Bel istirahat telah berdentang hampir sepuluh menit berlalu. Syifa masih duduk termangu di dalam kelas yang sudah kosong. Nadya, teman satu bangkunya pun sudah melenggang pergi ke kantin sekolah, setelah sebelumnya berulang kali mengajaknya serta. Bukan karena ia belum lapar. Melainkan nafsu makannya yang sedang terganggu sudah seminggu belakangan ini. Selain itu ia sedang berusaha menghindari seseorang. Jadi, ia mencoba untuk sementara menahan diri untuk tidak melihat batang hidungnya sampai hatinya sudah siap menerima kenyataan.
Kehampaan kini benar – benar mengisi ruang kosong kelas XII IPS 2. Kesedihan kini merayap lalu menggelayuti hati Syifa seolah enggan bergeming. Walaupun semua masalah dan unek – unek yang tertimbun di dalam hatinya, sudah ditumpahkan pada sahabat satu – satunya, Nadya. Namun, tidak kunjung jua membuatnya bahagia.
Air mata Syifa ingin segera meluncur dari pelupuk matanya bak pemain ski yang sedang meluncur dari gunung es. Namun gadis yang akrab disapa Cipa itu, segera menyekanya ketika ada dua orang murid masuk ke dalam kelasnya.
“Kenapa lo, Fa?” todong Sari, murid berkepang itu saat melihat raut wajah Syifa yang murung. Sorot matanya tajam penuh selidik.
Syifa tidak bisa menjawab, hanya mengulum bibirnya dalam kebisuan.
“Paling dia masih baper,” sahut Alana, murid yang lainnya sinis dengan seringai mengejek. “maklum, masih patah hati gara – gara diputusin Angga.”
Rasanya Syifa ingin menangis meraung-raung mendengar nama Angga disebut olehnya. Cowok yang sudah membuatnya jatuh cinta.
“O iya, kok gue jadi mendadak pikun sih?”
“Makanya, kita sebagai cewek harus sadar diri, jangan pecicilan. Baru diakrabin sedikit udah kepedean. Dan sekarang jadi baper sendiri deh.” hardiknya tertawa sinis.
Apa gue seburuk itu? Gue enggak salah. Anggak yang nembak gue duluan.
Syifa hanya terdiam membisu mendengar olok – olokan mereka. Wajahnya tertunduk malu.
Setelah selesai mengolok Syifa dan mengambil sesuatu dari tas salah satu murid itu. Sari dan Alana langsung pergi meninggalkan kelas.
“Ya ampun Syifa … ternyata elo bodoh banget sih?” hardiknya pada dirinya sendiri sambil menghentakkan kaki ke lantai gemas. “seharusnya elo enggak boleh langsung terima waktu pertama kali Angga nembak elo,” air mata gadis berwajah bulat itu jatuh menitik dari pelupuk matanya. “tapi … mau gimana lagi? Gue enggak punya pilihan. Cinta gue udah terlanjur menggunung buat Angga. Makanya waktu dia nembak, gue langsung terima dia dengan suka cita. Gue pikir ... gue akan menjadi satu – satunya cewek yang paling beruntung di muka bumi ini. Berhasil menjadi pacar dari cowok paling popular di sekolah. Gue merasa cewek yang paling bahagia karena udah berhasil bikin baper cewek – cewek satu sekolah.”
"Kita putus!" Begitu ucap Angga saat mengkhiri hubungannya dengan Syifa.
"Kenapa? Apa salah gue?" Syifa sangat terpukul. "bukannya hubungan kita selama ini baik-baik aja. Terus sekarang elo mendadak ..."
"Sori. Gue enggak cinta sama elo."
Syifa tercengang. Matanya terlihat basah. "Tapi ... waktu itu elo bilang cinta sama gue, iya kan?"
"Iya. Karena waktu itu gue pikir begitu. Tapi seiring berjalannya waktu, gue baru menyadari ternyata cinta gue bukan buat elo."
Mata Syifa terbeliak kaget. Rima datang langsung memeluk lengan Angga begitu hangat dan mesra.
"Dan, dialah cinta gue. Kebodohan terbesar elo adalah menjadi cewek yang terlalu naif Syifa,” hardik Angga. “Lagian … gue rasa enggak ada cowok ganteng sekelas gue, yang mau backstreet sama cewek mengenaskan kayak elo.”
