba seseorang sudah duduk di sebelah kanan Sinta. Sinta menoleh dan terkejut. Pak Andre Bramasta salah satu dosennya tersenyum kearahnya. Sinta tersenyum kikuk membalas senyuman sang dosen.
"Nunggu seseorang?" tanya Pak Andre sambil mengamati kertas kuning yang dipegang oleh Sinta.
"Tidak Pak."
"Kenapa kamu sendirian di sini? kamu tidak takut, tempat ini sepi."
Sinta terdiam, hanya memandang Pak Andre sekilas kemudian membuka ranselnya berniat menyimpan dua kertas tadi. Sinta terlihat sangat canggung. Apalagi Andre terkenal dengan dosen berwajah dingin, disiplin waktu dan pelit memberikan nilai.
"Kamu mau cuti ya?" tanya Pak Andre sambil mengambil kertas dari tangan Sinta. Sinta mengangguk kikuk.
"Kenapa?"
"Rencananya saya mau kerja dulu Pak, baru lanjut kuliah" jawab Sinta menunduk dan malu. Dia tidak ingin membagi kesedihan dengan orang lain apalagi itu salah satu dosen di kampus ini. Tetapi sudah terlanjur. Sinta sudah mengungkapkan alasan cuti itu. Dan anehnya bukan kepada sahabatnya. Justru kepada dosen yang terkenal dingin.
"Kalau kamu mau, saya bisa kamu kasih kerjaan dan kuliahmu tidak terganggu."
"Benar pak? kerja apa pak?" tanya Sinta dengan mata berbinar. Pak Andre mengangguk dan meletakkan uang lembar seratusan dekat Sinta. Rasa canggung yang sempat terlihat kini hilang digantikan dengan rona bahagia.
"Kita bertemu jam dua di kafe melati jalan Xxx. Gunakan uang ini untuk naik taksi. Tidak enak dilihat mahasiswa lain kalau kamu naik mobil saya."
"Oke, Terima kasih pak. Saya langsung jalan sekarang" jawab Sinta bersemangat. Sinta menunduk hormat kepada sang dosen. Andre tersenyum dan melangkah meninggalkan Sinta. Sinta sangat senang. Mendapat pekerjaan tanpa melamar membuat Sinta merasa beruntung.
Setelah Satu jam perjalanan, Sinta telah sampai di Kafe melati. Kafe melati agak jauh dari kampus. Kafe ini dekat dengan gedung gedung perkantoran dan bisa dipastikan bahwa pelanggannya para pegawai kantor.
Pelayan kafe mengantarkan Sinta ke meja yang dipesan Pak andre. Pak Andre sudah menunggu sekitar sepuluh menit. Suasana kafe sangat sepi hanya ada beberapa pelanggan, karena memang sudah jam kerja pelanggan itupun sudah keluar.
Sekarang hanya ada Sinta dan Pak Andre di kafe tersebut di bagian paling pojok. Andre sengaja memilih tempat tersebut untuk menghindari pembicaraan mereka jika sewaktu-waktu ada pelanggan yang datang.
" Kita makan dulu ya, O ya siapa namamu?" tanya Pak Andre. Matanya menatap lekat wajah Sinta. Merasa ditatap Sinta menunduk malu. Andre menggerakkan tangannya untuk memanggil pelayan yang tidak jauh dari tempat duduk.
"Sinta pak."
" Sinta mau pesan apa?"
"Saya masih kenyang, Bapak aja makan" jawab Sinta agak gugup. Sebenarnya, Sinta sangat lapar tapi dia sungkan makan berdua dengan dosennya sendiri. Pak Andre memandang Sinta sekilas ,kemudian menuliskan pesanannya di buku menu dan memberikannya kepada pelayan yang sudah berdiri di samping meja mereka.
Sinta sangat gugup dan merasa canggung sedangkan Pak Andre dengan santainya memainkan ponselnya. Sinta masih berpikir dan menerka nerka dalam hatinya pekerjaan apa yang akan ditawarkan Pak Andre. Sinta rela jika pekerjaan yang ditawarkan Pak Andre hanya untuk mencuci piring seperti di kafe ini. Apapun itu Sinta bersedia yang penting halal.
Pelayan datang dan meletakkan nasi goreng dan jus jeruk pesanan Pak Andre. Sinta terkejut, ternyata Pak Andre memesan nasi goreng dan jus jeruk juga untuknya.
