Mimpi ini terlihat begitu nyata buatku. Ku kira aku benar-benar telah bertemu dengan seorang pangeran. Tapi dia telah berani merebut ciuman pertamaku, walau itu hanya sebuah mimpi.
-Shanum-
🍁🍁🍁
Berdiri menatap dirinya sendiri di hadapan sebuah cermin yang besar. Sebuah kemeja berwarna hitam membalut tubuhnya, menampakan kedewasaannya saat ini. Rambutnya yang panjang dan lurus, dibuat terikat sehingga terlihat anting berbentuk bintang di kedua telinganya.
Shanum Anindya Lesham, seorang gadis cantik dan periang. Saat ini dirinya tengah disibukkan dengan proses magangnya di salah satu perusahan ternama di Jakarta, perusahaan kosmetik terbesar.
"Huftt..." Shanum menghela nafasnya, saat dirinya telah siap untuk segera menemui salah satu staf HRD di perusahaan itu.
Shanum melangkah perlahan, dan sebelum dirinya benar-benar pergi meninggalkan toilet. Ia mundur kembali, menatap dirinya lagi, memastikan bahwa semua terlihat sempurna di hadapannya.
"Seharusnya aku tak menguncir rambutku ini." Bisiknya tiba-tiba.
"Ah.., kurasa ini sudah penampilan terbaikku." Ucapnya lagi sebelum akhirnya ia benar-benar pergi meninggalkan toilet.
Mencoba memasang senyum secantik mungkin, meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Lalu terdiam saat dirinya sudah berhasil berdiri persis di depan pintu saat ini.
Seorang pria berjas dan berdasi tengah berada di hadapannya. Harum sekali, dengan wajah tampan, berkulit bersih, bahkan bibirnya terlihat menawan. Pria itu tampak sedang mengatur nafasnya, seperti sedang menenangkan dirinya, seperti keadaan yang buruk sedang menimpanya.
Tanpa sebuah sapaan, pria itu langsung menarik tangan Shanum dengan cepat. Menariknya dan mengajaknya untuk ikut berlari bersamanya.
"Hei.." Teriak Shanum namun tak dihiraukan oleh pria itu.
Pria itu terus mengajaknya berlari. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah ruang yang cukup besar, sebuah meja dan kursi kerja tampak berada di dalamnya. Pintu pun sudah tertutup, meninggalkan kebingungan yang hadir dipikiran Shanum.
"Kamu siapa, ngapain aku ditarik ke sini." Tanya Shanum dan mencoba melepaskan pergelangan tangannya yang masih di genggam oleh pria itu sejak tadi.
"Sorry." Jawabnya.
Disaat keduanya mencoba saling bertanya dan menjelaskan. Disaat itu pula terdengar suara pintu yang terbuka tanpa sebuah ketukan dan mengagetkan keduanya.
Perlahan, sedikit terlihat seseorang tengah masuk ke dalam, pandangan Shanum pun mengarah ke sana. Namun hal lain tiba-tiba terjadi.
Ya.. pria yang ada di hadapannya saat ini, tiba-tiba saja meraih pinggang Shanum dan mendekatkan Shanum ke arah tubuhnya. Sempat saling memandang untuk beberapa detik. Tanpa sebuah persetujuan, pria itu langsung mencium Shanum, mencium bibirnya.
Jantung Shanum mendadak berdetak begitu kencang. Sempat terdiam dan terkejut atas apa yang sedang dialaminya saat ini. Mencoba melepaskan pelukannya, namun tak dapat terlepas. Pria itu masih terus melakukannya, bahkan terasa lembut.
"Ahhhhh... tidakkkkk!!!!" Teriak Shanum dengan keringat yang sudah membasahi sekujur tubuhnya saat ini.
Mencoba mengingat-ingat apa yang sedang terjadi padanya. Nafasnya seperti berlomba. Terdiam.. untuk beberapa saat, lalu menatap sekelilingnya.
"Mimpi apa barusan, huaaa..." Teriak Shanum lagi sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dan tanpa disadari ia menyentuh bibirnya kemudian.
Drrttttt...
Suara handphone bergetar, mengagetkan Shanum seketika, menghapus lamunannya akan sosok pria ya hadir dalam mimpinya bahkan telah menciumnya.
