NovelToon NovelToon

Lelakimu

Hukuman

Dylan seorang pemuda berandalan berwajah tampan putra satu-satunya Tuan Andrian, salah satu konglomerat di Indonesia.

Kesehariannya hanya bermain-main saja tidak pernah masuk kuliah, walaupun ia masih tercatat menjadi salah satu mahasiswa di Perguruan tinggi yang bonafit.

Dylan hanya menghabiskan waktunya bermain game, balapan liar dan nongkrong di pinggir jalan.

Ia tidak pernah perduli dengan status keluarganya, Dylan terkenal dengan rendah hati dan suka menolong sesamanya.

Siapa sangka salah satu temannya menjebaknya.

Hingga akhirnya ia tersandung masalah.

Wajah sangar ayahnya memasuki kantor polisi, untuk menjamin putranya yang tersandung kasus narkoba sejenis sabu.

"Maaf, Pak. Sepertinya ... putra Bapak tidak pecandu ataupun pemakai. Hanya saja di ranselnya kami mendapatkan dua ji jenis sabu," ucap Komandan Reserse.

"Saya, meminta maaf akan ulah anak saya," balas Andrian.

Andrian menandatangani berkas-berkas jaminan kebebasan Dylan, didampingi seorang pengacara tersohor di negeri ini.

Dylan hanya diam mematung, menandatangi berkas-berkas yang sama dengan ayahnya. Setelah semua selesai, mereka undur diri pulang.

Di dalam mobil Andrian hanya diam, Dylan yang duduk di sebelah ayahnya juga tidak berani berucap kata.

Malam ini terasa panjang bagi Dylan bagaikan mimpi, ia sadar semua ini adalah kesalahannya ia salah memilih teman.

Deg deg deg

Hati Dylan mulai gelisah, menerka-nerka hukuman apa yang akan diterima olehnya.

Ia hanya berdoa, semoga hukuman yang diberikan ayahnya tidak begitu berat.

Namun menilik raut wajah ayahnya, ia tidak begitu yakin akan mendapatkan hukuman yang ringan.

Mobil memasuki rumah megah bak istana dengan deretan mobil buatan luar negeri.

Dylan dan Andrian melangkah memasuki rumah.

Di depan pintu mamanya sudah menunggu dengan mata sembab,

Dylan lebih merasa berdosa kepada mamanya. Ia tidak pernah membahagiakannya.

"Duduk!" bentak Andrian.

Dylan duduk tepat di depan Andrian.

"Pa ... Ma ... maafkan aku," ucap Dylan terbata, hanya itulah yang mampu ia katakan. Dylan terus menunduk menatap lantai yang berkilau.

"Mulai detik ini, kamu pergi ke Kota A, kamu cari Bang Jonathan di sana. Mulailah hidupmu di sana! Aku tidak mau tahu lagi," ucap Andrian dengan berkacak pinggang amarahnya benar-benar memuncak.

"Tapi, Bang ... Dylan satu-satunya putra kita." Azizah mulai terisak.

"Sudah kubilang padamu dari dulu, Dik. Lebih baik kita membuat anak kita menangis saat kecil ... dari pada sesudah besar, dialah yang membuat kita menangis," jawab Andrian sedikit melunak.

"Besok ... kamu pergi. Papa sudah mengurus semuanya. Terserah ... kamu mau jadi orang atau mau jadi gembel itu pilihanmu!" Andrian pergi meninggalkan Dylan dan Azizah.

Azizah mendekati putranya, hatinya terasa perih, ia akan berpisah dengan anak semata wayangnya.

"Mama ... aku minta maaf, Ma," ucap Dylan memeluk mamanya erat-erat. Ia tidak ingin berpisah dengan mamanya. Akan tetapi Andrianlah sebagai kepala keluarga yang mengambil keputusan.

"Iya, Nak. Tapi, kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?" Azizah membelai punggung putranya. Ia tidak menyangka putra yang sangat ia sayangi akan terseret narkoba.

"Mama ... percayakan, Ucok bukan pemakai?" tanya Dylan, ia hanya butuh kepercayaan dari mamanya.

"Iya, sayang ... mama percaya," jawab Azizah dengan lembut membelai kepala anaknya.

"Terima kasih, Ma." Dylan sedikit tenang walaupun dunia menghukumnya asal jangan wanita, yang paling ia cintai di muka bumi ini yang menghukumnya.

"Kamu pasti belum makan, ayo makan, Nak!" Azizah membawa anaknya ke meja makan.

Menyuapinya laksana bayi Dylan menangis akan kelembutan mamanya. Menyesali semua perbuatannya selama ini.

Malam begitu cepatnya berlalu, mentari sudah mengintip di cakrawala. Semalaman Dylan tidak memejamkan matanya. Ia gelisah menghadapi hukuman yang akan di jalaninya.

"Hari ini ... adalah hari pertama aku menjalani hukumanku. Entah sampai kapan pun aku tak tahu, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui. Perjalanan hidupku di mana awal dan akhirnya ... nanti," batin Dylan bukan hanya cemas tapi juga sudah sangat takut.

Dylan seorang pria yang manja, juga arogan. Dia sama sekali tidak tahu mengenai pekerjaan kasar apa pun. Perusahaan papanya sendiri pun ia tidak tahu ada berapa dan bagaimana perkembangananya.

Dylan sudah bersiap-siap untuk pergi pamit. Dylan hanya membawa beberapa pakaian kesukaannya, membawa ATM hasil kerja kerasnya, tanpa sepengetahuan orang tuanya, memasukkan semuanya ke dalam ransel.

Di depan rumah, mama dan papanya menunggu. Ia menguatkan langkahnya, Ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.

"Pa, Ma, Ucok pamit, do'akan Ucok. Maafkan semua kesalahan, Ucok ...." Hanya itu yang mampu Dylan ucapkan.