"Makanlah!. Ini sudah lewat jam makan siang," kata Pak Andre. Sinta pun menurut , makan dalam diam dan terkadang gugup. Sesekali Sinta melirik ke Pak Andre. Ada rasa kagum di hatinya. Pak Andre ganteng dan tampan dan masih muda juga. Kalau ditaksir umurnya belum genap tiga puluhan. Sinta memandang sekeliling kafe, hanya ada mereka berdua. Sinta takut ada mahasiswa di kampusnya yang mengenalinya dan Pak Andre. Takut ada rumor yang tidak sedap.
"Tidak usah takut, tidak ada yang mengenali kita disini," kata Pak Andre sambil meletakkan sendok. Sinta mengangguk.
"Cepat habiskan nasinya!" kata Pak Andre lagi. Sinta cepat cepat menghabiskan nasinya, dia juga gak sabaran ingin tahu tentang pekerjaan yang ditawarkan Pak Andre.
"Sudah pak," kata Sinta setelah menghabiskan jusnya.
"Apanya yang sudah?"
"Makannya Pak," jawab Sinta polos sambil menunjukkan piringnya yang sudah kosong. Tatapan Andre yang awalnya tertuju now wajah Sinta kini menatap piring kosong itu.
"Bagaimana makanannya?. Enak?" tanya Andre.
"Enak pak."
"Syukurlah kalau kamu bisa menikmati makanan itu. Dari tadi aku melihatmu selalu gugup," kata Pak Andre sambil tersenyum. Matanya masih lekat tertuju ke wajah Sinta. Menyadari tatapan sang dosen. Sinta berusaha tenang.
"Pak, tentang pekerjaannya kalau boleh saya tahu. Kerja apa Pak?" tanya Sinta sopan dan agak takut. Tangannya sedikit berkeringat, menunggu jawaban Pak Andre.
"Jadi Simpanan saya," jawab Pak Andre.
"Apa Pak?" tanya Sinta terkejut dan sedikit berteriak sehingga kasir yang di dekat pintu keluar pun mendengar dan menoleh kearah mereka. Sinta sungguh tidak menyangka jika pekerjaan yang ditawarkan oleh Andre adalah menjadi simpanan sang dosen sendiri. Sinta tersinggung dan merasa tidak punya harga diri. Sinta mengambil tasnya dan beranjak dari duduknya. Pak Andre yang sudah melihat gelagat Sinta ikut berdiri dan kemudian memegang tangan Sinta.
"Duduk dulu, kamu tidak akan aku rugikan. Dengar dulu penjelasan saya" kata Pak Andre tenang. Sinta geram ingin rasanya menampar dosennya. Sinta menghempaskan tangan Pak Andre dan berniat pergi tapi lagi lagi Pak Andre menahannya.
"Besok batas pembayaran uang kuliah, saya tidak akan memaksa tapi pikirkan apa alasanmu mengambil cuti kuliah. Saya akan membiayai hidupmu dan kuliahmu sampai tamat. Saya juga akan membelikan sebuah rumah dan orangtuamu pasti bebannya berkurang."
Sinta teringat tentang orangtuanya di kampung. Hidup mereka sangat sederhana hanya mengandalkan ladang yang hasilnya tak menentu. Adik adiknya juga butuh sekolah. Niatnya untuk kuliah ke kota sangat ditentang orangtuanya karena biaya. Orangtuanya harus utang sana utang sini untuk mengiriminya uang . Pak Andre memanfaatkan kelemahan Sinta untuk menerima tawarannya.
Tapi untuk simpanan?, tak pernah terlintas di pikiran Sinta. Dia membayangkan bekerja di swalayan atau rumah makan. Dan sekarang dia ditawari jadi simpanan dosennya. Sinta duduk kembali di kursinya.
"Gimana penawaran saya?" tanya pak Andre
"Tapi itu dosa pak," cicit Sinta pelan.
"Kita bisa nikah siri, saya juga tidak mau berdosa," jawab Pak Andre enteng.
"Tapi kenapa harus saya pak?" tanya Sinta pelan.
" Iya, karena kamu yang butuh uang kan? jadi kita saling menguntungkan."
" Tapi bagaimana dengan keluarga bapak?"
" Mereka tidak boleh tahu dan siapapun tidak boleh tahu termasuk keluargamu dan para sahabatmu. Ini kita rahasiakan. Bagaimana?"