"Ya Re.." Jawab Shanum malas dan masih terus berfikir akan mimpinya.
"Di mana kamu sekarang?"
"Di kamar."
"Kamu enggak lupakan, kalau hari ini hari pertama kita magang?"
"Ha... lupa, gimana ini, jam berapa sekarang?" Tanya Shanum begitu panik.
"Ihhh... kebiasaan, masih ada waktu satu jam dari sekarang. Kita ketemu di sana langsung."
"Oh.. oke..." Jawab Shanum dan langsung mematikan handphonenya segera.
Shanum bangkit dari duduknya, mengangkat selimut yang menutup sebagian tubuhnya, berlari menuju kamar mandi dan segera mempersiapkan diri.
"Huftt, kenapa aku bermimpi seperti itu." Ucapnya dengan memandang wajahnya sendiri di sebuah cermin di hadapannya sekarang.
.
.
.
.
Sebuah dasi berwarna hitam sudah terpasang rapi di kerah baju yang sudah dikenakannya saat ini. Mendekatkan wajahnya kemudian pada sebuah cermin yang berdiri kokoh di hadapannya sekarang.
Getaran handphone dan menimbulkan suara menghentikan aksi pria yang begitu tampan dengan jas yang sudah dikenakannya sejak tadi.
Ia menghampiri datangnya suara itu, suara handphone dan kemudian mengangkatnya. Sempet tertahan untuk beberapa detik, saat membaca nama yang tertera dalam layar handphone miliknya.
"Ya Oma." Ucapnya.
"Kapan kamu mau kenalkan oma dengan pacarmu?"
"Aduh oma, ini masih terlalu pagi untuk bahas itu."
"Kamu selalu saja beralasan jika oma membahasnya. Kamu kan sudah berjanji, Mumpung Omamu ini masih hidup."
"Oma, jangan bicara seperti itu."
"Kalau kamu memang menyayangi Oma, kenalkan ke Oma secepatnya."
"Ya, nanti akhir pekan, aku ke tempat Oma."
"Yasudah, Oma tunggu."
Pria itu mendesah kemudian, setelah mengakhiri pembicaraannya. Terdiam dan kemudian melangkah meraih sebuah bingkai foto yang tergeletak di atas meja tak jauh dari posisinya sekarang.
Menyentuhnya, dan bergumam kemudian.
"Oma sudah mendesak ku, kapan kamu bisa kembali?" Gumamnya.
Terdiam untuk beberapa detik, mengenang kembali saat-saat bersama dengan sosok wanita yang terdapat dalam bingkai foto itu. Tersenyum sendiri, namun terlihat kecewa di wajahnya.
"Aku ingin sukses."
"Lalu kamu tega ninggalin aku."
"Kita masih bisa terus berhubungan."
"Aku mampu mencukupi kemauan mu, kebutuhanmu"
"Aku tahu, tapi kamu juga tau aku seperti apa. Aku ingin mandiri, aku ingin sukses dengan kemampuanku sendiri dan ini kesempatannya. Kamu tahu ini impianku sejak dulu, tolong izinkan aku."
Pria yang berjas dan berdasi itu menghela nafasnya lagi. Mengingat saat-saat dirinya harus merelakan wanita yang disayanginya pergi. Ini sudah satu tahun berlalu. Hubungan pun berjalan seperti apa yang diminta.
Awal terlihat baik-baik saja, tanpa disadari hari-hari berlalu begitu biasa. Kesibukan membuat hubungan mereka terasa asing akhirnya. Sapaan hanya sebuah sapaan yang terkesan dipaksa. Rindu kadang terhapus dengan aktivitas yang menghampiri keduanya.
.
.
.
.
Assalamualaikum
Halo semua
Selamat membaca di Novel baruku, yuk ikuti kisahnya dan Mohon dukungannya.
Like, favorite, vote dan ratenya ya kakak semua.
Jika berkenan memberikan Gift, author ucapkan terika kasih😚
Semoga betah disini dan tetap setia menanti UPnya🙏
Aku tak mau menerima kenyataan ini. Aku berharap semua ini tak benar. Kamu yang ku cinta, dan ku harap cintamu masih sama seperti dulu.
