Di kediaman keluarga Austin terlihat anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka semua tampak sedih.
"Kenapa jadi begini? Clarissa telah pergi untuk selamanya. Amanda koma di rumah sakit Amerika. Dan.. sekarang disusul oleh putra bungsuku.. hiks." Felix terisak.
Felix beserta anggota keluarganya baru mendapatkan informasi dari salah satu tangan kanannya Julian.
Semenjak kejadian Darren yang diusir oleh Felix dan kelima kakak-kakaknya. Julian diam-diam memerintah salah satu tangan kanannya untuk mencari tahu keberadaan Darren.
Setelah satu tahun lamanya. Akhirnya tangan kanannya Julian berhasil menemukan informasi mengenai Darren. Dalam informasi itu, tangan kanannya Julian mengatakan bahwa Darrendra Austin telah meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Tangan kanannya Julian juga mengatakan kecelakaan itu terjadi ketika setelah Darren diusir oleh keluarga Austin.
"Papa. Sudahlah. Kenapa Papa menangisi anak pembunuh itu? Dia yang sudah membunuh Mama dan dia juga yang sudah membuat tante Amanda koma," ucap Raka dengan kejam.
"Raka. Jaga ucapanmu. Bagaimana pun orang yang kau sebut pembunuh itu adalah adikmu!" bentak Julian, suami dari Amanda.
"Aku tidak sudi memiliki adik pembunuh seperti dia," sahut Raka.
"Apa yang dikatakan Kak Raka benar, Pa, Om! Untuk apa Papa menangisi anak pembunuh itu. Dan untuk apa Om membelanya. Anggap saja ini adalah hukuman untuknya karena telah membunuh Mama dan membuat tante Amanda koma. Nyawa dibayar nyawa. Impaskan!" Satya berucap dengan penuh kebencian.
Julian berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Satya. Dan detik kemudian...
PLAAKK!
Julian memberikan tamparan keras di wajah Satya, sehingga membuat sudut bibir Satya berdarah.
"Kau dan Kakakmu benar-benar menjijikkan. Bisa-bisanya kalian bicara seperti itu tentang adik kalian. Bagaimana bisa kalian lebih percaya dengan ucapan orang-orang itu yang mengatakan bahwa adik kalian yang telah membunuh ibu kalian dan membuat istri Om koma. Kemana otak kalian, hah?! Darren itu adik kalian. Kalian sudah lama tinggal bersama. Bahkan kalian yang menjaga, merawat dan mendidik Darren selama ini. Jadi, bagaimana bisa kalian tidak mempercayai adik kalian sendiri!" bentak Julian.
"Kalian itu benar-benar tidak memiliki hati. Penjahat saja yang melakukan kejahatan jika meninggal orang-orang masih menatap iba. Justru ini adik kalian sendiri. Dan belum tentu juga adik kalian bersalah. Tapi kalian sama sekali tidak memiliki rasa empati sedikit pun ketika mendengar kematian adik kalian!"
"Kalian menyebut Darren pembunuh. Lalu bagaimana dengan kalian, hah?! Kalian semua itu tidak jauh beda dengan Darren. Jika kalian semua menuduh Darren yang telah membunuh Clarissa dan juga penyebab komanya Amanda. Berart kalian juga seorang pembunuh. Kalianlah yang sudah membunuh Darren!" teriak Julian sembari menunjuk semua anggota keluarga yang duduk di sofa.
"Jika kalian tidak menuduh Darren. Jika kalian tidak menyudutkan Darren. Jika kalian percaya dengan Darren. Jika kalian mau mendengarkan penjelasan dari Darren. Jika kalian tidak memaki Darren. Dan jika kalian tidak mengusirnya Darren dari rumah ini. Maka sampai detik ini Darren masih hidup. Jadi kalian juga seorang pembunuh. Bahkan kesalahan kalian lebih besar dari pada Darren. Perlakuan buruk kalian terhadap Darren sudah terekam berkat kamera pengintai yang terpasang di setiap sudut rumah ini. Sementara kalian. Kalian tidak memiliki bukti apapun ketika Clarissa dan Amanda diserang. Kalian hanya mendengar dari laporan dari orang-orang yang tidak jelas. Kalau aku mau. Aku bisa saja memperlihatkan rekaman itu ke pihak yang berwajib."