"Berhati-hatilah, Nak! Jangan lupa kabari mama, jangan telat makan, jangan lupa sholat. Pandai-pandailah memilih teman, Nak," pesan Azizah, di pelupuk matanya sudah bergenang air mata yang mulai tertumpah.

"Iya, Ma ..., " jawab Dylan mencium tangan mamanya saat ia ingin menyalam tangan papanya, papanya hanya memberikan punggung tangan dan menarik secepatnya meninggalkan putra dan istrinya.

Dylan memanggul ranselnya, rasanya terlalu berat beban di pundaknya, hanya jiwa lelakinyalah, yang menahan agar air matanya tidak menetes.

Dylan melangkahkan kakinya ke luar istana yang telah membesarkan dirinya. Rasa sakit dan sesaklah yang mengiringi langkahnya.

Ia tidak mampu menoleh ke belakang karena ia tahu, ia tidak akan mampu meninggalkan wanita yang telah melahirkannya.

"Mama ... maafkanlah aku, tapi percayalah ... aku akan berjuang. Hingga aku akan membanggakan Mama dan Papa," janji Dylan di dalam hati kecilnya.

*****

Dylan sudah berada di dalam pesawat, papanya benar-benar membuangnya ke Kota A. Dengan bermodalkan tiket pesawat, bus, kapal ferry yang diberikan papanya.

Sudah beberapa jam berlalu Dylan memperhatikan peta, ke mana arah tujuannya. Dylan bingung ia membolak-balikkan peta namun, tempat tujuannya tidak terlihat, hingga ia mulai lelah akhirnya ia mengecek lewat si Mbah Goggle.

Si Mbah Goggle pun tidak mampu mendeskripsikan tempat yang ia cari, mungkin tempat itu adalah sebuah desa terpencil di daerah kecamatan yang masih terisolir dari dunia luar.

Braaakkk!

Suara memory di otaknya seakan-akan pecah berkeping-keping.

Dylan tidak habis pikir. Bagaimana ia akan bertahan hidup di anta berantah yang ia sendiri tidak tahu kondisinya.

"Pantas saja ... tidak masuk peta," batin Dylan melipat kembali peta dan menyelipkannya ke kantong celana belakangnya.

Dari Bandara SS Dylan melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan bus, kemudian menggunakan kapal ferry, belum usai juga perjalanannya, ia harus menaiki truk barang. Dylan menumpang pada truk pengangkut buah sawit, entah berapa jam berlalu karena ia tertidur. Di persimpangan tiga, truk menurunkannya.

"Terima kasih, Bang!" ucap Dylan turun dari truk.

"Iya, Bang. Sama-sama! teruslah ikuti jalan ini, Bang ... sampailah ke Dusun Puak," balas si supir melajukan truknya.

Dari Bandara SS sampai ke Kota A sudah berulang kali Dylan bertanya di mana letak Dusun Puak kepada setiap terminal, pelabuhan, hingga masyarakat. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah dusun kecil di sebuah kota kecamatan, sebuah dusun yang masih tertinggal kemajuannya.

Dusun Puak diapit di antara dua pulau sehingga kesulitan transportasi, hingga detik ini masih tertinggal.

Dylan membetulkan letak ranselnya, memandang lurus ke depan. Jalanan yang berdebu dengan kanan kiri masih penuh hutan-hutan perdu, juga berbagai jenis pohon yang lumayan besar nyalinya sedikit menciut. Namun, ia membulatkan tekadnya.

"Akh, lurus kedepan ... tidak ada angkot, tidak ada taksi, ojek online, apa lagi grab. Ayolah, Cok ... kamu pasti bisa!," batin Dylan mencoba peruntungannya.

Hari mulai gelap dengan kecepatan setengah berlari, Dylan menapaki jalan penuh lubang berisi genangan air hujan.

Duar duaarr duaarr!

Kilat menyambar di langit menandakan hari mulai hujan, benar saja ...

hujan deras mengguyur tubuh Dylan.

"Aduh, mengapa disaat seperti ini ... hujan harus turun, sih?" sungutnya.

Ia terus saja berlari sepanjang jalan yang penuh dengan lumpur, kegelapan tanpa cahaya listrik.

"Zaman canggih seperti sekarang, masih saja ada desa tertinggal. Mama, maafkan ... maafkanlah aku ... aku menyesal, Ma!" Berulang kata maaf di hati Dylan terucap, ia rindu dekapan mamanya.

"Di tempat Jin buang anak inilah ... hukumanku dimulai," batin Dylan.

Pencahayaan dari ponselnya mulai meredup daya baterai kandas.

"Aku tidak boleh cengeng, aku harus kuat... aku tidak boleh lemah, aku harus berhasil buat mama dan papa bangga," tegas Dylan di hatinya.

Dylan sudah tidak tahu lagi sudah sejauh mana ia berlari, hingga samar-samar retinanya menangkap seberkas cahaya berkedip-kedip seperti lampu.

Ia semangkin berlari menembus malam apa lagi semua tubuhnya sudah basah kuyup,

harapannya hanya cahaya lampu yang menuntun masa depannya,

ia menuruni sedikit bukit-bukit kecil licin dan berlumpur bumi yang ia pijak sedikit bergetar.

"Tanah ini, seperti rawa-rawa atau sedang gempa?" Tanpa sadar ia bergumam di antara derai hujan, ia mencoba menutupi wajahnya, menajamkan retinanya.

"Jika takdirku ... memang harus berakhir di sini. Apa yang akan aku lakukan? Mama maafkan aku ...." Berulang kali wajah lembut mamanya terlintas dibarengi penyesalan di hatinya. Ia merasa takut tidak bisa melihat mamanya lagi.

Sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu, rumah panggung beratapkan seng, Dylan memberanikan diri mengetuk pintu berharap si pemilik rumah berbaik hati menerimanya berteduh.

Tok tok tok!

"Permisi, Pak! Bu, permisi!" Dylan terus menggedor-gedor pintu, berharap ada yang muncul. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan.

"Permisi ... Ibu, Bapak." Dylan terus mengulangi. Tetap tiada sahutan dari dalam rumah. Dylan membuka ranselnya, mengaduk- aduk isi ranselnya. Ia terus mencari handuk dan sedikit minuman. Ia menggunakan handuk untuk mengeringkan rambutnya akan tetapi botol minumannya sudah habis.

"Air hujan ...." Batinnya.

Ia menampung curahan air hujan, ke dalam botol minuman dan meneguknya.

"Aku berharap, yang punya rumah tidak mengusirku. Aku hanya ingin bermalam, untuk malam ini saja." Batin Dylan mencoba untuk berpikir dengan jernih, mencoba mengeringkan rambutnya.

Krriieeettt

Suara pintu terbuka bersamaan dengan cahaya lampu kecil yang digenggaman tangan. Hati Dylan bersorak gembira.

"Kamu siapa? dan dari mana, Nak?" tanya seorang wanita tua, di belakangnya seorang wanita muda membawa sebilah tongkat panjang. Melihat wajah si nenek sedikit banyaknya hatinya sedikit tenang.

Namun, nyali Dylan sedikit menciut, melihat cucunya dengan sebilah kayu yang siap sedia akan melayang ke tubuh Dylan.

Walaupun Dylan yakin ia dengan mudah mengalahkan keduanya.

"Ga lucukan ... bila aku harus berduel dengan wanita tua dan cucunya? mau ditaruh di mana wajahku?Secara ... seorang gamer! Ooh ... no ...!" batin Dylan berhalusinasi.

"Saya ... Ucok, Bu. Saya hanya menumpang berteduh dan tidur di teras Ibu. Tolong jangan usir saya, karena di luar hujan deras." Dylan memohon dan setengah berbohong soal namanya.

"Masuklah ... keringkan badanmu di dalam," ucap si Ibu dengan ramahnya, berbeda dengan putrinya.

"Tapi, Nek ... kita tidak tahu siapa dia, Nek? Mungkin dia orang jahat?" Gadis itu curiga.

"Wajarlah ... siapa pun itu! Pasti tidak akan sudi membuka pintu rumahnya, apa lagi kepada orang yang tidak dikenal," batin Dylan mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama dengan si cucu nenek ini.

"Tidak, apa-apa, Lili. Masuklah anak muda." Si nenek membuka pintunya lebar-lebar.

Dylan mengangkat ranselnya, dan memasuki ruangan yang hangat.

"Terima kasih, Nek," ucap Dylan bersukur.

"Pergilah mandi, anak muda," tambah si nenek.

"Lili, tunjukkan kepadanya kamar mandi!" ucap si nenek lagi.

Gadis bernama Lili melirik ke arah Dylan, menarik nafas dan berjalan meninggalkan Dylan yang masih diam.

"Pergilah, Nak!" ucap si nenek.

Dylan memasuki sebuah ruangan yang mungkin sebuah dapur, karena ada peralatan memasak.

"Itu, kamar mandinya. Jangan gunakan sabun banyak-banyak!" Lili menunjuk sebuah ruangan dan memberikan sebuah lampu teplok.

Dylan memasuki kamar mandi, ia bingung harus bagaimana? Ia hanya melihat air yang sangat gelap. Dengan pencahayaan yang remang-remang, Dylan meraba-raba air yang sangat pekat.

"Masa bodohlah! Yang

penting mandi," lirihnya.

Ia merasakan rasa sedikit sepat di lidahnya, saat menggosok giginya.

"Huek, huek...." Dylan memuntahkan isi perutnya, baru kali ini ia merasakan air yang aneh di tenggorokannya.

"Air apa ini? Jangan-jangan si Nenek dan cucunya berniat membunuhku," Dylan bergumam.

Ia menyudahi mandinya, sekujur tubuhnya sedikit segar, walaupun berganti dengan lemas karena ia memuntahkan semua isi perutnya.

Dylan kembali ke ruang tamu ia melihat cahaya lampu menari-nari tertiup angin,

Ia duduk di lantai yang beralaskan tikar pandan.

Bersambung...

Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat butuh komentar, like dan vote. Untuk penyemangat, salam sayang selalu ....

Terisolir dari peradapan.

Terima kasih, Nek! Sudah memberikan tumpangan kepada saya," ucap Dylan benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam.

"Kamu ... bukan salah satu penduduk di sini, kamu dari mana?" tanya si nenek sambil mengunyah sirih.

"Saya ... saya ... dari Samosir, Nek." Dylan berbohong dari mana asalnya.

"Bila aku mengatakan yang sebenarnya ... kemungkinan, mereka akan mengusirku," batin Dylan.

Lili datang dengan menyuguhkan teh manis hangat dan sepiring nasi juga lauk-pauknya.

"Makanlah, Nak! kamu pasti lapar," ujar si nenek terus mengunyah sirihnya sambil menganyam tikar pandan.

Dylan terus memandangi keadaan rumah si nenek. Rumah ini tidak lebih besar dari ruang kerja papanya, sangat kecil dan bersih. Suara hujan masih saja terus turun dan petir masih saja menyambar di angkasa.

"Apakah di rumah ini ... hanya Nenek dan cucunya? mereka sangat berani. Apakah di tempat inilah ... aku mencari jati diriku? sanggupkah aku? ribuan pertanyaan di benak Dylan, ia gelisah menghadapi kenyataan yang ada.

