NovelToon NovelToon

Keturunan Ke Tujuh

Sebuah Nama

Sebuah buku besar terletak di sebuah meja, dengan sebuah pena, yang menari-nari di atasnya.Mengukir huruf per huruf untuk membuat sebuah kata yang disusun dengan sedemikian rupa.

...Tampak pria tua mengerutkan keningnya sesaat. Memilih kata-kata yang tepat. Sebelum ia melanjutkan tulisannya. Setelah ia selesai menulis. Ia menoleh pada jam tua yang seukuran lemari....

Buku itu kemudian ditutup lalu disimpan di sebuah laci. Dan setelah memastikan tidak ada yang terlupakan, pria tua itu pun meninggalkan meja tempatnya menulis tersebut.

...Ia segera bersiap-siap untuk tidur. Sebab esok adalah hari pernikahan putra dari anak ketujuhnya....

...Persiapan pesta sudah rampung. Semuanya hanya tinggal menunggu hari esok....

Meski ia ingin sekali tidur, namun rasa kantuk belum juga menghinggapinya. Sulit sekali memejamkan mata, meski sudah terasa perih karena memerah akibat lelah.

Ia menatap langit-langit kamarnya. Seketika melintas bayang-bayang masa lalunya. Tentang suka-duka saat istrinya masih hidup.

Dan ketika ia memiliki tanggung jawab yang diwariskan secara turun-temurun. Yaitu melanjutkan pesan agar cucu dari putra ke tujuhnya menggunakan nama khusus.

"Sean, ingat baik-baik pesan kakek, kelak jika kamu berumur panjang dan memiliki keturunan. Kamu harus meneruskan pesan ini. Sebuah nama, yang jika dihitung dari garis keturunan yang memberikannya adalah nama untuk anak dari cucumu," ujar kakek Sean kala itu.

...Hal itu selalu dipesankan secara berulang-ulang saat ia hendak tidur. Sehingga terpatri dengan jelas dalam ingatannya....

Di hari yang sama di tempat yang berbeda, putra dan putrinya memikirkan banyak hal. Mereka diundang ke pernikahan yang akan diselenggarakan besok.

"Apa kita tidak bisa menolak undangan itu?" ujar seorang wanita paruh baya pada seseorang di seberang panggilan.

"Sebenarnya aku juga tidak mau ke acara pernikahan tersebut. Tapi aku tidak ingin papa menjadi marah. Sebab orang yang akan menikah esok adalah cucu kesayangan papa."

"Ah, jangan mengatakan hal yang membuatku merasa mual. Tapi baiklah. Jika kalian datang untuk menghadiri pesta pernikahan itu, maka aku pun juga akan datang," ujar wanita paruh baya tersebut.

...Lalu ia mengakhiri panggilan terakhir. Tidak sampai lima menit, suaminya datang ke kamar mengenakan piyama tidur. Lalu duduk di samping wanita paruh baya tersebut....

"Merina, kamu barusan berbicara dengan siapa?" tanya suaminya.

"Oh, aku baru saja menghubungi Moris untuk masalah keberangkatan esok ke pesta anak sial itu," jawab istrinya.

...Wanita paruh baya itu menekankan intonasi di beberapa kata. Untuk menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada calon pengantin, yang akan menikah esok. Meski salah satu dari sang pengantin adalah keponakannya....

"Bukannya kita sudah sepakat akan datang?"

"Iya, tapi siapa tahu mereka akan berubah pikiran," jawab Merina pada suaminya yang tampak kebingungan sambil memegang dagunya.

...Lalu ia memeluk suaminya dengan manja....

...Ke esokan harinya, pesta pernikahan pun dilangsungkan. Merina dan suaminya berpenampilan senada. Ia menggunakan pakaian yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari....

Meski ia bukan seorang pengantin, tapi rasa haus akan perhatian membuatnya selalu ingin tampil memukau. Namun kecantikannya tetap saja kalah dibandingkan oleh sang pengantin. Yang kini duduk di kursi pelaminan.

...Pengantin pria dan wanita sesekali harus berdiri menyambut tamu-tamu undangan yang datang....

...Dan sesekali pengantin pria memperkenalkan pengantin wanita pada tamu-tamunya....

Begitu juga dengan pengantin wanita, ia memperkenalkan mempelai pria, ke orang-orang yang ia undang.

Dan semua orang yang diundang oleh pengantin wanita maupun pengantin pria meminta satu permohonan. Yaitu berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.

...Dan di setiap foto yang diambil, ada sosok yang tidak terlihat oleh orang biasa ikut terfoto. Yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu....

...Sosok yang memancarkan kebencian di matanya dan penuh dengan rasa dendam. Namun sosok itu tersenyum penuh arti....

Seorang tamu yang bisa melihat sosok itu merasa kalau para pengantin ini akan mengalami nasib sial. Tapi ia hanya bisa diam saja. Sebab tidak ingin memperkeruh suasana di hari yang bahagia tersebut. Sambil menikmati hidangan yang ada di meja. Serta hiburan yang disediakan untuk para tamu agar betah berlama-lama di pesta tersebut.

Tamu itu tidak mengenal pengantin wanita mau pun pengantin pria. Ia hanya diajak oleh kenalannya, yang kebetulan adalah teman dekat, sekaligus karyawan di perusahaan pengantin pria.

"Tolonglah kali ini saja, berpura-pura jadi pasanganku. Nanti aku belikan apa pun yang kamu minta," ujar pemuda yang merupakan teman dekat pengantin pria tiga hari sebelum pesta.

..."Sungguh?" tanyanya memastikan....

"Iya, sungguh!" ujar sahabat pengantin pria mengangkat jari telunjuk dan jari tengah sejajar telinga kanannya.

...Tamu yang bisa melihat roh yang duduk di pelaminan tiba-tiba sadar dari lamunan sesaatnya....

"Hei, kenapa melamun? Ayo kita memberi salam pada pengantin. Sekalian kado untuk mereka," ujar sahabat sekaligus karyawan dari pengantin pria.

"Oh ok, tapi di mana kadonya?" tanya gadis Indigo tersebut.

"Di sini! Sebuah tiket bulan madu," ujar sahabat mempelai pria.

