Assalamu'alaikum
Sebelum membaca jangan lupa berdoa, baca secukupnya jangan lupa beristirahat, makan, dan beraktifitas lainnya. Ambil sisi positif dari cerita novel ini. Maaf apabila ada typo maklum author masih dalam proses belajar. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Follow akun media sosial author :
Fb : Marbella
IG : Andropist_1603
Terimakasih
Rafka Alexsandro putra pertama dari Arian Robertson dan Freya Ratunisa. Dia seorang CEO dari Perusahaan Alexsandro Group. Rafka seorang duda yang ditinggal mati istrinya saat mengandung sembilan bulan. Sudah dua tahun ini Rafka menduda. Walaupun begitu keluarganya tercinta selalu ada untuknya.
Pagi itu Rafka mengenakan setelan jas rapi. Dia keluar dari kamarnya. Rafka berjalan turun lantai bawah menuju ke ruang makan. Disana sudah ada Radhitya, Luna, dan kedua orangtuanya. Dia langsung duduk bersama kedua dikursi sarapan bersama dengan keluarganya. Selesai sarapan mereka mengobrol bersama.
"Pi, Mi, sepulang dari kantor aku mau ke pemakaman untuk ziarah ke makam istriku"ucap Rafka.
"Oke, jangan lupa beli bunga mawar merah kesukaan Diana"ucap Freya.
"Iya Mi"ucap Rafka.
"Gak berasa sudah dua tahun Kak Diana meninggal, sabar ya Kak Rafka"ucap Luna.
"Iya, makasih ya dek"ucap Rafka.
"Udah Kak nikah lagi aja, iyakan Pi"ucap Radhitya.
"Yoi, janda bohay banyak, contohnya kaya Papi dapat Mamimu yang montok tur semok"ucap Arian.
"Papi......"ucap Freya.
"Gak Mi, ini cuma komporan dari Radit tuh, biang kompor"ucap Arian.
"Kak Radit emang tuh dasar playboy"ucap Luna.
"Biarin, asyik tahu punya cewek banyak"ucap Radithya.
"Tapi jangan temen gue juga jadi korban Kak, diakan cuma belajar bersama kesini eh....dimodusin sama Kak Radit"ucap Luna.
"Radit, emang berapa banyak pacarmu?"tanya Freya.
"Lupa Mi, banyak pokoknya"ucap Radithya.
"Tuhkan Mi, ada yang mewarisin Papi"ucap Arian.
"Pi mewarisin tuh yang baiknya, bukan playboy-nya"ucap Freya.
"Yaudah Pi, Mi, aku berangkat kerja dulu"ucap Rafka.
"Yaudah hati-hati ya nak"ucap Freya.
"Nanti kalau butuh bantuan Papi dikantor bilang ya"ucap Arian.
"Iya Pi"ucap Rafka.
Perusahaan Alexsandro Group kini dipimpin Rafka sebagai penerusnya. Sementara Radhitya memilih jadi seorang selebriti. Dia seorang aktor dan model.
"Udah Kak, biarian aja Papi dan Mami honeymoon terus toh perusahaan udah Kakak yang urus"ucap Luna pada Rafka.
"Iya Raf, gue setuju"ucap Radithya.
"Setujulah, Kak Radit kan gak mau ngurus perusahaan malah sibuk jadi aktor cabul"ucap Luna meledek Kakaknya Raditya.
"Oh....gak mau dapat transferan dari gue lagi"ucap Radhitya.
"Bercanda Kak, tranferan jangan distop ya"ucap Luna.
"Huh.....cewek matre"ucap Radhitya.
"Biarin, realistis tahu"ucap Luna.
Luna memang sering tak akur dengan Kakaknya Radithya yang playboy itu. Dia lebih akur pada Rafka yang kalem dan bijaksana.
"Semuanya aku berangkat dulu, assalamu'alaikum"ucap Rafka.
"Wa'alaikumsallam"ucap Semuanya.
Rafka melangkah keluar dari ruang makan. Dia keluar dari rumah mengendarai mobilnya. Dijalan dia tak sengaja menyerempet seorang wanita.
Dug..............
Wanita itu terjatuh dijalan, dia terlihat kesakitan memegangi kakinya. Rafka langsung menghentikan laju mobilnya. Dia memarkirkan mobilnya ditepi jalan. Lalu dia keluar dari mobil itu menghampiri wanita yang diserempetnya.
"Nona kau tidak apa-apa?"tanya Rafka dengan sopan.