-Keenan-
🍁🍁🍁
Shanum terpukau menatap sekelilingnya. Gedung ini terlihat besar dan megah. Ia melangkah perlahan dengan tangan yang sibuk merapikan kemeja yang ia kenakan saat ini.
Tak jauh darinya, terlihat sosok wanita yang sangat dikenalinya. Melambaikan tangannya menunjukkan posisinya sekarang.
Rena, sahabatnya, memanggil namanya berulang-ulang sampai akhirnya mereka bertemu.
"Akhirnya datang juga."
"Sorry Re."
"Mandi enggak nih."
"Ishh.. mandi dong, masa enggak." Protes Shanum dan berhasil membuat Rena tersenyum.
"Yuk langsung ke dalam." Pinta Rena kemudian.
Mereka hampir melangkah melewati pintu masuk, namun tertahan saat seorang pria hadir dengan begitu berwibawa. Semua mata tertuju padanya, semua senyum mengarah untuknya.
Pria berjas dan berdasi, keluar dari mobil miliknya, dengan senyum yang terlihat dingin, dan tatapan yang begitu tajam.
"Wahh.. ganteng ya Sha." Ucap Rena dengan jari seakan mencubit sisi kemeja yang dikenakan Shanum.
Shanum ikut terdiam, hanya menatap langkah demi langkah pria yang menjadi pusat perhatian saat itu. Ia melewati Shanum dan lainnya dengan tatapan lurus ke depan. Semua tampak menghormatinya.
"Pasti dia Bos kita." Ucap Rena lagi dan tatapan terus mengikuti sosok pria itu.
"Tau dari mana dia bos kita?" Tanya Shanum menatap Rena yang masih begitu serius menatap pria itu.
"Karena gantengnya kebangetan Sha."
"Hah... belum tentulah, biasanya kalau bos-bos itu badannya pendek, perutnya buncit, rambutnya separuh."
"Botak maksudnya, hahaha..."
Shanum pun ikut tertawa mendengarnya. Rasanya pembahasan pagi ini membuat mereka bahagia. Tanpa berlama-lama, merekapun mengikuti jejak pria tadi, melangkah ke dalam bersama.
.
.
.
.
Pria itu duduk dengan tegap, jarinya seakan menari bersama dengan sebuah pena hitam mengukir namanya. Beberapa lembar kertas, sedikit menumpuk di mejanya. Matanya pun sibuk menatap satu demi satu lembaran kertas yang berhasil membuat keningnya berkerut.
Suara ketukan terdengar kemudian, ada sosok lain yang datang dan berhasil menghentikan aksi pria itu.
"Ada berita apa?"
"Saya sudah menemukannya Pak."
"Lalu."
"Bapak bisa melihatnya sendiri." Ucapnya lagi sambil menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat.
Pria itu meraihnya, membukanya dan terhenti tanpa kata. Beberapa foto sudah ada ditangannya. Mencengkeramnya lalu berteriak dan melempar foto-foto itu ke sembarang arah.
"Kamu boleh pergi." Ucap pria itu dengan jari seolah memijat keningnya.
Meninggalkan kesunyian, meninggalkan kebencian, meninggalkan penyesalan. Menyandarkan tubuhnya pada kursi yang tengah di duduki nya saat ini. Menatap langit-langit, dan memejamkan mata kemudian. Tanpa di sadari, air matanya pun terjatuh.
Keenan Abian Wyman, itulah namanya. Pria muda dengan karier yang bagus. Memiliki wajah tampan namun sikapnya begitu dingin.
Semenjak kepergian kekasihnya, ia menyibukkan dirinya dengan bekerja dan bekerja. Mencoba menghilangkan kerinduan dan menolak kehadiran sosok lain selain kekasihnya. Itulah kenapa dia terlihat dingin dan cuek dengan sekitarnya, apalagi dengan wanita. Namun ia sangat peduli dengan keluarganya.
Keenan, pria sukses dengan kehidupan yang mapan. Hidup dilingkungan yang cukup dihormati, dengan latar belakang yang baik. Saat ini ia menjabat sebagai CEO di salah satu perusahan kosmetik terbesar di Jakarta.
