NovelToon NovelToon

Sunflower

Terdengar Indah

Bentangan cakrawala berbintang yang terselimuti awan gelap menjadi sahabat malam seorang

gadid dengan rambut yang digulung asal menikmati semilir angin yang membelai pipinya dari balik pagar besi sebatas perutnya, tarikan garis melengkung kebawah sesekali terlihat dari bibirnya yang berwarna pink natural

Suara hewan malam terdengar mulai menunjukkan aktifitas mereka,terdengar indah di telinga wanita yang saat ini berpiama tidur berbahan satin dengan warna biru malam, pandangannya lurus kedepan seakan takut jika berpaling seditkit saja itu akan mengubah malamnya menjadi siang hingga sentuhan lembut mendarat pada surai lembutnya.

Wanita itu tersenyum seraya menurunkan tangan hangat yang menyentuh kepalanya,

”Malamnya indah, aku rasa tupainya juga merasa demikian, Ma.”

Wanita yang dipanggil Mama itu mengangguk, meremas tangan anaknya, “Iya indah, kamu

dengar mereka berlarian?, seekor bayi tupai disana sepertinya menunggu induknya untuk istirahat.”

Wanita itu terkekeh, “ini belum terlalu malam Ma, aku masih ingin disini.” ucapnya masih setia melihat ke depan.

“Tidak setelah anginnya tambah kencang Re, kamu bisa masuk angin” tangannya merangkul tubuh sang anak yang lebih tinggi darinya.

Gadis yang bernama lengkap Edrea Leteshia itu hanya pasrah mengikuti sang Mama masuk kembali ke dalam kamar berwarna putih gading dengan dekorasi dinding gambar segitiga serta dua lukisan beruang tepat diatas tempat tidurnya.

“Kamu harus tidur!” titah wanita yang bernama Jenny itu kepada anaknya, “besok kita

harus ke suatu tempat.” lanjutnya dengan tangan yang membantu Rea untuk memposisikan diri dengan baik untuk tidurnya.

Rea tersenyum, “aku menikmati ini” ucapnya setelah Jenny berdiri dari kasurnya, “aku rasa berikutnya lampu tidak perlu dinyalakan lagi Ma, semuanya sama dan cukup mengurangi biaya listrik.” kekehnya saat mendengar suara

saklar lampu utama dimatikan

Jenny memandang anaknya yang sudah berbaring dengan selimut menutupi sampai dadanya,

“Tidurlah Re, Mama akan senang kalau kamu tidak mengatakan itu.”

“Maafkan Rea, Ma.” Jenny menarik sudut bibirnya mengelus rambut Rea sayang dan mengecup

keningnya singkat setelahnya dia keluar dan menutup pintu kamar Rea pelan.

Rea menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hitam, sesak tetiba hadir dari rongga dadanya seakan pasokan udara telah menipis di dalamnya, tangannya cukup kuat meremas piyama berkancing itu berharap rasa sesaknya akan berganti rasa lega luar biasa.

“Aku merindukan kalian.” lirihnya sesaat sakitnya hilang, buliran air bening meluncur bebas pada pelipisnya melewati tulang hidung yang terpahat tinggi namun kecil saat dia menyamping. Kesekian kalinya bibir terbelah itu akan merasakann perih karena bekas gigitan hanya untuk menyalurkan emosi batinnya.

-

-

-

Hari pembuka kesibukan sepertinya memang tepat sebagai julukan untuk hari Senin. Setiap sisi jalan yang tak di tempati bangunan akan terisi manusia penikmat rutinisan pagi yang menguras otak, otot, atau tenaga yang memberikan kepuasan tersendiri saat peluh mulai menetes pada dahi.

Aspal hitam yang panaspun tak ayal menjadi saksi bisu akan kesibukan setiap harinya, tapakan ban kendaraan yang berdecit kala terpaksa berhenti dari laju saat lampu berwarna merah menyapa serta suara yang memekakkan telinga pada kumpulan manusia yang seakan tak memiliki waktu hanya untuk sebatas mematuhi rambu lalu lintas.

