Di depan sebuah Sekolah Menengah Pertama, ada dua orang remaja yang sedari tadi berdiri di depan sekolah untuk menunggu mobil jemputan.
"Kamu beneran berani aku tinggal sendirian, Tuan Muda?" tanya Nathan pada Alvino yang berdiri di sebelahnya.
"Berhentilah memanggilku tuan muda! Kamu bukan pelayanku, Nat!" protes Alvino memasang raut wajah sebal.
"Memang aku salah? Bukankah kamu memang seorang tuan muda?" Seolah tidak takut, Nathan bertanya lagi dengan sedikit meledek.
"Pergilah, Nat! Aku benci mulut sialanmu itu!" usir Alvino seraya mendorong kasar tubuh Nathan yang sedang terkekeh geli.
"Ya sudah. Kalau begitu aku pergi dulu. Jangan lupa sampaikan salamku buat Kak Queen yang cantik!" teriak Nathan sambil berlari pergi menjauh dari Alvino sebelum kaki Alvino yang sudah terangkat itu berhasil menendangnya.
"Nathan! Rasanya aku benar-benar ingin menjadikanmu makanan hiu!" pekik Alvino kesal saat tubuh Nathan sudah tidak lagi terlihat.
"Huh! Kenapa Kak Queen lama sekali sih! Dasar Tuan Putri," gerutu Alvino sambil mendudukkan tubuhnya secara kasar di bangku yang berada di dekatnya. Bibirnya berkali-kali mengumpati kakak sepupunya yang terlambat menjemputnya.
Tiba-tiba, perasaan Alvino mendadak gelisah saat ada dua pria bertubuh kekar, datang menghampiri dan duduk di sebelah kanan dan kirinya. Dia menatap kedua pria itu bergantian.
"Kamu sedang menunggu siapa, Dek?" tanya salah satu di antara mereka.
"Kakakku!" jawab Alvino dengan ketus. Merasa dalam situasi yang tidak aman, Alvino segera beranjak bangun dari duduknya. Namun, langkah kakinya seketika terhenti saat salah satu dari mereka mencekal tangan kanannya.
"Ahhh!" erang pria itu saat kaki Alvino mendarat tepat di pusat tubuhnya.
Setelah cekalan tangan itu terlepas, Alvino segera berlari dengan kencang meninggalkan tempat itu. Namun, kedua bola matanya melebar saat dia menoleh ke belakang dan melihat kedua pria asing itu masih mengejarnya. Dia segera berlari menyeberang jalan tanpa menoleh.
"Awas!" Tubuh Alvino terhempas ke pinggir jalan setelah mendengar suara teriakan yang begitu memekik. Namun, ketika kedua mata Alvino terbuka, tubuhnya seketika menegang saat melihat seorang gadis berseragam merah putih, terkapar di tengah jalan dengan tubuh bersimbah darah.
"Kamu baik-baik saja?" Alvino terjengkit kaget saat seorang lelaki menepuk pundaknya. Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu, Alvino berlari mendekati tubuh gadis yang masih tergeletak di tengah jalan dengan beberapa orang yang sudah berdiri di sekelilingnya.
"Cepat bawa dia ke rumah sakit!" perintah Alvino, terlihat sekali kekhawatiran dari raut wajahnya. Dia kembali terdiam saat merasakan detakan jantungnya yang terasa begitu cepat, saat tatapan mereka bertemu sebelum kedua bola mata gadis kecil itu terpejam karena tak sadarkan diri.
"Apa kamu akan ikut ke rumah sakit?" Alvino menggeleng cepat saat matanya melihat mobil Queen yang sedang melaju mendekat ke arahnya.
"Aku sama kakakku saja. Mau di bawa ke rumah sakit mana?" tanya Alvino saat sopir mobil itu sudah menyalakan mobilnya.
"Rumah Sakit Harapan."
