Malam itu lagi dan lagi dia membohongi orang tuanya dengan alasan mau main dengan temannya. Setiap malam minggu meskipun dia anak perempuan satu-satunya di keluarganya, ia tetap di berikan sebuah kebebasan untuk keluar malam seperti anak muda pada umumnya. Meskipun tetap saja ada sebuah peraturan yang harus dia patuhi.
Peraturan itu lebih tepatnya adalah sebuah perjanjian antara dirinya dengan bapak kesayangannya. Perjanjian itu melarang keras Indy masih berkeliaran di luar rumah lewat dari jam 12 malam.
Jika di jam 12 malam tepat dia belum sampai di rumahnya. Maka Indy tidak akan bisa tidur dengan nyenyak di kamarnya yang hangat juga nyaman.
"Pak, Indy mau main sama Lika." ucapnya meminta izin.
"Iya, tapi ingat, pulangnya jangan lewat dari...," belum sempat bapaknya menyelesaikan kalimat itu, si gadis kurang ajar memotongnya seenak jidat karena sudah hafal dengan kata selanjutnya.
"Jam 12. Ya udah, Indy udah di tungguin Lika, nih."
Dengan sopan santun yang masih dia miliki, Indy mencium punggung tangan kedua orang tuanya, tidak ketinggalan dia juga mengucapkan salam sebelum pergi.
Cewek berambut panjang yang lebih sering menguncir kuda rambutnya itu, mengeluarkan motor kesayangannya dari garasi. Dia cewek yang cukup nyeleneh di bandingkan dengan kebanyakan cewek seusianya.
Itu karena dia lebih menyukai motor berkopling yang tentu saja cukup ribet untuk di kendarai seorang cewek. Bukankah kebanyakan cewek-cewek lebih suka mengendarai motor matic yang suara knalpotnya halus dan hampir tidak terdengar di telinga?
Tidak dengan Indy, meski kedua orang tuanya dan kedua kakak lelakinya sudah menasehatinya, tetap saja ia memodifikasi knalpot motornya dengan knalpot bersuara cempreng yang sangat bising.
Bahkan dia lebih rela mendorong motor itu sampai ke jalan Raya dari pada harus menggantinya dengan knalpot normal.
Seperti malam ini, dia kembali mendorong motor sampai di gang depan agar tetangganya tidak mendengar knalpot bising kemudian mengutuknya dengan ucapan sumpah serapah atau lebih parahnya menyiramnya dengan air bekas cucian piring.
Untuk menuju rumah Lika hanya membutuhkan waktu 5 menit juga dengan satu tarikan pedal gas saja. Sangat mudah baginya mengendarai motor ribet itu.
"Buruan, gue udah hampir telat nih!" ucapnya pada Lika lewat voice note saat dia sudah berhasil sampai di depan rumah temannya itu.
Mereka sangat akrab meskipun hanya bertemu setiap malam minggu saja. Lika menjadi teman Indy sejak mereka SD. Sampai di bangku SMP pun mereka masih di satu sekolah yang sama walaupun beda kelas.
Malangnya, saat memasuki SMA mereka harus berpisah karena keinginan yang berbeda. Indy yang menuruti permintaan orang tuanya dengan bersekolah di SMA favorit. Sementara Lika bersekolah di SMK.
Lika adalah gadis yatim piatu, dia hidup bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal. Hidupnya tidak terurus dengan baik. Bisa di bilang dia hidup semuanya sendiri karena memang tidak ada yang menasehatinya dengan serius. Berbeda sekali dengan Indy.
Meski saling memanfaatkan dan menjadikan satu sama lain sebagai alasan agar bisa lolos dari pertanyaan orang tua. Hubungan pertemanan mereka tetap langgeng.
Indy selalu menjadikan Lika alasan agar bisa keluar dari rumah saat malam minggu tiba. Lika juga sebaliknya, dia menjadikan Indy alasan agar bisa bertemu pacarnya yang setiap minggu berganti-ganti.
Brummmm...brummmm....
Suara knalpot racing mengalun dengan bisingnya, membuat suasana semakin riuh dan ramai. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Itu artinya sudah waktunya Indy bertarung.