Sama halnya dengan lelaki berkaos putih dengan celana jeans berwarna hitam senada dengan sepatunya yang sesekali akan mengeluarkan umpatan pada kendaraan di depannya karena tidak segera melaju saat lampu hijau telah mengijinkan untuk meneruskan perjalanan.

“Shiit”

“Tidak kah orang itu melihat lampunya sudah berubah?” tanyanya entah pada siapa

Kaosnya ditarik dari sebelah kursi, terdengar suara cecapan permen yang berasal dari pemilik tangan mungil yang sedang menggenggam tiga permen yang masih utuh.

“Pa, cit itu apa?” tanya seorang bocah laki-laki berumur dua tahun lebih itu dengan tatapan luguhnya serta tangannya yang sibuk menghitung permen ditangan kirinya.

Sepertinya Lelaki itu lupa jika saat ini ada buntalan kecil imut disampingnya dengan umur yang masih pada masa ingin tahunya yang besar.

“Ah, sit” dielusnya kepala bocah laki-laki itu, “maksud Papa, sit artinya Zee harus duduk yang

tenang”

Batita yang dipanggil Zee itu mengedipkan matanya lucu, “Ji udah cit tenang-tenang, Pa” ucapnya seraya memperbaiki posisi duduknya

Yah memang bocah itu dari tadi tidak bersuara karena asik dengan permennya hingga lima belas menit perjalan sampai sekarang, lelaki itu tersenyum menatap Zee yang semakin hari rasa ingin tahunya semakin besar maka tak ayal  orang yang berada di dekatnya harus bisa menahan mulutnya agar tak berbicara yang tidak-tidak.

“Oke Zee, kamu memang anak yang pintar, kita harus cepat ke rumah nenek sekarang” ujar lelaki itu ditengah laju mobilnya yang melambat karena sudah mendekati persimpangan jalan menuju rumah orang tuanya

“Papa mau kelja yah?, Ji boleh ikut tidak?” tanyanya yang mengetahui bahwa akan dititip di rumah Nenek dan Kakeknya

“Ji tidak akan nakal-nakal Pa, Ji tidak akan makan pelmen banyak-banyak” tawarnya pada sang papa dengan mata yang membola penuh harap

Mobil berhenti tepat di halaman rumah tingkat dua dengan desain minimalis bercat hijau yang di depan pintu berwarna coklat sudah berdiri sepasang parubaya berumur lebih dari setengah abad, wanita yang masih telihat bugar diusia senja itu mendekat pada sisi mobil melihat cucu kesayangannya sudah datang

“kenapa dia menangis, Rest?"

"Ji mau ikut Papa yah Nek, Ji janji tidak ganggu-ganggu papa kelja, Ji jadi anak pintal" matanya menatap sang nenek penuh harap dengan imingan janji yang bahka anak seusia itu seharusnya belum paham mengenai janji

Wanita yang dipanggil Nenek itu tersenyum, menghapus air mata sang Cucu yang sudah memenuhi pipi gembulnya “Zee tidak mau main sama Nenek?” tanyanya seraya menoleh pada suaminya yang masih berdiri dibelakang

dengan senyum, “kasihan kakek dia tunggu Zee dari tadi”

Zee diam hanya bergantian menatap nenek dan kakeknya seakan mencari alasan agar nenek dan kakeknya tidak sedih, setelahnya dia berucap, “Ji main cama nenek cama kakek besok, boleh? Tanyanya sekalian menawarkan jalan keluar

“Bawalah dia Rest, mungkin Zee ingin bersama mu lebih lama” titah Kakek yang sudah berada disamping Nenek ikut menghapus air mata Zee yang masih menetes.

Lelakiyang bernama Varest itu mengangguk mengiyakan sambil memperbaiki posisi sang anak dalam gendongan.

“Baiklah, Zee boleh ikut, tapi harus janji sama papa tidak boleh lari-lari keluar ruangan papa, oke” putusnya memberi titah pada sang anak yang dibalas anggukan penuh semangat dari anak berpipi penuh itu.