Siang itu, Keenan tampak kecewa. Kecewa melihat kenyataan. Kedua tangannya tampak mengepal begitu kuat. Diraih handphone miliknya, namun hanya berani menatap. Tak melakukan apapun.
.
.
.
.
Shanum terdiam, menatap sebuah berkas yang tengah digenggaman nya saat ini.
"Nanti kamu serahkan berkas ini ke Pak Keenan ya."
"Pak Keenan, bu?" Ulang Sha.
"Ya, dia bos kita.. ruangannya ada di lantai atas, hanya ada satu ruangan di sana, kamu tidak akan nyasar." Pesannya lagi.
"Oh..oke." Jawab Sha dan tampak ragu.
Aulia, dia penanggung jawab Shanum selama magang di sini. Wanita dewasa, dengan penampilan yang begitu modis. Wajahnya terlihat ayu, berkulit sawo matang dan senyum yang ramah.
Setelah menerima tugas, Shanum berfikir panjang saat itu. Entah kenapa terlintas dalam pikirannya sosok bos yang tadi pagi sempat dibahas oleh dirinya dan Rena. Pria pendek dengan perut buncit.
"Huaaa... aku berfikir apa." Ucap Sha sendiri dengan menggelengkan kepalanya, mencoba menyadarkan lamunannya sendiri.
Setelah beberapa menit berfikir, Shanum pun menggeser kursinya dan berdiri lalu melangkah. Menuju sebuah pintu, membukanya dan menatap sekelilingnya. Semua tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada pula yang berdiskusi membahas pekerjaan. Ada juga yang tertawa dan bercerita satu sama lain.
Lantai ini terlihat begitu luas, jendela besar mengelilingi sekitarnya. Ada banyak kubikel-kubikel membentuk ruang kerja. Satu sama lain bisa saling bertemu dan bertatap muka.
Shanum melanjutkan langkahnya lagi, sesekali ia tersenyum saat melewati orang di sekitarnya. Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu lift dan menekan tombol lift saat itu.
Secara perlahan pintu lift terbuka, terlihat sosok pria yang ia temui pagi tadi. Masih ada dua pria lainnya di sana. Mereka menatap Shanum begitupun dengan Shanum.
Rasanya Shanum tak berani masuk ke dalam, apalagi dengan tatapan menegangkan dari tiga orang pria di dalamnya.
"Maaf, saya tidak jadi naik." Ucap Sha tiba-tiba yang berhasil membuat pria yang tadi pagi ditemuinya menatap dirinya.
"Oh.. maksudnya, saya mau ke lantai bawah, bukan ke lantai atas." Koreksi Sha cepat walau kenyataannya ia berbohong.
Tanpa ada kata-kata, pintu lift tertutup kemudian. Meninggalkan Shanum dan menggerutu heran.
"Sombong banget sih, ngomong apa kek, senyum aja enggak, masa langsung ditutup gitu aja." Protesnya.
Menghela nafasnya kemudian, menekan tombol lift kembali, menunggu pintu itu terbuka lagi.
.
.
.
.
Semangat..semangat..💪💪
Selamat membaca di Novel baruku, yuk ikuti kisahnya dan Mohon dukungannya.
Like, favorite, vote dan ratenya ya kakak semua.
Jika berkenan memberikan Gift, author ucapkan terika kasih😚
Semoga betah disini dan tetap setia menanti UPnya🙏
Entah apa yang terjadi dengan diriku, mungkin karena kagum akan sosoknya. Begitu sempurna, dan ternyata dia bukan bos yang sempat aku gambarkan selama ini.
Namun entah kenapa, sosoknya begitu menakutkan untuk didekati.
-Shanum-
🍁🍁🍁
Pintu lift sudah terbuka, Shanum menarik nafasnya perlahan dan melangkah ke luar kemudian. Ditatap sekelilingnya, di tengok ke kiri dan ke kanan lalu melangkah lagi, setelah yakin ke mana ia akan pergi akhirnya.
Perlahan, dengan mata yang terus memandang ke sekitarnya, Shanum membaca nama ruang demi ruang yang ia lewati. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah ruang yang ia cari sejak tadi.