Ya, Indy adalah seorang joki balap liar. Dia sangat suka dunia balap, bukan demi uang melainkan itu sudah menjadi hobinya. Baginya balap liar itu sangat menyenangkan juga menantang adrenalinnya karena harus menaklukan jalan Raya yang ramai akan kendaraan bermotor.
Meskipun harus bertaruh nyawa, bodohnya otak Indy tidak begitu memikirkan hal itu dan lebih memprioritaskan kesenangannya.
... Lady bike sudah memegang bendera, itu artinya sebentar lagi pertarungan akan segera di mulai....
"Tuhan, gue pasrahkan hidup dan mati kepada-MU."
Dia tak lupa berdoa sesaat sebelum bertarung, karena tidak munafik. Indy hanyalah manusia biasa yang takut mati sebelum ajal sesungguhnya menjemput.
Pedal gas terus di gebernya, raungan suara knalpot racing saling beradu di antara Indy dan lawan balapnya malam ini. Sorak-sorai dari penonton di tepian jalan Raya yang tengah mereka sulap sebagai lintasan balap liar terdengar begitu riuh.
"Satu, Dua, Tiga.."
Lady bike melepas bendera, menjatuhkannya ke aspal sebagai tanda pertarungan di mulai.
Tanpa ragu Indy menarik pedal gas motornya dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalan raya dan beradu dengan lawan balapnya yang juga seorang joki cewek.
Sejauh ini, belum pernah Indy kalah dalam pertarungan. Keahlian balap liarnya tidak bisa di remehkan oleh joki-joki lainnya.
Pertarungan sengit itu berlangsung dengan singkat. Hanya beberapa menit membelah jalanan dengan menggadaikan nyawanya kepada Tuhan sesaat, Indy berhasil sampai di garis finish lebih dulu dari lawannya. Raut wajah yang begitu kesal tergambar jelas di wajah joki lawan. Dia menatap Indy dengan sinis. Seakan menaruh dendam yang begitu dalam.
Seperti biasanya, walaupun menang dalam pertandingan dia tidak menyombongkan dirinya. Indy tetap menyambangi lawan dan berjabat tangan sebagai salam perdamaian. Tapi kali ini joki lawan pergi begitu saja dan mengabaikan saat dia memberikan uluran tangannya.
Bukannya merasa terhina, Indy justru tersenyum. Dia berbalik badan dan apa yang dia lihat? Dia melihat dengan jelas semua tim balapnya sedang berbahagia atas kemenangannya. Ketua dari tim memberikan separuh bagian hasil taruhan padanya saat Indy berdiri tepat di depannya.
"Nih Ndy, bagian lo. Thankyou banget buat malam ini. Lo nggak pernah kecewain tim gue, nggak salah gue booking lo jadi joki gue."
Ketua tim muji kehebatan Indy dengan bangga, tanpa basa-basi ia langsung menerima uang di dalam amplop putih yang di sodorkan ketua tim.
"Sama-sama,Bang. Jangan lupa calling gue kalau ada job lagi."
"Pasti lah Ndy, lo tenang aja."
Sedang asiknya ngobrol, seseorang datang memotong obrolan Indy dengan ketua timnya. Dengan percaya diri, cowok itu mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan pada mereka berdua yang masih bingung karena tidak mengenalnya.
"Sorry ganggu kalian. Kenalin, gue Angga."
"Indy."
"Eh sorry nih Ndy, gue mau balik duluan. Tuh anak-anak udah pada nggak sabar nungguin pesta."
Ketua tim justru pamit saat Angga datang. Sepertinya dia paham maksud Angga. Setelah bersalaman, ketua langsung pergi meninggalkan Indy berdua saja dengan Angga.
"Gue tadi nonton lo, lo hebat banget sih bisa ngalahin Siska."
"Oh. Jadi, namanya Siska."
"Iya, dia satu sekolah sama gue."
"Oh."
Indy terus menjawab seperlunya, sampai Angga menyadari bahwa cewek itu sangat cuek, tapi Angga tidak menyerah. Dia terus memulai obrolan. Karena tidak mungkin Indy yang akan memulainya.
"Gue sih niatnya mau ngajak lo gabung ke tim gue."
"Tim lo?" tanya Indy penasaran.
"Iya, tapi tim gue udah resmi. Jadi lo nggak perlu main liar kayak gini dan lebih safety tentunya. Mau nggak?"