“Oke—oke”

Tante Cantik

Aroma kopi yang berasal dari dalam ruangan  berdesain modern minimalis itu tercium saat pintu terbuka, menyeruak pada setiap sisi ruang yang lebih dominan pada etalase kaca dengan kue-kue yang berjejer rapi di dalamnya, menggugah selera pecinta rasa manis dan pahitnya kopi.

Usaha yang menguntungkan, dengan posisi tempat yang berpusat di Ibu Kota serta sasaran pemasaran pada kaum muda hingga tua yang menjadi penggemar setiap menu yang tertulis huruf capital dalam kertas tebal dengan tulisan yang tercetak timbul identitas Kafe berwarna kuning coklat Sunflower.

“Tunggu lah disini!, mama mau ke toilet sebentar” ucap Jenny kepada Rea

“Aku masih butuh tangan mu, Ma, aku akan diam disini” jawab Rea dengan pandangan lurus kedepan

Jenny tersenyum lirih “Mama tidak akan lama”

Rea diam tak menimpali hingga tapak kaki sang Ibu terdengar menjauh dari tempat dia duduk, dia menghela nafas keras meremas tangannya yang diletakkan diatas paha, kecamuk bayangan siang yang amat dirindukannya berlari diatas kepala. Lamunanannya terpecah saat suara wanita menyapa meletakkan potongan cake bertopping bubuk kopi serta dua gelas vanilla latte pesanan Ibunya.

“Terima kasih” balasnya

Melepaskan genggaman tangannya pada dress, dia berusaha mengambil sendok yang terletak dipinggiran piring cake namun malah menyenggol tongkat yang berada disisi meja. Dia mengumpat dalam hati

“bisakah kau mempemudah aktifitas ku hari ini” Rea menggigit bibirnya gemas

Ingin rasanya dia memaki nasibnya sekarang, meminta untuk dilenyapkan ditempat yang pasti orang-orang yang berada di dalam ruangan itu akan menatapnya dengan rasa ibah, seorang wanita muda yang sudah bergantung hidup dari tongkat yang bisa diatur panjang pendeknya untuk jangkauan didepannya. Tentu dia benci saat pandangan itu terarah padanya, dia tak suka dikasihani, bukan demikian yang dia harapkan tapi takdir telah mempermainkannya.

Rea menggeser kursi untuk memberikan ruang untuknya berjongkok meraba lantai mencari pengarah jalannya “Sejauh mana kamu terjatuh tongkat sakti?” tanyanya entah pada siapa

Sepertinya pertanyaan itu didengar oleh tongkat hingga ujungnya menyentuh punggung tangan Rea

“Tante sakit yah?” salah, bukan tongkatnya yang mendengar dan bersenang hati untuk berjalan mendekatinya, tapi bocah ini yang membantunya

Rea tertegun mengulas senyum sebelum berkata, “Tante tidak apa-apa, terima kasih” menumpukan tangannya pada paha untuk berdiri

“Ji di bawah sini Tante” ucap Zee yang menarik ujung dress selutut Rea saat tatapannya salah mengira tempat Zee berdiri

“Ah, maaf—maaf, Tante tidak melihat mu” ucapnya sembari membungkuk mensejajari tubuhnya dengan Zee “Tante boleh pegang wajah mu tidak?” tanyanya

Bocah berpipi gembul itu mengangguk, “Boleh” katanya seraya meraih tangan Rea.

Tersenyum, Rea meraba wajah Zee dari pipi, mata dan hidung. Gelenyar aneh terasa di dadanya sesak tetiba datang dan matanya seakan memaksa mengkristal, Tuhan, Rea merasa nyaman menyentuh wajah anak ini. Sedikit melamun hingga suara Jenny terdengar

“Re, kamu nggak apa-apa?” Jenny memegang pundak Rea saat menyadari anaknya sedang menahan tangis

Zee mendongak menatap Rea bingung “Tante cantik nangis?, emang Ji jelek yah, kok tante nangis?" Memeriksa wajahnya sendiri

Jenny dan Rea tertawa, tingkah Zee yang begitu lucu tanpa sadar membawa tawa Rea mengudara untuk yang pertama kalinya setelah kejadian itu.