" Akan saya pikirkan pak," jawab Sinta
"Tawaranku hanya hari ini dan jam ini jadi silahkan berpikir sekarang," jawab Pak Andre Santai dan tegas.
Sinta terdiam. Ingin menolak tapi dia sangat butuh uang sekarang. Besok batas pembayaran uang kuliah. Kalau cari kerja belum tentu langsung dapat. Ah Sinta jadi ragu. Jadi simpanan Pak Andre dan nikah siri. Sinta juga ragu.
Sudah ada sepuluh menit Sinta terdiam dan menunduk. Sinta belum bisa mengambil keputusan. Terbersit di hatinya untuk pulang kampung saja, tapi mengingat bibi Fira si mulut ember hatinya kembali ragu. Pak Andre melihat jam tangannya dan beranjak dari duduknya.
"Kamu diam, Saya anggap itu penolakan," kata Pak Andre hendak berlalu.
"Tunggu pak." Sinta berkata sambil menahan tangan Pak Andre. "Saya mau," cicit Sinta pelan. Pak Andre tersenyum dan mengusap kepala Sinta.
"Ayo!, ikut saya."
Sinta mengekor di belakang Pak Andre. Kepalanya menunduk. Mereka menuju mobil yang terparkir di depan kafe melati. Sinta masuk ke dalam mobil, Pak Andre menjalankan mobilnya. Sinta masih diam dan canggung. Sedangkan Pak Andre terlihat santai dan tenang. Andre juga sesekali melirik ke arah Sinta yang duduk di sampingnya.
Sambil menyetir pak Andre mengambil ponselnya dari saku celana dan terlihat memanggil seseorang.
"Sudah siap semuanya?" tanya Pak Andre kepada lawan bicaranya di telepon. Pak Andre tersenyum kemudian memasukkan ponsel itu ke kantong celananya.
"Kita mau ke mana pak?" tanya Sinta pelan. Kepalanya masih menunduk tidak sanggup melihat Pak Andre.
"Menikah," jawab Pak Andre santai dan kemudian melirik ke Sinta.
" Apa?. Secepat itu kah?. Pak Andre mengangguk. Sinta terkejut. Dia tidak menyangka jika pernikahan siri yang ditawarkan sang dosen terjadi hari ini juga.
"Tapi saya belum ada persiapan pak?.
"Cukup persiapkan saja tubuhmu Sinta."
Lagi lagi Sinta terdiam, Sinta merasa di rendahkan. Betul dirinya butuh uang sekarang. Ucapan Pak Andre yang menyuruh mempersiapkan tubuhnya membuatnya merasa sesak, Sinta menangis sambil menundukkan. Memeluk ransel untuk pelampiasan rasa sesak di dadanya. Ada rasa menyesal menerima tawaran Pak Andre. Ingin rasanya Sinta membatalkan, tapinya mulutnya serasa terkunci. Sinta pun menguatkan hatinya. Ke depannya tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Sinta berdoa dalam hati dan pasrah menjalani takdirnya.
Pak Andre menghentikan mobilnya di halaman sebuah rumah yang minimalis. Halaman rumah dipenuhi bunga bunga cantik dan pohon pohon buah yang ditata sangat rapi. Sinta turun dari mobil setelah pak Andre turun terlebih dahulu. Sinta memandang sekitar halaman, dia menyukai penataan bunga dan pohon di halaman itu. Sinta juga menyukai cat rumah perpaduan kuning kunyit dengan warna putih di setiap pintu dan kusen.
"Ayo masuk!" ajak pak Andre menggandeng tangan Sinta. Sinta menurut. Di rumah sudah ada penghulu dan beberapa orang yang menunggu kedatangan mereka. Sinta pun paham bahwa pak Andre sudah menyiapkan pernikahan siri mereka.
"Mereka secepat ini ada disini pak?" tanya Sinta memberanikan diri untuk bertanya karena penasaran.
"Iya. Aku yakin kamu menerima tawaranku. Setelah meninggalkan kampus tadi. Aku sudah menghubungi mereka untuk mempersiapkan ini semua," jawab Andre.
Hanya dengan riasan sederhana dan baju kebaya yang sedikit longgar, Sinta duduk di sebelah Pak Andre di depan penghulu. Tidak ada raut kebahagian di wajah Sinta. Dia termenung, bukan pernikahan seperti ini yang diinginkannya. Bahkan ruangan yang dipakai untuk akad pun tidak ada hiasan sedikitpun, benar benar bukan pernikahan istimewa.