...Gadis Indigo itu hanya mengangguk-angguk. Saat menyalami para mempelai, gadis Indigo itu bertingkah seolah tidak melihat roh yang menyimpan dendam itu. Dan ia memeluk pengantin wanita sambil mengatakan ucapan selamat....

"Selamat ya. Semoga kamu bahagia. Jaga dirimu baik-baik," ujarnya dengan senyuman, namun ada penekanan dalam pengucapannya.

...Jika ada yang mendengarnya, mereka akan mengira yang macam-macam. Mungkin mereka hanya mengira kalau gadis Indogo ini hanya menggoda pengantin wanita. Dan yang lain mungkin akan mengira kalau gadis ini sedang mengancam pengantin wanita yang merebut kekasihnya....

"Terima kasih, iya saya akan berhati-hati," jawab pengantin wanita yang tidak menanggapi dengan serius ucapan gadis Indigo tersebut.

...Pada akhirnya pesta pernikahan sudah usai, tampak beberapa dekorasi pernikahan mulai dibersihkan....

...Mulai dari bunga-bunga indah, baik bunga palsu, mau pun bunga hidup, yang dipetik dan dirangkai, menjadi bentuk yang berbeda....

...Dan menambah keindahan alami bunga-bunga tersebut setelah berada di dalam satu rangkaian....

"Lihat bunga ini, terampil sekali ya jari yang membuatnya, katanya di rancang oleh penata bunga terkenal," ujar wanita muda berseragam pelayan di sela-sela waktunya melaksanakan tugas.

"Aku jadi merasa sayang, untuk membuangnya," lanjutnya lagi sambil menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan satu tiupan dari lubang hidungnya.

"Kalau kamu merasa sayang, ya sudah ambil dan simpan saja di dalam lemarimu. Sebelum mobil truk pengangkut sampah membawa bunga-bunga itu pergi!" ujar wanita muda lainnya yang berseragam sama dengannya, dengan nada judes.

"Ia aku juga sebenarnya merasa sayang untuk membuangnya. Tapi, untuk apa lagi diperdulikan, jika sudah tidak ada lagi, orang yang ada di tempat ini, untuk menikmati keindahannya, walau sedetik lagi saja. Maka lebih baik bunga-bunga itu, dibuang ke dalam tong sampah. Agar kita bisa segera beristirahat." ujar wanita paruh baya yang juga mengenakan pakaian pelayan.

"Semua orang pasti berpikir betapa beruntungnya gadis yang menikah hari ini. Tidak perlu memikirkan tentang masa depannya lagi. Masa depan mereka berdua seperti pangeran dan putri dalam dongeng saja ya. Mereka pasti akan hidup bahagia selamanya," ujar wanita muda pertama yang dikenal bernama Ros.

"Padahal aku sudah lama tinggal di sini, tapi aku tidak memiliki keberuntungan. Kudengar pendidikan terakhir mempelai wanita hanyalah SMA. Sama dengan pendidikan terakhirku. Dan ia hanyalah seorang buruh yang bakerja di salah satu pabrik tuan Dion. Tapi ia berhasil mencuri hati tuan muda kita," ujar gadis pelayan lainnya.

"Sudahlah jangan bahas tentang mempelai wanita terus! Apa kalian tahu kalau hari ini tuan besar mengumpulkan seluruh anak-anaknya, kira-kira mereka akan membicarakan apa?" tanya wanita muda yang dipanggil dengan nama Vivina penasaran.

...Vivina merasa cemburu pada pengantin wanita, karena ia juga tertarik pada ketampanan serta kemapanan tuan muda mereka....

...Untuk menutupi rasa cemburu, maka ia pun mengalihkan pembicaraan tetang nasib baik pengantin wanita yang menikah hari ini, dengan kabar yang ia dengar tanpa sengaja....

"Hah benarkah?" ujar wanita paruh baya yang sering dipanggil dengan sebutan bibi Kinan.

"Iya, tadi aku melihat beberapa dari mereka menerima panggilan, lalu pergi ke ruang khusus," jawab Vivina dengan serius dan dengan tatapan tanpa berkedip.

...Tepat seperti yang dikatakan oleh Vivina jika tuan besar mereka yang bernama Sean telah memanggil seluruh anak-anaknya....

...Tidak sulit dan tidak butuh waktu lama untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya, di sebuah ruangan khusus yang cukup luas....

...Sepertinya tuan Sean merasa jika hari akhirnya akan segera tiba,...

...maka ia pun membuat pernyataan tentang sebuah wasiat....

...Wasiat tentang harta warisan, untuk setiap orang yang dipanggil berkumpul di ruangan itu....

Semua orang bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan hari ini. Karena mereka hanya disuruh berkumpul melalui sebuah panggilan, tapi tidak diberitahukan alasannya. Tapi tidak seorang juga yang bertanya, walau untuk sekedar memecahkan kesunyian di ruangan itu.

Setelah semua berkumpul, kecuali putra terakhirnya, tuan Sean memandangi satu persatu wajah-wajah yang hadir di situ. Ada rasa cemas yang ia simpan dalam benaknya.

Akan keputusan yang sudah ia pilih. Maka mau tidak mau ia pun mulai berbicara dengan suara khasnya. Suara seorang kakek yang sudah lanjut usia.

"Dion, cucuku.., anak dari putraku yang ke tujuh. Kakek senang sekaligus merasa lega, karena akhirnya kau sudah menikah. Kakek ucapkan selamat menempuh hidup baru, semoga pernikahan kalian berdua bertahan sampai akhir hayat," kata kakek.

Kalimat awal telah tuan Sean ucapkan untukmemecahkan keheningan. Ia merasa tidak berlebihan tentunya, untuk mengucapkan kata selamat pada Dion. Di depan semua anggota keluarga yang berkumpul hari ini. Karena mengingat hari ini merupakan pernikahan cucunya tersebut.

Walau sebenarnya tuan Sean tahu hal apa yang akan menimpa kehidupan rumah tangga cucunya tersebut. Tapi ia tidak boleh mengatakannya pada Dion. Apalagi jika mengungkapkannya pada anak-anaknya. Biarlah itu menjadi misteri dan biarlah mereka yang memecahkan misteri dalam pernikahan mereka kelak nantinya, pikir pria tua itu.

