Jazira menutup mulutnya tak percaya ketika dirinya baru saja membuka pintu apartemen milik sang ayah. Air matanya luruh seketika disertai tubuhnya yang limbung sehingga dirinya jatuh ke lantai.
Bagaimana dia tak terkejut, jika dirinya melihat sang ayah yang sudah terkapar tak bernyawa dengan luka tembak yang berada di kepalanya. Nafas gadis itu terdengar tak beraturan dibarengi dengan air mata yang semakin deras mengalir dikedua pipinya.
Jazira pun berdiri dari jatuhnya dan berjalan memasuki apartemen sang ayah dengan badan yang gemetar hebat. Langkah demi langkah, Jazira lalui sembari memegang erat pegangan pintu serta apapun yang dapat menumpu berat badannya.
Jazira semakin terkejut ketika melihat ibu tiri serta kakak tirinya yang sudah meninggal dengan luka tembak yang persis seperti milik sang ayah. Sontak gadis cantik tersebut menekuk kedua lututnya di sebelah jenazah sang ayah.
"Ayah ... Ayah bangun! Jangan tinggalin Zizi sendiri!" teriak Jazira dengan suara seraknya sambil memangku kepala sang ayah yang sudah dilumuri banyak darah dengan mata yang masih terbuka.
Jazira pun menutup kedua mata sang ayah dengan tangan kanannya yang masih bergetar. Dia juga melakukan hal yang sama kepada jenazah sang ibu dan kakak tirinya. Gelengan kepala serta tangisnya menggambarkan betapa malang nasib dirinya.
"Itu dia gadis yang kita cari!" teriak seseorang di belakang Jazira yang langsung membuat Jazira membalikkan tubuhnya. Betapa terkejutnya Jazira ketika melihat 5 orang bertubuh besar yang keluar dari kamar kedua orang tuanya.
"Kalian berdua kejar gadis itu, dan kalian berdua urus bangkai mereka bertiga!" perintah seorang laki-laki dengan kacamata hitam yang langsung membuat Jazira berdiri dari duduknya.
Sontak Jazira pun langsung menyambar tasnya dan keluar dari apartemen sang ayah dengan langkah cepatnya. Dia berlari sekuat tenaga menuju lift yang berada di ujung koridor. Sesekali, Jazira menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat dua orang laki-laki bertubuh besar yang terus mengejarnya.
Tubuh mungil Jazira mengeluarkan keringat yang terus menetes. Jazira takut bahwa dirinya akan ditangkap oleh mereka dan akan dibunuh seperti halnya kedua orang tuanya serta kakak tirinya yang kini telah tak bernyawa.
Jazira panik karena pintu liftnya masih tertutup. Dengan gerakan cepat, dia menekan tombol buka di lift tersebut berulang-ulang kali, berharap agar pintu liftnya cepat terbuka. Jantungnya berkerja dua kali lebih cepat ketika melihat para penjahat tersebut sudah sangat dekat dengannya.
Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan bagi Jazira. Pintu lift tersebut terbuka, entah setelah berapa kali dia menekan tombolnya. Dengan segera, Jazira masuk ke dalam lift tersebut. Tangannya langsung menekan tombol tutup, karena melihat dua orang laki-laki bertubuh besar itu hampir memasuki lift.
Hingga...
Tiga
Dua
Tinggg...
Kurang satu detik saja, kedua orang pria itu pasti sudah menangkap Jazira. Lalu, entahlah apa yang akan terjadi pada hidupnya. Jazira yang merasa sedikit lega pun menjatuhkan tubuhnya di lantai lift dan mengambil nafas banyak-banyak. Dia sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup dan lolos dari dua orang tersebut.
Jazira pun memeluk tubuhnya erat dan menangis jadi-jadinya. Dia memastikan agar pintu lift tak terbuka di pintu lift di lantai berikutnya. Dirinya sangat ketakutan sehingga tubuhnya bergetar hebat. Mengapa semua ini harus terjadi pada dirinya dan keluarganya? Pikir gadis yang tengah menangis itu.