Iya, pernikahan ini memang pernikahan rahasia dan tersembunyi. Pernikahan ini terjadi hanya karena Pak Andre tidak mau berdosa ketika menyentuh Sinta, oleh sebab itulah. Dia menghalalkannya terlebih dahulu.
Sinta tersadar dari lamunannya, ketika terdengar kata sah. Sinta merasa bersalah kepada orangtuanya. Hanya karena uang kuliah Sinta rela menjadi simpanan. Sinta masih terdiam, ketika Pak Andre menyodorkan punggung tangannya, Sinta menerima dan mencium punggung tangan Pak Andre dan Pak Andre mencium kening Sinta. Mereka sudah sah menjadi suami istri walaupun hanya siri.
Kini tinggal mereka berdua di rumah, Entah karena diusir atau ingin memberikan ruang kepada Andre dan Sinta. Penghulu dan rombongannya tidak terlihat lagi. Andre menggandeng tangan Sinta tidak sabaran. Pak Andre membawa Sinta ke kamar dan mendudukkannya di tepi ranjang. Sinta sudah paham dan pasrah, dia hanya terdiam saja. Dan sore itu juga Sinta melepaskan mahkotanya. Pengalaman ranjang pertama untuk Sinta dan juga pria itu. Pak Andre, tentu saja sangat puas dan merasa bangga sebab dia yang pertama menyentuh Sinta. Istri siri dan juga istri rahasia.
Kalau biasanya pengantin baru kelelahan, setelah melakukan hubungan suami istri. Itu tidak bagi Sinta. Dia mencari bajunya dan memakainya setelah mandi terlebih dahulu. Walaupun terasa sakit di bawah perutnya, Sinta berniat pulang ke kosannya. Sinta menghampiri Pak Andre yang masih terbaring di ranjang. Dari raut wajah Pak Andre terlihat masih tersisa rasa kenikmatan yang baru dirasanya dari Sinta. Bibirnya menyunggingkan senyum sambil menatap langit langit kamar.
"Pak Andre saya mau pulang," kata Sinta pelan. Dia berdiri di samping ranjang dan menunduk. Kegiatan suami istri yang baru saja mereka lakukan membuat Sinta malu untuk melihat suaminya sendiri. Apalagi saat ini Andre hanya bertelanjang dada. Sedangkan tubuh bagian pinggang sampai kebawah hanya ditutupi selimut.
"Ini rumahmu, kamu tidak perlu pulang ke kost. Mulai hari ini kamu harus tinggal di sini," jawab Pak Andre.
Sinta terkejut dan tak percaya. Sinta tidak menyangka secepat ini mendapatkan imbalan dari sang dosen. Sinta teringat tentang tawaran Pak Andre di kafe tadi, akan membelikan sebuah rumah untuk dirinya. Tapi bagi Sinta ini terlalu cepat sekali bahkan masih hitungan jam semua tentang dirinya berubah. Sudah menjadi seorang istri, mantan perawan dan mempunyai rumah. "Ah sudahlah, kujalani aja apa yang menjadi takdirku. Mungkin inilah jalanku meraih kesuksesan kelak. Kami tidak berzina dan semoga kebahagian menghampiriku," batin Sinta untuk menguatkan hatinya sendiri. a
"Saya akan segera mengurus suratnya menjadi atas namamu," kata Pak Andre sambil menyingkapkan selimut yang menutupi badannya. Dia duduk sebentar dan berdiri, tanpa malu padahal sehelai benang pun tidak ada melekat di tubuhnya.
"Sebentar, saya mandi dulu. Kita akan makan malam sebentar lagi," kata Pak Andre lagi sambil berlalu ke kamar mandi yang ada di ruangan itu juga. Sinta yang melihat tubuh polos Pak Andre merasa malu dan spontan membalikkan tubuhnya membelakangi Pak Andre. Pria itu memang tidak ada malunya.
Kini sepasang pengantin itu berada di meja makan. Setelah mandi Pak Andre memasak untuk makan malam mereka. Dia sadar, Sinta yang masih sakit di area sensitifnya pasti agak susah jalan dan berdiri. Sekilas mereka seperti pasangan pengantin romantis, di mana si suami memasak untuk makan malam istrinya.