Tawa lepas dari Rea tak lepas dari pandangan Jenny sebagai seorang Ibu dia begitu merindukan anaknya yang dulu, gadis yang ceria, dan tak sadar matanya pun berkaca-kaca. Sedangkan Zee yang berada didepannya masih saja memeriksa wajahnya dengan tangan mungilnya serta ekspresi bingung, benarkah wajahnya sejelek itu? Fikirnya

“Zee?” suara bariton menginterupsi tawa dari kedua wanita yang berbeda usia itu

Lelaki yang memanggil Zee itu mendekat mengerutkan dahi melihat dua orang wanita yang menjadi pelanggan di Kafenya tertawa hingga salah satunya bertanya, “Apakah dia anak mu?” tunjuk Jenny kepada Zee yang sebelumnya menghapus air mata yang sempat mengenang diujung ekor matanya.

Varest tersenyum mengangguk setelahnya menggendong Zee yang sedikit merengek karena tiba-tiba diangkat.

“Maafkan anak saya kalau sudah membuat kalian tidak nyaman” Varest berucap sambil mengelus kepala Zee.

Merasa tak membuat masalah Zee menatap sang Papa dengan bibir yang sudah mengerucut “Ji, tidak nakal-nakal, tadi Tante cantik jatuh, ji bantu tante, iya kan?” jelasnya sekaligus meminta dukungan kepada Rea yang dibalas anggukan serta senyum hangat

“Anak mu lucu, sangat pintar” puji Jenny yang membuat bocah yang dimaksud itu mengangkat kepalanya bangga, “Sepertinya anakku tadi tidak sengaja jatuhin tongkatnya” jelasnya saat melihat tongkat yang berbeda posisi dari pertama dia tinggalkan.

Diam sekian detik, Varest memperhatikan mata  gadis yang berada disamping Jenny, seakan tak percaya gadis cantik dengan mata coklat itu memiliki kekurangan demikian.

“Ma..” Rea memegang tangan Jenny memberi isyarat untuk menyudahi obrolan

Sungguh dia mengetahui ekspresi apa yang sekarang dipasang oleh lelaki ini, dia tidak menyalahkan akan hal itu akan tetapi itu sedikit meyakitkan untuknya saat dipandang dengan rasa kasihan oleh orang sekitar, memang apa salahnya jika seseorang buta?

“Papa jangan liatin Tante cantik begitu” Rengek Zee tidak suka melihat sang Papa memandang Rea lekat

Varest mengerjabkan matanya berganti melihat bocah yang memberontak di dekapannya, “Memang kenapa?”

"Nanti Papa suka sama Tante cantik" ujarnya lucu

Varest tertawa "kalau tantenya yang suka Papa kayak apa dong?" godanya

Zee menggelengkan kepalanya tak terima "Tante cantik tidak suka olang jelek Pa"

Rea yang sempat merasa tak nyaman akhirnya kembali tertawa, perdebatan Papa dan anak yang saat ini didengarnya cukup menghibur, dan ternyata tawanya pun menjadi perhatian dari Varest sendiri.

"Perkenalkan saya Varest pemilik Kafe ini" mengulurkan tangan kedepan Jenny dan Rea yang masih menyisakan tawa pada suaranya

"Ah maaf, Saya Jenny" jedanya menjabat tangan Varest "Dan ini anak saya Rea" lanjutnya dengan tangan yang mengelus pundak Rea

Varest tersenyum "senang bisa bertemu dengan mu Re" ucapnya yang dibalas senyuman pula oleh Rea

"Pa, ji tidak dikenalin sama Tante cantik sama Nenek cantik?" buntalan menggemaskan itu menginterupsi merasa tak dianggap

