Setting Cerita Tahun 2008
Khansa POV
Aku seorang remaja yang sangat
biasa-biasa saja. Umurku 15 tahun. Aku siswi kelas sepuluh (SMA kelas 1).
Tinggiku 150 cm, dengan berat badan 43 kg. Kulitku sawo matang dan wajahku
sangatlah biasa. Dari segi penampilan tidak ada yang menarik dari fisikku.
Setiap kali bertemu orang di jalan, orang-orang tidak akan repot-repot
melihatku lebih dari satu kali karena begitu tidak menariknya diriku.
Aku hanyalah seorang anak piatu.
Ayahku bekerja sebagai supir angkot, sementara ibuku sudah meninggal. Karena
keberuntungan, Aku bisa masuk ke sekolah elit di kotaku. Kata orang, SMA ku ini
adalah tempat dimana orang-orang pintar dan kaya berkumpul. Awalnya Aku tidak
percaya, namun setelah Aku mengalaminya Aku mulai mempercayainya.
Aku adalah satu-satunya siswi
dari SMP ku yang berhasil masuk ke SMA favorit itu. Maklum, SMP ku adalah
sekolah pinggiran. Bisa masuk ke SMA favorit menjadi kebanggaan sendiri bagi
orang-orang di sekitarku. Namun tidak bagiku. Mungkin bagi orang yang
melihatku, Aku adalah anak yang beruntung. Di tengah himpitin ekonomi dan
berasal dari keluarga menengah ke bawah, Aku bisa berbaur dengan anak-anak dari
lingkungan atas.
Sebenarnya kenyataannya tidak
seperti itu. Dari awal Aku memasuki SMA itu, Aku sudah terkucilkan. Waktu MOS
Aku sendiri. Di kelas pun Aku sendiri. Tidak ada yang mau duduk denganku. Entah
apa pikiran mereka. Mungkin mereka berpikir, duduk dengan anak berwajah biasa,
berotak biasa, berasal dari keluarga biasa tidak akan memberikan manfaat
apa-apa bagi mereka. Tapi tidak apa-apa, Aku akan duduk sendiri saja. Lumayan,
ada dua kursi yang bisa Ku kuasai, hehe.
Setiap hari Aku hanya sendiri.
Tidak ada teman yang menemani. Setiap kali Aku berusaha membaur, mereka selalu
menjauh. Sepertinya berbicara denganku menjadi momok yang mengerikan bagi
mereka. Pada akhirnya Aku memutuskan untuk menyerah. Aku memutuskan untuk acuh
pada lingkungan di sekitarku. Aku tidak peduli lagi dengan mereka.
Hal itu berlangsung dengan cukup
efektif. Hatiku tidak terasa sakit lagi karena penolakan. Aku mulai
bermain-main sendiri. Bicara sendiri dan asik dengan duniaku sendiri. Masa
bodoh bila mereka menganggapku tidak waras, yang penting Aku bahagia dengan
duniaku.
Suatu hari ada peristiwa tak
terduga. Kelas rintisan yang di khususkan untuk kelas berbahasa Inggris full day
di hentikan. Semua siswa yang berada di dalam kelas itu di pecah dan di bagi ke
dalam kelas-kelas biasa. Ada sekitar enam orang yang masuk ke kelasku.
"Anak-anak, hari ini Kita
kedatangan teman baru. Mungkin kalian sudah mengenal mereka. Karena setahu Ibu
kebanyakan kalian berasal dari SMP yang sama. Enam orang ini berasal dari kelas
rintisan yang di bubarkan. Mulai saat ini mereka akan menjadi teman satu kelas
kalian. Ayo perkenalkan diri kalian masing-masing." Guru memberi perintah.