"Baik, pergilah! Aku akan segera menyusul." Mobil itu segera melaju meninggalkan Alvino yang masih berdiri di tempatnya. Saat mobil Queen sudah berjarak dekat dengannya, dia melambaikan tangan kirinya untuk menghentikan mobil hitam milik Queen.
"Kak!" panggil Alvino berteriak, mobil hitam itu pun seketika berhenti tepat di samping Alvino.
"Kenapa kamu di sini, Al?" tanya Queen heran, matanya menatap ke sekeliling Alvino yang cukup ramai. Alvino diam tidak menjawab, tangannya membuka pintu mobil dan mendudukkan tubuhnya di samping Queen.
"Ke Rumah Sakit Harapan, Pak!" perintah Alvino membuat Queen mengerutkan keningnya.
"Ada keperluan apa kamu ke Rumah Sakit Harapan? Kita harus segera pulang, karena Aunty Aluna sudah menunggu kepulanganmu."
"Kak, barusan aku hampir saja menjadi korban penculikan. Aku bisa melarikan diri, tapi saat aku berlari menyebrang jalan. Aku hampir tertabrak, tetapi ada seorang gadis kecil yang menolongku dan kini dia sedang dibawa ke rumah sakit karena terluka parah." Mulut dan kedua mata Queen melebar saat Alvino selesai berbicara.
"Pantas saja, sedari tadi Aunty Aluna menghubungiku. Aunty bilang, dia sangat mengkhawatirkanmu. Lebih baik sekarang kamu hubungi aunty dulu," suruh Queen.
Alvino segera merogoh saku celana dan mengambil ponsel miliknya. Namun, saat dia mencoba menyalakan layar ponselnya, ponsel itu tidak mau menyala sama sekali.
"Ponselku mati, Kak. Kehabisan baterai." Queen memutar bola matanya malas saat melihat Alvino menunjukkan ponsel yang mati itu ke arahnya. Dia membuka kunci layar ponsel miliknya dan menghubungi nomer 'Aunty Aluna' yang tertera di sana.
"Hallo Queen, apa Al sudah bersamamu?"
"Sudah Aunty, tetapi ada sesuatu hal yang terjadi."
"Sesuatu hal apa?" Suara Aluna terdengar begitu tidak sabar. Queen pun menceritakan apa yang didengarnya tadi. Setelah cukup lama bercakap-cakap, Queen mematikan panggilan itu. Dia beralih menatap Alvino yang sedari tadi terdiam, dia bisa melihat tubuh Alvino yang masih terlihat gemetar dengan raut wajah yang begitu khawatir.
...***...
Rumah Sakit Harapan
Baru saja mobil Queen berhenti di depan pintu gerbang rumah sakit, Alvino segera keluar dari mobil milik Queen dan berlari ke ruang IGD untuk mencari keberadaan gadis yang menolongnya tadi.
"Permisi, Sus. Apa ada pasien korban kecelakaan yang baru datang? Dia seorang gadis berseragam merah putih," tanya Alvino pada perawat yang berjaga di sana.
"Maaf Tuan Muda, tidak ada pasien korban kecelakaan yang datang kesini," jawab perawat itu sopan saat mengetahui yang berdiri di depannya adalah penerus Alexander Group, karena wajah Alvino yang belakangan ini sering menghiasi majalah bisnis.
"Apa kalian yakin?!" tanya Alvino tidak percaya.
"Saya sangat yakin, Tuan Muda. Anda bisa mengeceknya sendiri." Alvino segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan, dia meneliti satu persatu brankar yang berada di sana. Namun, dia sama sekali tidak melihat keberadaan gadis yang di carinya.
"Mungkin mereka belum sampai, Al." Queen yang mengekor di belakang Alvino, berusaha menenangkan sepupunya yang terlihat sangat gelisah.
"Kak. Mereka berangkat terlebih dahulu daripada kita, harusnya mereka sudah sampai. Kita tunggu sebentar, Kak," ucap Alvino sembari mendudukkan tubuhnya di kursi tunggu.