Lalu ia mengedarkan pandangannya kepada anak-anaknya yang masih tersisa. Karena ia sudah kehilangan satu putranya. Yaitu orang tua Dion. Kakek mengatur napasnya seolah berat baginya untuk menghembuskan tiap napasnya. Seakan ia harus mengiritnya agar cukup untuk beberapa waktu lagi. Agar ia masih bisa bernapas sampai semua tugasnya usai terlaksanakan.

"Untuk anak-anakku, papa sudah buatkan surat wasiat untuk kalian," ucapnya kini pada anak-anaknya.

Anak-anak tuan Sean saling melirik di antar mereka. Sambil mengira-ngira berapa jumlah yang akan mereka terima. Dan dalam bentuk apa warisan yang akan diberikan pada mereka.

Lalu kakek memberi kode pada pengacara yang berdiri di sampingnya. Untuk menyerahkan dokumen.

Kepada masing-masing orang yang berkumpul di situ. Masing-masing dari mereka menerima dokumen dengan wajah yang datar, mencoba menutupi pikiran mereka.

Lalu mereka pun membaca dengan seksama tiap huruf yang tertera disana.Mendadak wajah datar yang menyimpan emosi kini berubah.

Mereka heran kenapa jumlah yang mereka terima sangat sedikit, jika dibandingkan dengan keseluruhan harta papanya. Hal yang lebih mengejutkan lagi bagi mereka, adalah saat pengacara membacakan pembagian keseluruhan warisan yang diterima oleh tiap orang.

Warisan Dion ternyata jauh lebih besar tujuh kali lipat dari yang lainnya.Tentu saja itu membuat anak-anak yang lain protes.

"Apa maksudnya semua ini pa?!"

"Ini tidak adil!"

"Kenapa jumlah warisan untuk Dion lebih besar, pasti ada kekeliruan di sini. Iya kan pa?" ujar anak-anak tuan Sean saling menimpali.

Wajah asli mereka sudah tidak bisa ditutupi lagi. Tanggapan yang sudah bisa papa mereka tebak dari awal, jauh sebelum hari ini tiba, jauh sebelum kata-katanya tertuang dalam kertas menjadi huruf-huruf yang saling bertautan membuat barisan kalimat.

Meski anak-anak protes dan mengungkapkan rasa tidak puas mereka melaui kata-kata pedas. Dan tanpa sensor sedikitpun, tuan Sean merima kata-kata mereka dengan tenang dan berlapang dada. Sebab tuan Sean sadar kalau anak-anaknya tidak tahu, hal apa saja yang akan terjadi kelak pada penerima warisan terbesar.

"Papa juga mendapatkan warisan itu karena kakek papalah yang memberikannya. Itu adalah warisan turun-temurun. Hanya boleh diberikan pada keturunan ke tujuh." ucap kakek yang mencoba menjelaskan alasan pembagian warisan yang tidak merata tersebut.

Penjelasan tersebut tentunya tidak cukup untuk membuat pendengarnya menjadi tenang. Aksi protes masih berlanjut. Walaupun demikian pada akhirnya tidak ada yang berubah dari surat wasiat itu.

Tapi dalam sekejap sikap dari anak-anak kakek kepada Dion berubah 180 derajat.

Mereka langsung pulang bahkan tanpa berpamitan, dan dengan wajah sinis menatap Dion sekilas sebelum akhirnya membuang muka dan pergi.

"Kakek mengapa kakek melakukan semua ini?" tanya Dion setelah seluruh anak-anak kakek pergi.

"Apakah surat wasiatnya tidak bisa diubah lagi kek?" tanya Dion lagi.

"Dion, sebelumnya kakek mau meminta maaf padamu. Sebab keturunanmu akan mengalami banyak cobaan. Warisan itu sudah digariskan secara turun temurun. Hanya anak ke tujuh yang boleh menerimanya. Dan semua yang kakek berikan hanya bantuan kecil saja untuk kalian. Kakek hanya mencoba meringankan beban kalian berdua nantinya," ucap kakek kepada Dion.

Dion tidak mengerti arti dari ucapan kakek yang sebenarnya. Ia hanya mengira kalau cobaan yang kakeknya maksud adalah cobaan dalam berumah tangga, seperti yang dialami oleh keluarga lainnya. Ia pun tidak bertanya lebih jelas maksud dari ucapan kakek, dan ia melihat kondisi kakek yang terlihat semakin lemah.

"Dion, Lina. Kalau nanti kalian punya keturunan. Jika laki-laki beri dia nama Te Apoyo dan jika perempuan namailah dia dengan nama Te Espere," ujar kakek lagi.

Dan takdir baru kedua pengantin baru saja dimulai.

Bersambung...

Ruang Rahasia

"Kami bahkan belum berbulan madu kenapa sudah diberi nama untuk anak yang belum lahir," batin Dion dalam hati.

Pikiran Dion tergelitik saat mendengar ucapan kakek, tapi dia tidak berani mengatakannya meski dengan cara bergurau. Sebab kelihatan kalau pria tua yang ada dihadapannya sangat lelah. Ia pun mencuri pandang pada Lina, wanita yang baru saja dinikahinya hari ini.

Dion melihat rasa lelah yang sama pada wajah Lina, meski ia tidak memperlihatkannya. Sepertinya mereka tidak akan melakukan malam pertama mereka malam ini. Dan kakek harus sabar, sampai anak mereka lahir nanti sehingga bisa diberi nama yang ia pesankan.

Tanpa sadar Dion melamun. Terbayang sekilas saat ia membawa Lina bertemu kakek untuk pertama kalinya. Kakek terlihat terkejut. Dion mengira kakek akan menolak saat melihat reaksi kakek. Tapi ternyata kakek segera tersenyum dan langsung menyetujui hubungan mereka.

Padahal Dion sudah sangat cemas dan mempersiapkan kata-kata memohon pada kakeknya agar merestui hubungan mereka. Bukan hanya restu berpacaran saja, kakek malah menyuruh Dion untuk segera melamarnya.