Syifa tertegun mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulut Angga.
“Tapi gue benar – benar suka sama elo, Ngga …” sahutnya lirih.
“Cih! Sebaiknya hapus rasa suka yang elo punya dari hati lo. Abis itu, elo lupain hubungan yang pernah ada di antara kita. Karena cinta dan suka gue cuma teruntuk Rima tersayang, pacar gue. Jelas?”
“Udah deh, sayang. Enggak usah diperpanjang. Malu banyak orang yang mulai memperhatikan kita,” sergah Rima manja seraya menggoyangkan lengan Angga yang kokoh. Beranjak pergi meninggalkan gadis malang itu sendiri.
Hari itu adalah hari yang paling paling menyakitkan bagi Syifa. Sakit karena telah dibohongi oleh orang yang selama ini dicintainya. Rasa sakit itu lebih parah dari teriris sembilu. Tidak ada satu pun obat di dunia ini yang mampu membalut luka hatinya. Masih adakah pemuda yang mau mempersunting hatinya dengan tulus?
Air mata gadis itu jatuh berderai menganak sungai. Kemudian ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Beberapa pasang mata melihatnya sinis. Seringai mengejek tersungging di bibir mereka. Syifa berlalri ke toilet sekolah mencuci wajahnya agar tidak ada lagi air mata. Walaupun pada akhirnya sia-sia, karena air matanya tidak lantas berhenti begitu saja. Kedua tangannya mencengkram erat sisi westafel dengan wajah tertunduk dalam di depan cermin. Isak tangis yang tidak lagi bisa disembunyikan menggema memecah keheningan.
Dua rongga dada Syifa mendadak nyeri dan terasa sesak mengingat semua yang telah terjadi. Isak yang sedaritadi ditahannya kini pecah. Air matanya jatuh menitik di pipi. Ditutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian membenamkannya di atas meja.
Lima bulan bukan waktu sebentar untuk Syifa menikmati masa – masa indah bersama Angga, setelah hampir tiga tahun berusaha mendekati Angga. Ia sangar sadar dengan konsekwensi yang didapatnya bila memacari Angga. Pasalnya sang Arjuna selalu di kelilingi cewek – cewek cantik. Sakit hati sudah pasti akan dihadapinya. Tetapi ia berusaha sekuat tenaga menjadi yang terbaik di mata pujaan hatinya.
Cinta yang dianggapnya gayung bersambut. Ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Sakit, pedih, perih dan perih menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh. Bagai racikan rempah-rempah yang dijadikan jamu. Begitulah perasaan yang sedang dirasakan gadis itu. Mungkin untuk jamu walau terasa pahit dilidah, tetapi menyehatkan tubuh. Berbeda dengan derita hati yang dirasakannya. Awalnya manis namun pahit getir diakhirnya.
Cinta semu yang diberikan Angga selama ini cukup membuatnya terbuai dalam mimpi indah. Karena cinta sejatinya sudah tercurah semua pada Rima sejak lama. Selain satu kelas dengan Angga, ternyata tempat tinggal mereka berdekatan. Tak aneh bila setiap hari keduanya selalu pulang dan pergi bersama.
Syifa tidak menampik jika selama ini kedua orang tuanya sangat protektif dan selektif akan teman sekolah maupun teman di rumahnya. Setiap orang tua yang memiliki anak perawan di zaman milenial seperti saat ini, pasti selalu dirundung rasa kekhawatiran dan kegelisahan yang teramat besar. Jika nanti sang anak terjerumus ke jalan kesesatan. Atau salah memilih teman dalam pergaulan. Itulah sebabnya Syifa tidak pernah diizinkan punya teman lelaki, terlebih lagi pacar. Meskipun agak lebay, tapi bagi orang tuanya sah-sah saja.
Sejak duduk di bangku SMP Syifa tidak pernah memiliki teman lelaki yang akrab dengannya. Ia pun tidak berusaha dekat dengan teman lawan jenisnya. Tetapi ketika masuk SMA. Pesona Angga mampu menggetarkan jiwa jomblonya hingga meronta–ronta. Hal itulah yang membuat Syifa memberanikan diri membuka pintu hatinya. Gayung pun bersambut di pertengahan semester satu kemarin. Angga berhasil memacari Syifa. Walau pada akhirnya sad ending.