"Papa lupa" berusa menahan tawa melihat sang anak yang semakin menggemaskan "Dan ini anak saya namanya Zee"

"Namaku Ji Tante, Nenek" memperkenalkan diri dengan bangganya

"Zee bukan Ji" goda Varest yang berhasil membuat sang anak memanyunkan bibirnya

"Zee, senang bertemu dengan mu" Rea mengulum senyum

Harapan

Pemandangan matahari terbenam memang menjadi salah satu daya tarik pada cakrawala, hingga tak ayal banyak wisatawam akan mencari destinasi yang menampilkan secara nyata bagaimana matahari yang bersinar gagah berangsur pulang pada tempat istrahatnya.

Begitulah yang dirasakan oleh Edrea Leteshia, meski tak bisa melihat sang surya meninggalkan singgah sananya tapi dia masih bisa merasakan bagaimana hangatnya cahaya dari matahari yang berangsur menyejukkan menyentuh kulit.

Rasa syukur tersendiri baginya, hewan malam yang bersuara seakan menjadi alarm jika bulan telah menyentuh langit seutuhnya, menjadikan beban siang yang tak bisa dinikmatinya harus digantikan oleh malam yang sunyi, sesunyi di dalam kamarnya saat ini.

"Mama akan pulang telat sayang, Mama sudah pesan sama bi Tia untuk membawakan makan malam ke kamar mu"

kalimat Jenny sebelum pamit untuk menemui Dokter langganan Rea

seharusnya mereka sudah bertemu siang tadi, tapi karena beberapa masalah yang terjadi yang mengharuskan Jenny untuk menemani sang suami di pertemuan dengan kolega bisnis mau tidak mau harus membatalkan jadwal cek up untuk Rea, beruntung bagi Rea karena tidak diharuskan untuk datang, jadwal yang seharusnya untuk cek up akan diganti dua hari lagi.

Jenny mendatangi Dokter Willy selaku Dokter yang menangani mata Rea, Dokter Willy memanggilnya untuk membahas mengenai perkembangan donor mata untuk Rea.

"jadi bagaimana Wil? apakah kamu sudah menemukan donor yang bagus?" tanyanya tak sabar menangkup kedua tangan diatas meja kayu berwarna putih

Willy menghembuskan nafasnya, "Tenanglah Jen, sebentar lagi kita akan mendapatkannya, aku masih menunggu kabar dari Dokter Danu" bersandar pada kursi menatap lekat pada istri sahabatnya itu.

Dokter Willy adalah sahabat dari Papa Rea Abhi Raufan, yang menjabat sebagai kepala Dokter di Rumah Sakit terbesar di tempatnya. selama hampir dua tahun dia menjadi Dokter pribadi untuk Rea, berusaha mencarikan donor mata yang cocok untuk anak semata wayang dari sahabatnya.

"kemarin Dokter Danu menemui ku, katanya dia menemukan donor mata yang cocok untuk Rea, dia adalah seorang mahasiswa yang mengalami kecelakan dua hari yang lalu" jelasnya memberi informasi

mengernyitkan dahinya bingung "dua hari yang lalu?" dia bertanya ragu, pasalnya Jenny tahu pasti bahwa donor mata harus digunakan dua kali dua puluh empat jam untuk keberhasilan yang lebih besar

Dokter Willy tersenyum mengerti kemana arah fikiran wanita di depannya "Orangnya masih di rawat, dia mengalami benturan keras pada dadanya, tidak ada yang bisa di lakukan oleh orang tuanya saat ini, melihat kondisi anaknya yang hanya bergantung pada peralatan yang berada di ruang ICU."

"Lalu bagaimana dengan orang tuanya? apa mereka setuju?" merasa belum puas dengan penjelasan singkat dari Willy.

"Tentu mereka setuju, kami tidak akan mengambil keputusan sepihak untuk pendonoran, itu melanggar kode etik kedokteran Jen" jawabnya

"Mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu, melihat anak mereka yang diambang kematian membuat mereka mendatangi Dokter Danu untuk meminta keringanan untuk dirawat lebih lama"

"Lalu?"