Lalu Dion tersadar dari lamunan saat tangan kakek menyentuh punggung tangannya. Lalu menepuk-nepuk punggung tangan Dion dengan perlahan.

"Kakek senang sekali hari ini, akhirnya tugas Kakek di dunia ini sudah selesai. Dan Kakek ingin beristirahat dengan tenang," ujar kakek, sambil tersenyum.

Setelah berbicara demikian kakek pun tertidur dengan pulas malam itu. Dan ternyata pada ke esokan harinya, beliau menghembuskan napas terakhirnya. Membuat Dion dan Lina sangat terkejut karena baru menyadari, kalau ucapan terakhir kakek adalah sebagai ucapan berpamitan pada mereka berdua.

Kata-kata kakek pada malam itu sebenarnya terkesan janggal, namun para pendengarnya tidak memahami hal itu. Hanya mahluk tidak kasat mata yang memperhatikan mereka yang tahu artinya. Dan ia melihat arwah orang tua itu keluar dari raganya.

Secepatnya Dion menghubungi kerabatnya, anak-anak dan cucu-cucu kakek. Ia tidak memikirkan yang akan terjadi. Bahwa anak-anak kakek akan menuduhnya sembarangan. Sebab kepergian orang tua mereka sehari setelah pembagian harta warisan.

Anak-anak tuan Sean menerima panggilan dan kabar duka. Dan segera mereka datang kembali ke rumah tuan Sean. Mereka datang melayat. Serta untuk terakhir kalinya melihat wajah, orang yang telah mewariskan darah yang mengalir di dalam tubuh mereka.

Tapi mereka tentu saja tidak terima begitu saja. Akan kepergian orang tua yang baru saja memberikan mereka warisan, secara tidak adil tadi malam. Dan mereka semua yang menerima warisan lebih kecil dari pada warisan yang diterima Dion dari Sean menyalahkan Dion. Mereka menuduhnya sebagai penyebab meninggalnya orang tua terakhir mereka.

"Kamu pembunuh, setelah dapat warisan kau membunuh kakek iya, kan!" ujar putri tertua Sean yaitu Merina.

"Kami akan melaporkamu ke polisi!" ujar putra tertua Sean yaitu Moris.

"Kamu akan membusuk di Penjara!" kata putri Sean yang lain.

"Kami akan melakukan otopsi pada Papa!" kata putra Sean yang lain pula.

Berbagai ungkapan ketidak senangan terlontar, dari bibir ke enam anak-anak Sean. Dan pada akhirnya, penguburan kakek Dion pun ditunda sampai hasil otopsi keluar. Mereka tidak setuju jasad yang sudah terbujur kaku itu disemayamkan di tempat yang seharusnya. Sebelum keinginan mereka terpenuhi.

Oleh karena itu Dion harus bolak-balik ke Kantor Polisi untuk memberikan keterangan, sebelum hasil otopsi kakeknya keluar. Dan setelah hasil otopsi keluar barulah Dion bisa bernapas dengan lega.

Dia tidak terbukti bersalah dan jasad kakeknya sudah bisa disemayamkan di makam keluarga. Namun meskipun Dion telah terbukti tidak bersalah, keenam anak-anak tuan Sean tidak satu pun yang meminta maaf pada Dion. Meski mereka telah menuduh Dion sembarangan. Sebab mereka tetap tidak puas sebelum Dion menderita.

Hanya Lina yang menghibur Dion dengan berbagai cara yang dia bisa, untuk mengurangi kesedihan Dion yang ditinggal kakeknya. Lina juga sebenarnya merasa kehilangan. Sebab kakek selalu baik padanya sejak mereka pertama kali bertemu.

Orang tua Dion sudah lama tiada, tentu tidak bisa menghibur luka di hati putranya. Mereka meninggal dalam kecelakaan. Dan peristiwa itu merenggut nyawa keduanya pada saat itu juga.

Namun dalam kecelakaan itu secara ajaib Dion selamat. Dan sejak saat itu Dion dirawat oleh kakek. Dion yang sejak bayi dirawat oleh kakek tentu saja merasa sangat kehilangan lebih dari siapapun.

Ke esokan harinya Lina melihat suaminya masih berduka. Dan bahkan belum keluar kamar meski hanya sekali. Ponselnya pun dimatikan sehingga tidak ada yang bisa menghubunginya.

Pihak kantor akhirnya datang berkunjung. Namun tetap saja Dion tidak mau menemuinya. Sekalipun orang itu adalah sahabat baiknya sendiri. Sahabatnya akhirnya pulang dengan meninggalkan berkas-berkas yang belum ditanda tangani pada Lina

"Sayang berkas-berkas ini Aku taruh di mana?" tanya Lina dengan suara lembut.

Dion menatap Lina sesaat lalu menyuruhnya untuk meletakkan berkas tersebut ke ruang kerjanya. Dan itu pertama kalinya Dion keluar dari kamarnya dan menandatangani berkas tersebut. Ia tidak perduli apa isinya. Cukup ditanda-tangani saja. Lalu ke esokan harinya berkas itu diambil oleh orang kantor dan digantikan dengan berkas berikutnya. Begitulah setiap hari.

Beberapa pelayan membicarakan tentang Lina di belakang. Mengatakan kalau Lina pembawa sial. Baru menikah dengan Dion tapi kakek Dion sudah meninggal. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang berani mengatakannya secara langsung. Namun demikian Lina pernah memergoki mereka sedang bergosip tentangnya.

"Jangan dipikirkan Nyonya, mereka memang suka begitu," hibur Ros.

Lina hanya mengangguk dan melakukan apa yang bisa ia lakukan. Perlahan-lahan sehingga Dion tidak lagi terlalu merasa sedih. Dengan mengajak Dion berziarah ke makam kakek setiap hari. Dan juga menceritakan hal-hal menyenangkan tentang pendapatnya pada almarhum kakek.

Setelah beberapa hari kemudian Dion datang ke kamar kakek seperti biasanya. Untuk mencoba merasakan perasaan yang sama saat beliau masih ada, dengan menatap foto beliau. Dan barang-barang kecil yang sering beliau gunakan. Semua itu untuk mengobati rasa rindunya pada kakek.