Tak lama setelah itu, pintu lift pun terbuka. Gadis yang tadi masih menangis itu pun mendongakkan kepalanya dan segera menghapus air matanya. Gadis sebatang kara itu mulai bangkit dari duduknya.
Dengan cepat, Jazira pun melongokkan kepalanya dan melihat apakah dua orang tersebut sudah ada di bawah atau masih di atas. Ketika tak melihat dua orang tersebut muncul, Jazira pun keluar dari lift dengan hati-hati.
Sambil berjalan, Jazira terus menatap ke belakang memastikan agar dua orang tersebut tidak mengikutinya lagi. Namun, lagi-lagi Jazira terkejut bukan main ketika melihat dua orang tadi turun dari tangga dan melotot ke arahnya.
Sontak Jazira pun berteriak dan langsung berlari sekuat tenaganya untuk keluar dari basement apartemen. Jazira masih terus berlari dengan sisa tenaganya, mengabaikan tatapan orang-orang yang melihatnya aneh.
Nafas Jazira terengah-engah dan dia merasakan bahwa kakinya tak mampu lagi untuk berlari. Dia menatap belakang dan melihat dua orang tersebut masih semangat mengejarnya dengan tatapan membunuh.
Kesempatan terakhir yang dimiliki Jazira adalah memasuki gang kecil yang berada di sampingnya. Lalu setelah itu, Jazira pun bersembunyi di dalam tong sampah berukuran besar yang berada di gang kecil tersebut.
Di dalam tong sampah, Jazira masih terus berdoa dan mengutup mulutnya rapat-rapat. Dia masih menangis tanpa mengeluarkan suara ketika mendengarkan derapan langkah kaki yang mendekat ke arah tong sampah yang menjadi tempat persembunyiannya.
"Sial! Kita kehilangan jejak gadis itu! Pasti bos akan marah besar kepada kita berdua!" teriak salah satu diantara keduannya dari luar sana yang membuat Jazira semakin menutup mulutnya rapat-rapat.
Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Jazira selain berdoa dan mencoba untuk pasrah. Jika dia memang ditakdirkan untuk mati terbunuh, maka dia akan ikhlas.
Jazira tak mengerti apakah dua orang tersebut sudah pergi dari tempat itu atau belum. Hati Jazira berdegup semakin kencang ketika mendengar langkah kaki seseorang mendekat padanya. Jazira pun semakin menahan nafasnya, hingga dia merasakan seseorang membuka tutup tong sampahnya.
Udara luar langsung berbondong-bondong memasuki tong yang ditempati oleh Jazira. Pertanda ada yang membukanya dari luar. Jazira pun langsung membelalakkan matanya dan berteriak histeris.
"Aaaaa! Tolong jangan sakiti aku! Aku mohon ... aku mohon!" teriak Jazira sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan mukanya sembari menutup matanya. Jazira benar-benar ketakutan, sehingga dirinya tak sadar dengan apa yang dilakukan olehnya.
Karena tak segera mendapat sahutan, Jazira pun membuka satu matanya dan bernapas lega.
"Apakah kau akan memanggil mereka untuk kembali, Nak? Kecilkan suaramu itu, jika kau tak ingin membuat mereka kembali dan segera menangkapmu," ujar lelaki yang Jazira pikir sudah berusia 40 tahunan itu. Jazira pun langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia masih berpikir, apakah orang tersebut masih komplotan pembunuh kedua orang tuanya.
"Apakah Paman teman mereka?" tanya Jazira lirih sambil menatap takut kepada laki-laki yang terus menatapnya.
"Ya! Aku teman baik mereka. Mengapa kau bertanya seperti itu? Apakah kau mau aku mengantarkanmu untuk bertemu mereka?" ucap lelaki tersebut sambil tersenyum miring. Jazira langsung membelalakkan matanya dan bergegas keluar dari tong sampah tersebut.