"Tidak apa-apa kepalamu, lihat kakiku lecet"ucap Manda.
"Maaf, aku tidak sengaja menyerempetmu tadi"ucap Rafka.
"Orang kaya memang selalu berkata seperti itu, tidak sengaja, tidak melihat, tidak tahu dan lain sebagainya"ucap Manda.
"Nona biar ku antar ke rumah sakit"ucap Rafka.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Aku juga gak tahu aman tidak bersamamu. Jangan-jangan kau cabul lagi"ucap Manda.
"Wanita ini pedes banget ucapannya"batin Rafka.
"Yasudah, berapa uang yang harus ku ganti untuk biaya berobatnya?"tanya Rafka.
"Yang betul kau mau ganti, paling orang kaya sepertimu pelit dan sayang duit"ucap Manda.
"Tidak, aku akan membayar biaya untuk berobatmu"ucap Rafka.
"Keluarkan uangmu"ucap Manda.
Rafka mengeluarkan dompetnya tapi Manda malah menarik dompetnya lalu mengambil uang didalam dompet itu.
"Ini cukup untuk membayar biaya berobatku"ucap Manda lalu memberikan kembali dompet Rafka.
"Baiklah, terserah Nona"ucap Rafka sambil menerima dompetnya.
Manda menabur uang itu dijalanan, beberapa pemulung, tukang rongsokan dan pedagang kaki lima memunguti uang yang ditabur Manda.
"Orang kaya sepertimu harus banyak beramal biar tidak apes dan merugikan oranglain sepertiku"ucap Manda.
"Oke, kemarikan tanganmu, aku bantu bangun"ucap Rafka sambil mengulurkan tangannya.
"Aku bisa sendiri, tak sudi bersentuhan dengan lelaki mata keranjang sepertimu"ucap Manda lalu berdiri.
"Huh......sabar Rafka menghadapi wanita ini"batin Rafka.
"Yasudah, sekali lagi aku minta maaf"ucap Rafka.
Wanita itu malah pergi meninggalkan Rafka.
"Hei lelaki, aku akan ingat kejadian ini. Lihat saja kau akan dapat karmanya"ucap Manda.
Rafka tidak mengerti dengan kemauan dan sikap wanita itu. Untung dia bisa sabar dalam menghadapinya. Kemudian Rafka masuk ke mobilnya. Dia mengendarai mobilnya ke perusahaannya.
Sampai di Perusahaan Alexsandro Group. Rafka langsung masuk ke ruangan kerjanya. Seorang sekretaris masuk ke ruangan kerjanya.
"Pagi Presdir"ucap Gista.
"Pagi"ucap Rafka.
"Ini berkas-berkas yang harus ditanda tangani Anda"ucap Gista.
"Oya, letakkan dimeja"ucap Rafka.
"Baik Presdir"ucap Gista.
Rafka tak sengaja melihat ke muka Gista.
"Gista kenapa pipimu membiru?"tanya Rafka.
"Jatuh ditoilet Presdir"ucap Gista.
"Oh....lain kali hati-hati ya"ucap Rafka.
"Iya, terimakasih Presdir"ucap Gista.
"Ya....,kau boleh kembali ke ruanganmu"ucap Rafka.
"Baik Presdir"ucap Gista.
Gista keluar dari ruangan kerja Rafka.
"Gista dulu saat SMA aku pernah suka padamu. Jadi inget cinta monyet dulu"ucap Rafka.
Dulu semasa duduk di SMA Rafka pernah suka pada Gista tapi Gista tidak menyukainya. Hingga saat kuliah Rafka bertemu Diana. Sejak saat itu Rafka serius menjalin hubungan dengan Diana. Mereka menikah dua tahun setelah lulus kuliah. Tapi setelah dua tahun pernikahan Diana meninggal saat hamil sembilan bulan. Dia meninggal bersama bayi yang dikandungnya. Itu jadi pukulan terbesar dalam hidup Rafka. Kini dia sudah menduda selama dua tahun. Cintanya pada Diana tak kunjung pudar meski sudah menduda. Dia tetap setia pada Diana. Padahal Arian dan Freya beberapa kali coba menjodohkannya dengan anak kenalannya.
Rafka melihat berkas-berkas dimeja kerjanya yang menumpuk sebelum bekerja dia melihat foto Diana yang terpajang dimeja kerjanya.
"Diana aku kerja dulu, semoga kau dan anak kita bahagia disana. Aku selalu merindukanmu"ucap Rafka.