Kali ini Dion mencoba menyibukkan diri di ruangan tersebut. Dengan membersihkan buku-buku yang berjejer rapi di rak buku tersebut, tanpa sengaja dia menarik sebuah buku yang menjadi sebuah tuas untuk menggeser rak buku. Maka tampaklah sebuah pintu rahasia di balik rak buku di kamar kakeknya.

"Huh, ada ruangan di balik rak buku?" batinnya.

Ia celingak-celinguk memastikan tidak ada hal berbahaya yang menantinya di dalam ruangan tersebut. Dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Karena rasa penasarannya mengalahkan rasa takut. Ia memicingkan matanya, sambil mengantisipasi kalau-kalau hal buruk akan terjadi di dalam sana.

"Jika ada bahaya Aku akan segera kabur," batinnya sambil mempersiapkan tenaga untuk kabur.

Pintu itu tidak terlihat sama sekali jika rak buku tidak bergeser. Di ruangan itu hanya akan tampak seperti perpustakaan dengan banyak rak buku biasa. Jadi siapa sangka kalau ada sebuah ruangan di balik rak buku itu. Bahkan Dion tidak pernah tahu akan hal itu. Jika saja ia tidak pernah menyentuh sebuah buku, yang menjadi tuas untuk membuka pintu. Maka selamanya ruangan itu tidak akan pernah ia kunjungi.

Dion sudah meletakkan tangannya di gagang pintu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Keringat mengucur dari pori-porinya. Sesaat ia ingin membatalkan niatnya. Tapi lagi-lagi hati dan pikirannya saling bertentangan. Lalu ia menempelkan telinganya. Mencoba mendengarkan kalau-kalau ada suara yang berasal dari dalam. Tapi tidak ada terdengar suara sama sekali di balik pintu. Dan tangannya bergerak membuka pintu tersebut.

Tidak ada sesuatu yang menyambutnya setelah ia membuka pintu. Perlahan-lahan ia melirik ke kiri dan ke kanan. Kemudian pandangan matanya tertuju pada pusat perhatian di ruangan itu. Benda yang tidak pernah ia lihat selama ini. Sebuah benda berbentuk peti berukuran 50cm x 50cm. Ada tulisan-tulisan aneh terukir di permukaannya. Dan Dion tidak mengerti arti tulisan tersebut.

Dion mengernyitkan keningnya menatap peti itu lekat-lekat. Bentuk ukiran yang indah terpatri di peti itu. Jika diperhatikan tampak seperti ukiran seekor naga melingkari sebuah kotak dengan kepala berada di atas kotak dan dengan mulut yang menganga. Dengan sisik berwarna emas dan mata berwarna merah, seolah mengawasi setiap orang yang mendekati peti itu.

Setelah puas menikmati keindahan ukiran yang melekat di peti itu. Akhirnya Dion kembali pada tulisan yang ada di situ. Ia mencoba mengartikan beberapa kalimat yang tertera. Akan tetapi tetap saja ia tidak bisa mengerti arti tulisan di peti.

Akhirnya Dion menyerah dan keluar dari ruangan itu. Menutup pintunya, lalu Dion mengembalikan buku yang dia tarik tadi ke posisi semula. Dan lemari buku bergerak kembali menutupi pintu ke ruang rahasia.

Saat pintu ditutup muncullah roh-roh halus mengitari peti tersebut dan satu roh diantara dia adalah roh yang menjaga peti tersebut. Ia hanya diam saja dengan mata tertutup. Dan menantikan pewaris yang sah.

Dion belum tau apa yang akan ia lalukan untuk ruangan itu. Rasa penasaran akan isi peti itu harus ia tahan dulu. Hal itu juga dia rahasiakan pada Istrinya. Kalau sudah waktunya barulah akan dia beritahu pikirnya.

Karena menurutnya tidak ada gunanya memberitahu istrinya sekarang. Lagi pula isi ruangan itu juga hanyalah peti tersebut. Dion pun keluar dari kamar kakek, sekilas ia pun memandang foto kakek sebelum menutup pintu kamar.

Saat keluar kamar kakek, Dion mencium sebuah aroma yang khas dari arah dapur. Lina ternyata sedang sibuk menyiapkan makan malam bersama seorang pelayan. Yaitu Ros.

"Biarkan para pelayan saja yang memasak, itu sudah tugas mereka," ujar Dion saat pertama kali mengetahui kalau istrinya ikut membantu pekerjaan di dapur.

"Masakanku tidak enak ya?" tanya Lina khawatir.

"Aku tidak bilang masakanmu tidak enak. Tapi Aku ingin Kamu tahu kalau di rumah ini, Kamu adalah seorang nyonya," jawab Dion.

"Aku tidak suka hanya duduk santai, rasanya bosan. Lagi pula Aku suka memasak. Dan ada kesenangan tersendiri bagiku saat menyiapkan makanan untukmu," jawab Lina.

"Aku juga jadi banyak tahu makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Kamu. Walaupun masakanku tidak akan seenak masakan yang biasa kamu makan. Tapi Aku akan belajar lebih giat!" ujar Lina bersungguh-sungguh.

Dion tersenyum melihat tinggakah Lina yang menggemaskan saat itu.

"Apa kamu sudah lapar sayang?" tanya Lina. Saat ia melihat Dion sedang mengusap-usap perutnya sendiri.

Dion memperhatikan hidangan-hidangan yang sudah tertata rapi, yang menerbitkan air liurnya. Rasa lapar pun merasukinya. Tapi ia masih bisa menahan dirinya, untuk tidak menyantap hidangan tersebut saat itu juga.

"Ya sedikit," jawab Dion masih dengan mengelus perutnya perlahan.

Melihat tingkah suaminya Lina tertawa kecil dan ia pun melanjutkan kegiatannya.

"Pergilah mandi, sebentar lagi makanan sudah siap," pinta Lina pada Dion. Tampak jelas dari raut wajah Dion yang sedang memandangi makanan di atas meja, kalau ia ingin segera makan.

"Ia baiklah Nyonya..." kata Dion. Lalu ppmelangkahkan kakinya keluar dari ruang makan itu.