"Al, aunty sudah sangat mengkhawatirkanmu. Lebih baik kita pulang terlebih dahulu, biar aku suruh perawat tadi menghubungi kita jika gadis itu sampai di sini." Queen beranjak bangun dan hendak berjalan masuk kembali ke ruangan, tetapi tangan Alvino menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kalau gadis itu tidak dibawa kesini, Kak?" tanya Alvino dengan suara cemas.
"Kita bisa menyuruh Uncle Jo untuk menyadap CCTV di sepanjang jalan tadi." Queen menyingkirkan tangan Alvino dari lengannya. Dia berjalan masuk menemui perawat tadi dan memberikannya pesan untuk segera menghubunginya.
"Semoga kamu baik-baik saja," gumam Alvino sembari memejamkan kedua bola matanya.
"Ayo, Al. Kita harus segera pulang," ajak Queen. Alvino yang baru saja terpejam, seketika membuka kedua matanya. Dia beranjak bangun dan mengikuti langkah kaki Queen yang keluar dari ruangan itu.
"Lagipula, kenapa Nathan meninggalkan kamu sendirian? biasanya dia selalu menunggumu," tanya Queen saat mereka baru saja memasuki mobil.
"Nathan sudah telat futsal gegara nunggu Kak Queen yang seperti siput," sahut Alvino dengan ketus.
"Maaf, Kakak tadi ada urusan sebentar," ujar Queen dengan menunjukkan rentetan gigi putihnya saat melihat wajah Alvino yang begitu kesal.
...***...
Setelah hampir sepuluh menit dalam perjalanan, mobil hitam milik Queen berhenti di depan teras Mansion Alexander. Alvino yang baru saja turun dari mobil, langsung disambut Aluna yang sedari tadi menunggunya dengan cemas.
"Apa kamu baik-baik saja, Al?" tanya Aluna sambil mengamati tubuh Alvino dari atas sampai bawah.
"Lihatlah Mom, Al baik-baik saja. Mom, apa daddy dan Uncle Jo masih di kantor?" tanya Alvino saat mereka berjalan memasuki mansion.
"Tentu saja masih, tumben sekali kamu mencari daddy. Ada perlu apa? Oh iya, bagaimana dengan gadis yang menolongmu tadi?" Aluna terdiam saat mendengar hembusan napas kasar keluar dari mulut Alvino.
"Al sudah menyusulnya ke rumah sakit, Mom. Namun, Al tidak bisa menemukan keberadaan gadis itu sama sekali. Itu sebabnya, Al ingin meminta tolong pada Uncle Jo untuk menyadap CCTV di sekitar jalan tempat kecelakaan tadi," jelas Alvino.
"Nanti biar Mommy yang menyuruh Uncle Jo untuk melakukannya. Lebih baik sekarang kamu istirahatlah. Kamu pasti sangat lelah."
"Baik, Mom. Nadira sama Febian di mana, Mom?" tanya Alvino saat dia tidak melihat kedua adiknya.
"Mereka berdua sedang tidur siang." Alvino mengangguk pelan untuk menanggapi jawaban dari Aluna. Setelah itu, dia berpamitan menuju kamarnya, sedangkan Aluna mengambil ponsel di kamar untuk menghubungi suaminya.
...🍫🍫🍫🍫...
Selamat berjumpa author recehan lagi 😊
Siapa saja pemeran disini, jawabannya ada di ekstra part cerita pertama 'Perjalanan Cinta Davino & Aluna' ya.
Author tunggu dukungan dari kalian.
Salam sayang dari Author recehan
Mansion Alexander.
Keluarga Alexander sedang makan malam bersama. Termasuk Queen yang sekarang ikut tinggal di mansion karena jarak dari mansion yang lebih dekat menuju ke sekolahnya daripada dari rumah kedua orang tuanya.
"Al, setelah ini ada hal penting yang akan Daddy bicarakan sama kamu," ucap Davin sambil membalikkan sendok di atas piring, pertanda ia telah selesai makan.