Sinta menatap punggung suaminya yang sibuk memasak. Seperti wanita pada umumnya, Dia berharap pernikahan ini menjadi pernikahan pertama dan terakhir. Sinta berharap, kelak pernikahannya akan sah di hadapan agama dan negara.
"Makanlah!" kata Pak Andre sambil menyodorkan sepiring nasi lengkap lauk pauk dan segelas teh.
Sinta makan dalam diam. Sesekali dia melirik suaminya yang sedang makan. Pak Andre makan dengan lahap. Pria itu sepertinya sangat kelaparan akibat kelelahan di ranjang tadi. Setelah sepasang suami istri itu selesai makan, Sinta berniat mencuci piring kotor. Tapi lagi lagi suaminya melarang.
"Masuklah ke kamar!, biar saya yang mencuci."
"Saya aja pak, saya jadi gak enak. Tadi bapak sudah masak masa nyuci piring lagi."
" Ga apa apa. Istirahatlah! kamu pasti capai, apalagi itu mu masih sakit kan?" kata Pria itu sambil melirik ke arah perut Sinta. Demi apapun Sinta langsung malu, teringat kegiatan mereka beberapa jam yang lalu. Sinta cepat berlalu dari tempat itu.
Ceklek
Suara pintu kamar dibuka dari luar. Sinta yang sudah berbaring di bawah selimut sontak membuka matanya. Pak Andre masuk ke kamar dan berjalan ke arah lemari dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah amplop. Pria itu mendekati Sinta dan duduk di tepi ranjang.
" Ambil ini untuk uang kuliahmu dan beli lah segala kebutuhan yang kamu anggap perlu." Pak Andre menyodorkan amplop tersebut ke Sinta. Sinta duduk dan mengulurkan tangannya menerima amplop itu.
" Terima kasih Pak," cicitnya pelan dan turun dari ranjang menyimpan amplop itu ke dalam ranselnya.
Pria itu memandangi Sinta dari ujung rambut sampai ke ujung kuku. Pria itu sedikit tersenyum.
"Lumayan cantik," gumamnya dalam hati.
"Sinta..."
"Iya Pak..."
"Jangan lagi panggil Bapak. Saya itu suamimu. Ubahlah panggilan mu itu."
" Tapi Saya harus panggil apa Pak?"
"Terserah kamu saja, yang penting enak didengar dan jangan panggil Bapak. Saya belum setua itu dipanggil bapak oleh kamu."
Sinta pun berpikir, panggilan apa yang cocok untuk suami sirinya. Apakah saya harus panggil sayang? Ah, tapi kami tidak saling mencintai. Ya udah Mas aja. Sepertinya lebih enak didengar daripada dipanggil sayang atau suamiku.
"Sinta..."
"Ya..."
"Iya apa?.... Saya manusia ada sebutannya," kata Pak Andre sedikit kesal.
"Iya mas..." jawab Sinta pelan tapi masih bisa ditangkap telinga pria itu.
"Buka bajumu!"
"A a a apa mas?" tanya Sinta terkejut, gugup dan malu.
"Kamu ga dengar ya, saya bilang buka bajumu!" lagi lagi Pria itu kesal.
"Tapi untuk apa mas?" tanya Sinta masih merasa takut.
"Kita mau main kuda kudaan sampai pagi."
Sinta semakin gugup. Dia tidak menyangka sebelumnya. Jika kegiatan itu akan terulang lagi. Sinta masih duduk dan menunduk. Sinta masih malu. Tadi siang, Andre masih berstatus sebagai dosennya. Tapi malam ini. Status Andre jadi bertambah. Menjadi suami siri untuk dirinya.
Andre tentu saja paham atas sikap canggung Sinta. Dia naik ke ranjang dan duduk dekat Sinta. Andre membelai rambut Sinta terlebih dahulu kemudian membuat Sinta hanyut dalam ciumannya. Hingga pakaian atas mereka terlepas mereka masih berciuman panas sambil duduk. Merasa tidur lebih nyaman untuk berciuman. Andre membaringkan tubuh istrinya. Melancarkan serangannya tetapi Sinta belum terlihat menikmati. Sinta masih terlihat terpaksa. Andry tidak bisa membaca raut wajah itu atau memang tidak perduli. Andre akhirnya mendapatkan kepuasan untuk keduakalinya.