Bagi Rafka, Diana adalah hidupnya. Diana sesosok istri yang baik hati, lemah lembut dan penyayang. Suaranya saat berbicara selalu menyejukkan hati. Senyumannya begitu manis dan tulus membuat Rafka selalu bersemangat. Bersama Diana saat itu adalah hal terindah dalam hidupnya. Meski kini Diana telah pergi namun kenangan itu selalu menemaninya sampai kini.
Diruangan lain Gista sedang duduk membereskan semua berkas yang diberikan dari berbagai divisi. Sebelum diberikan pada Rafka, dia selalu menelitinya dulu agar tak ada yang terlewatkan.
Sahabatnya Rara mengajaknya mengobrol.
"Gista pipimu lebam lagi, apa itu ulah suamimu?" tanya Rara.
"Ee...bukan"ucap Gista.
"Jangan bohong, aku tahu seperti apa suamimu" ucap Rara.
"Suamiku orang yang baik"ucap Gista.
"Udahlah, dari SMA juga aku udah tahu kaya gimana kelakuan Derry"ucap Rara.
"Sebenarnya"ucap Gista.
Pagi itu Jennifer mengantarkan Maximus dan Axel ke pesantren. Mereka bertiga mengendarai mobil pribadi. Maxsimus dan Axel duduk di kursi belakang sedangkan Jenifer duduk di kursi depan. Maximus sibuk dengan handphone di tangannya. Sedangkan Axel sedang mendengarkan lagu kesukaannya.
"Bang, kau sering keringetan. Nih sapu tanganku buat Abang aja," ucap Axel meletakkan sapu tangannya pada kakaknya. Dia punya banyak koleksi sapu tangan. Ada nama dirinya di sapu tangan itu. Dari masih kecil Axel memang menyukai sapu tangan terutama sapu tangan buatan Amanda. Berbeda dengan Maximus yang cuek dengan hal-hal yang seperti itu. Jika keringetan sekalipun Maximus hanya menyekanya dengan pakaian yang dikenakannya.
"Kau sendiri?" tanya Maxsimus saat menerima sapu tangan coklat itu.
"Aku punya banyak Bang, bawa dua," jawab Axel. Tak hanya satu buah sapu tangan, Axel membawa beberapa sapu tangan di dalam tasnya ataupun di dalam saku.
"Oke aku simpan," jawab Maxsimus. Dia memasukkan sapu tangan Axel ke dalam saku pakaiannya. Nanti kalau keringetan baru dipakai untuk menyekanya.
Axel mengangguk.
"Makasih Xel," ucap Maxsimus.
"Oke," jawab Axel. Dia kembali mengenakan headsetnya dan menaikkan volume lagu yang ingin didengarnya. Sedangkan Maxsimus menutup layar handphonenya dan memasukkan handphonenya ke dalam saku. Matanya kini beralih ke kaca mobil untuk melihat pemandangan yang ada di luar. Mobil terus melaju. Melewati jalanan jalanan yang panjang.
"Untung nggak macet, bisa cepet sampai pesantren," ucap Jenifer. Dia sudah dandan totalitas untuk bertemu dengan para Ustadz yang tampan-tampan. Makin tua makin jadi. Tetep ganjen meskipun hanya sekedar menjadi fans mereka.
"Iya Oma," jawab Maxsimus.
Mobil terus melaju. Maximus melihat seorang gadis bercadar menggunakan tongkat di tangan kanannya. Dia hendak berjalan menyeberangi jalan. Membuat mobil yang ditumpangi Maximus ragu untuk menaikkan kecepatan.
"Pak berhenti!" titah Maxsimus.
"Iya Den." Sopir menghentikan mobil itu di tepi jalan.
"Mau apa Max?" tanya Jenifer. Heran kenapa cucunya meminta sopir untuk menghentikan mobil. Padahal masih jauh dari pesantren.
"Sebentar Oma," jawab Maxsimus. Dia belum memberitahu apa tujuannya menghentikan mobil. Ketika pintu mobil terbuka Maxsimus keluar. Sedangkan Jennifer hanya diam dan Axel masih nyaman bersandar di sandaran kursi.
Maximus berjalan menghampiri seorang gadis bercadar itu. Dia tahu gadis bercadar itu ragu-ragu untuk menyeberang jalan.
"Assalamu'alaikum," sapa Maxsimus.
Gadis bercadar itu menoleh ke samping meskipun seperti orang yang tidak menatap secara langsung.