Syifa melihat Angga yang baru saja memparkir sepeda motor metik besarnya. Dalam hati ia berharap pagi ini bisa kembali cerah seperti pagi–pagi kemarin sebelum mereka putus. Dengan senyum mengembang Syifa menyambut kedatangan Angga. Mendadak senyumnya pupus, tatkala Rima yang sedari tadi berdiri tak jauh dari tempat Angga memparkirkan sepeda motornya langsung menggandeng lengan cowok berhidung mancung itu. Kemudian berlalu melewati gadis malang tanpa menoleh sedikit pun padanya. Syifa hanya mampu terdiam menatap punggung mantan pacar yang masih dicintainya.
Nadya memeluk bahu Syifa memberi semangat.
Syifa menoleh dengan senyum getir. Matanya basah.
"Udah, cowok begitu enggak usah dipikirin. Masih banyak cowok di dunia ini yang lebih ganteng dan keren dari dia. Bahkan mungkin lebih baik dari si cecurut itu. Ingat Pa, gugur satu tumbuh seribu. Patah tumbuh, hilang berganti." tersenyum sambil menepuk pelan bahu Syifa.
Syifa mengangguk mengerti. Menghapus air mata yang hampir turun membasahi pipinya.
Nadya mengajaknya masuk ke dalam kelas.
Bersambung ....
Sore itu Syifa baru saja pulang dari sekolah dengan menggunakan jasa ojek online yang dipesankan Bunda dari rumah. Ia segera masuk ke dalam rumah setelah memberi salam.
Di ruang tamu bunda sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Syifa tidak bertanya atau berusaha untuk mencari tahu. Tetapi ia yakin orang yang sedang diajak bicara oleh Bunda adalah Ayah.
“Apa enggak terlalu cepat, Yah?” tanya Bunda gusar. Menggigit bibir bawahnya kuat.
Bunda menoleh ketika menyadari anak gadisnya sudah pulang, berdiri di hadapannya. Sejenak hubungan teleponnya ditunda. Menyodorkan tangan ketika Syifa ingin mencium tangannya. Sepasang matanya menatap raut murung yang terpancar di wajah anak gadisnya.
“Kamu baru pulang, sayang?” tanyanya seraya mengelus kepala Syifa.
“Iya Bunda,” seulas senyum tipis nan kecut tersungging di bibir Syifa. Tanpa banyak bicara Syifa bergerak masuk ke dalam kamarnya.
Ada kegelisahan yang berkecamuk di dalam lubuk hati Bunda. Pandangannya tidak luput pada punggung putri sulungnya yang bergerak pergi meninggalkannya.
"Halo, Bun ... bunda masih di situ ..." suara dari seberang menyadarkannya dari lamunan.
"Iya, Ayah ... Bunda masih ada di sini." kembali fokus pada pembicaraannya via telepon.
Syifa melepaskan tas selempang dari bahunya. Melemparnya di atas kasur dengan sembarang. Tubuh kurusnya terasa lemah seperti tak bertenaga dihempaskan di atas kasur. Wajahnya menengadah menatap plafon kamarnya. Tatapannya nanar menatap benda yang didominasi warna putih itu. Bayangan hari-hari yang pernah dilalui bersama Angga bagaikan slide video yang berputar bergantian di sana.
Sesekali Syifa tersenyum ketika teringat kenangan indah bersamanya. Tiba-tiba air matanya turun tanpa ragu saat kenangan menyakitkan itu muncul di pelupuk mata. Setelah diputuskan cinta oleh Angga, gadis malang itu harus menghadapi kemurkaan Ayahnya. Karena telah mengetahui hubungannya dengan cowok itu.
Brak!
Ponsel kesayangan Syifa jatuh ke lantai dengan sangat keras. Ayah membantingnya dengan sengaja di depan matanya setelah membaca semua chat yang dikirimkan Angga. Gadis itu sangat ketakutan. Tidak berani mengangkat wajahnya yang tertunduk dalam. Untunglah, ponsel itu tidak sampai mendarat di wajahnya. Ayah mengepalkan tangannya erat agar emosinya tidak sampai meluap-luap. Apalagi sampai mendaratkan pukulan di pipi tembam putri kesayangannya. Mata pria berkumis tipis itu merah. Untuk pertama kalinya dia terlihat sangat marah. Karena anak gadisnya telah melanggar perintahnya dan mencederai kepercayaannya.