"Gue pikir-pikir dulu deh."
"Oke, nggak papa kok. Ini kartu nama gue, kalo lo udah punya keputusan, lo bisa hubungin gue di nomer yang tertulis di situ."
"Oke, udah kan? Soalnya gue mau balik."
"Oh, silahkan."
Indy langsung pergi dan buru-buru mengambil motor yang terparkir di pinggir jalan raya. Sempat dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam 12.
Kocar-kacir dia memberondong Lika dengan pesan whatsapp.
"Lika!"
"Woyy.. Lika."
"Gue mau balik nih, lo dimana?"
"Lika.. Nggak jawab pesen, gue tinggalin nih!"
Begitu isi rentetan Chat Whatsapp-nya ke Lika. Dia sempat mengulur kesabarannya dengan menunggu balasan pesan dari Lika selama beberapa menit.
"Ndy, lo ke tempat biasa, gue udah di tempat biasa."
"Siap, Ndan."
Segera Indy menyusul Lika. Detik jarum jam terus bergerak. Situasi sudah tidak santai lagi. Begitu bertemu Lika. Indy menyuruh Lika berpegangan erat padanya. Lika pun paham dengan intruksi Indy, sebab mereka berdua harus cepat sampai di rumah.
Tepat sepuluh menit memacu motornya, Indy berhasil mengantarkan Lika dengan selamat. Tinggal lima menit tersisa waktu yang harus dia kejar agar bisa sampai di rumahnya.
Tidak sia-sia cewek itu menjadi joki balap liar, keahliannya dalam menarik pedal gas kali ini bisa menyelamatkannya. Terbukti dengan waktu yang sudah mepet itu, dia bisa sampai di rumahnya tepat sebelum bapaknya mengunci pintu.
"Paaaakkk! jangan dulu di kunci, Indy mau masuk."
Langsung saja dia menerobos masuk garasi dan memarkirkan motornya asal.
"Makasih Bapak." ucapnya lengkap dengan senyuman manisnya.
"Langsung tidur, jangan begadang." pesan bapaknya.
"Iya."
Jika bukan karena alarm yang berteriak membangunkannya, mungkin gadis itu akan tetap memejamkan matanya dan harus bersiap dikeramasi kultum pagi oleh abangnya. Bang Inu sangat disiplin dalam hal ibadah. Dia adalah kakak pertama Indy.
Dengan berat Indy mengucek matanya yang masih enggan terbuka. Penampakan sesosok manusia berwajah bersih bercahaya nan glowing nampak jelas di hadapannya, membuat matanya yang masih mengantuk seketika menjadi sangat segar seperti habis cuci muka dengan air dingin.
Bang Inu tengah bersiap untuk ibadah sholat subuh. Dia yang akan menjadi Imam sholat pagi ini. Bang Inu yang bijaksana dan dermawan itu harus rela berbagi kamar dengan adik perempuan semata wayang yang tak tahu diri, padahal Indy punya kamar sendiri. Tapi, dia enggan tidur di kamarnya sendiri.
Alasannya karena dia selalu merindukan abangnya itu. Jadi, dia lebih memilih tidur di kamar bang Inu walaupun cowok itu tidak berada di rumah setiap hari.
Ya, Wisnu Graha atau yang biasa Indy panggil bang Inu adalah mahasiswa semester akhir. Dia hanya pulang setiap weekend tiba. Itupun harus dengan rengekan Indy.
Sebagai mahasiswa semester akhir, bang Inu sedang di sibukkan menyusun skripsi. Maka dari itu dia lebih memilih tetap di kosnya agar tetap bisa fokus dengan tugas skripsinya.
"Mama sama Bapak, mana Bang?" tanya Indy saat melihat kedua abangnya sudah berpakaian rapih berdiri di depan ruang sholat.
"Masih di kamar, katanya suruh duluan aja." jawab bang Inu kemudian meminta Indy dan Raka yang bukan lain kakak kedua Indy, untuk segera mengisi saf karena bang Inu akan segera memimpin sholat.
Lantunan ayat suci Al-qur'an terdengar menenangkan hati siapapun yang mendengarnya di pagi ini. Suara tartil bang Inu memang sangat merdu. Berbanding terbalik dengan bang Raka yang suaranya justru akan memekakkan telinga.