"Tidurlah, Nak! ini... bantalnya." Ucap si nenek memberikan sebuah bantal yang bersih bersulam.

"Terima kasih, Nek!," balas Dylan menerima sebuah bantal terbuat dari kapuk. Dylan berulang-ulang membalikkan tubuhnya, ia merasa tidak nyaman.

"Lantai ini ... terlalu keras. Aku rindu tempat tidurku," batin Dylan.

Dylan berusaha memejamkan matanya, bayangan kemewahan yang selama ini ia dapatkan, menari-nari di pelupuk mata. Secuil kepedihan di relung hatinya.

"Andaikan ... waktu bisa kuputar kembali? aku ingin mengubah kebodohanku ... di dalam memilih seorang teman." Kenang Dylan.

"Sudahlah ... penyesalan selalu datang terlambat, semoga mulai besok... segalanya akan baik-baik saja," Dylan berusaha optimis mengjadapi kenyataan.

****

Suara kicauan burung membangunkan Dylan berlahan-lahan ia membuka matanya tubuhnya terasa sakit, semalaman ia meringkuk di lantai keras beralaskan dipan.

Tapi ia bersyukur ia tidur dengan perut yang kenyang, sebuah bantal dan ruangan yang sedikit hangat.

Dylan bangkit pergi menuju ke kamar mandi, Karena terburu-buru ia lupa mengetuk pintu.

"Aaaaa ... dasar mesum!" Lili menyiram Dylan dengan segayung air.

Bbyyyuuurrr !

"Waduh ...." Dylan tertegun ia merasa bersalah.

"Apa yang sudah aku lakukan .... ?" teriak batinnya malu. Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya yang kacau, ia melihat wanita setengah telanjang.

"Mataku ... benar-benar sudah tidak perjaka lagi."

Akhirnya Dylan pergi ke belakang rumah, mencari tempat untuk mencuci muka dan buang air kecil.

"Bodohnya, aku! mengapa aku bisa lupa? Kalau aku tidak di rumahku," Dylan memukul jidatnya.

Ia memberanikan diri memasuki rumah.

"Masa bodohlah! Apa pun yang terjadi aku akan bertanggung jawab." Ucap Dylan.

Nenek memasuki pekarangan dengan membawa setumpuk pandan kering,

Dylan mengambil semua beban si nenek dan membawanya masuk. Ia merasa kasihan dan ingin membalas budi. Walaupun, yang ia lakukan mungkin tidak sebanding dengan pertolongan si nenek.

"Terima kasih, Cok." Ucap si Nenek.

"Sama-sama, Nek." Balas Dylan

Nenek mengajak Dylan sarapan pagi, Lili sudah mengenakan seragam PNS.

Mereka bertiga sarapan pagi makan seadanya. Dylan tidak memiliki keberanian untuk memandang wajah si cucu. Setiap ia mencoba memandang ke wajah Lili, wanita itu langsung memelototinya ada perasaan lucu di hati Dylan mengingatnya.

"Sebenarnya ... tujuan kamu mau ke mana, Cok?," tanya si nenek disela makan.

"Sebenarnya, Nek. Aku ingin mencari Bang Jonathan. Kata Pap ... eh Pak Andrian saya harus menemuinya," Dylan ingin menyembunyikan identitas dirinya karena baginya saat ini, ia hanyalah seorang pria bernama Ucok.

Pria pengangguran yang sedang mencari kerja, Dylan sendiri tidak yakin orang-orang dusun akan mengenal siapa papanya.

Lebih baik penduduk mengenalnya hanya sebagai ucok, hal itu akan mempermudah ia bergaul di dusun.

"Jonathan .... ," si nenek sedang berpikir.

"Apakah kamu ingin mencari pekerjaan? Atau ingin berlibur, Nak?" selidik si nenek menatap lekat-lekat retina Dylan, mencari kejujuran.

"Aku mencari pekerjaan, Nek." Ujar Dylan.

"Rumahnya agak jauh dari sini, Nak. Itu, sebuah perkebunan sawit. Tepatnya ... sebuah perkebunan baru. Semua masyarakat di sini mengenalnya dengan sebutan Bang Jo," si nenek menjelaskan secara rinci.

"Nama nenek, Upik. Penduduk memanggilku ... Mak Upik. Lili akan mengantarmu ke sana. Ia akan pergi mengajar di SD dekat perkebunan." Ucap Mak Upik.

Dylan memandang Lili tragedi tadi pagi di kamar mandi, membuat keduanya saling diam dan menghindari tatapan.

Entah mengapa setiap Dylan memandang wajah Lili ada sedikit rasa aneh yang ia sendiri tak memahaminya.

"Tidak usah, Mak! Aku sudah senang, sudah diberi makan dan tumpangan tidur, Mak" Dylan menjawab dengan tulus. Ia tidak ingin berhutang budi lebih banyak lagi. Apa lagi sang cucu, sedikit keberatan menolongnya.

"Ucok punya kaki, Nek ... dia masih muda dan masih sanggup berjalan Nek. Ga usah dipaksa!," ketus Lili dengan wajah kesal.

Dylan hanya memandang wajah Lili.

Cut Lili Hairani, seorang Gadis yatim piatu. Ia besar di Kota Jakarta tapi lebih mendedikasikan semua ilmu yang ia dapat di bangku kuliahnya di Dusun Puak,

Lili lulus S-1 pada usia yang sangat belia. Wajahnya sangat unik bisa dibilang cantik dengan tubuh mungil, kulit seputih susu, dan bermata indah seperti kacang almond

Lili lebih suka tinggal dengan Mak Upik, walaupun keduanya tidak memiliki hubungan darah.

"Emak tidak suka kamu seperti itu, Nak." Jawab Mak Upik.

"Jika menolong orang, jangan pernah setengah-setengah," Mak Upik menyudahi sarapannya dan melanjutkan dengan mengunyah sirihnya.