Bunda tidak bisa berkata-kata untuk meredam kemarahan suaminya. Wanita itu hanya menatap putrinya cemas. Sebagai seorang ibu, hatinya sangat terluka melihat kemarahan suaminya kepada putrinya. Dia merasa sangat bersalah telah mengadukannya.
"Baik kalau begitu. Kamu harus menemui jodohmu minggu depan. Bila perlu dipercepat hari pertunangannya." suara Ayah bergetar namun tegas.
Syifa tidak menjawab. Hanya diam seperti manakin. Menghela nafas pun tidak berani bersuara.
"Kamu jangan coba-coba menghindar apalagi sampai kabur. Kalau kamu tidak ingin bernasib sama dengan hp kamu di lantai itu." menggertak menunjuk ke arah ponsel yang tergeletak di sudut ruangan.
Diam-diam Syifa melirik dari ujung ekor matanya. Hatinya sangat sedih.
Cinta pertama telah kandas. Menyisakan luka hatinya yang dalam. Kini Syifa harus menghadapi perjodohan itu. Gadis ayu itu seakan tidak memiliki energi menghadapi semuanya secara bersamaan. Tetapi tidak ada pilihan yang bisa menyembunyikan dirinya dari kenyataan.
Masih bisakah Syifa berdiri tegak dengan wajah terangkat setelah apa yang dilaluinya? Apalagi sejak putus dari Angga, teman-teman sekolahnya selalu mencerca dan menghinanya . Menahan rasa sakit ketika Angga dan Rima bermesraan di muka umum. Terkadang muncul pikiran untuk pindah sekolah, menghindari tekanan dan mencari suasana baru. Tapi ia yakin keinginannya akan ditolak mentah-mentah oleh Ayah dan Bunda. Walaupun ia bisa menggunakan seribu alasan agar dikabulkan. Tentu saja tanpa mengungkit masalah kandasnya kisah cintanya dengan Angga. Kalau masih ingin selamat.
“Elo harus kuat,Pa. Elo enggak boleh keok di depan si cecunguk itu,” ujar Nadya menyemangati. Hanya dialah satu-satunya sahabat yang selalu ada di saat suka maupun duka seperti saat ini.
Syifa mendengus berat. Ia baru menyadari alasan dibalik larangan Ayah yang selalu membatasi pergaulannya. Rupanya diam-diam Ayah telah menjodohkannya disaat usianya masih belia.
Kenapa harus ada perjodohan di zaman yang katanya sudah milleniai? Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Gue hanya ingin bahagia masa remaja yang indah tanpa beban. Gue bukan Siti Nurbaya. Karena sekarang bukan kisah Nurbaya.
Drreett! Drreett! Ponsel Syifa bergetar. Kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas. Ada sebuah notifikasi di layar ponselnya yang dilapisi fiber glass retak parah. Karena dibanting Ayah tempo hari. Untunglah ponselnya tahan banting jadi tidak sampai mesinnya rusak.
Pesan dari grup kelas. Syifa enggan membukanya. Kemudian ia letakkan ponselnya di atas Kasur begitu saja.
Syifa beranjak duduk. Menyeka sisa tetesan air mata yang tadi membasahi pipinya. Menghela napas panjang agar dua rongga di dadanya terasa lebih plong. Lalu beranjak ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan ganti pakaian, ia pergi ruang tengah. Menyalakan televisi. Menonton acara tv yang biasa ditonton Ade, adik lelakinya. Film kartun anak. Berharap bisa menghibur hatinya yang duka. Namun tetap saja tidak bisa membantu.
*
Pada malam hari di dalam ruang makan. Ayah membahas rencana perjodohan Syifa dengan seorang pemuda bernama Zikra, seorang mahasiswa tingkat akhir. Bunda menanggapi dengan antusias. Namun Syifa bersikap dingin. Nafsu makan yang susah payah diajaknya berdamai agar makanan yang ada di dalam piringnya bisa habis dengan segera. Ia sudah tidak ingin mendengar rencana perjodohannya lagi. Ia ingin segera masuk dan mengurung diri di dalam.
"Kira-kira kapan rencana pertunangan mereka, Yah?" tanya Bunda ingin tahu.
Rona wajah Syifa langsung berubah kecut.
Bunda ... kenapa tanya begitu sih? Bikin hilang mood aja.