"Ndy. Temenin Bang Raka jogging, yuk?" ajak bang Raka selepas sholat.
"Jogging apa jogging, nih?" Indy seakan tahu maksud dan tujuan dari ajakan abangnya itu. Tak ayal, bang Raka memang kadang hanya menjadikan jogging sebagai alasan saja. Yang menjadi tujuan sebenarnya adalah untuk mencuci mata, melihat cewek-cewek yang juga sedang jogging atau sekedar berjalan-jalan saja.
"Jogging dong, ntar Bang Raka beliin kue serabi di Pasar Wage." rayu bang Raka agar adiknya mau menerima ajaknnya.
"Beneran, ya?!"
"Udah buruan, siap-siap sana."
Hanya karena iming-iming kue serabi, Indy luluh dan menerima ajakan abangnya. Kue serabi di pasar wage emang paling the best. Letaknya ada di ujung jalan yang setiap hari minggu pagi di sulap menjadi jogging area.
Sebelum sampai di pasar kecil yang hanya buka setiap pagi saja, di sepanjang tepi jalanan itu terhampar pemandangan sawah nan hijau jika pada musim tanam padi. Jika terlalu pagi, maka akan masih ada kabut yang menutupi jalanan itu juga pesawahan.
Udara yang sejuk nan dingin sangat terasa. Ditambah dengan sepoi-sepoi angin kecil yang menyentuh daun telinga, membuat Indy beberapa kali menghentikan larinya dan memilih berjongkok kemudian melipat kedua tangannya.
Satu lagi pemandangan yang sulit untuk di lewatkan di sana. Danau dengan air jernih, di pinggir danau itu di tumbuhi pohon-pohon beringin. Jika ke sana siang hari, pohon itu akan meneduhkan siapa saja yang bernaung di bawahnya.
Sepagi ini danau itu masih tertutup kabut walaupun tidak begitu tebal. Kejernihan air di sana masih bisa terlihat dengan jelas. Pantulan bayangan Indy juga bang Raka yang duduk tepat di tepinya, bisa tergambar di atas air meski sesekali akan hilang karena gelombang yang diciptakan oleh ikan-ikan yang muncul ke permukaan air.
"Bang," panggil Indy pada bang Raka tiba-tiba.
"Hmmm." saut bang Raka datar.
"Yaelah ..., itu kue serabi emang gratis sih Ndy, tapi jangan di buang-buang juga dong," protes bang Raka saat melihat kue serabi itu juga di bagikan ke ikan-ikan di danau oleh adiknya.
"Hah?! Apa lo bilang, gratis? Jadi tadi lo di kasih kue serabi sebanyak ini sama anak penjual kue serabinya?"
Memang benar, anak penjual kue serabi langganannya menyukai bang Raka. Oleh sebab itu setiap kali bang Raka membeli kue serabinya akan di kasih bonus kue atau justru akan mendapatkan satu kantung kresek kue serabi gratis.
"Tadinya gue mau bayar. Sumpah deh udah gue paksa bayar aja, tapi dianya nolak. Ya udah, mungkin emang udah jadi rezeki anak soleh pagi-pagi dapet gratisan cuma dengan modal tampang, yakan?" jelas bang Raka panjang kali lebar tidak luput dari kesombongannya sebagai cowok handsome.
"Dasar lo, Bang! Kasihan emaknya capek-capek duduk kepanasan di depan tungku sampe keringet bercucuran udah kayak kecemplung empang, tapi malah di gratisin serabinya ke lo. Cowok modal tampang."
"Emangnya, gue yang mau?" bang Raka membela diri.
"Mending, lo operasi plastik aja, gih! Ganti muka yang agak jelekan. Gantengnya lo itu ngerugiin orang, tau nggak?"
"Pedes banget tuh mulut kalo ngomong. Mulut kalo belom pernah di cium sama cowok ya kayak gitu tuh, suka nyakitin kalo ngeluarin kalimat."
"Lo itu Abang gue bukan, sih? Noh contoh Bang Inu, dia ngajarin hal-hal positif sama gue. Lah ini, lo malah sebaliknya, jangan kotorin otak polos gue sama kalimat porno lo, ya?!"
"Gitu doang porno, otak polos emang gampang salah paham."
"Bodo ah."