"Hal penting apa, Dad?" tanya Alvino, tangan kanannya menyuapkan sesendok nasi terakhir ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan.
"Perihal tadi siang yang menimpamu, mommy sudah menceritakan semuanya."
"Baik, Dad." Alvino menaruh sendoknya karena piringnya sudah kosong.
"Apa Daddy akan menyuruh Uncle Jo?" Alvino berjalan mengekor di belakang Davin yang sedang melangkahkan kakinya menuju ke ruang keluarga.
"Tadi siang, Daddy sudah langsung menyuruh uncle kesayanganmu, tetapi uncle mu tidak bisa menemukan apapun sama sekali." Davin mendudukkan tubuhnya di atas sofa, di ikuti Alvino yang duduk di sampingnya.
"Why? Bukankah uncle pintar dalam hal apapun, bahkan Daddy saja kalah jauh darinya." Davin menatap tajam ke arah putra sulungnya sedang tersenyum puas, seolah sangat bahagia sudah mengejeknya.
"Maaf, Dad." Alvino menunjukkan rentetan gigi putihnya sambil menunjukkan tanda piece dengan jarinya.
"Kamu sebenarnya anak Daddy apa anak uncle? Kenapa kamu selalu membela dia daripada Daddy?" tanya Davin dengan nada protes karena Alvino selalu membandingkan dirinya dengan Jo.
"Tentu saja anak Daddy! Bukannya yang mencetak aku itu mommy dan Daddy, bukan Uncle Jo?"
"Astaga! Kamu benar-benar menyebalkan!" Davin mengusap wajahnya kasar, menghadapi Alvino sama persis seperti saat menghadapi Jo, dia membutuhkan kesabaran ekstra.
"Kenapa sih, Mas?" tanya Aluna yang baru saja bergabung, ia menatap heran ke arah Davin dan Alvino secara bergantian.
"Sayang, anak sulung kesayanganmu ini seperti bukan anakku saja, dia selalu memuji Jo di depanku. Padahal aku yang sudah susah payah membuatnya setiap malam," adu Davin. Aluna memukul pelan lengan Davin tapi setelah itu, dia terkekeh geli.
"Menurutku wajar dong, Mas. Bukankah saat aku hamil Al, kamu yang ngidam dan Jo yang selalu menjadi suami siaga untukmu?" Aluna menutup mulutnya sembari menahan tawa saat teringat kejadian dulu. Davin mencium pipi Aluna karena merasa sangat gemas dengan istrinya itu.
"Al, sepertinya gadis yang menolongmu itu bukan dari kalangan biasa. Nyatanya, Uncle Jo yang begitu pandai saja tidak bisa menemukan identitasnya sama sekali. Al, seandainya kita berhasil menemukan gadis itu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Davin menyelidik.
"Jangan menatap curiga seperti itu, Dad. Al tidak mungkin berpikiran macam-macam. Ingat, Dad! Al belum lama di sunat. Al hanya ingin berterima kasih padanya karena sudah menolong Al." Suara Alvino terdengar begitu lirih diiringi helaan napas yang panjang.
"Daddy akan mencoba dan berusaha semaksimal mungkin agar bisa menemukannya. Kamu lebih baik tenang dan fokuslah pada sekolahmu," ucap Davin berusaha menenangkan hati putra sulungnya.
"Daddy memang bisa di andalkan," puji Alvino bangga.
"Cih! Kamu hanya memuji Daddy saat ada maunya saja," cibir Davin dan mendapat gelakan tawa dari Alvino.
"Bagaimana dengan sekolahmu? Setelah lulus, kamu mau meneruskan ke sekolah mana?"
"Astaga, Dad! Bukankah Al baru saja kelas satu SMP, masih butuh waktu dua tahun lebih untuk lulus. Daddy sangat tidak sabaran!" Suara Alvino terdengar begitu ketus.