"Rencananya sih, setelah Teteh selesai ujian nasional. Nikahnya kalo Teteh udah terima ijazah SMA," jelas Ayah.
Mendadak Syifa terbatuk karena tersedak makanan yang sedang dikunyahnya. Buru-buru diraihnya gelas yang berisi air putih. Lalu diteguknya hingga setengah.
"Pelan-pelan dong, Teh, kalo makan enggak usah terburu-buru. Tersedak deh, jadinya," imbuh Bunda mengusap punggung putri sulungnya.
Syifa hanya tersenyum kecil. Menganggukkan kepala.
"Teteh mau jadi pengantin ya, Yah?" celoteh Ade polos.
Ayah tersenyum lebar menanggapi celotehan putra bungsunya. Membelai rambutnya lembut.
Ya Tuhan. Mengapa jalan hidup hamba seperti ini? Dibohongin pacar sendiri. Sekarang dijodohin udah kayak Siti Nurbaya aja. OMG! Sekarang zaman udah milenial, tapi mengapa gue ngerasa hidup di zaman kolonial? Syifa mendengus pelan dan berat. Diteguknya lagi air di dalam gelas yang sama hingga habis.
Syifa langsung masuk ke dalam kamarnya setelah selesai membantu Bunda mencuci piring. Duduk bersandar di kepala ranjang dengan dialasi bantal pada punggungnya, sungguh menyenangkan.
Ponsel layar sentuh yang sudah seharusnya diservis atau dilem biru, alis dilempar beli yang baru. Masih saja dipeliharanya sangat baik. Bukan karena sayang mengeluarkan uang. Tapi memang tidak punya uang. Sejak kedua orang tuanya tahu tentang hubungannya dengan Angga, setengah uang jajan bulanannya dipotong oleh Bunda sebagai hukuman yang diterimanya. Hingga ia sering kelimpungan bila tiba-tiba ada tugas kelompok yang menuntutnya mengeluarkan sejumlah uang. Bahkan untuk jajan setiap hari di sekolah, ia harus pintar-pintar mengaturnya agar tidak kehabisan uang jajan.
Matanya masih menatap layar ponselnya yang retak. Gambar wajah Angga terpatri di ponselnya. Rasa sukanya pada pemuda itu masih belum luntur dari hatinya. Hingga ia mengalami betapa sulitnya menghapus kenangan bersama mantan. Apalagi jika sang mantan saban hari muncul di depan mata.
Huhh! Menyebalin! Ingin balikan, tapi sudah terlanjur ditolak sebelum bertindak. Ihh! Ingin bunuh diri rasanya namun takut mati. Ditambah dengan seenaknya mengumbar kemesraan di muka umum. Uuuhh! Ingin gue bunuh saja pacarnya tapi takut di penjara. Buru-buru Syifa menggelengkan kepala seraya mengacak-acak rambutnya sendiri.
Syifa langsung mematikan ponselnya. Lalu meletakkannya di atas meja di samping tempat tidurnya. Dan memadamkan lampu kamarnya. Ia pun segera membaringkan tubuhnya dan terlelap dalam tidur.
Syifa kini tampak berusaha menerima kenyataan, alasan kenapa putus hubungannya dengan Angga adalah faktor kedua orang tuanya yang tidak mau merestui. Selain itu, kenyataan tentang Angga yang tidak pernah mencintai secara serius, karena lelaki yang tidak bisa dipungkiri ketampanannya telah memilih perempuan lain. Sementara dirinya hanya dijadikan mainan, penghibur hati lelaki brengsek tak tahu malu itu saat sedang sedih.
Sekarang tidak ada alasan untuk Syifa menolak perjodohannya dengan pemuda yang sama sekali belum dikenalnya. Seakan ia tidak punya kekuatan untuk menolak perjodohan itu seperti biasanya. Dalih-dalih yang sering digaungkannya kini senyap tanpa suara. Ia tidak mau menabuh genderang perang lagi pada Ayah dan Bunda. Ia ingin berdamai. Tidak ingin membuat Ayah murka seperti kemarin. Ia pun tidak ingin melihat Bunda menangis, seperti saat Syifa nyaris kena pukul Ayah. Bunda mengemis dengan berurai air mata untuk meminta pengampunan Ayah.