"Mengapa Paman tak mengatakannya? Jika kau mengatakannya sedari tadi, pasti Zizi akan segera berlari. Zizi pamit dulu ya, Paman? Sampai bertemu kembali Paman!" pekik Jazira random sebelum berlari ketakutan meninggalkan laki-laki tersebut.
Laki-laki tadi pun tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Jazira. 'Gadis yang sangat lucu'. Batinnya dalam hati sambil menggelengkan kepalanya.
Lantas dia pun mengambil ponselnya dan menghubungi atasannya. sembari menatap Jazira yang masih terus berlari menjauhinya.
"Tuan, aku sudah menemukan gadis yang tepat untuk rencanamu," ucap laki-laki tersebut kepada sang atasan. Dia tersenyum mendengar pertanyaan dari sang atasan melalui ponsel genggamnya.
"Tidak, Tuan. Dia gadis yang polos. Dia juga sangat lucu. Aku yakin bahwa dia tak akan berbuat macam-macam selama rencana Tuan berjalan," imbuh lelaki itu yang tengah meyakinkan sang atasan dengan pilihannya.
Setelah mendengar jawaban sang atasan, lelaki itu pun langsung menutup panggilannya dan berjalan kembali ke mobilnya. Dia mulai menjalankan mobilnya untuk kembali ke rumah sang atasan.
Sedangkan Jazira, dia masih berlari sembari sesekali menoleh kebelakang. Dia tak sadar ketika di depannya sudah berdiri dua orang bertubuh besar yang tadi mengejarnya.
...• Jangan Lupa Bersyukur •...
Jazira masih berlari sambil menatap kebelakang. Dia masih belum menyadari bahwa dirinya semakin mendekat kepada dua orang yang tadi mengejarnya.
Hingga ketika dia menolehkan kepalanya kembali ke depan, betapa terkejutnya dia karena melihat dua orang berkepala plontos tadi telah berdiri di depannya.
Terlambat, Jazira sudah dibawa oleh kedua orang tadi. Jazira berusaha berteriak untuk meminta bantuan. Namun, hal tersebut gagal karena satu orang lagi membekap mulut Jazira dengan sapu tangan yang Jazira yakin telah diberi obat bius.
Perlahan namun pasti, pengelihatan Jazira mulai memburam. Pengelihatan gadis itu semakin memburan hingga akhirnya, sebuah kilatan putih menyapa pengelihatannya dan seketika semua menjadi gelap. Dalam pingsannya, Jazira masih mengeluarkan air matanya.
Dua orang tersebut membawa Jazira kembali ke mobil jeep berwarna hitam yang terparkir di depan apartemen. Dengan cepat, lima laki-laki yang telah membunuh keluarga Jazira itu membawa gadis yang tengah tak sadarkan diri pergi dari lingkungan apartemen tersebut.
Tak lama setelah kepergian mereka, seseorang yang tadi membuat Jazira berlari pun menghubungi bawahannya karena melihat tragedi penculikan itu. Bukan dirinya bod*h, dia tahu siapa komplotan yang menculik gadis yang dia temui tadi.
"Segera ikuti mobil jeep yang keluar dari apartemen X! Aku akan segera menyusul setelah kau menemukan mereka," titah lelaki berpakaian formal yang tengah menancap pedal gas mobilnya, lalu menutup panggilannya.
...***...
Perlahan, Jazira mulai mengerjapkan matanya beberapa kali. Pada awalnya semua terlihat kabur dan Jazira tak dapat melihat dengan jelas lingkungan sekitarnya. Mata Jazira tiba-tiba terbuka lebar ketika mendengar suara tawa yang menggema di ruangan gelap tersebut.
Jazira mencoba untuk berteriak namun tak bisa karena ada sapu tangan yang menyumpal mulutnya. Jazira hanya bisa menangis dan mencoba menggerakkan tangan serta kakinya. Namun, nihil dia tak dapat bergerak sama sekali selain berteriak dan tangis yang semakin deras.