Julian berbicara dengan suara yang keras sembari menatap jijik anggota keluarga dari istrinya.
Mendengar penuturan dari Julian. Baik Felix, Rafael dan yang lain terkejut. Mereka tidak menyangka jika Julian bisa semarah ini. Bahkan mereka terkejut ketika Julian mengatakan ada kamera terpasang di setiap sudut rumah.
"Sudahlah, Pa. Untuk apa Papa membuang-buang energi untuk manusia menjijikkan seperti mereka. Percuma saja Papa bicara panjang lebar karena mereka tidak akan mau mendengarnya. Hati mereka semua sudah mati." Andra berbicara lembut kepada ayahnya.
"Lebih baik kita pergi dari rumah ini, Pa. Aku sudah tidak sudi untuk tingga satu rumah dengan manusia sampah seperti mereka. Kita pulang saja ke rumah kita. Di sana hidup kita akan lebih nyaman dari pada disini!" seru Adnan.
"Aku setuju apa yang dikatakan Kak Adnan. Lebih baik kita tinggal di rumah kita sendiri. Dan kita putuskan hubungan kita dengan mereka. Aku sudah tidak sudi memiliki saudara seperti mereka. Lagian nanti pukul lima sore Papa akan ke Amerika kan untuk mengunjungi Mama. Lebih baik Papa bersiap-siap." Merrin berbicara sambil menatap jijik Raka dan adik-adiknya. Begitu juga anggota keluarganya yang lainnya.
"Iya, Pa. Merrin benar. Lebih baik kita pulang ke rumah kita. Dan tinggal di sana selamanya. Jika Mama sudah sembuh nanti. Kita akan bawa Mama pulang ke rumah kita." Andra berbicara dengan menatap wajah ayahnya.
Lagi-lagi Felix, Rafael dan yang lainnya terkejut mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan oleh Andra, Adnan dan Morrin. Kecuali satu orang yaitu Andara. Dirinya justru senang.
"Baiklah. Kalian persiapkan semua barang-barang kalian. Kita akan pergi dari rumah neraka ini dan memutuskan hubungan dengan mereka semua. Papa sudah tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan mereka. Papa akan membawa Mama kalian keluar dari rumah ini apapun yang terjadi."
"Hm,"
Setelah itu, Julian dan ketiga anak-anak langsung menuju kamar masing-masing untuk mengemasi barang-barang mereka. Mereka sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan
keluarga Austin.
***
Di kota Washington, Amerika terdapat sebuah rumah mewah dan juga besar. Di rumah itu terlihat seorang pemuda tampan tengah duduk di sofa ruang tengah. Pemuda itu adalah Darrendra Smith.
Darren saat ini tengah sibuk berkutat dengan beberapa berkas di atas meja. Sebelum Darren menandatangani berkas-berkas itu. Darren harus terlebih dahulu mengeceknya.
Ketika Darren tengah fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan panggilan masuk.
DRRTT!
DRRTT!
Mendengar ponselnya berdering. Darren langsung mengambilnya, lalu terlihat nama 'Kak Saskia' di layar ponselnya. Tanpa menunggu lagi Darren langsung menjawabnya.
"Hallo, Kak."
"Hallo, tampan. Kamu sedang apa?"
"Ini aku sedang memeriksa beberapa berkas-berkas sebelum aku
menandatanganinya. Kenapa, Kak?"
"Begini. Opa hanya ingin memastikan apa kau jadi pulang ke Australia?"
"Jadi, Kak. Lusa aku berangkatnya. Aku sudah menyiapkan semuanya disini."
"Baiklah kalau begitu. Kakak dan yang lainnya akan mempersiapkan semuanya untuk menyambut kepulanganmu."
"Kak."
"Iya. Ada apa, Ren?"
"Boleh tidak aku tinggal di rumah milik Mama yang ada di Clarence Street, Sydney . Aku mau di sana, Kak."
"Tentu. Tanpa kamu memintanya. Kami memang berniat menyuruhmu untuk tinggal di sana. Rumah itu milik kamu. Hadiah ulang tahun dari Mama."
Mendengar penuturan dari kakaknya, Darren menangis. Dan tangisannya itu terdengar oleh sang Kakak.