"Hahaha, rasanya Daddy sudah tidak sabar ingin segera pensiun dan menikmati masa tua Daddy bersama mommy." Alvino menghembuskan napas kasar setelah mendengar ucapan Davin. "Biar Daddy tebak Al, kamu pasti bakal satu sekolah lagi sama soulmate kamu kan? Anak uncle kesayanganmu. Jonathan Saputra," tebak Davin sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Daddy memang paling pintar soal urusan menebak walau terkadang tidak tepat. Ya sudah, Al mau ke kamar dulu. Ada tugas sekolah yang belum Al kerjakan," pamit Alvino sambil beranjak bangun dan meninggalkan ruang keluarga. Davin dan Aluna hanya diam memandang punggung Alvino yang perlahan menjauh dari pandangan mereka.
"Mas, memang tidak ada sedikit pun informasi yang bisa kamu dapatkan?" tanya Aluna penasaran.
"Sayang, Jo hanya berhasil meretas CCTV di lokasi kejadian saja. Aku memang melihat gadis itu terluka parah tapi saat Jo meretas jalan di sekitarnya. Sama sekali tidak ada jejak yang bisa di temukan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi." Aluna menoleh ke arah Davin yang sedang terlihat bimbang.
"Kemungkinan apa, Mas?"
"Pertama, dia bukan dari kalangan biasa. Kedua, dia dibawa pergi entah kemana atau sudah tiada." Kedua bola mata Aluna membola saat mendengar jawaban dari Davin.
"Semoga dia masih hidup dan baik-baik saja. Kalaupun tidak sekarang, aku berharap suatu saat nanti masih bisa bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya," ucap Aluna penuh harap, Davin hanya mengamini lalu mencium pipi Aluna dengan mesra.
"Bagaimana dengan dua pria yang hendak menculik Al, Mas?"
"Mereka sudah berhasil ditangkap setelah kecelakaan itu. Mereka memang penculik anak remaja yang hendak di jadikan budak untuk menghasilkan uang."
"Astaga, mereka jahat sekali."
"Ya, tapi kita harus bersyukur karena Al tidak jadi di culik. Sayang, di mana Nadira dan Febian?" tanya Davin, karena seusai makan malam, dia tidak melihat keberadaan kedua anaknya itu.
"Mereka sudah berada di kamar, Mas. Barusan masih ngerjain tugas sekolah, mungkin sebentar lagi akan tidur. Queen juga sama," sahut Aluna. Davin menyeringai tipis ke arah Aluna sambil mengerlingkan matanya.
"Aku tahu isi otakmu kalau sedang menunjukkan senyum licik seperti itu, Mas," tukas Aluna sambil beranjak bangun dan berjalan menuju ke kamarnya.
"Sayang, kenapa kamu sangat curigaan sekali," ucap Davin manja, Aluna hanya menanggapi dengan cebikkan kesal.
"Ayo kita buat adik untuk Febian," ajak Davin sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
"Ingat umur, Mas! Mengurus Nadira dan Febian yang hanya berjarak satu tahun saja aku masih sangat kerepotan. Sekarang kamu masih mau nambah lagi? Memang kamu pikir mengurus anak itu gampang!" sewot Aluna sebal, sedangkan Davin hanya cengengesan.
"Cantiknya istriku. Ya sudah kita olahraga saja yuk, biar tulang kita tetap sehat seperti masih muda, meskipun usia kita sudah tidak muda lagi," rayu Davin sambil memeluk Aluna dari belakang.
"Mas, kemarin malam kan sudah," tolak Aluna berusaha melepaskan pelukan Davin.
"Malam ini kan belum," timpal Davin sambil mengecup leher belakang Aluna, hingga tubuh Aluna terasa meremang. Aluna yang awalnya menolak, akhirnya luluh juga dengan sentuhan-sentuhan dari Davin.
...***...
Alvino yang baru saja memasuki kamarnya, segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memeluk guling yang tergeletak di sampingnya. Dia menatap ke arah langit-langit kamar, ingatannya kembali terputar tentang kejadian tadi siang.