Lili hanya diam, akhirnya Dylan dan Lili pamit untuk pergi.

"Terima kasih, Mak." Ucap Dylan terakhir kali sambil mencium punggung tangan Mak Upik. Ia bersyukur bertemu dengan Mak Upik yang baik, mengesampingkan cucunya yang bermuka masam tapi cantik.

Dylan memanggul ranselnya kembali, ia melihat Lili menuntun sepeda ontelnya. Sebagai lelaki, Dylan berniat membonceng Lili.

"Sebaiknya ... aku yang memboncengmu, tidak lucukan kalau kamu yang memboncengku. Secara, aku ... kan seorang pria ga mungkin aku memeluk pinggangmu. Kamu bisakan membawa ranselku?" tanya Dylan memecah kesunyian dengan pede-nya.

Lili hanya mencebikkan bibirnya, "Perasaan ... iihh, sok Lu!" memberikan sepedanya dan menerima ransel Dylan.

Dylan mengayuh sepeda dengan berlahan, udara pagi di dusun ini sangat sejuk di depan rumah-rumah penduduk terdapat parit yang mengalir, dengan air sewarna teh.

"Lili, maaf soal pagi tadi. Aku tidak sengaja. Sungguh ... aku tidak tahu kalau kamu lagi di kamar mandi." Dylan berusaha meminta maaf dan berusaha bersikap ksatria.

"Lain kali, ketuklah pintu!," akhirnya Lili bersuara.

Sepanjang jalan Lili menyapa para penduduk, hanya di pedesaanlah yang masih seperti itu.

Dylan hanya diam ia tidak tahu harus berbuat apa, ia mengayuh sepeda secepat mungkin. Ia sedikit risih akan pandangan para penduduk.

"Stop, stop! Sudah sampai." Lili memukul punggung Dylan

"Sekolah ... yang akan kamu ajarin yang mana sih?" tanya Dylan keheranan, Dylan hanya melihat tiga bangunan yang terbuat dari kayu. Di bangun senyaman mungkin.

Berpagarkan bambu, kesemua bangunan di cat putih dan merah.

"Mengapa hanya ada tiga lokal?" tanya Dylan penasaran, baru kali ini ia melihat SD yang hanya memiliki tiga lokal.

"Desa ini terisolir, jadi sudah syukur masih ada sekolah. Dan sekolah ini juga di bangun oleh perkebunan." Terang Lili.

Dylan terdiam ia menyadari betapa bodohnya, ia yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikannya. Ada sedikit sesal di hatinya. Ia terlahir dengan sendok perak di mulutnya. Namun, ia selalu tidak menghargai semua itu.

"Apakah hanya ada kelas 1, 2, 3, saja?." Dylan bertanya.

"Tidak ... ! Ada kelas 4, 5, dan 6, hanya saja ... karena ruangan kelas hanya tiga, jadi dibuat per gelombang, gelombang siang dan pagi." Ujar Lili memberikan ransel Dylan.

"Lagian kami kekurangan guru. Hanya ada tiga orang guru, dan seorang Kepala Sekolah." Lili menjelaskan secara detail.

"Apakah tidak ada penempatan dari kota kecamatan atau pusat begitu?" Dylan semangkin penasaran, bagaimana anak-anak mendapatkan pendidikan.

"Ada, hanya saja desa ini masih terisolir, tidak ada yang mau mengajar murid yang sedikit ... dan tempat yang sangat di pedalaman. Apa lagi gajinya juga sedikit?" balas Lili memandang ke arah sekolahan.

"Tapi ... kamu mau mengajar di sini," Dylan memandang Lili.

Lili tersenyum lesung pipi di kanan kiri pipinya muncul.

"Gadis ini ... manis juga!" Dylan membatin

Ia tidak menyangka gadis jutek yang menyiramnya tadi pagi bisa menjelma bak bidadari.

"Cok ... kamu berjalan sedikit lagi.

Di belakang gedung sekolah ini, rumah-rumah perkebunan. Deretan pertama sebelah kanan, rumah Bang Jo." Ucapan Lili membuyarkan lamunan Dylan.

"Terima kasih." Dylan pergi meninggalkan Lili.

Lili memasuki gerbang sekolah dan memulai pelajarannya.

Dylan melangkahkan kakinya, bertanya kepada satpam yang sedang bertugas.

"Permisi, Pak! saya mau bertanya. Rumah Bang Jonathan yang mana, ya Pak?." Tanya Dylan.

"Itu ... yang ada pohon mangga, tepat di depan rumahnya, Bang." Jawab Pak Satpam dengan ramahnya.

"Terima kasih, Pak." Jawab Dylan.

Dylan mengetuk pintu rumah Jonathan.

Tok tok tok!

"Selamat pagi Pak. Bisa bertemu dengan Bang Jonathan?" tanya Dylan kepada seorang pria seumuran papanya.

"Ya, saya sendiri." Jawab Jonathan.

"Saya Ucok, Bang." Dylan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.

"Oooh, ada perlu apa ya Nak, Ucok?". Tanya Jonathan.

"Ayo, masuk." Jonathan mempersilakan Dylan masuk.

"Saya ingin mencari pekerjaan, Bang." Dylan berterus terang saja. Jonathan berpikir sebentar, "Tapi untuk saat ini ... kami hanya menerima pekerja buruh kasar. Untuk penanaman sawit" Jonathan meneliti keseluruhan tubuh Dylan.

"Tidak masalah, Bang. Yang penting, saya bekerja dan memiliki tempat tinggal Bang." Dylan sangat menginginkan pekerjaan dan sebuah rumah hunian.