"Oh, sepertinya dia buta," batin Maxsimus. Dia berpikir gadis bercadar itu buta matanya hanya fokus ke depan bahkan tidak berkedip.
"Wa'alaikumsallam," jawabnya.
"Apa Nona ingin menyeberang jalan?" tanya Maxsimus.
Gadis bercadar itu hanya mengangguk.
"Kalau begitu, bolehkah saya menolongmu untuk menyeberang ke sana?" tanya Maxsimus.
Gadis bercadar itu diam sesaat. Seperti memikirkan sesuatu.
"Baiklah, terimakasih sebelumnya," jawabnya. Dia sadar betul kekurangannya. Apalagi kendaraan begitu banyak lulu lalang di jalan raya.
Maximus membantu gadis bercadar itu menyeberang hingga ke tepi jalan yang dia inginkan. Baru sampai di tepi jalan, cadar yang dikenakan gadis buta itu terlepas dan terbawa angin begitu saja. Dia tampak panik dan berusaha mencari keberadaan cadarnya. Seketika Maximus mengeluarkan sapu tangan pemberian Axel dan mengenakan sapu tangan itu pada gadis buta yang kebingungan mencari cadarnya.
"Gak papa, itu bisa menggantikan cadarmu untuk sementara waktu," ucap Maxsimus. Sekejap dia sempat melihat wajah cantik dari gadis buta itu. Ada sedikit perasaan kagum padanya.
"Terimakasih," jawabnya.
"Kalau gitu aku pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucap Maxsimus.
"Wa'alaikumsallam," jawabnya.
Maximus bergegas meninggalkan tempat itu. Menyeberang kembali ke tepi di mana mobilnya parkir. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk kembali bersama Axel.
"Kau ngapain Max?" tanya Jenifer.
"Cuma bantu orang nyeberang Oma," jawab Maxsimus.
Jennifer mengangguk lalu menyuruh kembali supir mengendarai mobilnya. Maximus hanya melihat gadis bercadar itu dari kaca sampai mobil itu melaju semakin jauh dan gadis bercadar itu tak tampak lagi.
Pesantren Al Iman
Jennifer dan kedua cucunya turun dari mobil. Mereka meluruskan pinggang dan melenturkan kedua kaki yang dari tadi ditekuk di dalam mobil. Menatap pesantren yang begitu indah dan megah. Ditambah banyaknya pohon-pohon hijau dan beberapa tanaman yang tampak menyejukkan mata. Terdengar suara-suara lantunan ayat suci yang membuat mereka nyaman dan merasa tenang.
"Alhamdulillah sampai juga," ucap Jenifer.
"Iya Oma, sayangnya Bunda mesti ke restoran, gak jadi mengantar kita," sahut Axel.
"Katanya Bunda akan menyusul kalau urusannya sudah selesai," tambah Maxsimus.
"Ya udah, kan ada Oma. Daddy dan Bundamu ada urusan penting. Gak papakan?" jawab Jenifer.
Mereka berdua mengangguk. Kemudian mulai berjalan bersama Jennifer masuk ke dalam pesantren.
***
"Sayang, apa kau harus hamil lagi? Anak kita sudah banyak. Aku sampai lupa nama dan tanggal lahir mereka," ucap Yuda sambil menggendong dua anak balitanya di depan dan belakang.
"Anak itu pembawa rezeki Sayang. Banyak anak banyak juga rejeki kita," jawabnya.
Akhirnya Yuda menikah dengan seorang perempuan sederhana. Seorang anak dari ketua RT setempat. Namanya Yuna Novita. Perempuan cantik dan bawel.
"Iya sih sayang, tapi anak kita sudah sembilan. Kalau kau hamil lagi jadi sepuluh," jawab Yuda.
Yuna sibuk menyiapkan susu penyubur kandungan. Sedangkan Yuda sibuk menggendong dan mengawasi anak-anaknya yang berdebat, menangis, minta diajarin pelajaran sekolah dan minta diajak main.
"Belum sebelas. Masih bisa nambah dua lagi," jawab Yuna.
"Tapi aku udah tua Sayang," sahut Yuda.
"Gak masalah. Yang penting kita punya uang. Toh anak-anak kita gak nakalkan. Mereka imut dan lucu," jawab Yuna. Padahal rumah udah kaya kapal pecah. Mereka berperang setiap saat.