"Sebenarnya kamu pergi ke mana? Kenapa menghilang begitu saja? Apa kamu baik-baik saja? Aku harap kita akan bisa bertemu suatu saat nanti, agar aku bisa berterima kasih padamu dan membalas segala kebaikanmu," gumam Alvino sambil berusaha memejamkan matanya. Meskipun bayangan gadis itu terus datang menghantuinya.
...🍫🍫🍫🍫...
Dukungan kalian selalu Author tunggu yaa
Jangan lupa like, vote maupun komentar
kasih hadiah juga boleh banget, Author sangat berterimakasih
Salam sayang dari Author recehan
Suasana pagi hari di Mansion Alexander, Alvino yang sudah memakai seragam sekolah lengkap, segera bergabung bersama keluarganya untuk sarapan. Dia mendudukkan tubuhnya di atas kursi yang berada di samping Aluna.
"Kamu mau berangkat ke sekolah sama siapa, Al? Kak Queen atau Nathan?" tanya Aluna sambil menaruh nasi ke atas piring Alvino.
"Al berangkat sama Nathan saja, Mom. Kak Queen lama, seperti Tuan Putri." Queen yang duduk di depan Alvino hanya menatap tajam ke arah sepupunya. Namun, Alvino seolah tidak takut dan justru menjulurkan lidahnya. "Lagipula kasihan sopir Kak Queen kalau harus bolak-balik," imbuhnya.
"Salah kamu sendiri, dulu Daddy sudah menyuruhmu satu sekolah dengan Kak Queen, kamu langsung menolak begitu saja," ucap Davin tapi Alvino tidak menanggapi. Setelah semua mendapat jatah mereka masing-masing, Davin segera memimpin doa sebelum memulai sarapannya.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Asisten Jo. Davin yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, segera menolehkan kepalanya ke belakang.
"Kamu sudah datang, Nat?" Justru Alvino yang bertanya dengan heboh.
"Sudah, Tuan Muda," jawab Nathan sopan. Dia menundukkan kepalanya karena menahan tawa saat melihat raut wajah Alvino yang terlihat sebal.
"Apa kamu sudah sarapan, Jo?" tanya Davin sambil menyudahi sarapannya.
"Sudah, Tuan."
"Nathan, hari ini kamu berangkat bersama Al saja ya, nanti kalian berdua biar diantar sopir," suruh Davin. Setelah Nathan mengangguk pelan, Davin bangkit berdiri dari duduknya dan mengecup puncak kepala Aluna dengan lembut.
"Sayang, aku berangkat dulu. Aku mencintaimu," pamit Davin diiringi kecupan lembut di pipi kanan dan kiri istrinya. Aluna menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman simpul.
"Hati-hati di jalan, Mas." Davin menanggapi dengan senyuman dan pergi dari mansion setelah anak-anaknya mencium punggung tangannya.
"Mommy," panggil Alvino lembut, sedangkan Aluna hanya memutar bola matanya malas.
"Mom, mumpung tidak ada daddy. Boleh ya Al bawa motor, sekali saja." Alvino berusaha merayu Aluna.
"Tidak! Sekali Mommy bilang itu artinya kamu dilarang melanggar. Nanti biar diantar Pak Aji saja. Mommy mau berangkat dulu, hari ini ada rapat wali siswa." Aluna mengulurkan tangan kanannya dan Alvino segera menyambutnya lalu mencium punggung tangan itu.
"Yes, Mom." Aluna pergi begitu saja tanpa peduli pada Alvino yang sudah memasang wajah kecewa.
"Nadira, Febian, ayo kita berangkat," ajak Aluna sambil menuntun kedua anaknya yang masih duduk di kelas tiga dan empat SD itu. Queen pun ikut mengekor di belakang Aluna. Saat mereka semua sudah keluar dari mansion, Alvino menatap ke arah Nathan dengan menunjukkan senyum seringai di sudut bibirnya.