Dion pun pergi, menuruti perkataan istrinya. Saat ia mandi tidak lama istrinya datang dan membuka lemari dan memilih pakaian untuk dia pakai sehabis mandi. Selesai mandi Dion melihat Istrinya sedang meletakkan beberapa helai pakaian ganti.

Perhatian kecil Lina padanya membuatnya merasa seperti anak kecil. Dan ia membayangkan seandainya mamanya masih hidup saat ia masih kecil, mungkin mamanya juga akan memperlakukan hal yang sama seperti yang Lina lakukan. Dion sangat suka sikap Lina yang tenang dan terkesan dewasa.

"Kira-kira kenapa kakek langsung menyetujui hubungan kita? Apa dia tahu kalau Kamu akan menjagaku seperti anak sendiri?" tanya Dion berbisik di telinga istrinya.

"Pakailah pakaianmu, jangan menggodaku!" ujar Lina.

Meski sudah menikah, mereka belum melakukan hubungan suami-istri sama sekali. Dion tidak pernah terlihat ingin melakukannya. Karena di malam pengantin kakek membuat hal yang tidak diduga sama sekali.

Sedikit atau pun banyak berpengaruh pada pemikiran Dion. Kemudian ditambah lagi dengan kepergian kakek. Berlanjut pula pada pengaduan ke kantor polisi. Semua itu membuat Dion tidak berpikir sama sekali tentang bersatu dengan istrinya.

Bahkah tiket bulan madu yang diberikan oleh sahabatnya, sebagai kado pernikahan pun masih tersimpan di laci. Tanpa disentuh lagi, sejak terakhir kali disimpan. Tidak ada yang tahu apakah tiketnya masih bisa digunakan atau tidak.

Di kamar itu ada sosok tidak terlihat menantikan akan datangnya buah hati mereka. Sehingga ia bisa membalaskan dendamnya yang tidak pernah lekang oleh waktu. Sosok tidak terlihat yang duduk di kursi pelamin mereka.

"Semakin cepat kalian memiliki keturunan maka semakin cepat pula dendamku akan terbalas," ujar sosok tidak terlihat itu sebelum pergi.

Bersambung...

Bulan Madu

Dion pun memakai pakaian yang sudah dipersiapkan oleh Lina. Sambil berusaha menghapus pikiran liarnya. Dan sesekali ia menatap istrinya yang masih sibuk mengambil beberapa helai pakaian dari lemari.

Saat menatap istrinya Dion teringat ucapan kakeknya, tentang nama untuk anak mereka kelak. Dion tersenyum merasa lucu saat membayangkannya.

"Sepertinya kakek sudah lama mempersiapkan nama untuk cicitnya. Seolah beliau berpikir sekalipun tidak sempat melihat cicitnya dia sudah memberikan nama untuk mereka," gumam Dion yang tidak terdengar dengan jelas oleh Lina.

Seketika ia pun teringat tentang peti di ruang rahasia. Semakin dipikirkan Dion semakin pusing, tanpa sadar dia memijat dahinya yang berkerut. Dan tanpa ia sadari juga, kalau istrinya ternyata memperhatikan dari tadi.

"Ada apa sayang? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Lina sambil memiringkan kepalanya 45 derajat.

Dion memandang istrinya sekilas lalu dengan cepat mengubah raut wajahnya. Dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan perlahan-lahan untuk menyembunyikan kegalauannya. Lalu ia tersenyum.

"Ahh tidak apa, aku hanya memikirkan bulan madu kita yang tertunda," jawab Dion berbohong.

Tidak ada yang terpikir oleh Dion alasan yang tepat untuk menjawab istrinya. Jadi ia menjawab sekenanya saja. Kalau istrinya tidak percaya, ia akan memikirkan lagi alasan yang lainnya. Karena yang terpenting sekarang hanyalah menjawab dengan cepat.

"Hemmm dan itu membuatmu jadi pusing sampai seperti itu?" tanya Lina lagi sambil mendekat.

Lina terkekeh mendengar jawaban Dion. Apakah Lina percaya begitu saja dengan jawaban Dion atau tidak, setidaknya itu bisa mencairkan suasana.

"Kalau soal itu aku selalu siap sayang, lahir dan batin," ujar Lina lagi menepuk dadanya dengan pelan.

Dion jadi salah tingkah, menyadari jawaban konyolnya yang terdengar sedikit aneh bahkan baginya sendiri. Lalu dia memandang Lina yang berjarak selangkah darinya dan hendak memeluknya, tapi Lina menolak. Lina mundur dengan cepat saat suaminya mendekat.

"Jangan kamu sudah mandi. Sedangkan aku masih berkeringat dan bau bumbu dapur," tutur Lina, sambil mengarahkan kedua tangannya dengan posisi telapak tangan terbuka seperti sedang mendorong sesuatu.

"Tidak apa, bukankah tadi kamu bilang kalau, kamu siap kapan saja lahir dan batin," ujar Dion.

"Huh dasar! Aku mandi dulu habis itu baru kita bicara lagi!" ucap Lina dan dengan cepat kabur ke kamar mandi.

Setelah Lina selesai mandi, terlihat olehnya kalau suaminya melamun. Dion duduk di kursi dekat jendela kamar sambil menatap ke luar. Lina datang mendekat dengan memakai baju mandinya.

*Cup!

Lina mengecup pipi Dion, Dion yang melamun terkejut karena tiba-tiba mendapat sebuah kecupan di pipinya. Lalu Dion tersenyum.

"Rindu pada kakek ya?" tanya Lina kuatir.

"Ah tidak, aku cuma mikirin tempat yang pas untuk kita berdua bulan madu nanti," ucap Dion berbohong lagi.

"Oh,"

Mendengar ucapan singkat istrinya Dion sadar kalau dia ketahuan sedang berbohong.

"Iya maaf sayang, aku memang masih rindu pada kakek," ucap Dion mengakui kebohongannya.

"Sabar ya sayang, bulan madunya ditunda saja dulu," kata Lina.

"Ah tidak, bukan itu masalahnya. Aku akan segera mencari tempat yang cocok," ucap Dion dan dipotong oleh Lina.

"Hei...bukankah kita ada tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan," ucap Lina.

Sambil berpikir dan mengingat-ingat seseorang yang memberikan tiket itu. Tiket itu diberikan oleh salah satu teman Dion. Di hari pernikahan Dion sempat memperkenalkannya pada Lina.