"Lihatlah, anak dari pria brengs*k itu sudah bangun! Cepat siapkan semua peralatannya!" tegas seorang lelaki yang sudah berumur itu sambil berjalan mendekati Jazira. Jazira masih menangis dan berteriak tidak jelas karena sapu tangan di mulutnya.
Jazira terbelalak ketika melihat puluhan pisau yang terlihat sangat tajam itu berjejer rapi di sebuah papan berdiri. Dia juga menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat pria itu mengelus dan memeluk pistol berwarna hitam yang membuat Jazira begitu ketakutan.
Jazira pun mencoba untuk memohon kepada lelaki itu walaupun dia yakin jika orang tersebut tak mengerti maksud dari ucapannya.
"Apakah kau ingin mengatakan sesuatu sebelum menyusul Ayahmu, hah?!" bentak lelaki tersebut yang membuat Jazira terperanjat. Namun, detik berikutnya Jazira pun menganggukkan kepalanya antusias.
Laki-laki itu pun memajukan tangannya dan langsung menarik sapu tangan tersebut dari mulut Jazira dengan kasar. Jazira sedikit meringis ketika tarikan kasar lelaki itu menyakiti sebagian mulutnya.
"Paman jangan bunuh Zizi! Zizi tidak bersalah sama sekali!" mohon Jazira sambil menangis dengan suara yang parau ketika mulutnya telah terbuka. Jazira menggelengkan kepalanya berharap agar lelaki itu tak membunuhnya.
"Apakah kau tak tahu? Bahwa Ayahmu telah merebut istri dan anakku?! Aku sudah cukup bersabar untuk itu, tapi dia semakin melunjak dengan mejadikan anakku sebagai ancaman!" ujar laki-laki berpakaian formal itu dengan nada emosinya.
Jazira menangkap raut kekecewaan dari lelaki tersebut, terlihat dari air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya dan mungkin saja akan terjun bebas membasahi pipinya yang mulai dihinggapi oleh kerutan alami di wajah tegasnya.
"Zizi tahu akan hal itu! Zizi pun setuju dengan penyalahan Paman tentang Ayah. Paman mungkin berpikir jika istri dan anak Paman memiliki sifat yang baik, tapi itu semua salah! Istri serta anak Paman, bagaikan wanita jelmaan iblis!" jawab Jazira dengan teriakan seraknya yang membuat sang lelaki dengan pistol di tangannya itu sedikit terkejut.
"Paman tak tahu bukan? Semenjak kehadiran istri serta anak Paman di rumah Zizi, mulai saat itulah hidup Zizi menderita! Paman tahu? Zizi hanya makan sehari sekali, itu pun dengan nasi sisa makan mereka!" sambung Jazira masih dengan tangisnya kala mengingat keadaannya beberapa bulan yang lalu.
"Mereka tak membiarkan Zizi untuk istirahat walau hanya sebentar. Mereka akan memukul Zizi dengan rotan jika Zizi tak menuruti kemauan mereka! Paman bisa lihat bekas pukulan-pukulan mereka di kaki dan tangan Zizi!" jelas Jazira sambil menundukkan kepalanya.
"Apakah Paman berpikir, bagaimana kehidupan Zizi? Apakah Paman pikir, Zizi hidup enak dan bisa berdamai dengan anak Paman? Tidak, Paman! Bahkan mereka memperlakukan ku seperti layaknya binatang!" bentak Jazira sambil menegakkan kepalanya.
"Ketika mereka kekurangan uang, sempat mereka ingin menjual Zizi ke teman bisnis Ayah. Bagaimana perasaan Paman jika Paman berada diposisi Zizi?" tanya Jazira sambil menatap tajam mata laki-laki tersebut.
"Paman lihat, darah yang mengering di hidung Zizi ini atas perbuatan siapa? Ini adalah ulah anak Paman! Dia marah dengan Zizi karena Zizi salah mengerjakan tugas kuliahnya. Dia memukul muka Zizi dengan papan," imbuh Jazira lalu kembali menangis.