"Iya sih Sayang, belum roboh ini rumah kita. Berarti baik-baik saja," jawab Yuda. Geleng-geleng. Anak udah sembilan. Dari yang balita, TK, SD sampai SMP. Istrinya masih ingin produksi lagi.
"Iya Sayang. Lagian kalau anak banyak rame kalau jalan-jalan," sahut Yuna.
"Tapi anak kita selalu ada aja yang ilang. Bukannya happy jalan-jalan, pusing jagain mereka Sayang," jawab Yuda.
"Udah gak usah dipikirin. Nanti kita nyari pengasuh lagi," kata Yuna.
"Pengasuh pada resign Sayang gara-gara anak kita kebanyakan. Belum lagi mereka terlalu kreatif," jawab Yuda. Padahal anak-anaknya sangat heboh dan banyak ulah. Sampai-sampai setiap punya pengasuh pasti tak bertahan lama.
"Itu karena mereka butuh healing sayang. Yang penting sekarang kita nambah dua lagi. Biar rumah ini agak rame dikit," jawab Yuna. Agak rame dikit. Udah kaya kapal pecah masih dibilang kurang rame.
Yuda mengangguk.
"Pikirkan kalau anak banyak berarti banyak yang doain nantinya. Selain itu saat kita tua banyak yang ngurus," tambah Yuna.
Yuda hanya mengangguk. Nasib-nasib, sekalinya nikah punya anak banyak. Alhamdulillah disyukurin meskipun tidak mudah.
Aisyah meninggalkan kontrakan yang beberapa hari ini ditempatinya di Jakarta. Dia membawa tas miliknya berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke halte yang berada di tepi jalan raya. Tak lama sebuah bus jurusan Jakarta-Bandung berhenti di depannya. Aisyah menaiki bus itu. Dia duduk di kursi tengah. Kebetulan kursinya kosong hanya Aisyah yang duduk di kursi itu. Tatapan wajahnya sendu. Semalam dia sempat menangis memikirkan masalahnya. Aisyah membuang muka ke arah kaca bus. Mengalihkan pikirannya pada pemandangan yang ada di luar kaca.
Aisyah sudah bertekad untuk meninggalkan kota Jakarta. Dia tidak ingin mengingat apapun yang berhubungan dengan Maxsimus. Aisyah bertekad untuk melupakannya dan mengubur dalam-dalam semua rasa yang pernah disimpannya selama ini untuk laki-laki berambut gondrong itu. Kisah cinta yang disimpannya dari pertama mereka bertemu di tepi jalan raya sampai saat ini harus dihapus Aisyah dan membiarkan semua menghilang tak pernah kembali apalagi berada di tempat yang sama.
"Maxsimus, apa kita memang tidak berjodoh? Apa pertemuan itu tidak berarti untukmu? Apa hanya aku yang merasakan cinta ini sendirian?" batin Aisyah. Apa mungkin selama ini Aisyah terlalu percaya diri sampai dia lupa kalau Maxsimus bisa saja mencintai oranglain.
Aisyah mencoba untuk berdamai pada dirinya sendiri. Meskipun berat tapi dia harus berusaha melakukan itu agar bisa melangkah ke depan. Tanpa harus mengingat luka itu lagi.
"Ya Allah aku sedang berusaha ikhlas. Meski rasanya menyakitkan," batin Aisyah. Impiannya untuk bisa melihat lagi adalah ingin bertemu dengan Maxsimus. Kini tak ada lagi alasan untuk pergi ke Jakarta. Dia sudah melihat semuanya. Maxsimus dan orang yang kini dicintainya. Bukan Aisyah tapi Elyana.
Aisyah menyandarkan kepalanya di kursi. Berusaha untuk menenangkan diri sambil berzikir dan berdoa. Semua yang ada di dunia ini milik Allah subhanallahu wa ta'ala. Aisyah harus ikhlas jika Allah ingin mengambilnya kembali.
Di sisi lain, Axel baru saja sampai di kontrakan Aisyah. Dia memarkirkan motornya tepat di depan kontrakan wanita bercadar itu. Sepagi itu Axel datang ke kontrakan. Padahal dia memiliki jadwal podcast dengan temannya di salah satu channel YouTube. Axel terpaksa meng-cancelnya terlebih dahulu demi bertemu dengan Aisyah.