Lina pun mengingat kalau orang itu bekerja di salah satu perusahaan Dion. Tapi Lina tidak bisa mengingat nama orang tersebut. Dia hanya ingat kalau orang yang memberikannya tiket bulan madu adalah orang yang mengantarkan berkas untuk ditanda tangani oleh Dion.

"Oh iya hampir saja lupa," ucap Dion lalu mencari tiket yang dimaksud di laci meja kamar.

Tidak sulit menemukan tiket tersebut karena tidak terletak tersembunyi. Hanya saja laci penyimpanannya selalu dikunci, karena itu laci penyimpanan khusus untuk barang penting. Tujuannya agar mudah ditemukan tetapi juga aman. Walau pun selama ini belum ada sejarahnya, seorang pelayan mencuri di rumah Sean tersebut.

"Ah... ini dia... tiketnya... tapi, apa ini masih berlaku?" tanya Dion pada Lina.

Lina hanya mengangkat bahu dan alisnya bersamaan. Lalu mereka mengecek tiket tersebut dan ternyata hari ini adalah hari keberangkatannya. Dion dan Lina memandang satu sama lain. Dan mereka berpikir sejenak.

"Apa kita masih bisa pergi?" tanya Lina kebingungan.

Dion tampak berpikir sejenak lalu tersenyum.

"Tentu saja masih bisa, kita masih punya waktu, ayo kita berangkat!" ucap Dion dengan yakin dan penuh semangat.

"Apa, sekarang?!" tanya Lina gelagapan.

Lina membelalakkan matanya seakan tidak percaya pada ucapan Dion.

"Jika pergi sekarang, bukankah itu terlalu tiba-tiba. Dan kita belum mengemas apa pun. Lalu bagaimana dengan perusahaanmu sayang?" tanya Lina.

"Kalau tidak pergi sekarang, maka tiket itu akan terbuang percuma. Dan masalah perusahaan aku akan menghubungi seseorang yang bisa diandalkan. Nah ada masalah apa lagi sekarang?" tanya Dion masih dengan penuh semangat.

"Tapi kita belum ada persiapan," ucap Lina sedikit ragu.

"Katanya selalu siap, atau... aku salah dengar?" tanya Dion pada Lina, mengulang ucapan Lina.

"Heiii dasar mesum, bukan itu yang aku maksud tapi perlengkapan," ucap Lina sedikit menekan intonasinya.

"Perlengkapan apa lagi? Kitakan tidak perlu menunda anak? Kalau kamu langsung hamil bukankah itu hal yang bagus," ucap Dion dengan santainya.

Dion yang sedang tidak fokus masih belum mengerti dengan maksud dari ucapan istrinya. Mendengar ucapan suaminya, Lina membelalakkan matanya dan geleng-geleng kepala. Jadi ia pun mengikuti alur pikiran suaminya saat itu juga.

"Ohh hanya itu yang ada di pikiranmu? Jadi kamu mau aku pergi dengan baju mandi ini? Ohh, baiklah ayo kita berangkat,'' ucap Lina dengan mantap.

Lina pun bergegas menuju ke luar kamar. Dan hal itu membuat Dion melongo.

"Apa ada yang salah dengan istriku," pikirnya.

Ia masih belum menyadari maksud tindakan istrinya. Lalu ia memutar bola matanya 360 derajat. Tapi Lina kemudian berhenti berjalan, setelah melihat suaminya tidak membuntutinya. Kemudian ia berpaling dan berkacak pinggang.

"Ayo kita berangkat, tunggu apalagi?" tanya Lina.

Dengan wajah santai ia menunggu reaksi suaminya. Suaminya masih bingung. Ia belum tahu apa yang salah dengan situasi mereka saat ini. Sejenak ia diam memperhatikan istrinya dan berpikir.

"Tunggu, sepertinya ada yang salah," kata Dion sambil menatap Lina.

"Kau yakin akan pergi seperti itu? Heii itu tidak lucu," ucap Dion kemudian dan berdiri sambil berkacak pinggang.

"Iya, memang tidak lucu, aku juga tidak sedang melawak," kata Lina sambil melipat tangannya.

Lina tidak mau kalah. Dion bengong lagi, mencoba menerka maksud perkataan istrinya. Masih saja ia belum paham. Pikirannya masih kosong.

"Heii kenapa bengong, kita jadi pergi tidak bulan madunya?" tanya Lina lagi untuk memastikan ucapan suaminya.

Sebenarnya Lina hanya bermaksud menggoda suaminya yang kebingungan. Sambil senyum-seyum ia mengerjai suaminya. Tapi suaminya masih belum sadar juga.

"Tentu saja jadi, tapi setidaknya pakailah pakaian yang pantas," ucap Dion kemudian setelah melihat ada yang janggal.

Tidak mungkin kalau istrinya pergi seperti itu. Dan kini Lina balik menegur suaminya juga.

"Oh lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Lina.

"Heii ada apa denganmu, kenapa kau jadi aneh begini?" tanya Dion.

Dion merasa tidak melakukan hal yang salah. Bukankah hal yang wajar melarang istrinya pergi ke luar kamar dengan baju mandi. Apalagi kalau sampai keluar rumah.

"Bukan aku yang aneh sayang, yang aneh itu justru kamu. Kamu tidak mengerti semua yang aku katakan dari tadi, iya kan?" ucap Lina.

"Aku bilang tentang persiapan saat bulan madu, yang aku maksud itu seperti pakaian dan barang apa saja yang akan kita bawa. Bukankah kita belum mempersiapkan apapun. Tapi dari tadi pikiranmu mesum melulu," lanjutnya lagi sambil berkacak pinggang.

Lina pun akhirnya memberi kuliah malam pada suaminya saat itu juga. Dan hal itu membuat Dion merasa geli.

"Ohh ya ampun aku tidak fokus," kata Dion sambil menepuk jidatnya. Ia pun tertawa mengingat kebodohannya.

"Pantas saja dari tadi seperti ada yang salah," pikirnya.

"Hehh, ya ampun, baru sadar, jadi bagaimana?" tanya Lina yang masih menunggu keputusan Dion.