"Hei, kamu kenapa? Sudah jangan nangis, oke. Kamu tidak sendirian. Ada Kakak dan kakak-kakak kamu yang lainnya, ada Opa, Om dan Tante."
"Terima kasih, Kak."
"Iya, sayang. Ya, sudah. Jangan nangis lagi. Jika kamu nangis nanti Mama juga ikut nangis juga di sana."
"Iya. Ini aku sudah tidak nangis lagi kok."
"Good Boy. Ingat! Jangan terlalu lelah bekerja. Jaga kesehatanmu. Kakak gak mau kamu jatuh sakit. Kakak gak mau kalau kamu sampai masuk rumah sakit lagi."
"Baik, Kak."
"Oke. Kakak tutup, ya!"
TUTT!
TUTT!
Setelah berbicara dengan kakak perempuannya di telepon. Darren merasakan kebahagiaan di hatinya. Kakaknya itu selalu bisa mengembalikan senyuman di bibirnya.
"Ma."
...Berikan Dukungannya...
Wahai Para Pembaca.
Di kota Sydney, Australia. Terlihat sebuah rumah mewah yang begitu besar dan luas bak istana berdiri kokoh di sana. Yah! Rumah mewah milik keluarga besar SMITH. Keluarga kaya raya nomor 1 di dunia dan di Australia. Keluarga terpandang, keluarga yang sangat berpengaruh di Australia. Dan terlebih lagi keluarga yang berpengaruh dalam dunia bisnis. Keluarga SMITH menguasai seluruh jajaran bisnis yang ada di dunia ini. Siapa yang tinggal kenal dengan Keluarga SMITH. Semua orang-orang yang ada di dunia ini sangat mengenal Keluarga SMITH. Hanya orang-orang bodoh saja yang tidak mengenal mereka.
Keluarga SMITH dikenal dengan kebaikannya. Rata-rata seluruh anggota keluarga besar SMITH tidak akan sungkan-sungkan untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap bulan keluarga SMITH memberikan bantuan kepada anak-anak panti asuhan yang ada di kota Sydney. Keluarga SMITH juga memiliki saham sebesar 50% di beberapa rumah sakit terkenal yang tersebar di beberapa negara. Seperti di negara Australia THE ROYAL MELBOURNE HOSPITAL, Sidney. Di Amerika VANDERBILT UNIVERSITY MEDICAL CENTER, Nashville. Di Korea SAMSUNG HOSPITAL, Seoul. Di Jerman PARK CLINIC WEISSENSEE, Berlin.
Keluarga SMITH memiliki sifat dua sikap. Sikap baik dan juga sikap kejam. Keluarga SMITH bisa berubah menjadi sosok malaikat untuk orang-orang yang benar-benar tulus kepada mereka. Dan tidak berbuat jahat terhadap mereka. Bahkan keluarga SMITH bisa juga berubah menjadi sosok iblis yang kejam jika ada orang-orang yang mencari masalah dengan mereka. Apalagi sampai berani melukai salah satu dari mereka.
Keluarga SMITH tidak mengenal kata maaf, tidak mengenal kata ampun, tidak ada yang namanya kesempatan kedua. Jika ada yang berani mencari masalah dengan mereka, makanya akan berakhir dengan KEMATIAN.
Di rumah tersebut anggota keluarga telah berkumpul di ruang tengah. Mereka semua berkumpul karena tengah menunggu kepulangan kesayangan mereka semua. Siapa lagi kalau bukan si bungsu Darrendra Smith.
Daren sangat disayang dan juga dimanja oleh seluruh anggota keluarga Smith. Mulai dari keempat kakak-kakaknya, kakak-kakak sepupunya, kakeknya, Om dan Tantenya. Bahkan mereka selalu ada untuk Darren jika Darren sedang dalam masalah atau sedang bersedih. Mereka selalu meluangkan waktu untuk Darren, walau mereka sedang banyak pekerjaan.
"Darren lama sekali, sih. Ini sudah pukul berapa!" seru Afnan.
Mendengar ucapan dari Afnan. Mereka semua tersenyum. Mereka tahu bagaimana rasa sayang dan juga rasa khawatir Afnan terhadap Darren jika Darren terlambat sampai di rumah.