Dari enam orang itu (empat
laki-laki dan dua perempuan) hanya ada satu orang yang paling menonjol di
mataku. Dia laki-laki tertampan yang pernah kulihat secara nyata. Dia bertubuh
tinggi, berkulit putih, mata sedikit sipit tapi tajam, hidung mancung, bibir
tipis, rambutnya di potong stylist. Secara keseluruhan penampilannya Aku beri
nilai 99, mendekati sempurna. Aku tidak menyangka ada orang setampan dia di
sekolahku. Aku menyesal tidak mengenalnya lebih dulu. Setidaknya mengetahui
keberadaannya. Mungkin karena Aku terlalu culun dan sering mengurung diri di
kelas, Aku tidak menyadari kehadirannya. Aku menyesal.
"Namaku Alex. Aku pindahan
dari kelas rintisan. Salam kenal buat teman-teman semua." Laki-laki itu
memperkenalkan diri. Namanya sungguh sangat cocok dengan tampilan dirinya. Aku
mengukir nama itu di sudut hatiku yang paling dalam dan menyimpannya
rapat-rapat. Aku memutuskan untuk membuka hatiku untuk laki-laki tampan itu.
Sejak kepindahan anak rintisan,
keadaan kelasku semakin ramai. Banyak siswa-siswi lain yang berdatangan ke
kelasku. Mereka datang hanya untuk mengunjungi Alex. Bercakap-cakap dan
bersenda gurau dengannya. Aku baru sadar, ternyata Alex sangat populer. Dia
tidak hanya populer di kalangan siswi-siswi, namun para siswa-siswa pun
menyukai kehadirannya. Dia sangat supel dan ramah. Tidak sombong seperti
kebanyakan Tuan Tampan lainnya.
Seperti biasa, yang bisa Ku
lakukan hanya menatapnya dari kejauhan. Aku mengaguminya, sangat-sangat
mengaguminya. Aku tidak berharap bisa menjadi pacarnya (karena itu tidak
mungkin), bisa menjadi salah satu temannya saja Aku akan bahagia setengah mati.
Tidak ada angin, tidak ada hujan
tiba-tiba guru menyuruh Kami untuk rolling tempat duduk. Tanpa Aku sadari, Alex
duduk tepat di depanku. Jantungku berdegub sangat kencang. Bagaimana mungkin
hatiku akan kuat menatap punggung itu di hari-hariku?
Hari pertama, dia masih belum
menyadari keberadaanku. Dia tetap asik bercanda ria dengan teman-temannya.
Ketika dia bercanda seperti itu, yang bisa Ku lakukan hanya mencuri-curi
pandang dan mencuri dengar pembicaraan mereka.
Seperti anak remaja pada
umumnya, yang mereka bicarakan hanya seputar sepak bola, futsall, sepatu
keluaran terbaru dan gebetan yang di incar. Mereka membicarakan setiap siswi
cantik yang berasal dari kelas lain. Setiap kali temannya berbicara seperti
itu, Alex hanya bisa tersenyum simpul tanpa menanggapi. Awalnya Aku heran
melihat reaksi Alex, namun akhirnya Aku tahu alasannya.
Suatu siang, seorang dewi datang
ke kelas Kami. Tubuhnya tinggi dan langsing, kulitnya putih, rambutnya
sebahu, dan wajahnya luar biasa cantik. Kecantikan natural yang tidak dibuat-buat. Di dalam
wajahnya terpancar kelembutan, elegan dan sihir. Membuat orang-orang yang
berada di sekitarnya tersihir untuk menatapnya berlama-lama. Nama dewi itu
adalah Diana. Ya, namanya sama dengan Princess D, begitu pula dengan wajah dan
perilakunya. Membuat orang yang berada di sekitarnya betah berlama-lama berada di dekatnya.
Aku perempuan, tapi Aku merasa
jatuh cinta terhadap gadis remaja ini. Dia seumuran denganku, namun mengapa
Kami begitu berbeda jauh? Dalam segi apapun Aku kalah darinya.
Diana adalah gadis yang cantik,
kaya, pintar, sopan dan baik. Dia gadis yang sempurna. Gadis
seperti itu pantas bersanding dengan Alex yang kesempurnaannya juga mencapai
99%.
Kalian menanyakan Aku? Aku
hanyalah gadis figuran dalam kisah cinta mereka. Aku hanyalah gadis yang
melihat mereka dari kejauhan. Meskipun cintaku layu sebelum bersemi, namun
dalam hati Aku mendoakan hubungan mereka.