"Hal itu pantas kau dapatkan, karena kau sangat bodoh! Hanya mengerjakan soal mudah saja kau tak mampu!" bentak lelaki itu sambil menunjuk Jazira dengan jari telunjuknya.
"Dan semenjak kedatangan istri serta anak Paman kerumah Ayah, sejak saat itulah Zizi telah kehilangan sosok Ayah. Ayah yang dulu selalu menyayangi Zizi kecilnya dan selalu memanjakannya, seketika hilang, entah kemana," imbuh Jazira lagi dengan nada lirihnya.
"Paman tak pernah merasakan berada di posisi Zizi bukan?! Apakah Zizi masih bersalah dalam hal ini, hah?! Jika Paman masih menganggap Zizi bersalah, cepat katakan apa salah Zizi!" teriak Jazira dengan meninggikan nada suaranya yang membuat semua orang terkejut.
Jazira menatap satu-persatu orang yang berada di ruangan tersebut.
"CEPAT KATAKAN!" teriak Jazira karena dirinya telah lelah. Tanpa berpikir lama, seorang lelaki mengarahkan pistol ke arah Jazira dan...
DORR!
Mata Jazira membesar seketika dan tak lama setelah itu dia hanya menangis. Untungnya, Jazira langsung peka dan memalingkan mukanya sehingga peluru tersebut melukai bahu sebelah kanannya.
DORR...
DORR...
DORR...
Tembakan peluru membrutal terdengar di telinga Jazira, yang berasal dari luar ruangan tersebut. Dengan setengah sadar, Jazira sempat melihat pria yang tadi dia temui di gang sempit di dekat apartemen ayahnya.
Terjadi baku tembak antara dua beberapa orang yang berada di ruangan gelap itu. Sang lelaki yang tadi berbincang dengan Jazira pun mengangkat tubuh mungil milik Jazira yang telah mengeluarkan banyak darah di bahu sebelah kanannya. Dengan lihai, dia berjalan melewati celah-celah berbahaya ketika anak buahnya tengah menembak.
Setelah berhasil membawa pergi Jazira dari tempat itu, lelaki itu pun memasukkan Jazira ke mobilnya dan membawa Jazira ke rumah sakit.
Sementara ditempat lain, seorang pemuda berwajah tampan yang sedang menandatangani beberapa berkas pun melirik ke Hp nya yang berdering. Tangan kekarnya yang terbalut jas mewah itu terulur untuk mengambil ponselnya.
"Ada apa, Jo? Mengapa kau meneleponku dijam seperti ini?" tanya lelaki tersebut dengan nada datarnya sambil meneruskan untuk menandatangani berkas-berkas yang lain.
"Nona Jazira terkena luka tembak di bahu sebelah kanannya. Kami sedang menuju perjalanan ke rumah sakit untuk mengobatinya." ucap Johan memberi kabar kepada sang atasan sambil menatap spion untuk memantau Jazira yang masih setia menutup mata.
"Apakah itu terdengar penting untukku?" ujar lelaki tersebut dengan nada dinginnya, sambil mengalihkan pandangannya menuju pintu tinggi yang berada di depannya.
Johan yang mendengar jawaban dari sang atasan pun mendadak terkejut. 'Apakah ini tidak penting baginya?' Batin Johan dalam hatinya.
"Ba ... baiklah tuan muda, saya putuskan dahulu panggilannya," ucap Johan dengan nada yang sedikit terintimidasi oleh suara dingin sang atasan.
"Aku tak peduli!" desis lelaki yang duduk di balik meja kerja mahalnya, lalu mematikan panggilannya secara sepihak.
...• Jangan Lupa Bersyukur •...
Johan dan anak buahnya yang baru saja tiba di rumah sakit pun segera memanggil para perawat untuk segera membawa Jazira masuk. Johan berjalan mendekati resepsionis rumah sakit dan mengatakan identitas Jazira.
"Berikan perawatan terbaik untuk calon Nona Muda Alexander!" Ucap Johan sambil menyerahkan kartu kredit kepada seorang resepsionis yang hanya menundukkan kepalanya.