Sebuah pintu besar dan terlihat kokoh ada di hadapannya saat ini. Mencoba mengetuknya, namun tertahan, ia menarik nafas panjang terlebih dahulu dan akhirnya mengetuknya.
"Ya silakan masuk." Suara dari balik pintu terdengar jelas saat itu.
Shanum pun menurut, meraih gagang pintu dan akhirnya membukanya. Terbuka perlahan dan terlihat sosok pria yang tengah sibuk di hadapannya. Tanpa memandang kedatangannya.
"Letakkan saja di meja itu." Pinta pria itu.
Pandangan Shanum tetap mengarah ke pria yang tengah duduk dari kejauhannya saat ini. Matanya tak melihat sedikitpun ke arahnya. Pria itu terlalu sibuk dengan layar laptop tepat di hadapannya.
"Sudah kamu letakkan?" Tanya pria itu akhirnya, mungkin karena merasa terganggu dengan kedatangan orang lain di sekitarnya yang tak kunjung pergi.
"Oh.. iya.. iya pak." Jawab Sha gugup.
Shanum melihat wajah pria itu akhirnya. Pria yang ia temui pagi tadi adalah pria yang sama dengan yang ia temua di lift. Ternyata adalah bos di perusahaan ini.
Setelah meletakkannya, Shanum sempat terdiam. Menatap pria yang ada di hadapannya kembali.
"Ada lagi yang diperlukan." Tanya pria itu dan berhasil mengagetkan Shanum seketika.
"Tidak pak. Maaf.."
"Jika sudah selesai, kamu bisa pergi sekarang."
"Baik Pak." Jawab Sha dan langsung membalikkan tubuhnya segera bahkan ia berlari saat itu.
Dengan cepat ia meraih gagang pintu dan hendak membukanya. Namun tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka sebelum Shanum berhasil membukanya sendiri dan tanpa disadari menabrak kening Shanum saat itu.
"Auuuu..." Teriak Sha sambil mengelus keningnya perlahan.
Seorang pria ada di hadapannya sekarang, tampak cemas atas apa yang telah ia lakukan barusan.
"Oh.. sorry... sorry." Ucapnya berkali-kali.
"Kenapa buka pintu tiba-tiba?" Protes Sha.
"Saya kira tidak ada orang."
"Uh... sakit tau." Keluh Sha akhirnya masih dengan tangan yang terus mengelus keningnya sendiri.
"Perlu ke dokter."
"Enggak perlu, makasih. Saya permisi." Ucap Sha dan bergegas pergi akhirnya.
Shanum sadar telah membuat keributan saat itu. Rasanya tak tenang, saat pria yang menyuruhnya untuk pergi tampak memperhatikan mereka.
Shanum kembali melangkah, perlahan meninggalkan ke dua pria tadi segera. Meninggalkan ruangan itu. Tangannya masih setia menyentuh keningnya sendiri.
"Duh.. malu-maluin banget si Sha.." Protesnya pada diri sendiri.
Bagaimana bisa, ia tidak berhati-hati saat itu. Entah kenapa ruangan itu terasa begitu mencekam. Ingin memprotes lebih lanjut, namun Shanum mengingat posisinya saat ini.
.
.
.
.
"Hai.. hai.. Sha.." Ucap Rena sahabatnya dengan wajah yang begitu bahagia, jelas ia tunjukan saat ini.
"Seneng banget, ada apa?" Tanya Sha sambil mengerutkan kening.
"Benarkan dugaanku, pria yang tadi pagi kita temui, bos kita. Uhhh.. ganteng banget Sha. Tadi dia datang ke divisiku.
"Ih.. ku kira apa, aku sudah tahu."Jawab Sha sambil menatap kembali tumpukan kertas yang setia di hadapannya.
"Wah.. Sha kamu memang selalu terdepan." Ucap Rena dan tertawa kemudian.
"Makan yuk." Lanjutnya.
"Itu bisa dilanjut nanti, kita makan dulu. Udah siang ini." Bujuk Rena kembali.
"Ya.." Ucap Sha akhirnya dan kemudian merapikan sedikit tumpukan itu dan berlalu pergi kemudian.