Sungguh pasangan yang sempurna.
Dari hatiku yang terdalam, Aku mendoakan mereka dengan tulus. Aku menjadi fans
berat mereka. Meskipun Aku menyukai Alex, tapi Aku sadar diri. Aku tidak ada
apa-apanya bila di bandingkan dengan Diana. Tidak seujung kuku pun bisa di
sandingkan.
Meskipun Aku patah hati, namun
Aku berlapang dada. Meskipun hatiku sakit, namun Aku bisa menahannya, karena
Aku tahu Diana lebih baik dari diriku 1000%. Aku hanya berharap, Diana
mengijinkanku untuk sesekali menatap Alex. Aku hanya akan menatap Alex, Aku
tidak akan berbuat lebih. Aku tidak akan mengambil Alex darinya (meskipun Alex
juga tidak mungkin mau, hehe). Diana, Aku suka dengan Alexmu. Ijinkan Aku
menatap priamu ya...
"Hei, pinjam tipe X
dong." Tiba-tiba pria yang punggungnya sering Ku tatap itu membalikkan
tubuhnya. Matanya fokus menatapku. Senyum manis tersungging di bibirnya,
menungguku untuk memberi jawaban.
Tenggorokanku kering. Aku tidak
bisa menjawab. Yang bisa Ku lakukan hanya menganggukkan kepala, pertanda
menyetujui permintaannya.
***
Happy Reading 🥰
^ErKa^
Dia meminjam tipe-X ku. Ingin
rasanya benda itu Ku museumkan. Benda itu sudah tersentuh tangannya. Rasanya
masih tidak bisa di percaya pria itu mau berbicara denganku.
"Kamu dari SMP mana? Kok
Aku gak pernah keliatan Kamu?"
"Eh, em...Eh..." Aku
bingung. Kata-kata yang ingin Ku ucap tak bisa keluar. Padahal pria itu hanya
sedang menanyakan pertanyaan umum, dimana semua orang pasti bisa menjawabnya.
"Kamu bukan dari SMP X?
(Menyebut SMP terkenal di kotaku). Aku menggelengkan kepala. "Oh pantas
saja Aku tidak pernah melihatmu. Kita berasal dari SMP yang berbeda." Aku
mengangguk-anggukan kepala, seperti kerbau yang tengah di cocok hidungnya.
"Kenalin Aku Alex. Siapa
namamu?"
"Eh eum..." Lidahku
masih kelu. Aku ingin mengutuk kebodohanku sendiri.
"Hei, Aku membuatmu tidak
enak ya? Aku tidak akan mengganggumu lagi. Terima kasih tipeX-nya." Pria
itu kembali berbalik ke depan.
Aku ingin menjulurkan tanganku.
Menepuk bahu itu agar kembali menghadapku. Tapi tentu saja itu hanya ada di
angan-anganku saja. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya.
Selama beberapa hari berikutnya,
dia benar-benar mengacuhkanku. Sepertinya dia lupa bahwa Aku adalah gadis
penghuni belakang kursinya. Aku pasrah. Lagi-lagi Aku hanya bisa menatap
punggungnya.
Tidak apa-apa dia mengacuhkanku.
Setidaknya Aku masih bisa menatap punggungnya.
Kejadian itu berlangsung selama
beberapa bulan. Akhirnya tibalah saat ujian. FYI (For Your Information),
kelasku terdiri dari 40 orang. Dan pengaturan duduk dalam ujian di sesuikan dengan
nomor urut di absen.
Mungkin nasib mujur sedang
berpihak padaku. Lagi-lagi dia duduk di depan bangkuku. Aneh sekali. Nama dia
berawalan dengan huruf "A", sementara namaku huruf "K",
bagaimana mungkin tempat duduk Kita bisa dekat seperti ini? Ah, lagi-lagi Aku
berpikir Tuhan sangat baik padaku. Tuhan tahu Aku tidak mungkin memilikinya,
jadi Tuhan berusaha untuk membuatku agar lebih mudah menatapnya.