Pagi hari, Sinta terbangun dari tidurnya agak siangan. Tadi malam usai dia digempur habis habisan oleh suaminya, dia tidur sangat nyenyak. Pak Andre sangat menikmati malam pertama mereka. Sedangkan Sinta masih malu dan gugup. Jangankan untuk bercinta. Duduk berdekatan saja tidak pernah terpikir oleh Sinta dengan sang dosen. Wajar saja jika Sinta merasa canggung. Tidak pernah berbicara akrab dan sekarang mereka terikat pernikahan dan sudah melebur menjadi satu. Mengingat bagaimana kegiatan panas mereka tadi malam berlangsung membuat Sinta merasa malu dan tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Sinta masih merasa bermimpi. Sinta mencubit kulit tangannya. Sinta meringis merasakan sakit itu. Sinta sadar. Jika apa yang dialaminya adalah kenyataan.
Sinta turun ranjang. Menumpukan kedua kakinya di lantai dan melihat sekitar kamar. Pak Andre tidak ada. Agak pelan Sinta ke kamar mandi, menempelkan telinganya ke pintu kamar mandi, dan sepertinya tidak ada aktivitas di dalam. Sinta memutar handle pintu, benar Pak Andre tidak ada di sana. Kemudian Sinta membersihkan tubuhnya dan bersiap siap hendak ke kampus.
Karena kelelahan tadi malam membuat perut Sinta sangat lapar. Walau hanya menerima tanpa melakukan perlawanan tetap saja Mita merasakan lelah. Sinta pun menghampiri meja makan. Tangannya terulur membuka tudung saji dan ternyata ada sepiring nasi goreng dan sebuah kertas yang terlipat. Sinta membuka lipatan kertas itu yang ditujukan untuknya dari Pak Andre.
Untuk Sinta
Aku tahu kamu sangat lelah dan lapar. Nasi goreng aku buatkan spesial untukmu. Jangan sampai tidak dimakan. Setelah urusan kampus selesai, cepatlah pulang. Selamat menikmati, semoga kamu suka.
Mas Andre
Setelah membaca surat tersebut. Sinta membuang kertas itu ke keranjang sampah. Mengambil sendok dan kemudian menyantap nasi goreng buatan suaminya. Entah karena perutnya yang lapar atau nasi goreng yang enak seketika piringnya sudah kosong. "Ternyata mas Andre baik juga. Walaupun pernikahan kami untuk menjadikanku simpanannya tapi mas Andre penuh perhatian." batin Sinta sedikit senang dan terhibur karena rasa nasi goreng tersebut. Sinta pun bertekad untuk membuat suaminya jatuh cinta kepadanya.
Di kampus, Sinta sudah selesai membayar uang kuliahnya. Sinta duduk di depan gedung Rektorat, Karena Sinta masih ada kuliah jam 10.30 Wib. Dia menunggu para sahabatnya di tempat itu.
Sinta menoleh ketika namanya dipanggil. Benar, salah satu sahabatnya Vina terlihat sudah melewati pos satpam gerbang kampus. Sinta tersenyum dan tanpa sengaja dari arah Fakultas pertanian Sinta melihat Andre menuju ke arahnya. Sinta merasa gugup dan berusaha santai dan ternyata Pak Andre juga melihatnya dan berjalan kearah Sinta. Sinta melihat kearah Vina, untung sahabatnya itu terlihat berbincang dengan seseorang. Kalau tidak bisa dipastikan Vina dan Pak Andre bersamaan sampai di tempat Sinta duduk.
""Sinta... Kamu disini. Sudah bayar uang kuliah?" tanya Pak Andre yang sudah berdiri di depan Sinta. Sinta mendongak dan gugup. Seakan takut orang lain mengetahui hubungan meraka. Sinta mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Hanya ada mereka berdua di depan rektorat. Kemudian Sinta mengangguk.
"Ya udah, kalau sudah selesai. Sebaiknya kamu pulang saja. Tunggu saya di rumah!. Lagi lagi Sinta melihat sekeliling. Sinta takut ada yang mendengar pembicaraan mereka. Sinta merasa lega. Jarak mahasiswa lain dari mereka sangat jauh.
"Saya masih ada kelas jam 10.30 Wib Pak," jawab Sinta pelan tapi masih bisa didengar Pak Andre.
"Oke, siap itu langsung pulang ya!. Jangan keluyuran. Kamu harus siapkan tenaga untuk nanti malam." kata Pak Andre sambil tersenyum dan kemudian berlalu.