"Semoga Aisyah mau diajak ngomong," ucap Axel. Dia berharap wanita bercadar itu mau diajak bicara olehnya. Kemarin Axel membiarkan Aisyah menenangkan dirinya agar Aisyah bisa berpikir dengan jernih. Pasti butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Aisyah pasti sangat kecewa atas identitas yang selama ini tidak sesuai yang diyakininya. Axel sudah menjadi tameng untuk Maxsimus lama bertahun-tahun sehingga Aisyah tidak tahu ternyata laki-laki yang dicintainya itu adalah Maxsimus bukan Axel.
Tok! Tok! Tok!
Axel mengetuk pintu itu tiga kali. Sambil mengucapkan salam. Namun tak ada jawaban dari dalam. Sampai dia menunggu beberapa saat di tempat itu. Untung saja pengurus kontrakan datang menghampirinya.
"Den Axel!" ucapnya. Laki-laki itu tampak senang bisa bertemu pemilik kontrakan yang jarang datang ke tempat itu. Apalagi menampakkan batang hidungnya sebagai pemilik kontrakan ribuan pintu yang kini diserahkan tanggungjawabnya pada dirinya.
"Pak Nurdin," sahut Axel pada laki-laki yang mengenakan sarung dan peci. Namanya Nurdin, orang yang dipercaya Axel untuk mengurus kontrakan. Dialah yang memegang kunci kontrakan dan mengurus apapun yang berhubungan dengan keamanan, kenyamanan, dan tata tertib di tempat itu. Axel terlalu sibuk untuk mengurus semua itu. Dia sudah sibuk dengan jadwal manggung on air maupun off air. Belum pagi menjadi bintang tamu, model, artis film atau sinetron yang terkadang dilakukannya.
"Den Axel mau mencari siapa?" tanya Nurdin. Dia tahu Axel sedang mendekati wanita bercadar yang belum lama ini tinggal di kontrakan itu.
"Aisyah yang tinggal di sini," jawab Axel. Tentu Nurdin pasti tahu karena Axel pernah menyuruhnya untuk mempersiapkan kontrakan untuk Aisyah. Lagi pula Aisyah adalah penghuni kontrakan spesial yang dititipkan Axel pada Nurdin.
"Non Aisyah baru saja keluar dari kontrakan. Dia memberikan kuncinya pada saya. Katanya Non Aisyah mau pulang ke Bandung," jawab Nurdin menjelaskan pada Axel tentang kepergian Aisyah. Sebelum pergi Aisyah memberikan kunci kontrakannya pada Nurdin selaku pengurus kontrakan itu.
"Ke Bandung?" Axel terkejut mendengar penjelasan dari Nurdin. Dia tidak menyangka Aisyah akan pergi meninggalkan Jakarta karena masalah itu. Padahal Axel baru saja ingin berbicara dengan Aisyah dan meyakinkan wanita bercadar itu untuk menerima cintanya. Dan mau menjadi calon istrinya.
"Iya Den, memang gak bilang ke Aden?" tanya Nurdin. Seharusnya Axel tahu. Dialah yang membawa Axel ke tempat itu.
Axel menggeleng. Aisyah tidak memberitahu apa-apa padanya. Bahkan Axel coba menelpon dan chat padanya tapi handphonenya tidak aktif. Seakan Aisyah sengaja membiarkan orang lain tidak perhatian dan peduli padanya. Dia ingin sendiri dan menenangkan pikirannya dari apapun.
"Jam berapa dia pergi Pak?" tanya Axel. Dia ingin tahu jam berapa Aisyah meninggalkan tempat itu. Mungkin Axel masih punya waktu untuk menyusul atau membawa Aisyah kembali.
"Barusan, lima belas menit lalu," jawab Nurdin. Belum lama Aiayah pergi. Sebelum Axel datang.
Axel langsung berpamitan pada Nurdin dan mengucapkan salam. Dia bergegas mengenakan helmnya kembali lalu naik ke motornya. Axel mengendarai motornya meninggalkan kontrakan. Dia harus menyusul Aisyah dan membawanya kembali. Kali ini Axel tidak bisa tinggal diam. Ada seseorang yang harus diperjuangkannya.
"Aisyah kenapa harus pergi? Aku tahu kau mencintai Maxsimus tapi kau juga berhak bahagia bukannya membiarkan dirimu hanyut dalam duka," batin Axel sambil mengendarai motornya di jalan raya. Dia tidak tahu harus ke mana mencari Aisyah. Mungkin naik bus atau kendaraan lainnya. Yang ada di pikirannya adalah pergi ke Bandung yang entah di mana tempatnya.