Bunda pernah bercerita, bahwa dulu Syifa dan pemuda itu sangat akrab. Usia yang terpaut empat tahun membuat anak lelaki itu sangat menyayangi Syifa. Dia memiliki seorang adik perempua yang sebaya dengan Syifa. Gadis kecil itu sering iri dengan Syifa. Hingga terkesan merasa Syifa telah merebut kasih sayang Kakaknya darinya. Tetapi entahlah. Ia tidak bisa mengingatnya.
Bersambung ....
Sabtu sore.
Nadya terbeliak menatap Syifa berdiri mematung di depan pintukamarnya. Sorot matanya tajam memandangi
dari atas sampai ke bawah. Tak ayal suara tawa pun pecah mendapati penampilan sang sahabat yang mendadak terlihat aneh. Padahal gadis berpipi tembam yang ia kenal sejak SMP selalu tampil kesual dan modis. Namun entah apa yang merasukinya saat ini.
Wajah full make up. Dress baby pink dengan paduan kain tile dan satin membalut tubuh Syifa.
Sepatu flat putih. Serta tas selempang mungil rajut yang warnanya tidak singkron dengan konsep yang
digunakan hari ini. Tidak ketinggalan bando putih dengan sentuhan bunga – bunga kain berwarna baby pink
bertahta di atas kepalanya. Rambut panjangnya yang hitam legam dibiarkan terurai.
“Elo?” jari telunjuknya lurus menunjuk Syifa sambil terkekeh.
Syifa menerobos masuk seraya mendorong pelan tubuh Nadya yang kurus, berdiri menghalangi jalannya.
Duduk di atas kasur Nadya walau belum dipersilahkan. Wajah Syifa memerah karena kesal telah ditertawakan. Belum lagi teguran dari sopir anggot yang ditumpanginya menuju rumah Nadya ikut menggodanya.
"Udah deh, elo jangan nawain gue terus." Rajuk Syifa.
Nadya menghentikan tawanya. Hanya mempertahankan segaris senyum menyungging di bibir tipisnya.
Duduk di sisi Syifa.
“Sory … gue enggak bermaksud kayak gitu,” Nadya merasa bersalah.
Syifa hanya diam membisu.
“Lagian elo sih pake pakaian ala–ala princess gini. Kayak anak kecil tahu!” lanjutnya mencari pembenaran.
“mau kemana, dek? Mau pergi ke ulang tahun siapa?” godanya iseng seraya menyeringai geli.
“Jangan rese deh lo, Nad!” Syifa mendorong pelan bahu Nadya.
“Aduh! Dia marah..."
Syifa tiba – tiba memeluk Nadya erat. Membenamkan wajahnya dalam dekapan Nadya.
Nadya tersentak kaget. Setelah drama kesedihan berkepanjangan hingga nangis Bombay karena
diputusin Angga, Syifa tidak lagi menangis di dalam pelukannya. Tapi untuk kali ini entah drama apalagi
yang terjadi pada dia.
Nadya menghela napas panjang setelah mendengar cerita dari drama kehidupan Syifa. Kini dia baru
mengerti mengapa Ayah dan Bunda selalu memintanya agar selalu mengawasi Syifa agar tidak dekat
dengan teman lelaki di sekolahnya. Walau pada akhirnya gadis itu diam – diam nekat berpacaran dengan Angga. Dan buah dari kenakalan yang diperbuat, ia harus menerima hukuman serta perjodohannya
dengan seorang pemuda asing yang tidak pernah dijumpai sebelumnya.
Air mata Nadya mendadak meluncur begitu saja membasahi pipinya, ikut merasakan kesedihan Syifa.
“Drama banget sih hidup lo. kalo seandainya kisah hidup lo dijadiin judul sinetron … judul apa yang
tepat? ‘Kisah percintaan yang enggak mulus, terus dijodohin ala – ala Siti Nurbaya’ menarik kali ya?”
seloroh Nadya.
“Gue bukan Siti Nurbaya!” sergah Syifa cepat. “hidup gue bukan cerita dalam sinetron. Jadi elo
jangan lebay deh, Nad.”
“Ah, serius banget sih hidup lo?”
“Emang serius. Hidup gue emang lagi serius banget. Mungkin sekarang tahap urgent kali,” ujar Syifa lirih.
"Mau masuk ICU kali."