Kembali ke hari ujian. Hari
pertama ujian ada 2 mata pelajaran yaitu matpel biologi dan fisika. Untuk matpel
biologi, Aku bisa mengatasinya karena pada dasarnya Aku menyukai matpel. Untuk
matpel kedua, Aku mati kutu. Aku benci matpel fisika, kimia dan matematika. Aku
sudah belajar mati-matian, namun otakku yang sedikit ini tidak bisa
menyerapnya. Kali ini pun demikian.
Hampir menangis Aku membaca
soal-soal yang tidak Ku ketahui jawabannya. Ingin rasanya Aku menghitung jumlah
kancing di bajuku dan menuliskan jawabannya. Di tengah keputusasaanku, pria 99%
berbalik ke arahku.
"Kamu sudah selesai?"
tanyanya. Aku menggeleng-gelengka kepala dengan mata memelas. Dia tersenyum
kecil melihatku yang begitu menyedihkan. Bukan senyum ejekan, hanya tersenyum
lucu saja. Dia kembali menghadap ke depan. Aku menghela napas berat.
Hah, pasti ujian semester kali
ini Aku akan mendapat nilai paling rendah lagi. Pikirku dengan sedih.
Lima menit berlalu. Tiba-tiba
tanpa berbalik, pria itu menjulurkan tangannya. Memberiku sehelai kertas kecil.
Aku menduga-duga, apa gerangan isi dari kertas itu?
Dengan hati yang berdebar, Aku
membukanya. Mataku langsung terbelalak begitu melihat jawaban di kertas itu.
Pria itu menulis nomor 1-50. Dan hampir semua nomor itu terisi. Mungkin hanya
ada 3-4 nomor yang belum terisi. Di bawahnya ada catatan : yang belum di isi,
aku tidak tahu jawabannya.
Hah? Pria ini serius sedang
memberiku contekan? Apa ini bukan isian jebakan? Sebenarnya apa tujuannya?
Otakku berpikir, namun tidak menemukan jawaban. Akhirnya Aku pasrah. Aku
menulis semua jawaban yang dia berikan. Aku hanya berharap pria itu tidak
sedang menjebakku.
Waktu ujian pun selesai. Semua
lembar jawaban harus di kumpulkan. Ketika sedang melewati pria itu, Aku
menatapnya. Pria itu tersenyum manis. Ingin meleleh rasanya melihatnya
tersenyum seperti itu.
Aku kembali duduk di kursiku.
Aku menulis di secarik kertas kecil. Dengan ragu Aku mencowel-cowel bahunya.
Dia menoleh. Dengan cepat Aku memberikan kertas itu dan kabur keluar dari
ruangan. Aku sangat malu. Isi dari kertas itu sebenarnya sangat simple, hanya
ucapan terima kasih. Tapi Aku tak sanggup melihat dia membacanya.
Hari-hari pun berlanjut. Dia
tetap konsisten membantuku. Terutama di tiga pelajaran yang tidak mampu Ku
kuasai. Lama kelamaan, Aku mulai bisa bercakap-cakap dengannya.
"Namamu siapa?"
tanyanya.
"Ak-aku Khansa..."
"Kamu dari SMP mana?"
"SMP X." (SMP yang
tidak terkenal dan terletak di pinggiran kota)
"Dimana itu?" tanyanya
bingung. Wajar saja dia tidak mengetahui SMP yang kusebut. Memang Aku berasal
dari SMP tidak terkenal kok.
Aku berusaha menjelaskan
sebisaku. Dia mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak.
"Kamu sendirian atau ada
teman yang lain?"
"Ak-aku sendirian..."
"Oh...pantas saja."
"Pan-pantas kenapa?"
"Kamu terlihat selalu
sendiri." katanya bergumam.
"Lex, ayo ke kantin."
Tiba-tiba segerombol teman Alex datang. Memaksa Alex untuk mengikuti mereka.
Alex pergi bersama mereka. Meninggalkanku yang kembali sendiri.