"Yah ngambek adek gue yang cakep. Ndy, jangan ngambek, ntar bang Raka beliin susu murni nasional, mau?" rayu bang Raka lagi agar adiknya luluh kembali.
"Mau, tapi harus 5 bungkus, jangan lupa yang varian strawberry."
"Oke, ntar ya kalo pas abangnya yang jual lewat rumah."
"Awas lo boong."
"Pernah emang, Bang Raka bohongin lo?"
"Ya enggak si."
Sang surya mulai menampakkan keagungannya di ufuk timur. Itu tandanya hari sudah beranjak siang. Kedua anak manusia menyadari keberadaan cahaya yang menelisik dari sela-sela dedaunan pohon-pohon disana.
Meskipun cahaya matahari pagi masih sangat tipis, tapi jika mengenai tubuh manusia akan menghangatkan.
Keduanya beranjak meninggalkan danau dengan berjalan santai. Menikmati hangatnya sentuhan sang mentari sembari kembali menuju rumah mereka.
Bukannya langsung mandi karena tubuhnya sudah bau sampah busuk. Indy dan abangnya malah bergabung dengan kedua orang tuanya juga bang Inu di meja makan.
"Kalian enggak mandi dulu? Bau keringat, tau."
Rini sampai menutup hidungnya saat Indy duduk di sampingnya mengisi kursi kosong di meja makan. Bajunya yang basah oleh keringat tak ia hiraukan. Perutnya sudah keroncongan minta di isi makanan lezat hasil masakan mamanya.
"Kamu lho, Ndy. Mandi dulu sana," ucap Rini pada anak perempuannya.
"Nggak mau. Indy laper, iya kan, Bang?"
"Iya cantik. Udah makan aja, nggak usah dengerin Mama, karena cantik butuh nutrisi, yakan?"
"Love you Bang Raka."
"Udah-udah, jangan berantem. Kalau mau makan ya sudah makan saja. Kasihan tuh Bapak sama Bang Inu bingung nontonin kalian ngoceh terus."
"Bang Raka tuh, Ma."
"Ndy." panggil bapak dengan suara tegasnya.
"Iya, Pak."
Indy sedikit was-was saat suara bapaknya tiba-tiba terdengar tegas memanggilnya. Bukan perkara bapaknya sedang marah, tapi memang begitulah Bima Aryaksa. Sosok bapak yang tegas dan di takuti anak-anaknya namun bisa menjadi teman juga panutan yang baik.
"Ada acara hari ini?"
"Enggak kok, Pak. Kenapa?"
"Temenin Bapak, bisa?"
"Temenin ngapain?"
"Ketemu sama temen Bapak di Kota"
"Kenapa nggak ajak Bang Inu atau Bang Raka aja sih, Pak?"
"Enakan ajak kamu, Ndy."
"Udah sih nurut aja apa susahnya?" Bang Raka menimpali.
"Ya udah, tapi jangan lama-lama ya Pak, Indy suka nggak betah soalnya."
"Kali ini kamu bakalan betah, Bapak jamin."
Bima berdiri karena memang sarapannya sudah habis lebih dulu dari yang lain.
"Dandan yang cakep." pesan Bima pada anak perempuannya yang masih sibuk mengunyah nasi.
Kenapa harus dandan yang cantik jika hanya untuk menemani bertemu dengan teman bapaknya. Sempat dia bingung memikirkan hal itu, tapi buru-buru Indy tepis karena ia tidak mau bapak menunggunya lebih lama lagi.
Kalau urusan baju dan celana, Indy memang lebih suka memilih warna-warna gelap. Karena warna gelap membuat kulit tubuhnya yang putih semakin nampak bersih, bening, bercahaya seperti jargon iklan facial wash di TV.
Indy memutuskan hanya memakai kaos berwarna hitam yang di padukan dengan jeans berwarna senada. Lalu ia balut dengan jaket jeans berwarna dongker. Jam tangan melekat dengan sempurna di pergelangan tangan kirinya. Juga sebuah topi hitam yang bertengger di atas kepala melindungi rambut panjangnya yang terurai agar tidak berantakan saat terterpa angin.
Sepasang anak dan bapak sudah berada di dalam perjalanan. Awalnya mereka saling terdiam. Tapi karena rasa penasaran terus menjejal di hati juga pikirannya, Indy menyerah. Akhirnya dia yang membuka suara.