"Tuan Muda, bagaimana kalau kita ketahuan?" tanya Nathan ragu. Dia yang paham maksud Alvino, hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Jangan panggil aku Tuan Muda! Tidak ada daddy maupun Uncle Jo sekarang," protes Alvino sambil berjalan masuk ke garasi dan Nathan mengikuti di belakangnya.
"Apa kamu yakin kalau kita tidak akan ketahuan, Al?" tanya Nathan cemas.
"Kamu tenang saja, Nat. Kita tidak akan mungkin ketahuan, bukankah kamu lihat sendiri kalau mereka semua sudah berangkat? Pakai saja helm itu." Alvino menunjuk tempat penyimpanan helm.
"Bagaimana caramu menghidupkan motormu? Bukankah semua kunci motor di simpan Aunty Aluna?" tanya Nathan sambil memakai helm di kepalanya.
"Lihatlah! Aku sudah bikin duplikatnya," jawab Alvino santai sambil menunjukkan sebuah kunci motor di tangannya.
"Astaga! Kamu benar-benar nekat!" Nathan menggelengkan kepalanya tidak percaya pada kelakuan ajaib sahabat sekaligus tuan mudanya itu.
Alvino tidak menanggapi ucapan Nathan, dia hanya mendorong motor merahnya keluar dari garasi. Sepertinya, pagi ini Dewi Fortuna sedang memihak pada mereka, karena saat mereka keluar dari garasi, tepat sekali saat penjaga mansion sedang mengambil sarapan di dalam.
"Cepatlah, Nat! Atau kita akan ketahuan," perintah Alvino. Nathan dengan tergesa duduk membonceng di belakang Alvino. Setelah Nathan sudah duduk di posisinya, Alvino segera melajukan motornya menuju ke sekolah.
"Jangan mengebut! Ingat, kamu bukan sedang berada di arena balap." Nathan berusaha mengingatkan, tetapi Alvino justru semakin melajukan motornya dengan kencang.
Selama dalam perjalanan, bibir Nathan tidak berhenti mengucapkan berbagai doa agar mereka tetap selamat. Meskipun dia yakin akan tetap baik-baik saja, karena Alvino yang sudah terbiasa balapan sejak kecil. Bahkan, dirinya terkadang harus ikut kucing-kucingan dari ayahnya saat mengantar Alvino pergi balapan.
Sesampainya di sekolah, Alvino segera memarkirkan motornya, saat mereka turun dari motor, banyak pasang mata yang menatap takjub ke arah mereka berdua. Bagaimana tidak? Mereka baru kelas satu SMP, tapi sudah mengendarai motor sport sendiri. Walaupun mereka berdua sadar sedang menjadi pusat perhatian, tetapi mereka berdua tetap berjalan santai menuju kelas dengan sikap seolah tidak peduli.
"Nat, kamu apa kamu sudah tahu apa yang menimpaku kemarin?" tanya Alvino.
"Ya, ayahku sudah menceritakan semuanya. Apa yang akan kamu lakukan, Al?
"Sepulang sekolah, kita akan mencari informasi tentangnya."
"Kita aka mencari ke mana? Memang kamu tahu di mana dia bersekolah?" Nathan bertanya lagi, tetapi Alvino hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
...***...
Sepulang sekolah, Alvino mengendarai motornya menyusuri jalan di sekitar sekolahnya bersama Nathan yang membonceng di jok belakang. Ketika sampai di depan sekolah dasar ternama, Nathan menyuruh Alvino menghentikan laju motornya, saat ia melihat Cacha-adik perempuannya, sedang duduk sendirian.
"Kenapa kamu sendirian dan belum pulang. Cha?" tanya Nathan, saat ia sudah berdiri di depan Cacha.
"Kak Nathan! Kak Al!" panggil Cacha heboh. "Kenapa kalian di sini?" tanya Cacha heran.
"Kakak ada kepentingan. Nadira dan Febian sudah pulang?"
"Nathan!" Belum juga Cacha menjawab, sebuah teriakan yang begitu melengking datang dari arah belakang. Alvino dan Nathan saling menyenggol lengan mereka tanpa berani menoleh ke belakang.