Setelah memngambil kartu kreditnya kembali, Johan pun segera berjalan menuju ruang UGD yang berada di rumah sakit tersebut. Johan duduk di bangku yang berada di depan ruangan tersebut.
Johan pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kembali Tuan Mudanya. Selalu dan selalu, Johan harus mendial nomor sang atasan berkali-kali terlebih dahulu sebelum Albirru menjawab panggilannya.
"Berita tidak penting apa lagi yang akan kau berikan padaku Jo?!" Bentak Albirru ketika pertama kali setelah mengangkat panggilan sang asisten.
"Tuan Muda, bisakah kau datang ke rumah sakit kota sekarang? Kau bisa sekalian memastikan, apakah wanita tersebut sesuai kriteriamu atau bukan. Hanya sebentar saja, kau hanya perlu meluangkan waktu 5 menit saja." Ucap Johan dengan perasaan was-was kepada sang atasan.
"Tidak bisa, aku sedang sibuk!" Ucap Albirru lalu mematikan panggilannya lagi secara sepihak. Johan hanya bisa menghela nafasnya sambil mengelus dadanya.
"Mengapa anak mu memiliki sifat yang sangat berbeda dengan mu, sahabatku." Ucap Johan bertanya pada seseorang yang sudah meninggal dunia itu. Ya, ayah Albirru adalah atasannya dahulu. Dia memutuskan untuk tetap mengabdikan hidupnya kepada anak sang sahabat.
Setelah satu setengah jam lamanya Johan duduk di bangku tersebut, seorang dokter keluar dari ruangan UGD yang ditempati oleh Jazira. Johan pun berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati seorang dokter yang sedang melipat stetoskop nya.
"Bagimana keadaan pasien yang sedang berada di dalam, dok?" Ucap Johan dengan sopan sambil menatap sang dokter. Sang dokter pun tersenyum dan mengangguk kan kepalanya.
"Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar dan satu buah peluru berhasil keluar dari bahu kanan milik korban. Korban akan dipindahkan ke ruang rawat dan mohon untuk segera melunasi administrasi terlebih dahulu. Saya permisi dulu, Pak. Mari." Ucap sang dokter sambil menganggukkan kepalanya dan berjalan menjauhi Johan.
Tak lama setelah itu, keluar empat orang perawat dari UGD dan berjalan mendorong brankar Jazira menuju ruang rawat. Johan pun berjalan mengikuti mereka dari belakang dan segera masuk ke ruangan rawat milik Jazira.
Setelah menyiapkan semua keperluan milik Jazira, keempat perawat tersebut pun keluar dari ruangan Jazira. Meninggalkan Johan yang sedang berdiri sambil menatap Jazira.
Johan beralih menatap sofa yang berada di samping brankar milik Jazira dan berjalan mendekati sofa tersebut. Johan pun mendaratkan pantatnya dan mencari posisi nyaman untuk duduk, lalu mengambil ponselnya.
Dia membuka dokumen dan memantau pekerjaan selanjutnya yang akan dilakukan oleh Albirru. Johan sudah terbiasa melakukan hal tersebut karena beberapa kali dia harus melakukan pekerjaan yang jauh.
Johan yang sedang membaca dokumen-dokumen tersebut terkejut bukan main karena pintu ruang rawat milik Jazira terbuka. Johan pun menolehkan kepalanya dan terkejut ketika melihat sang Tuan Muda berada di sana.
Sontak, Johan pun segera berdiri dari duduknya namun terhenti karena garakan tangan milik Albirru. Albirru hanya menatap tajam kepada Johan dan berjalan dengan pandangan lurus ke depan mendekati brankar milik Jazira.
Perasaan Johan sudah harap-harap cemas ketika melihat wajah datar sang atasan yang masih menatap wajah Jazira. Hanya kesunyian yang meliputi ruang tersebut, tak ada satu orang pun yang berbicara termasuk Johan maupun Albirru.