Lina kembali masuk ke kamar.

"Bagaimana bisa ia tidak mengerti hal sederhana ini, sementara perusahaan besar saja bisa dia jalankan?" batin Lina.

"Kita tetap jadi pergi, tidak usah persiapkan apa pun. Jadi kita akan beli segala perlengkapan di sana nanti, dengan begitu kita tidak perlu repot-repot berkemas, atau pun mengepak barang-barang," kata Dion.

"Cukup bawa yang penting saja. Seperti sepasang pakaian ganti untuk dipakai saat berbelanja di sana nanti," saran Dion.

Dengan mantap dan tegas Dion memberikan solusi. Dan situasi kembali menjadi kondusif.

"Ohh ok," kata Lina dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

Ia akhirnya lega. Pemikiran mereka sudah tidak bersebrangan lagi. Tapi ia hanya senyum-senyum saja mengingat kekonyolan suaminya tadi.

"Heii, cepatlah pakai pakaianmu, aku tidak bisa fokus jika kau terus berpenampilan seperti itu," perintah Dion pada Lina yang masih mengenakan baju mandinya.

Lina hanya tersenyum dengan genitnya. Lalu memilih pakaian yang akan dia pakai. Sesekali ia menanyakan pendapat suaminya. Pakaian apa yang akan ia gunakan. Sambil memperlihatkan beberapa gaun dan menempelkannya di badannya bergantian.

Setelah Dion memilihkan pakaian untuk istrinya, Lina pun mulai memakai pakaiannya. Tapi kemudian ia mendapat ide nakal untuk menggoda suaminya.

"Apa kau akan pergi dengan pakaian itu, apa kau tidak berganti pakaian? Mau aku bantu? Aku bisa bantu melepaskannya dan memakaikan dengan pakaian yang lebih cocok," kata Lina sambil mengenakan pakaiannya dalam gerak lambat.

"Dasar ya, dari tadi godain terus..." ucap Dion.

Dion yang dari tadi memperhatikan lekukan tubuh istrinya menahan sekuat tenaga agar tidak menyentuh istrinya pun akhirnya menyerah. Benteng pertahanannya hancur sudah. Maka malam itu juga ia mendekap istrinya dengan erat. Menikmati malam yang seharusnya sudah mereka lewati beberapa hari yang lalu. Tepatnya di malam pengantin.

(Adegan berikutnya di skip)

Saat pertama kalinya Dion menyentuh istrinya, angin pun bertiup dengan kencang. Sosok yang tidak terlihat bisa merasakan perubahan pada keduanya insan berbeda gender tersebut. Meskipun dia tidak ada di kamar Dion dan Lina.

Alam menjadi saksi penyatuan dua insan yang akan menghasilkan generasi berikutnya. Keturunan yang akan menjadi peran utama dalam kisah sedih, akibat balas dendam seorang gadis, yang hidup pada masa lampau.

Roh gadis itu tertawa dan setiap tawanya di sambut oleh kilatan cahaya di langit. Awan hitam menitikkan air dan membasahi bumi. Membasahi kediaman Dion. Seakan ikut berduka atas penderitaan yang akan dilalui oleh sepasang insan yang saling mencintai tersebut.

Sejak saat itu, roh gadis itu tidak pernah muncul lagi di kediaman Dion. Tapi berbeda dengan roh yang menunggu peti di ruang rahasia. Untuk pertama kalinya ia membuka mata. Seolah bersiap untuk menyambut pewaris yang sah. Yang akan mengambil isi dalam peti yang ia jaga.

Setelah melepaskan perasaan yang selama ini di tahan akhirnya mereka bersiap-siap untuk berangkat. Dion segera menghubungi sahabat baiknya. Lalu mengatakan kalau ia akan berlibur untuk beberapa hari.

"Oh, baiklah akhirnya kadoku berguna juga. Aku pikir kalian tidak akan menggunakan kado khusus yang kusiapkan," ujar sahabat Dion yang sekaligus karyawan di perusahaannya.

Singkat cerita, mereka kini sudah berada di kamar hotel. Malam ini untuk pertama kalinya Dion tidur dengan sangat lelap. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya, dia akhirnya bisa mengalihkan pikirannya dari kakek.

Pagi hari tiba, keduanya masih tidur seolah enggan meninggalkan tempat tidur. Tapi perlahan Dion bangun dan menatap wajah istrinya. Dia sadar sudah beberapa hari ini dia kurang memperhatikan istrinya. Tampak bekas kecupan tadi malam tertinggal di beberapa bagian di tubuh istrinya.

Saat sedang memandangi wajah istrinya Dion melihat sekelebat bayangan hitam berada di belakang istrinya di sebelah tempat tidur. Dion terbelalak melihat bayangan hitam itu lalu duduk dengan segera. Tapi saat dia duduk bayangan itu tidak ada. Dion mengucek matanya, dan tidak ada apapun di sana. Dion diam sejenak dan secepat kilat ia berdiri untuk mengecek sisi samping tempat tidur bagian istrinya berbaring.

"Tidak ada siapapun dan apapun di sini ternyata," ucap Dion yang bahkan memeriksa di kolong tempat tidur.

Lalu Dion mengecek di setiap sudut ruangan bahkan sampai ke kamar mandi.

"Mungkinkah ada pencuri yang masuk, tapi mana mungkin ada maling di hotel ini sampai bisa masuk ke dalam kamar," gumamnya saat memeriksa kondisi pintu kamar mereka.

Dion memperhatikan setiap sudut langit-langit kamar. Tidak ada yang mencurigakan. Tanpa ia sadari Lina terbangun dari tidurnya, dia menggunakan tangan dan jari-jarinya mencari Dion. Tapi karena tidak menemukannya dia pun membuka matanya. Lina lalu duduk untuk mencari Dion, dan dia melihat suaminya seperti sedang mencari sesuatu.

"Ada apa sayang, apa ada barang yang ketinggalan di pesawat?" tanya Lina dengan suara ciri khas baru bangun tidur.

Dion diam saja, lalu ia mengubah raut wajahnya dan tersenyum.

"Tidak ada apa-apa," jawabnya tersenyum meski hatinya gusar.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!