"Untuk saat ini, rumah pekerja sudah penuh. Semua pekerja kebanyakan memiliki keluarga, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah, Mak Upik? Kebetulan depan rumah Mak Upik kosong." Jawab Jonathan.

"Mak Upik .... ?" Dylan mengingat seorang wanita, yang sudah menawarkan tumpangan padanya tadi malam.

"Iya, Mak Upik wanita yang baik. Aku yakin dia bersedia menolongmu ... Aku akan berbicara padanya," Jonathan mempersilahkan Dylan minum.

Jonathan membawa Dylan kembali ke rumah Mak Upik.

"Mak ... pondok sudah penuh, apakah Emak mau menyewakan rumah depan Emak pada Ucok, Mak?" tanya Bang Jo, kepada Mak Upik.

"Tidak, masalah Jo. Emak senang ... ada pria di rumah emak ini. Tidak usah menyewa, Cok. Kamu sudah emak anggap seperti cucu, emak." Jawab Mak Upik.

"Tapi Mak, apakah aku tidak merepotkan Emak?" Dylan takut merepotkan Mak Upik apa lagi Lili.

"Tidak ... kamu bisa tinggal di kamar paling depan, Cok. Bawalah barang-barangmu ke dalam!." Perintah Mak Upik.

Dylan menurut ia menyusun pakaiannya di lemari yang sedikit reot kakinya,

Dylan melihat sebuah tempat tidur kecil. Mungkin tubuhnya akan sedikit menggantung, akibat kakinya yang terlalu panjang.

Ruangan ini sangat kecil, kamar mandinya saja luasnya tiga kali kamar ini.

Tiba-tiba Dylan rindu rumah, rindu mama dan papanya.

"Mama, sedang apa ya...?" Hatinya bertanya, sayangnya tidak ada listrik untuk mengisi daya ponselnya.

Dylan melangkah ke luar kamar menemui Bang Jo dan Mak Upik.

"Cok, besok kamu sudah bisa masuk kerja. Kamu datang jam 07.00 WIB, pagi." Ucap bang Jo.

"Apaaa? Jam 07.00 WIB, pagi ... ?" batinnya menjerit, "Bagaimana bisa? aku mungkin belum bangun, pagi." Rutuk hatinya.

"Iya, Bang." Dylan mengiyakan, karena ia butuh pekerjaan untuk menyambung hidup.

Jonathan pamit pulang, Tinggal Mak Upik dan Dylan.

"Mak, ini ada sedikit uang untuk biaya makan Ucok, selama sebulan. Sebelum Ucok gajian." Dylan menyodorkan uang sepuluh lembar seratus ribuan.

"Itu kebanyakan Cok, simpanlah sebagian. Untuk tabungan masa tuamu." Mak Upik hanya mengambil tiga lembar uang seratus ribuan.

"Apakah itu cukup, Mak?" Tanya Dylan keheranan, karena selama ini ia menghabiskan lebih dari itu dalam sekali makan.

"Cukup Cok, tapi kita makan seadanya. Maklum ... di sini kampung Cok, bukan kota." Mak Upik tersenyum memasukkan uangnya ke tas yang terbuat dari anyaman pandan.

"Baiklah Mak, Ucok istrahat dulu," Dylan kembali ke kamarnya. Ia ingin memulai aktivitas barunya.

Ia merendam pakaiannya, ia tidak tahu caranya mencuci pakaian.

Dylan hanya memijak-mijak pakaiannya, membilasnya dan hanya menjemurnya tanpa meremasnya.

Tanpa Dylan sadari, Lili memperhatikan tingkahnya.

"Mungkin ... pria ini tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri!" Lili bergumam melihat kebodohan Dylan.

"Kalau kamu kasihan padanya, Nak. Kamu beri dia arahan yang tepat. Emak yakin, dia tidak pernah bekerja sebelumnya." Mak upik mengomentari gumaman Lili.

"Biarkan sajalah, Mak. Dia sendiri tidak meminta pertolongan, kecuali, dia yang minta pertolongan, Mak!" Jawab Lili sekenanya. Mak Upik hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bersambung...

Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat butuh komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.

Hari Pertama Bekerja.

Adzan berkumandang di masjid, Ucok masih tertidur.

Tok tok tok!

"Cok, Ucok bangun Nak! sudah subuh!" Mak Upik membangunkan Dylan.

Dylan merasa mamanyalah yang membangunkannya, ia benar-benar rindu mamanya. Dylan menunaikan kewajinannya sebagai Muslim.

Dylan berusaha agar ia tidak menjadi beban di keluarga barunya ini.

Ia membantu mencucikan piring, karena ia pernah melihat Bibi Siti mencuci piring di rumah ia juga menyapu rumah, membuka semua jendela, mengangkatkan air bersih ke dalam rumah untuk memasak.

Dylan merasa sedikit geli setiap bersentuhan dengan air gambut warnanya sepekat air teh, akan tetapi mau bagaimana lagi? begitulah saat ini hukuman yang harus ia jalani.

Dylan dan Lili hanya diam menyelesaikam semua pekerjaan tanpa suara mereka memahami satu dengan yang lain. Namun, mereka sedikit malu-malu ataupun Lili kebayakan bersikap jutek

Mak Upik selalu tersenyum melihat keheningan yang tercipta di antara mereka.

Jam 06.30 WIB keduanya berangkat bekerja dengan berboncengan seperti kemarin, Dylan meneruskan dengan sedikit berjalan kaki menenteng bekalnya.

Dylan menggunakan pakaian rapi walaupun, celana denimnya sobek-sobek namun, semuanya barang-barang branded.

"Pagi Pak!" Sapa Dylan pada Pak Satpam

"Pagi Bang, mau ke mana?" tanya satpam yang kemarin pagi, memperhatikan Dylan.

"Hari ini, saya mulai bekerja Bang." Jawab Dylan sekenanya.