Demi apapun Sinta sangat malu, bisa bisanya Andre memikirkan urusan ranjang padahal masih area kampus. Jujur, Sinta sangat takut hubungan mereka diketahui oleh orang lain. Sinta takut dicap sebagai ayam kampus. Di kampus seperti ini julukan ayam kampus sering terdengar bagi wanita yang sering dijemput om om.
Sinta memandang punggung suaminya yang semakin menjauh. Saat ini memang belum ada debaran di hatinya untuk Pak Andre. Tapi Sinta berharap, pernikahannya dengan Andre adalah pernikahan pertama dan terakhir. Sinta juga sadar. Jika dirinya hanyalah pelampiasan. Tapi Sinta juga sangat yakin. Jika Andre adalah jodohnya sampai tua. Pasti ada jalan untuk membuat mereka bersatu sampai maut memisahkan.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Sinta juga berterima kasih kepada Pak Andre. Kalau tidak ada Pak Andre yang menolongnya, mungkin hari ini dia tidak berada di kampus ini. Bisa saja saat ini dia berada di jalanan mencari pekerjaan yang belum tentu dapat atau tidak. Tapi tawaran Andre membuat kesulitannya terasi. Bukan hanya uang kuliah, Andre menjanjikan rumah dan kebutuhannya dipenuhi. Yang paling penting. Sinta tidak jadi mengusulkan cuti.
Sinta melihat Vina sudah semakin dekat kearahnya. Sinta berdiri tanpa menunggu Vina sampai di tempat dia duduk. Sinta langsung mengajak Vina ke dalam kelas.
"Vin, kita tungguin Tini dan yang lain di kelas aja yuk!"
"Oke. Aku juga mau ngerjain peer Ekonomi makro. Pinjam donk peer mu Sin."
Sinta menepuk jidatnya, Sinta lupa peer itu di kumpul hari ini. Gara gara pernikahan dadakannya, Sinta lupa. Padahal Peer itu sudah selesai dan tinggal di kosannya. Dosen ekonomi makro ibu Elisabet sudah memberikan waktu dua Minggu untuk peer tersebut. Andaikan Sinta tidak bangun agak siang tadi. Mungkin dia bisa berpikir jernih dan mengingat tugas itu. Tapi pertempuran tadi malam membuat dirinya terlambat bangun.
"Waduh, gimana ini Vin, peer ku ketinggalan. Masih sempat ga ya ambilnya ke kost," jawab Sinta gelisah. Ibu Elisabet termasuk dosen killer di kampus tersebut. Dosen itu tidak segan segan membuat mahasiswa gagal di mata kuliah yang diajarkannya jika mahasiswa tidak disiplin dan malam mengerjakan tugas.
" Daripada balik ke kosan, nambah keringat dan bau asem. Mending kita kerjain di kelas yuk!. Masih ada waktu 15 menit lagi." Sinta mengangguk setuju.
Sinta dan Vina berlari menuju ruangan kelas. Keduanya terburu mengeluarkan buku. Sinta yang sudah mengerjakan peer itu masih mengingat apa yang menjadi jawaban dari soal soal tersebut. Tangannya lincah menulis jawaban itu di atas kertas sedangkan Vina tinggal mencontek.
15 menit berlalu, ruangan 21 yang terletak di lantai 2 sudah penuh dengan mahasiswa menunggu kedatangan Dosen. Beberapa menit kemudian Ibu Dosen yang ditunggu belum juga masuk. Sesuai kesepakatan antara Dosen dan mahasiswa. Jika Dosen 15 menit terlambat maka mahasiswa akan bubar dan Mahasiswa yang terlambat 15 menit maka mahasiswa tersebut dilarang masuk kelas.
Jam menunjukkan 10.44 Wib ketika Mahasiswa sudah bersiap untuk pulang, Pak Andre masuk ke ruangan. Sinta yang duduk paling belakang sontak terkejut. Sinta berusaha tidak gugup. Bagaimana pun Setiap melihat Pak Andre, Sinta teringat adegan ranjang mereka, membuat Sinta malu dan gugup. Untung dia dan Vina duduk di belakang sehingga mahasiswa lain tidak menyadari kegugupannya.
Setelah menyapa para mahasiswa, Pak Andre memberitahukan bahwa Ibu Elisabet akan melanjutkan studinya ke luar negeri. Maka untuk selanjutnya yang memberi mata kuliah Ekonomi Makro adalah Pak Andre. Sebelum pelajaran dimulai terlebih dahulu Pak Andre mengabsen para mahasiswa sekaligus mengumpulkan peer. Nama yang diabsen maju ke depan sambil menyerahkan peer ke Pak Andre.