Syifa tidak langsung menjawab. Ia hanya meminta Nadya memakai baju dengan warna yang sama dengannya. Setelah selesai me – make over wajah teman yang sudah dianggapnya seperti saudara itu, lalu mengajaknya ke suatu tempat. Meskipun harus susah payah memberi penjelasan dan memohon agar mau ikut bersamanya.
“Elo enggak lagi menjerusmusin atau ngejebak gue kan,Pa?” selidik Nadya curiga ketika baru tiba di tempat mereka tuju.
Sesungguhnya jauh di lubuk hati Nadya tidak mau ikut campur perihal kehidupan pribadi Syifa.
Berhubung Syifa sudah mendesaknya dan memohon dengan air mata yang berderai, akhirnya gadis itu luluh juga.
“Ya enggak lah. Elo kan sahabat gue, masak sih gue sejahat itu sama elo.” jawab Syifa menenangkan Nadya
yang tampak sangat frustasi.
Nadya menggantikan posisi Syifa dalam kencan buta. Duduk di tempat yang telah dipesan untuk menemui pemuda, calon suami Syifa. Rona kegelisahan terpancar jelas di wajah tirus Nadya. Degup jantungnya mendadak kehilangan iramanya. Keringat dingin muncul sebesar biji jagung di keningnya.
Setangkai mawar merah yang sempat dibelinya di sebuah toko floris dalam perjalanan menuju kafe sebagai identitas perkenalan keduanya sudah berada dalam genggaman Nadya.
Di meja berbeda tak jauh dari meja Nadya berada, Syifa memantau pergerakkan jika si pemuda itu datang.
Rona ketegangan di wajah Nadya tampak terlihat jelas. Sesekali dia memberi kode kepada gadis yang akrab
disapa Cipa. Seolah dirinya berkata ingin mengurungkan niatnya menggantikan posisi Syifa.
Syifa membalas dengan mengatupkan kedua tangan, seakan ia berkata,
“Please … tolongin gue. Gue janji kalo cowok itu oke, gue akan datang buat gantiin elo di sana.”
Melihat Syifa begitu mengiba, membuat Nadya luluh dan tidak tega menolaknya lagi. Sebelum berangkat ke kafe Nadya sempat berceloteh.
“Elo yakin enggak mau nemenuin cowok itu langsung?”
“Sebenarnya titik permasalahan yang terjadi pada diri gue bukan yakin atau enggak yakin. Karena untuk masalah ini apa pun alasannya gue emang enggak yakin, apalagi siap berhadapan langsung sama dia. Secara hati gue masih berdarah-darah, gara-gara gue habis diputusin sama si Kuya brengsek itu,” lirih Syifa mencurahkan isi hatinya.
“Oh, jadi elo belum bisa move on nih, ceritanya?”
“Asal elo tahu, Nad. Alasan gue mau datang ke sini terpaksa. Gue takut bokap-nyokap gue marah besar lagi kayak kemarin.” matanya mulai berkaca-kaca.
“Ya udah, jangan salahin gue kalo cowok itu jatuh cintanya sama gue, bukan sama elo. Karena orang pertama yang dia temuin adalah gue,” imbuh Nadya terdengar seperti sedang mengancam.
“Ambil aja kalo elo suka. Ambil … ambil…” entah serius atau bercanda Syifa sangat enteng menjawabnya.
Tak lama berselang, seorang pemuda kira – kira berusia dua puluh tahunan lebih masuk ke dalam kafe seraya membawa sekuntum mawar merah. Postur tubuhnya tinggi dan kurus, memakai kacamata minus tebal. Rambutnya lurus kelimis di belah dua pada bagian atas kepala. Tampangnya terlihat seadanya terkesa sangat culun. Dengan sepasang kaca mata berbingkai hitam tebal pemuda itu melempar pandangannya menyisir ke tiap penjuru kafe, seakan sedang mencari seseorang.
Syifa mengernyitkan dahi menatap pemuda yang sedang bergerak masuk melewati mejanya. Matanya nyaris tidak berkedip. Wajahnya terlihat sangat kecewa melihat pemuda yang bakal mempersuntingnya kelak.
Cowok itu membawa mawar merah? Jangan – jangan dia, cowok yang dijodohin sama gue. Pikirnya.
Ternyata benar cowok itu adalah lelaki yang dijodohkan dengan Syifa. Pasalnya cowok itu langsung mendatangi meja tempat Nadya duduk. Pada saat bersamaan Nadya yang juga tengah memegang sekuntum mawar merah yang sesekali diputar – putar tangkainya.