"Bekerja di bagian apa, Bang?" tanya satpam yang masih terus memperhatikan Dylan.

"Bagian penanaman sepertinya, Bang." Jawab Dylan lagi.

Ia juga tidak tahu bagaimana pekerjaan itu.

"Selamat bekerja, Bang!" akhirnya Dylan meninggalkan Pak Satpam

Pukul 07.30 WIB, semua karyawan sesuai dengan divisi pekerjaannya berbaris seperti anak sekolahan. Mereka dengan patuh menjalankan acara baris berbaris, mendengarkan arahan yang diberikan sang mandor.

Setengah jam kemudian, Dylan dan sepuluh orang pria kemungkinan seumuran dengannya mulai menjalankan aktivitas pekerjaannya. Dylan mulai menggali tanah membuat lubang, sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan. Menandai lubang tersebut dengan satu meter tongkat bambu yang sengaja di tancapkan. Dylan menggali lubang selanjutnya begitu seterusnya, ia berjalan dengan memanggul cangkul dan membawa seikat bambu yang sudah di potong semeter sebagai pancang kayu.

Dengan jarak dua meter di samping kanan dan kirinya temannya juga melakukan hal yang sama, hanya saja mereka lebih lincah di bandingkan Dylan.

Dylan tertinggal lima lubang galian, tangannya sudah terasa perih. Ia melihat kedua telapak tangannya yang putih mulus kulitnya sudah lecet namun, Dylan terus menahan perihnya.

Pukul 11.30 WIB, waktunya istirahat. Semua pekerja tertawa dan berlarian menuju kepohon sawit yang lebih tinggi, untuk membuka bekal yang mereka bawa.

Tidak terkecuali Dylan, ada sedikit lega di hatinya ia membuka bekalnya, sebungkus nasi putih, sambal ikan sungai, yang ia sendiri tidak tahu apa namanya tapi sangat enak dan gulai sayur pakis. Mak Upik bilang, "Gulai paku," Dylan tertawa mendengar ucapan Mak Upik tadi pagi, Lili hanya cemberut.

"Mari makan Bang!," ajak Dylan kepada semua orang yang hadir.

"Tidak usah terlalu formal, aku Parmin," jawab pria hitam manis di sebelahnya.

"Ucok namaku Min." Balas Dylan.

"Aku Iwan," jawab iwan sebagai mandor lapangan mereka.

"Aku Ari," jawab pria yang sedikit pendek dari mereka semua, sambil makan mereka berkenalan satu dengan yang lain.

"Cok, sudah berapa anggotamu?" tanya Parmin sambil menghisap rokok kreteknya.

"Maksudnya anggota Min?" Dylan tidak mengerti, "Hahaha ... kelihatan sekali! belum pengalaman itu. Maksud Parmin, anak-anak Cok." Balas Ari sambil membasuh tangannya .

"Ooo ... anak, aku masih lajang." Jawab Dylan.

"Memang berapa umurmu?" tanya Sukardi, "Dua puluh lima lebih begitulah," balas Dylan sambil meminum air langsung dari botol minumnya.

Mereka beristirahat ada yang mencoba tidur, ada yang sholat, ada yang berbincang- bincang.

Dylan mengamati sekelilingnya tanah gambut yang di pijak sedikit bergoyang,

Air yang sewarna teh, panas yang menyengat juga hamparan luas perkebunan.

Dylan melihat kedua belah telapak tangannya yang sudah merah dan perih, ia menautkan kedua tangannya ia merasa malu bila harus mengeluh. Hanya karena luka sedikit, "Aku sudah tidak kuat lagi," batinnya mengeluh. Ia mencoba untuk ngobrol, "Ari ... Mengapa harus di buat parit-parit panjang seperti itu?" Dylan penasaran.

"Oo ... Itu, di sinikan daerah gambut, rawan banjir dan kebakaran. Jadi, di buat parit ... Agar banjir gampang surutnya dan tidak meluap, begitu juga bila ada kebakaran," jawab Ari sambil berbaring di atas bumi.

"Sebenarnya ... Apakah di sini tidak ada air bersih? maksudku, dari mana kalian mendapatkan asupan air bersih?" Dylan malu bertanya pada Lili Ataupun emak.

"Kami menampungnya dari hujan. Makanya ... Di sini, air bersih sedikit langka." Jawab Ari lagi.

"Kamu asli orang medan ya, Cok?" Ari bertanya dan menjawab sendiri.

Dylan tersenyum, sembari menganggukkan kepalanya. Walaupun, separuhnya tidak salah, opungnya dari pihak papanya masih tinggal di Pulau Samosir Danau Toba.

"Marga apa dikau?" Ari memiliki aksen melayu yang sangat kental.

"Munthe" untuk yang ini Dylan benar-benar jujur.

"Cok, baru kali ini dikau bekerjakah?" Ari bertanya ekor matanya melihat lecet di tangan Dylan, Dylan mengepalkan tangannya, menganggukkan kepalanya ada sedikit rasa malu.

"Aku juga seperti itu dulu, kamu rendam saja pakai daun senduduk ini ...." Ari memetik daun tumbuhan liar dan memberikan pada Dylan.

Dylan memasukkannya ke dalam kotak bekalnya, "Terima kasih" jawab Dylan penuh syukur.

Pukul 13.30 WIB, mereka melanjutkan pekerjaannya tangan Dylan bukan hanya perih tapi sudah mengeluarkan sedikit darah dari lecet-lecetnya. Ia meringis menahan sakit ia malu untuk mengeluh,

"Mama ...." hati Dylan terus menyebut mamanya, wanita yang akan segera datang dan mengobati setiap luka di tubuhnya tapi untuk kali ini, wanita itu tidak akan pernah datang, papanya pasti akan melarangnya. Dengan sebuncah emosi yang menumpuk serta perih yang ia rasakan, Dylan menyelesaikan pekerjaannya.