"Aku harus mencarimu kemana Aisyah? Aku ingin kita belajar bersama. Aku belajar untuk setia dan kau belajar melupakan Maxsimus," batin Axel lagi. Dia berharap bisa menemukan Aisyah. Axel tidak ingin menyesal. Aisyah wanita yang pantas diperjuangkan. Dia baik dan sholeha.
Di dalam bus Aisyah hanya diam dan tampak lemas. Dari tadi berusaha sarapan tapi tidak ada yang bisa masuk ke perutnya. Aisyah hanya diam mendengarkan beberapa orang berbicara dan keramaian yang ada di dalam bus itu. Pedagang asongan silih berganti naik turun bus, begitupun dengan pengamen dan penumpang yang hanya naik ke pemberhentian berikutnya.
"Assalamu'alaikum. Selamat pagi bapak-bapak dan ibu-ibu." Terdengar suara seseorang menyapa penumpang bus jurusan Jakarta-Bandung. Orang-orang itu fokus melihat ke arah laki-laki yang berdiri di tengah lorong. Sedangkan Aisyah hanya diam melihat ke arah kaca bus. Dia tidak menyadari ada orang di tengah lorong bus itu.
"Wassalamu'alaikum." Semua orang menjawab. Meskipun mereka kembali acuh dan cuek. Orang itu dianggap pengamen seperti biasanya.
"Pagi!" sapa Axel kembali biar suasana lebih hangat dan bersahabat.
"Pagi!" jawab semuanya.
Sorak orang-orang menjawab salam dan sapaan dari laki-laki yang ada di tengah lorong bus. Mereka tidak tahu kenapa laki-laki di tengah lorong bus itu berdiri dan memegang gitar di tangannya. Dia tampak misterius dan aneh.
"Pagi ini saya akan bernyanyi untuk kalian semua. Khususnya Nona cantik itu." Laki-laki mengenakan topi dan masker itu menujuk ke arah Aisyah yang duduk dan diam bahkan pandangannya hanya ke arah kaca bus. Aisyah tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang itu. Pikirannya ada di tempat lain. Meskipun tubuhnya ada di tempat itu.
Para penumpang masih tampak cuek dan tidak memperdulikan orang itu karena dianggap pengamen seperti biasanya yang naik ke dalam bus.
"Mau lagu apa?" tanyanya. Dia ingin tahu lagu apa yang diinginkan penumpang. Setiap orang beda pendapat. Namun kebanyakan suka hal yang sama.
"Lagu Cinda Dan Rindu dari Leo Band!" Seseorang menjawab. Leo Band group band ternama di Indonesia. Itu sebabnya mereka suka lagu-lagu hit milik mereka. Lagu-lagu yang menggambarkan suasana hati seseorang. Baik yang jatuh cinta sampai patah hati.
"Iya!" Yang lainnya setuju. Mereka juga ingin mendengarkan lagu Cinta Dan Rindu dari Leo Band. Lagu yang sedang populer di kalangan pemuda.
Orang itu langsung bernyanyi dan membawakan lagu Cinta Dan Rindu dari Leo Band. Lagu itu begitu mendalam dan menggambarkan betapa indahnya Cinta Dan Rindu seseorang pada kekasihnya. Sampai para penumpang baper mendengarkan lagu itu. Mereka merasa mendengarkan lagu Cinta Dan Rindu live di tempat itu. Mereka ikut hanyut dan fokus pada orang yang menyanyikannya. Padahal tadi mereka sempat cuek.
"Terimakasih," ucapnya.
Semua orang di dalam bus itu bertepuk tangan kecuali Aisyah yang masih terdiam dan menatap ke arah kaca bus. Mereka merasa terhibur dengan lagu yang dibawakan orang itu. Kemudian orang itu berjalan menuju kursi yang diduduki Aisyah karena tidak ada kursi kosong lainnya di dalam bus. Dia duduk tepat di samping Aisyah.
"Kalau patah hati obatnya cinta. Bukan air mata," bisiknya.
Aisyah tidak menggubris dengan apa yang dikatakan orang itu. Dia tetap terdiam dan mengacuhkannya.
"Mau kemana?" tanyanya.
Aisyah tetap diam. Suasana hatinya sedang tidak nyaman dia butuh untuk sendiri.
"Bandung kayanya tempat yang indah untuk menenangkan diri dan bertemu pangeran lainnya."
Aisyah menarik nafas panjangnya dan menghembuskan perlahan. Dia merasa terganggu dengan laki-laki yang mengajaknya bicara dari tadi.