"Sebenernya, Bapak mau ngajak Indy ketemu siapa sih?"
"Mau tau banget kamu, Ndy?"
"Ya, kalau boleh."
"Ntar kamu juga tau sendiri lah."
"Yah, Bapak."
Karena tidak mendapat jawaban pasti dan Indy juga tidak mau memaksa bapaknya untuk memberikan jawaban. Maka, dia hanya bisa pasrah dan kembali fokus melihat pemandangan sekitar di tepi jalan Raya.
Mobil yang mereka tumpangi harus berhenti dengan paksa karena palang pintu kereta api menghalangi mobil mereka yang akan melintas. Demi keselamatan, mereka mengikuti peraturan lalu lintas dan berhenti sejenak menunggu kereta api yang akan melintas.
Momen yang sangat menyenangkan untuk Indy. Apalagi mobil yang dia tumpangi saat ini tepat berhenti di depan palang pintu kereta api. Bisa melihat dengan leluasa kereta api yang tengah melintas jelas tepat di hadapannya adalah pemandangan yang sangat langka untuknya.
Percaya atau tidak, semenjak lahir hingga sampai sebesar ini. Indy belum pernah sekalipun menaiki kereta api. Paling sering dia menaiki kereta odong-odong yang ada di pasar malam.
Lagi pula Indy tidak mempunyai saudara jauh yang jika ingin mengunjunginya harus menggunakan transportasi umum. Jadi wajar saja kalau anak itu belum pernah naik kereta api.
"Naik kereta api...," tiba-tiba saja suara bapaknya terdengar merdu menyanyikan lagu Naik Kereta Api.
"Tuutt..tutt..tuutt... Maaf, sambungan terputus hahahahha." Indy melanjutkan nyanyian itu dengan lirik yang sengaja di ubahnya.
Gelak tawa dari keduanya pecah di dalam mobil bertepatan dengan kereta api yang sedang berjalan dengan cepatnya. Tawa itu tercipta karena Indy yang dengan konyol mengubah lirik lagu.
Semakin jauh jarak yang di tempuh dan semakin lama waktu menyusuri jalanan. Indy seperti mendapat sebuah petunjuk. Mengingat mobilnya mengarah ke suatu tempat yang tak asing baginya.
Benar saja, tak berapa lama setelah ia hanya bisa menerka dalam hati. Mobilnya memasuki area parkir sebuah Mall terbesar yang ada di kotanya.
Satu-satunya tempat yang sangat pantas di sebut sebagai Mall seperti di kota-kota besar. Meski hanya setinggi lima lantai, tapi gedung itu sudah cukup sebagai tempat hiburan juga sebagai pusat tongkrongan paling hits anak-anak muda.
Tak lama setelah mendapatkan tempat parkir. Bapak dan anak itu menuju ke lantai paling atas menggunakan lift.
Dalam hati gadis itu sangat bersyukur karena bapaknya bertemu dengan temannya di Mall. Jika bosan dia tidak akan menjadi manekin yang akan tetap diam dan mendengarkan obrolan tak asik baginya.
Di lantai lima tepatnya lantai paling atas Mall, terdapat surganya perut bagi pejuang kenyang. Tepat sekali, lantai lima adalah foodcourt Mall itu.
Bahagia bukan kepalang, senyum itu mengembang sangat lebar bahkan mulutnya hampir menganga saat matanya menyapu deretan outlet-outlet dengan berbagai jenis makanan.
Gadis itu merasa sangat tepat berada di sana. Asik matanya memilih makanan yang akan di pesannya nanti, tangannya justru di tarik dan membuatnya terkejut.
Rupanya, Bima sudah menemukan teman yang akan dia temui. Seorang laki-laki seusia dengannya tengah duduk sendirian di sebuah sudut dekat jendela kaca besar tepat di sampingnya.
Nampak jelas seulas senyum terlempar darinya untuk Bima. Segera Bima berjalan ke arahnya juga dengan balasan senyum merekah di bibirnya.
Rasa kecewa harus dienyam Indy. Karena aktivitasnya memilih makanan harus ia sudahi dengan paksa. Dengan langkah terseret ia mengikuti kemana bapaknya akan pergi membawanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!