Saskia menghampiri adiknya itu, lalu mengusap pelan punggungnya. "Kakak tahu kamu pasti mengkhawatirkan Darren? Kita berdoa saja semoga Darren baik-baik saja dan pulang dengan selamat."
"Tapi aku benar-benar sangat mengkhawatirkan Darren, Kak. Aku tidak mau hal itu terjadi lagi. Dan aku tidak mau Darren masuk rumah sakit lagi dan tidur berbulan-bulan."
Afnan menangis membayangkan kejadian kecelakaan yang menimpa adiknya yang saat itu adiknya pergi meninggalkan kediaman keluarga Austin karena diusir.
"Darren, semoga kamu baik-baik saja, sayang." Saskia berdoa di dalam hatinya.
Jujur, Saskia juga sangat mengkhawatirkan adik bungsunya itu. Satu jam yang lalu adik bungsunya mengabarinya jika adiknya itu sudah tiba di Bandara Internasional Kingsford Smith. Namun, waktu sudah menunjukkan pukul 2 sore. Adiknya belum juga menampakkan batang hidungnya di hadapan mereka semua.
"Darren, semoga kamu baik-baik saja, dek." Nuria, Marco dan Afnan berdoa di dalam hati.
"Darren, sayang. Semoga kamu baik-baik saja," batin Erland, Steffany, Ronald, Safina, Clara, dan Steven.
"Semoga kamu baik-baik saja, cucuku." Robert Smith berucap di dalam hati.
Nuria dan Marco menghampiri Saski dan Afnan. Keduanya memeluk Afnan. dan memberikan ketenangan kepadanya.
"Kita berdoa saja agar Darren pulang dengan selamat," ucap Nuria.
"Darren pasti baik-baik saja. Percayalah!" Marco berucap dengan lembut sembari tangannya mengusap lembut punggung adiknya.
Ketika mereka semua tengah memikirkan Darren yang sudah tiga jam belum sampai juga di kediaman Smith, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara klason mobil dari luar.
TIN!
TIN!
Mendengar suara klason mobil, mereka semua berlari keluar rumah untuk melihat dengan mata kepala mereka sendiri jika yang datang itu adalah Darren kesayangan mereka.
Di luar rumah, terlihat sebuah mobil mewah telah terparkir rapi. Dan seseorang keluar dari dalam mobil tersebut. Yah! Orang itu adalah Darrendra Smith.
"Tuan muda Darren. Selamat datang kembali," ucap ketiga security tersebut.
Mendengar ucapan dari ketiga security tersebut, Darren tersenyum ramah. "Terima kasih, Paman. Kalau begitu aku masuk dulu," sahut Darren.
"Silahkan, tuan muda."
Setelah itu, Darren pun pergi meninggalkan tiga security tersebut. Darren melangkahkan kakinya menuju pintu utama.
Namun, langkahnya terhenti ketika tatapan matanya melihat seluruh anggota keluarganya telah berdiri di depan pintu. Dan jangan lupakan senyuman manis mengembang di bibir masing-masing.
Darren yang melihat anggota keluarganya yang tersenyum hangat padanya merasakan kehangatan di dalam hatinya. Dengan langkah cepat, Darren menghampiri mereka semua.
"Opaa," panggil Darren.
GREP!
Darren langsung memeluk tubuh kakeknya erat. "Opa. Aku merindukanmu. Sangat!"
Robert tersenyum kala mendengar ucapan dari cucu kesayangannya. Robert memberikan kecupan sayang di pucuk kepala Darren.
"Opa juga sangat merindukan Darren. Sangat!"
"Lalu bagaimana dengan kita? Apa Darren tidak merindukan kita?" tanya Steffany yang menggoda keponakannya.
Darren melepaskan pelukannya dari kakeknya dan mengalihkan perhatian menatap satu persatu wajah orang-orang yang sangat dicintainya.
"Aku juga merindukan kalian. Sangat merindukan kalia," jawab Darren.
Mereka semua tersenyum ketika mendengar jawaban tulus dari Darren.
"Ya, sudah! Ayo, kita masuk ke dalam!" seru Clara.
Clara menggandeng tangan Darren dan langsung membawanya masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya.
Sementara anggota keluarga lainnya mendengus kesal akan ulah dari Clara yang seenaknya saja membawa Darren.