"Assalamu'alaikum," sapa Aisyah pada laki-laki yang mengenakan topi dan masker itu.
"Wa'alaikumsallam," sahutnya.
"Maaf Mas, saya sedang tidak ingin mengobrol. Nanti kalau tidak saya jawab Masnya kecewa," ucap Aisyah.
"Gak papa, saya hanya ingin mengajak bicara. Terserah Nona ingin menjawab atau tidak," balasnya.
Aisyah memutar bola matanya kemudian kembali menoleh ke arah kaca bus. Membiarkan orang itu berbicara sendiri sepanjang perjalanannya ke Bandung.
Beberapa jam kemudian sampai di Bandung. Aisyah turun dari bus begitupun orang itu. Dia terus membuntuti Aisyah. Membuat wanita bercadar itu merasa diteror. Di bus ngomong terus padahal Aisyah tidak menjawab. Dia terus bercerita ke sana ke mari seperti orang yang sedang mendongeng.
"Mas ngapain ngikutin aku?" tanya Aisyah. Dia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang.
Orang itu maju ke depan sejajar dengan Aisyah.
"Aku ingin pergi ke rumah teman," jawabnya.
"Tapi gak usah ngikutin saya juga kali Mas," sahut Aisyah.
"Ah Mbak cantik aja yang kepedean. Rumah teman sayakan didaerah sini," balasnya.
Aisyah malas berdebat laki-laki itu dari tadi pintar mencari alasan dan terus membuntutinya seperti ekor. Dia memilih melangkahkan kembali kakinya ke depan. Membiarkan orang itu terus membuntutinya. Kaki Aisyah melangkah lebih cepat dari orang itu. Dia merasa dirinya dibuntuti terus membuat dia merasa tidak aman.
"Aku harus segera sampai ke rumah Rahma," batin Aisyah. Dia melangkahkan kakinya lebih cepat menuju rumah sahabatnya yang kebetulan ada di tepi jalan. Rahma Azizah sahabatnya saat di pesantren dulu. sebelum ke Jakarta Aisyah sempat tinggal bersama Rahma di Bandung. Rahma menjadi sahabat satu-satunya Aisyah yang sangat mengerti dirinya.
Aisyah bergegas menghampiri rumah Rahma dan mengetuk pintunya lebih intens. Tak lupa mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsallam. Aisyah," sahut Rahma. Tampak senang melihat Aisyah datang.
Aisyah langsung menarik tangan Rahma masuk ke dalam rumah dan menutup pintu itu. Seolah dia ketakutan dengan laki-laki yang dari tadi mengikutinya.
"Kamu kenapa sih Aisyah?" tanya Rahma.
Aisyah mengatur nafasnya yang sempat ngos-ngosan karena berjalan dengan cepat. Dia berusaha menenangkan dirinya.
"Ada orang yang ngikutin aku dari bus sampai tempat ini," jawab Aisyah.
"Masa sih? Ku lihat kau datang sendiri," sahut Rahma. Dia tidak melihat ada seseorang yang mengikuti Aisyah dari belakang.
"Tadi dia ngikutin aku. Beneran Rahma!" jawab Aisyah.
Rahma yang tidak percaya dengan ucapan Aisyah langsung membuka gorden yang ada di ruang tamu dan memperlihatkan pada Aisyah kalau di luar tidak ada siapapun.
"Tuh! Gak adakan?" ucap Rahma.
Aisyah mendekat dan melihat ke arah luar. Tidak ada satu orang pun yang ada di luar rumah Rahma.
"Tadi dia ngikutin aku," ucap Aisyah. Heran melihat di luar tidak ada siapapun padahal Aisyah ingat betul laki-laki tadi mengikutinya.
"Ya udah sekarang kau minum dulu dan makan! Baru kita ngobrol lagi," ucap Rahma.
Aisyah mengangguk. Kemudian bersama Rahma masuk ke ruang makan dan melupakan laki-laki yang tadi mengikutinya.
Di luar, Axel duduk di atas dahan pohon mangga. Dia langsung naik ke atas pohon saat Aisyah masuk ke dalam rumah.
"Demi wanita yang bernama Aisyah aku harus naik pohon mangga," batin Axel.
Kriiing ... kriiing ... kriiing ...
Bunyi handphone milik Axel berdering. Membuat laki-laki tampan itu mengeluarkan handphone miliknya dan melihat panggilan dari Jennifer.
"Sial, Oma udah mengabsen lagi. Mati aku kalau gak bisa bawa Aisyah," batin Axel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!