Aku menelungkupkan tanganku di
meja. Menjadikannya sebagai bantalan. Perutku lapar, tapi Aku berusaha untuk
menahannya. Aku berharap dengan tidur di waktu jam istirahat, akan menunda
laparku.
Bila ada yang bertanya-tanya,
mengapa Aku tidak ke kantin saja dan membeli makanan? Jawabannya tentu saja
karena Aku tidak punya uang. Aku ke sekolah terkadang mengayuh sepeda, namun
lebih banyak di antar ayahku yang profesinya sebagai sopir angkot.
Sebenarnya, sepeninggalnya
Ibuku, Aku menggantikan posisi beliau dalam urusan rumah tangga. Aku bangun
subuh untuk masak, nyuci baju, cuci piring, setrika seragam dan memandikan
adikku yang masih SD kelas 2. Karena padatnya rutinitasku di pagi hari, tak
ayal Aku jarang berkesempatan untuk sarapan. Menjelang siang perutku akan
terasa lapar, sama seperti yang Ku alami siang ini.
Aku hanya berharap agar bisa
segera pulang. Aku ingin makan yang banyak. Tiba-tiba bau makanan menusuk
hidungku. Aku menoleh mencari sumber bau itu.
Ternyata ada yang membawa
makanannya ke dalam kelas. Aku menghirup baunya dengan lama. Berharap dengan
melakukan hal seperti itu akan mengusir rasa laparku.
Perutku semakin berbunyi keras.
Pertanda semakin meronta untuk di isi makanan. Aku memalingkan wajahku. Kembali
menelungkupkan wajahku di atas meja. Air mataku tiba-tiba mengalir.
"Andaikan Ibu tidak
meninggal, Aku pasti tidak akan kelaparan seperti ini. Ibu pasti akan
membawakanku bekal. Memasak, mencuci dan mengurus adik untukku.
Andaikan..." Hah, terlalu banyak perandaian dalam hidupku. Aku merindukan
ibuku. Aku benar-benar merindukan beliau. Dan Aku menangis.
Kisah yang tidak keren. Dari
seorang anak berumur 15 tahun. Terkadang Aku berpikir, apakah hidupku akan
menjadi berbeda bila Aku terlahir menjadi anak orang kaya?
Tapi pikiran-pikiran seperti itu
kutepis. Aku seharusnya bersyukur. Masih di berikan seorang ayah yang
bertanggung jawab dan adik kecil yang lucu.
Terkadang Aku merasa lucu dengan
diriku sendiri. Bagaimana mungkin Aku memikirkan masalah cinta ketika dalam urusan perut pun Aku masih
belum kenyang?
Cinta memang sangat jauh dari
genggamanku. Tapi dalam hati kecilku, Aku sangat berharap cinta itu datang
kepadaku.
***
Happy Reading ^^
[MAAF UNTUK MENGANTISIPASI HAL-HAL YANG TIDAK DIINGINKAN, SEMUA VISUAL DI NOVELKU DIHAPUS YA GENK. TERIMA KASIH 🙏]
1. KHANSA AULIA (15 Tahun)
Panggilannya Kanza, seorang siswi di sebuah SMA ternama. Dia adalah seorang anak piatu yang tanpa sengaja berhasil memasuki sekolah elit tersebut.
2. YOHAN ALEXANDER (16 Tahun)
Panggilannya Alex. Dia pemuda tampan, ramah, pintar dan kaya. Dia memiliki pacar yang sangat cantik, Diana namanya.
3. AYU DIANA FILIESTA (15 Tahun)
Seorang siswi yang sangat cantik. Dia merupakan primadona di sekolah tersebut. Selain cantik, Diana juga siswi yang pintar, baik dan juga kaya. Dia adalah pacar Alex. Mereka pasangan yang sangat serasi.
Cerita mereka akan terbagi menjadi 2 season. Season pertama menceritakan kisah remaja mereka. Season kedua menceritakan kisah ketika mereka sudah dewasa.
Bagaimana kisah mereka? Yuk baca kisah mereka di novel "Aku hanya Figuran"
ErKa 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!