Kini semuanya telah berkumpul di ruang tengah. Anggota keluarga Smith sangat bahagia akan kepulangan Darren. Dan mereka juga bersyukur Darren pulang dengan selamat.
"Kamu kemana dulu tadi? Kenapa baru nyampe, sih? Kakak khawatir tahu." ucap dan tanya Saskia.
"Kita semua mengkhawatirkanmu, Darren!" Steven berucap lembut.
"Maafkan aku Kak, Om, Tante, Opa. Tadi aku singgah dulu ke Perusahaanku. Aku kesana hanya sekedar memantau keadaan dan juga perkembangan Perusahaan ku selama tidak ada aku." Darren menjawab pertanyaan dari kakaknya.
"Lalu bagaimana? Semuanya baik-baik sajakan?" tanya Robert.
"Iya, Opa. Semuanya baik-baik saja," jawab Darren.
"Kakak sudah mendaftarkan namamu di Kampus UNIVERSITAS SIDNEY. Kamu satu Kampus dengan kakakmu Afnan dan kakak sepupumu Naura." Willy berbicara sambil melihat kearah Darren. Willy adalah saudara kedua di keluarga Smith.
"Baik, Kak." Darren menjawabnya.
"Ya, sudah. Lebih baik Darren ke kamar dan istirahat. Darren pasti lelahkan? Nanti malam kita akan adakan acara pesta Barbeque di halaman belakang!" Erland berucap lembut.
"Baik, Om."
Setelah itu, Darren pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
"Dan untuk kalian. Jangan ada yang mengganggu Darren. Biarkan Darren istirahat. Mengerti!" seru Ronald menatap putra-putranya dan keponakan-keponakannya.
"Baik, Om."
"Baik, Pa."
Mereka semua menjawab dengan kompak. Mereka juga tidak berniat untuk mengganggu Darren, walau mereka semua sangat merindukan Darren. Bagi mereka kesehatan Darren nomor satu. Jadi mereka membiarkan Darren untuk istirahat. Toh, nanti malam mereka bertemu dengan Darren dan berbicara banyak dengannya.
...Mohon Dukungannya...
Para Pembaca Yang Manis, Cantik,
Tampan dan Baik Hati.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Sesuai apa yang dikatakan oleh Erland bahwa nanti malam akan ada acara pesta Barbeque. Dan disini lah mereka semua. Di halaman belakang rumah sedang berpesta Barbeque.
"Ren," panggil Robert.
"Iya, Opa."
"Apa rencanamu untuk besok?"
"Eemm, yang jelas hal pertama yang akan aku lakukan besok adalah pergi kuliah. Itu sangat penting sekali, Opa. Setelah dari Kampus baru aku ke Perusahaan."
Mendengar jawaban dari Darren. Mereka semua tersenyum. Mereka tahujika Darren menomorsatukan pendidikannya.
"Opa bangga padamu, sayang."
"Terima kasih, Opa."
"Oh, iya. Darren." kini Erland yang memanggilnya.
"Iya, Om."
"Begini. Afnan dan Naura sudah tinggal di sebuah Apartemen yang tak jauh dari Kampus. Hanya butuh satu setengah jam dari Apartemen menuju Kampus. Darren mau tinggal dimana? Jika tinggal disini. Om takut kamu akan telat nantinya ke Kampus. Dan Om juga tidak mau kamu bangun terlalu pagi hanya untuk biar tidak kesiangan sampai di Kampus." Erland berbicara sambil menatap wajah tampan keponakannya.
Darren menatap satu persatu wajah anggota keluarganya. Dirinya tidak tahu bagaimana cara menyampaikan keinginannya itu kepada anggota keluarganya.
Saskia yang melihat adiknya kebingungan dan juga ragu tersenyum, lalu Saskia menepuk pelan bahu adiknya itu sembari berkata, "Sudah, katakan saja. Mereka tidak akan keberatan kok. Kan Kakak sudah katakan saat Kakak menelponmu."
"Opa, Om, Tante. Boleh tidak aku tinggal di rumah Mama yang ada di Clarence Street? Aku ingin tinggal di sana selamanya." ucap dan tanya Darren.
Mendengar permintaan dan keinginan Darren membuat mereka semua tersenyum bahagia. Inilah yang diinginkan oleh mereka semua, terutama Robert, Erland, Ronald dan Clara.