"Yah, Dokter Danu menjelaskan bahwa kondisi sang anak sangat berkemungkinan kecil untuk bisa sembuh mengingat kecelakaan yang dialaminya memberikan tekanan keras pada dadanya hingga adanya kerusakan"

"Tapi orang tuanya masih berharap jika anaknya meninggal bukan karena ketidak sanggupan orang tuanya untuk memberikan perawatan yang memadai, mereka ingin melihat anaknya dirawat dengan baik, jadi saat mereka mengetahui jika ada yang menginginkan donor mata mereka menyetujui dengan syarat perawatan anaknya sampai anaknya sendiri yang tidak sanggup".

Sedikit kelegaan yang terlihat dari wajah blasteran itu, entah cerita tentang si pendonor atau tentang anaknya yang sebentar lagi bisa melihat, air matanya tak bisa ditahan untuk tidak menetes sekarang.

"bisakah aku bertemu dengan keluarga anak itu?"

Pagi telah menayapa sekarang, jam weaker yang menunjuk pada angka 06.30 itu berbunyi keras meneriaki Varest yang masih bergumul pada selimut ditemani sang anak disampingnya, sebenarnya Zee memiliki kamar sendiri dan sudah dibiasakan untuk tidur sendiri, namun karena dia yang menangis semalaman karena sakit gigi mengharuskan Varest untuk membawa Zee untuk tidur dengannya.

Matanya mengerjap pelan menyesuaikan kornea matanya untuk menerima cahaya dari lampu yang tidak dimatikan karena Zee yang takut gelap.

Varest tersenyum mengelus pipih merah anaknya yang terhimpit bantal, posisi tidur yang tengkurap namun wajah yang dimiringkan membuat pipi bulatnya terlihat penuh serta mata yang masih bengkak sisa tangisnya tadi malam.

"Pa.." lirih Zee yang ternyata sudah bangun karena terganggu dengan pergerakan yang dibuat oleh Varest saat dia turun dari kasur.

"Papa membangunkan mu yah?" Zee mengangguk lucu pada posisi yang sama

"tidurlah kembali, Papa akan buat bubur untuk sarapan, nanti papa bangunin lagi" ucapnya seraya berjalan keluar kamar

"Ji tidak syuka bubul Pa" tolaknya, bahkan belum melihat bentuk makanannya pun dia sudah mengernyit tidak suka

Varest tersenyum, kembali ke kasur dan duduk dipinggirnya, "Zee nggak bisa makan yang keras-keras, nanti tambah sakit giginya"

Masih tak terima dengan penjelasan Papanya "tapi ji tidak syuka Pa,benyek" rengek batita yang sudah terduduk itu

"Tapi harus makan dulu, nanti kita ke Dokter Gigi buat cabut giginya Zee yah" bujuknya

Zee berfikir sejenak, menyentuh dagunya dengan telunjuk serta mendongak menatap langit-langit kamar, sementara Varest menunggu harap-harap cemas takut anaknya itu akan menangis karena tahu giginya akan di cabut.

"Setelah giginya dicabut, Ji boleh makan yang kelas-kelas yah?" tawarnya, sepertinya pilihan mencabut gigi lebih baik dari pada harus memakan bubur yang katanya benyek itu.

Varest mengangguk, "Tapi untuk sekarang harus makan bubur dulu biar pas giginya dicabut Zee bisa kuat kayak I Iron Man" bujuknya membawa nama superhero kesukaan Zee

"ailon men makan bubul juga bial kuat yah pa" tanyanya

Dari pada memakan waktu yang lama karena harus meladeni sang anak membahas super hero yang diapun tidak tahu kuat karena makanan apa, maka, meng-iyakan adalah pilihan paling tepat.

Dan akhirnya Varest berhasil, Zee antusias memakan bubur yang masih hangat setelah hampir satu jam memasaknya.

"Pa, kok Ji kangen yah sama Tante cantik?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!