Sebenarnya banyak pertanyaan yang sedang menghampiri benak Albirru. Seperti siapa Jazira, dari mana asalnya, siapa keluarganya, apa pekerjaannya, berapa umurnya, dan apakah Jazira adalah orang yang baik?
Setelah dibuat kebingungan oleh kebisuan sang atasan, kini Johan dibuat melongo karena melihat sang atasan yang tiba-tiba pergi dari ruang rawat Jazira tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
Ketika matanya masih melotot dan mulutnya masih terbuka, tiba-tiba pengawal dari sang atasan masuk ke dalam ruang rawat Jazira. Sang pengawal tersebut membawakan selembar kertas beserta pena.
Tak lama setelah itu ponselnya pun berdering dan menampakan panggilan dari sang atasan. Dengan segera, dia menempelkan ponselnya ke telinganya dari menyimak apa yang akan sang atasan katakan.
"Segera buatkan kontrak pernikahan antara aku dan gadis itu!" Ucap Albirru dengan singkat lalu mematikan ponselnya. Entahlah mungkin mulai saat ini, kebiasaan yang akan selalu dia terapkan pada dirinya sendiri adalah untuk mengelus dadanya karena sikap dari sang atasan.
Setelah menghela nafasnya cukup panjang sambil menatap selembar kertas serta pena berwarna hitam tersebut, Johan pun memantapkan hatinya untuk berjalan mendekati meja tersebut.
Setelah berpikir apa saja yang disukai oleh sang atasan juga yang tidak disukai, Johan pun menyusunnya rapi-rapi dan mulai menulis di kertas tersebut.
Poin pertama Johan mengatakan bahwa Jazira harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri kepada Albirru.
Kedua, Johan menuliskan bahwa Jazira harus mengurus semua keperluan Albirru baik lahir atau batin nya.
Poin ketiga, Johan menuliskan bahwa jika selama kontrak pernikahan berjalan Jazira tidak membuat suatu masalah apa pun Albirru akan selalu membayarnya.
Dan poin terakhir, Jazira harus selalu menuruti apa pun perkataan dari Albirru.
Setelah selesai menuliskan surat kontrak antara sang atasan dan seorang gadis yang masih tertidur, dengan bangga nya Johan pun menelepon sang atasan dan mengatakan bahwa surat kontraknya telah selesai.
Johan pun menghubungi nomor sang atasan dan segera mengatakan bahwa surat kontraknya sudah siap ditandatangani. Namun betapa terkejutnya Johan ketika mengetahui jawaban dari sang atasan yang mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai poin nomor satu dan dua.
"Gantilah poin nomor satu dengan tidak ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing. Katakan juga padanya jika dia sudah bangun nanti agar selalu sadar akan posisinya sebagai istri kontrakku. Apakah kau sudah paham, sekarang?" Ucap Albirru dengan panjang kali lebar yang membuat Johan terkejut.
Bahkan ketika meeting pun, Albirru akan mewakilkan padanya jika ada klien yang bertanya. Tak mau membuat masalah lagi, Johan pun mengganti semuanya di dokumen yang berada di Hp nya.
Johan pun segera memindahkan semua yang dikatakan oleh sang atasan dan menambahkan seperti yang berada di surat kontrak tiba-tiba Jazira pun terbangun.
"Apakah paman adalah orang yang sama seperti yang menemui Jazira di tong sampah yang ada di gang kecil itu?" Tanya Jazira lirih sambil menatap Johan.
Johan hanya menggelengkan kepalanya dan berjalan mendekati Jazira.
"Bukan, aku bukanlah teman-teman dari para gangster itu. Kenalkan, nama Paman adalah Johan. Paman adalah asisten dari Tuan Muda Albirru, kau tahu Tuan Muda Albirru kan?" Tanya Johan sambil mengulurkan tangannya untuk menyalami Jazira.
Sontak Jazira pun memelototkan matanya dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Tu...Tuan Muda Albirru?!" Tanya Jazira terkejut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!