Robert, Erland, Ronald dan Clara ingin Darren tinggal di sana. Rumah itu dibangun oleh Clarissa, ibu kandung Darren. Dan akan diberikan kepada Darren ketika usia Darren ke 20 tahun.
Sementara untuk keempat kakak-kakaknya yaitu Saskia, Nuria, Marco dan Afnan sudah mendapatkan rumah dari Clarissa ketika Darren masih berusia 8 tahun.
"Benarkah, sayang?" tanya Ronald.
"Iya, Om." Darren menjawab sambil menganggukkan kepalanya.
"Om senang kamu mau tinggal di sana. Itu rumah untukmu. Hadiah ulang tahun dari ibumu." Ronald tersenyum hangat menatap wajah tampan Darren.
"Kapan kamu akan mulai tinggal di sana?" tanya Clara.
"Mungkin besok, Tante!"
"Yah. Kenapa besok? Kamu itukan baru pulang dari Amerika. Setidaknya nginap dulu beberapa hari disini." Lory berbicara dengan wajah merengut.
"Hei, Lory. Kalau Darren nginap disini. Darren akan jauh bila mau pergi ke Kampus. Lagiankan bukan hanya Darren saja yang akan pulang ke rumahnya. Afnan dan Naura juga bakal balik ke Apartemen mereka masing-masing. Besok mereka sudah harus masuk kuliah lagi. Mereka berdua itu sudah libur empat hari." Tamara berbicara sembari menatap Lory.
"Sebentar doang Darren disini," sahut Lory.
"Kan Kakak bisa main ke rumahnya Darren," sela Naura.
"Atau kamu saja yang menginap di rumahnya Darren. Kalau bisa tinggal di sana saja, sekalian jadi babunya Darren.. Hahahaha." Alfin berbicara disertai tawa khasnya.
Mereka mendengar obrolan Tamara, Lory, Alfin dan Naura hanya tersenyum. Begitu juga dengan Darren.
"Ren, kamu mau kan kalau kakakmu Lory nginap di rumah kamu?" tanya Alfin.
"Boleh. Itu pun kalau Kakak Lory nya mau. Jangankan hanya menginap. Tinggal di sana juga gak apa-apa. Jadi, aku ada temannya." Darren menjawab pertanyaan dari Alfin dengan senyuman di bibirnya.
"Bagaimana, Lory?" tanya Steffany, sang ibu.
"Eem, baiklah. Kakak akan tinggal bersamamu sekalian Kakak akan menjagamu. Kakak juga gak tega ngeliat kamu hanya tinggal sendiri di sana." Lory menjawab dengan mantap.
"Siapa bilang di sana Darren hanya sendirian, lalu dua orang pelayan dan empat orang security yang ada di sana mau kamu kemanain, Lory Smith?" tanya Marco.
Seketika Lory terdiam. Dirinya berusaha mengingatnya. Detik kemudian..
"Hehehehehe. Iya, aku lupa."
"Hah!" mereka semua hanya bisa menghela nafas pasrah akan sifat pelupa Lory.
***
Keesokkan harinya di kediaman Austin. Kini anggota keluarga tengah berada di ruang tengah. Setelah selesai sarapan pagi. Mereka semua berkumpul di sana, kecuali Julian dan anak-anak.
Setelah kemarahan Julian terhadap keponakan-keponakannya yang tak lain anak-anaknya Felix Austin. Julian dan ketiga anaknya memutuskan pergi meninggalkan keluarga Austin dan kembali pulang ke rumah mereka sendiri yaitu kediaman Julian Fernandes. Rumah Julian terbilang besar dan juga mewah.
"Kak Felix," panggil Rafael.
Felix melihat kearah Rafael. "Ada apa, Rafael?"
"Kak! Apa Kakak benar-benar yakin kalau Darren yang telah membunuh Kak Clarissa? Setahuku Darren sangat amat menyayangi Kak Clarissa. Darren tidak bisa hidup tanpa Kak Clarissa. Bahkan Darren melarang Kak Clarissa untuk pergi jauh-jauh. Darren hanya memberikan izin Kak Clarissa bepergian sekitar kota Sidney saja." Rafael berbicara lembut sembari menatap wajah kakaknya.