Shanum dan Rena melangkah bersama, menuju sebuah kantin yang tengah berada di lantai dasar gedung ini. Menaiki lift terlebih dahulu.
Tiba-tiba langkah kaki Shanum terhenti, saat melihat sosok pria yang tengah menabraknya tadi ada di dalam lift. Mendengar ajakan Rena kembali, membuatnya masuk akhirnya ke dalam lift.
"Hai, kening mu sudah tidak apa-apa?" Tanya pria itu dan berhasil membuat Rena terkejut mendengarnya dan menatap Shanum dan pria yang ada bersama mereka.
"Sudah tidak apa-apa." Jawab Sha dan dibalas dengan senyum pria itu.
"Syukurlah." Ucapnya dan pada saat yang bersamaan pintu lift terbuka. Pria itu pun melangkah keluar.
"Aku duluan." Ucapnya sebelum dirinya benar-benar pergi dan dibalas dengan anggukan Shanum.
Rena yang sejak tadi sibuk memperhatikan keduanya, sekarang menatap Shanum setelah pintu lift tertutup kembali.
"Siapa dia Sha?"
"Aku enggak kenal."
"Enggak kenal, tapi kalian ngobrol."
"Sudahlah, enggak penting." Jawab Sha dan melangkah keluar saat pintu lift kembali terbuka.
Rena masih tampak berfikir dan terlihat bingung, dengan langkah kaki mengikuti Shanum melangkah. Berlari dan akhirnya mereka melangkah sejajar bersama. Menuju sebuah kantin, memenuhi kemauan perut mereka.
.
.
.
.
Menatap sekelilingnya, banyak rak dengan berbagai macam produk tersusun rapi. Shanum tengah melangkah dengan sebuah troli di tangannya, mendorong perlahan sambil mencari sesuatu yang ia perlukan saat ini.
Mengambil beberapa makanan ringan dan kemudian sebuah jus dan susu iya beli juga. Kembali mendorong trolinya dan mengedarkan pandangannya lagi.
Sosok wanita tua, menjadi perhatiannya. Ia tampak kesulitan mengambil sesuatu di atas rak yang cukup tinggi. Mungkin ia sedang mencari salah satu pegawai, tampak melangkah menengok dan mencari.
Namun lorongnya ini cukup terlihat sepi. Shanum pun pergi menghampirinya.
"Maaf, boleh saya bantu."
Wanita itu tampak senang mendengarnya. Ia tersenyum melihat kehadiran Shanum.
"Terima kasih nak, tolong bantu ambilkan itu." Tunjuk wanita tua itu pada sebuah kotak berisi jus.
"Rasa apa?" Tanya Sha kemudian ketika melihat ada berbagai macam rasa yang berbaris di sana.
"Ambilkan rasa jambu, ambilkan lima kotak." Ucapnya dan membuat Sha terkejutnya mendengarnya.
Shanum meraihnya dan menyerahkan satu persatu kemudian.
"Banyak sekali."
"Ya, cucu ibu mau datang akhir pekan ini, ia suka sekali jus jambu." Shanum pun mengangguk mendengarnya.
"Ini jus yang ke lima." Ucap Sha kembali dan tersenyum saat telah berhasil memberikan semuanya.
"Terima kasih banyak ya."
"Sama-sama bu." Jawab Sha dan tersenyum kembali.
"Mau ke kasir bersama?"
"Oh.. tidak bu, masih ada yang harus saya cari lagi." Ucap Sha menolak dengan halus.
"Kalau begitu ibu pamit ya, semoga bisa bertemu lagi."
Shanum hanya tersenyum saat mendengarnya. Wanita itupun akhirnya pergi, meninggalkan Shanum akhirnya. Shanum pun melanjutkan kembali apa yang semestinya harus segera ia selesaikan.
.
.
.
.
Maaf ya, lama enggak up🙏Semangat..semangat..💪💪
Selamat membaca di Novel baruku, yuk ikuti kisahnya dan Mohon dukungannya.
Like, favorite, vote dan ratenya ya kakak semua.
Jika berkenan memberikan Gift, author ucapkan terika kasih😚
Semoga betah disini dan tetap setia menanti UPnya🙏
yang belum mampir ke Asisten Dadakan, mampir yuk☺️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!