Sinta semakin gugup dan tangannya berkeringat, Vina yang duduk di sampingnya melihat hal itu. Vina menyenggol bahu Sinta.
" Sin, kamu sakit ya?"
" Ga Vin, aku ga apa apa kog," jawab Sinta berbisik.
"Sinta Maharani." Sinta terkejut ketika giliran namanya diabsen. Sinta berdiri dan maju ke depan dan membawa peer. Sinta berusaha tidak gugup dan berjalan normal walaupun masih terasa sakit di bawah perutnya. Ketika Sinta menyerahkan peer nya, tangannya bersentuhan dengan tangan Pak Andre. Sinta dapat merasakan tatapan lain dari pak Andre untuk dirinya. Sinta semakin gugup dan cepat kembali ke bangkunya. Lewat ekor matanya, Pak Andre memperhatikan cara berjalan Sinta. Untung para mahasiswa yang lain tidak menyadari kegugupan Sinta.
Sinta menatap tubuh Andre ketika dosen itu menulis di papan tulis. Dia tidak menyangka bahwa pria yang sedang mengajar saat ini telah memeluk, mencumbu bahkan sudah menidurinya tadi malam. Sinta merasa geli, malu dan juga canggung ketika membayangkan kegiatan mereka tadi malam.
Pelajaran telah selesai. Sinta bernafas lega. Pak Andre masih betah duduk di ruangan itu. Sinta berharap Pak Andre cepat keluar. Para mahasiswa sudah berhamburan keluar ruangan. Tapi karena Sinta dan Vina duduk paling belakang dan di pojok maka mereka paling lama keluar.
"Sinta Maharani, kemari sebentar!. Tolong bawa kertas kertas ini ke ruangan saya!. Panggil Pak Andre yang masih duduk dan merapikan buku bukunya yang di meja dosen. Sinta semakin gugup dan meraih pergelangan tangan Vina.
" Sin, aku dah lapar. Aku tunggu kamu di kantin Gilang ya," kata Vina sambil berlalu.
Sinta menghampiri meja dosen dan mengambil tumpukan kertas peer. Pak Andre tersenyum dan berjalan ke luar ruangan. Sinta pun mengekor di belakangnya. Sinta sedikit kesal dengan Pak Andre. Pak Andre berjalan dengan tangan kosong sedangkan dirinya membawa semua kertas jawaban mahasiswa dan buku milik suaminya. Sinta merasa, ini hanya siasat Andre untuk mengajak dirinya ke ruangan sang dosen.
Sesampai di depan ruangan dosen, Pak Andre membuka pintu dan mempersilahkan Sinta masuk terlebih dahulu. Sinta melewati dan mencium aroma parfum lembut dari tubuh suaminya. Aroma itu kembali mengingat Sinta akan kegiatan tadi malam. Lagi lagi kegiatan itu terus terbayang. Setelah memastikan tidak ada yang melihat kemudian Pak Andre masuk dan menutup pintu. Pak Andre mengunci pintu, Sinta terkejut. Pak Andre tersenyum dan mendekat. Sinta masih takut dan menunduk.
Pak Andre tiba tiba memeluk Sinta. Pak Andre memegang dagu Sinta sehingga Sinta mendongak. Pak Andre langsung mencium bibir Sinta dengan lembut. Sinta awalnya tidak mau membuka mulutnya. Tapi karena Pak Andre menggigit pelan bibir Sinta jadilah Sinta membuka bibirnya.
Sinta terbuai, menikmati ciuman Pak Andre yang menghanyutkan. Sinta tersadar ketika Tangan Pak Andre merayap di perutnya. Sinta mendorong Pak Andre.
" Ini kampus Pak, bagaimana kalau ada yang lihat."
"Tenang aja, pintunya udah terkunci kog."
"Saya memang simpanan bapak, tapi saya tidak mau melakukan itu di sembarang tempat. Saya mau pulang Pak."
"Oke sayang, Hati hati di jalan. Saya pulang sore, masih ada mata kuliah," kata Pak Andre sambil merengkuh tubuh Sinta ke pelukannya. Mengecup kening Sinta dan membukakan pintu. Kemudian Sinta keluar dari ruangan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!