"Kak! Kalau aku boleh jujur. Aku sebenarnya tidak percaya akan perkataan orang-orang itu yang mengatakan bahwa Darren yang telah menyerang Kak Clarissa dan Amanda. Darren tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Kak Clarissa itu ibunya. Perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia ini." Rafael berbicara dengan menatap wajah Felix, kakaknya.
"Bisa saja anak sialan itu memberikan perintah kepada orang lain untuk menyerang Mama dan Tante Amanda." Vito menyela perkataan Rafael.
Mendengar penuturan dari Vito, Rafael mengalihkan pandangannya untuk melihat kearah Vito.
"Jika itu benar. Coba berikan satu alasan yang paling kuat sehingga membuat Darren tega melakukan hal keji itu terhadap ibu kandungnya sendiri!" Rafael menatap kecewa Vito.
Vito langsung bungkam ketika Rafael memintanya untuk memberikan satu alasan kuat mengenai Darren.
Melihat keterdiaman Vito. Rafael hanya bisa menghela nafas kasar. Rafael menatap kearah Raka, Satya, Velly dan Nasya.
"Kalian juga! Berikan satu alasan kuat tentang tuduhan kalian terhadap Darren. Atau kalau perlu kalian carilah buktinya terlebih dahulu. Jika kalian tidak bisa memberikan satu alasan dan kalian tidak bisa memberikan bukti mengenai Darren. Maka berhentilah menyebut Darren sebagai pembunuh. Ingat! Penyesalan akan datang belakangan. Jika kalian tidak ingin menyesal nantinya. Om minta berhentilah. Kalau kalian seperti ini terus kasihan Kak Clarissa di atas sana. Kak Clarissa pasti menangis melihat perlakuan kalian terhadap putra bungsunya."
Setelah mengatakan hal itu, Rafael pun pergi meninggalkan ruang tengah. Rafael memutuskan untuk ke kamar dan bersiap-siap ingin ke kantor.
Sementara Felix dan anak-anak masih terdiam. Mereka tidak tahu harus percaya dengan siapa? Mereka saat ini benar-benar bingung.
"Darren," batin Felix.
***
Darren dan Lory sudah berada di kediaman Darren di Clarence Street. Keduanya berangkat dari Castlereagh Street, kediaman keluarga Smith menuju kediaman Darren di Clarence Street. Keduanya menempuh perjalanan selama tiga jam.
Kini Darren dan Lory sedang bersiap-siap di kamar masing-masing. Darren bersiap-siap akan ke Kampus. Sementara Lory bersiap-siap akan ke Kantor.
Setelah selama satu jam mereka bersiap-siap, kini mereka sudah berada di meja makan. ketika mereka sampai di meja makan. Para pelayan sudah menata beberapa makanan dan minuman di atas meja.
Tiba-tiba Darren menangis ketika melihat makanan dan minuman yang ada di atas meja. Lory yang melihat adiknya yang tiba-tiba menangis menjadi khawatir.
"Ren, kenapa? Ada apa?"
"Aku rindu Mama, Kak."
Lory beranjak dari duduknya, lalu berpindah duduk di samping adiknya. Setelah itu, Lory menarik tubuh adiknya ke dalam pelukannya.
"Kakak mengerti perasaanmu. Kamu rindu sama Mama karena melihat makanan dan minuman kesukaan kamu di atas meja kan?"
Darren menganggukkan kepalanya. Dirinya saat ini benar-benar merindukan ibunya.
Lory melepaskan pelukannya dan menatap wajah tampan adiknya itu. Lory mengusap lembut air mata adiknya.
"Ya, sudah. Jangan nangis lagi, oke. Lebih baik sekarang kamu sarapan. Kalau kamu nangis terus dan gak mau berhenti nanti kamu bisa terlambat ke Kampusnya. Apa kamu mau terlambat di hari kamu kuliah di Sidney, hum?"
" Tidak mau."
"Kalau begitu buruan sarapan."
"Hm." Darren berdeham sambil menganggukkan kepalanya.
Lory tersenyum melihat adiknya yang langsung menurut padanya.
**Mohon Dukungannya
Para Pembaca.
Satu Komentar..
Satu Vote..
Itu Suatu VITAMIN untuk Saya**.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!