“Ya ampun, Bunda. Tega banget sih, jodohin gue sama model cowok limited edition kayak gitu sih? Apa jadinya anak-anak gue nanti kalo model calon bapaknya aja kayak begitu?” ujarnya lirih.
Awalnya pertemuan Nadya dan pemuda itu berjalan normal. Nadya mempersilahkan pemuda itu duduk di kursi di depannya. Diam – diam gadis tujuh belas tahun itu menoleh ke arah Syifa dengan mencebikkan bibirnya.
“Syifa … tega banget sih elo sama gue?” pekiknya berbisik lirih. Tetapi belum semenit mereka bersama, entah mengapa Nadya tiba–tiba lari terbirit – birit keluar meninggalkan kafe.
Sontak Syifa terkejut, beranjak berdiri. Matanya mengikuti ke mana sahabatnya bergerak. Tanpa pikir panjang Syifa pun langsung mengejar Nadya keluar.
“Nad! Nad! Tunggu!” seru Syifa berhasil menarik lengan Nadya dan menghentikan langkah sahabatnya.
Setelah yakin sudah berada jauh dari tempat tadi Nadya berhenti. Nafasnya memburu dan tersengal kelelahan, anggap saja habis olah raga lari sore walau tidak cukup membakar kalori di dalam tubuh; lari dari dalam kafe sampai jauh ke jalan raya. Tak terasa sudah meninggalkan halaman parkir kafe yang cukup luas terletak di pinggir jalan arteri.
“Elo kenapa lari? Emanngnya ada apa?” selidik Syifa penasaran yang juga ikut tersengal – sengal. Maklum jarang olah raga, jadi baru sedikit bergerak sudah sangat kelelahan.
Nadya membalikan badan. Gadis itu berusaha mengatur nafasnya agar lebih teratur. Dia meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
“Sory, Cip,” raut wajahnya tampak muram. Gadis berambut panjang sebahu itu seakan sangat menyesal tidak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. “sekali lagi gue bilang, sory banget gue enggak bisa ngelanjutin lagi.”
“Ya ampun, Nad. Gue kirain kenapa? Bikin gue spot jantung aja.”
Nadya hanya nyengir. Syifa jadi gemas.
“Kalo cuma enggak bisa gantiin posisi gue, ngapain juga elo pake lari kayak orang kesetanan aja?” tanya Syifa tidak mengerti. “gue jadi panik banget, tauk!”
“Maaf, Pa. Tapi beneran gue enggak bermaksud begitu …”
“Trus?”
“Itu … itu karena gue ngeri,” jawab Nadya ragu.
“Hah?! Ngeri?” Syifa terkejut.
Nadya menganggukkan kepalanya cepat.
“Iya, Cip.”
“Aneh lo! Masak cuma ngelihat cowok limited edition kayak gitu pake negri segala. Emangnya dia monster,” kilah gadis setinggi seratus enam puluh delapan sentimeter itu tidak percaya. Rambutnya tergerai panjang. Ada satu kepangan kecil yang menghias rambutnya untuk menambah manis penampilannya.
“Ah, elo. Enggak segitunya juga kali…” sanggah Nadya. “gue cuma ngeri aja lihat giginya yang bikin gue ilfil.”
“Maksud lo?”
Nadya tergelak mengingak gigi bagian depan atas lelaki itu yang ompong.
“Gue pikir cuma tampangnya doang yang culun, ternyata waktu dia nyengir gue lihat giginya ada jendelanya,” tutur Nadya terkekeh geli.
“Gigi ada jendelanya? Kok bisa?” Syifa masih belum mengerti.
“Maksud gue, giginya ompong mirip kayak jendela rumah yang lagi dibuka,” sahut Nadya terbahak – bahak.
“Apa?” Syifa terperanjat kaget, lalu ikut tertawa bersama Nadya.
Suara tawa mereka terdengar renyah memecah keheningan sore. Rona senja memerah di kaki langit. Awan bergerak mengikuti hembusan angin. Dua sahabat yang saling memahami satu sama lain terlihat begitu akrab. Sejenak kesedihan yang mendera hilang untuk sesaat, berganti suara tawa ceria. Semoga keceriaan ini tidak cepat berlalu seperti hembusan angin.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!