Pukul 16.30 WIB waktunya pulang, semua wajah terlihat bahagia dan sumringah tidak terkecuali Dylan.

Ia memanggul cangkulnya, karena tonggak bambunya sudah habis tertancap pada lubang-lubang yang ia gali.

Sejenak, ia memandang ke belakang, menikmati hasil kerjanya untuk pertama kalinya. Ada rasa puas, "Ternyata ... aku bisa juga!"

Semua pekerja kembali ke kantor untuk sekedar mengisi kembali daftar absen, tidak terkecuali Dylan.

Ia memparaf namanya yang tertulis Ucok Munthe, semua pekerja mengendarai sepeda atau sepeda motor butut. Dylan tidak tahu harus bagaimana ia melangkahkan kakinya?

Ia masih mendengar suara para murid.

"Mungkinkah ... Lili belum pulang dari sekolah?" ada sedikit kebahagiaan di hati Dylan. Paling tidak ia tidak akan terlalu lelah berjalan. Dylan menunggu Lili di gerbang sekolah di bawah pohon jalutung yang sedang berbunga putih wangi, helaiannya hampir mirip dengan bunga endelweis.

Dylan melihat Lili menyalami satu per satu muridnya, Lili menuntun sepeda ontelnya ke luar gerbang sekolah kedua retina mereka saling beradu pandang dan masing-masing menundukkan kepala.

"Sudah lama menunggu, Cok?" tanya Lili dengan wajah datarnya.

"Tidak, aku rasa sekitar dua puluh menit begitulah," jawab Ucok mengambil alih sepeda ontel dari tangan Lili seperti biasa keduanya berboncengan dan saling diam.

"Cok, berhentilah sekejap!" Lili memukul lembut punggung Ucok.

Dylan melihat sekitarnya hanya kebun sayuran, "Apa yang ingin dilakukan gadis ini? Apakah ia ingin memperkosaku? " karena lelah pikiran Dylan semerawut.

"Ayo, bantu aku! Jangan menghayal yang ga, ga ....!" ucap Lili turun dari boncengannya, "Wah! gadis jutek ini, jangan-jangan seorang peramal" batin Dylan. Ia hanya mengikuti Lili memasuki kebun sayur ia melihat Lili memetik sayur-mayur yang ia sama sekali tidak tahu apa namanya, jangankan nama Latinnya nama Indonesianya pun ia tak tahu. Dylan tidak pernah suka makan sayur tapi sejak ia tinggal bersama emak dan Lili, ia memakan apa pun yang dihidangkan, tanpa banyak mengeluh.

"Seperti kambing saja, makan sayur!" kalimat bantahan yang selalu ia lontarkan kepada mamanya.

"Lili ... Apakah si pemilik ladang tidak marah? kita mengambil sayur, cabai dan tomatnya?" Dylan keheranan dan terus mengikuti apa pun yang dilakukan Lili.

"Jika mereka marah ... aku akan memberikan dirimu pada mereka." Lili menjawab sekenanya

"What?? Yang benar saja! Apa kata dunia ...?!" Dylan menghentikan aksinya, memandang wajah Lili Mencari keseriusan di wajah manisnya.

Lili tidak memperdulikan Dylan dan terus memutik cabai, tomat dan sayuran.

"Ayo, cepat lakukan! Jangan berhenti, nanti ketahuan si pemilik." Hardik Lili.

"Ya Allah ... kita mencuri semua ini Lili? yang benar saja!" Dylan menarik tangan Lili. Mereka saling pandang Lili tertawa.

Dylan tertegun melihat tawa indah, keluar dari bibir mungil penuh milik Lili bagaikan lonceng.

"Cok, kamu serius sekali! Tidak mungkinlah ... aku mengajarimu mencuri, ini ladang Mak Upik. Setiap hari Minggu ... kami kemari, menggarab tanah ini." Jawab Lili

Dylan menarik nafas lega dan melepaskan tangannya.

"Syukurlah ... aku kira .... " Dylan melanjutkan pekerjaannya.

"Aku rasa ... sudah cukup. Ayo, kita pulang!" ajak Lili memasukkan sayur-mayur ke plastik kresek.

Dylan hanya mengikut di belakang Lili dan melanjutkan mengayuh sepeda sampai ke rumah.

Mak Upik duduk di teras menganyam tikar. Tersenyum melihat keduanya.

"Kalian singgah ke ladang?" tanya Mak Upik. Lili turun dari boncengan, membawa sayur-mayur dan tas jinjingnya.

Dylan memperhatikan tas yang dipakai Lili, barang branded walaupun tidak terlalu mahal.

"Bagaimana kerjamu, Cok?" tanya Mak Upik, menuangkan secangkir kopi pahit dan mendorong sepiring keladi rebus kepada Dylan. Tanpa mencuci tangannya, Dylan mencomot keladi rebus ia tidak enak hati menolak pemberian wanita bersahaja ini.

"Ini ... enak sekali Mak! Apa nama makanan ini Mak?" Tanya Dylan mengunyah dengan lahapnya.

"Itu ... keladi Cok." Mak Upik memandangi Dylan dengan seribu tanya di hatinya.

"Apakah baru pertama ini ... dikau memakannya?" selidik Mak Upik.

"Iya Mak ... mungkin pernah! Tapi ... mungkin aku lupa, Mak." Dylan berusaha mencari alasan, agar Mak Upik tidak curiga.

"Makanlah, Cok," Mak Upik memberikan semua keladi rebusnya. Memandangi wajah Dylan seperti kelaparan, "Anak ini benar-benar kelaparan .... " batinnya.

Bersambung...

Terima kasih ... buat para pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!