"Bunda." Cacha berlari menghampiri Mila seraya merentangkan kedua tangannya. Mila menyambut pelukan putri bungsunya itu, lalu membawanya naik ke dalam gendongannya.
"Sayang, Bunda minta maaf ya, sudah terlambat menjemputmu," ucap Mila sambil mendaratkan ciuman di kedua pipi Cacha.
"Tidak apa-apa, Bunda. Tadi ada Kak Nathan dan Kak Al yang menemani Cacha." Mendengar ucapan putrinya, Mila menjadi teringat akan putranya tadi. Mila menoleh, tetapi dia heran saat Nathan dan Alvino sudah tidak lagi berdiri di tempatnya.
"Lho, Kak Nathan ke mana?" tanya Mila bingung.
"Bunda! Nathan dan Al pulang dulu ya! Jangan mengadu ke ayah, atau semua rahasia Bunda yang suka menggoda pria tampan, aku bocorin ke ayah, Dadah!" teriak Nathan dari arah samping dan Mila hanya melongo saat melihatnya.
Tanpa menunggu lama, Alvino segera melajukan motornya meninggalkan Mila yang masih berdiri terdiam dengan mulut yang terbuka lebar.
"Bunda." Rengekan Cacha berhasil membuat kesadaran Mila kembali.
"Astaga! Kurang ajar sekali! Kenapa Nathan bisa senakal itu?" gerutu Mila.
"Kenapa, Sayang?" tanya Mila mencoba terlihat tenang saat melihat Cacha yang terus merengek.
"Cacha mau naik motor seperti Kak Nathan," rengek Cacha hendak menangis, tetapi Mila berusaha mencegahnya.
"Kita minta izin sama ayah dulu. Eh iya Cha, apa Nadira dan Febian sudah pulang?" tanya Mila sambil celingukan.
"Sudah, Bunda. Kata Aunty Aluna, mereka ada urusan," sahut Cacha.
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita pulang," ajak Mila sambil menggendong Cacha mendekati mobil mereka.
...***...
Alvino mengendarai motornya menuju ke mansion, dia sudah menyiapkan diri untuk menerima jeweran dari Aluna, yang ia yakin sudah berada di mansion. Saat berada di lampu merah, Nathan menghentikan motornya dan fokus melihat ke arah depan.
"Apaan sih, Nat?" tanya Alvino sambil menyingkirkan tangan Nathan yang berkali-kali menepuk pundaknya.
"Arah jam tiga," bisik Nathan. Alvino segera menoleh ke arah samping dan melihat Davin yang sedang duduk di dalam mobil sambil menatap tajam ke arahnya. Alvino menunjukkan rentetan giginya, berusaha terlihat tenang meskipun dia sedang merasa sangat gugup.
"Tiga ... dua ...." Alvino menghitung mundur. "Satu! Dad! Al duluan ya!" teriak Alvino sambil melajukan motornya dengan cepat saat lampu beralih menjadi warna hijau.
"Dasar anak kurang ajar!" umpat Davin kesal saat tidak lagi melihat motor Alvino di depannya.
"Yang sabar, Tuan. Anda sudah berhasil menjinakkan singa betina dan kini saatnya Anda harus berusaha agar bisa menjinakkan anak singa," ledek Asisten Jo.
"Jo!" panggil Davin membentak sambil menendang belakang kursi kemudi.
"Saya tahu, Anda pasti akan mengirim saya ke Antartika. Maaf Tuan, tapi saya sudah bosan," timpal Asisten Jo sambil berusaha menahan tawanya.
"Oh Astaga!" Davin mengusap wajahnya kasar. Berpuluh tahun bersama Asisten Jo, nyatanya tidak membuat mereka berubah. Asisten Jo masih tetap menyebalkan bagi Davin.
...🍫🍫🍫...
Jangan lupa dukungan buat Author ya
salam sayang dari Author recehan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!